Risk Preference Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

141 satu langkah untuk mengurangi kesalahan dalam memilih A yang baru, mengingat P dalam konteks teori keagenan PKH ini tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pemilihan terhadap A. Insentif juga bisa diberikan oleh P misalkan dalam bentuk sertifikat penghargaan yang menunjukkan pencapaian kinerja A dalam menjalankan kontraknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang memberikan sertifikat piagam penghargaan untuk berbagai katagori dalam bidang pengelolaan lingkungan dan pengelolaan tambang. Piagam penghargaan tersebut mempunyai tiga tingkatan yaitu aditama, utama dan pratama. Dalam rangka pemberian sertifikat atau piagam penghargaan pengelolaan kawasan hutan kepada A, tentunya P terlebih dahulu melakukan penilaian kepada semua A dengan batasan, kriteria dan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya. Sertifikat penghargaan tersebut merupakan gambaran prestasi dan partisipasi A dalam mengelola hutan dengan baik. Sertifikat tersebut dapat menjadi salah satu syarat tambahan bagi A yang akan mengajukan IPPKH pada areal lain. Insentif berupa kepastian hukum dan jaminan keberlanjutan usaha maupun dalam bentuk lainnya sangat diharapkan oleh A, oleh karena itu P perlu membuat batasan atau aturan tentang instrument insentif dalam IPPKH untuk meningkatkan motivasi dan komitmen A dalam menjalankan kontraknya dengan baik dan sesuai dengan keinginan P.

5. Risk Preference

Tidak satupun manusia yang menginginkan adanya risiko yang harus ditanggung dalam menjalin sebuah hubungan karena risiko berkonotasi dengan kerugian yang harus diterima akibat suatu keputusan yang diambil. Dalam hubungan P-A, risiko bisa dipastikan akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Namun, dalam teori keagenan baik P maupun A akan berusaha untuk menghindari risiko dari pelaksanaan kontrak yang telah disepakati. Kebijakan PKH hakekatnya merupakan kebijakan minimasi risiko yang diakibatkan oleh opeasional sektor lain di dalam kawasan hutan. Pilihan yang dianggap paling rasional, memberikan kesempatan sektor lain menggunakan kawasan hutan sekaligus bersinergi dengan sektor lain untuk menjalankan dan mewujudkan ‗amanat rakyat‘. Pemerintah, dalam hal ini kementerian kehutanan, tidak begitu saja menerima kehadiran sektor lain yang akan menggunakan dan menguras isi perut bumi yang berada di dalam kawasan hutan tanpa pengaturan yang dapat menjamin pemulihan kawasan hutan tersebut. Risiko sudah barang tentu harus diterima pemerintah P ketika memberikan kewenangan pengelolaan hutan pada institusi A yang belum diketahui sejauhmana kemampuan dan komitmennya dalam menyelenggarakan tata kelola hutan. Apalagi, dalam konteks kebijakan PKH institusi tersebut bukan institusi dengan core bussiness kehutanan. 142 Tabel 30 Matriks pembagian risiko dan konsekuensi pelaksanaan kontrak IPPKH. No Proses kegiatan implementasi kebijakan PKH Jenis Risiko Prinsipal Agen 1. Pengajuan izin Adverse selection, moral hazard Waktu lama, mengurangi waktu produksi, meningkatkan biaya produksi dan biaya transaksi moral hazard 2. Penerbitan izin kontrak Moral hazard Meningkatnya biaya transaksi moral hazard, menimbulkan konflik dengan pihak lain, 3. Pelaksanaan kontrak Biaya pengawasan Meningkatnya biaya transaksi, pengabaian kewajiban moral hazard 4. AkhirPasca kontrak Kegagalan pencapaian tujuan, Kerusakan kawasan hutan Pengabaian kewajiban moral hazard Risiko yang diterima baik oleh P maupun A merupakan akibat dari kontrak yang tidak sempurna dan lemahnya pengawasan pelaksanaan kontrak oleh P. Perbaikan atau penyempurnaan kontrak perlu dilakukan dengan senantiasa memperhatikan isu-isu yang berkembang serta hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan kontrak. Proses tersebut harus selalu dilakukan jika P jika ingin mencapai tujuan dengan risiko yang kecil. Menilik proses implementasi kebijakan PKH, risiko akan lebih besar ditanggung oleh P. Faktor kontinuitas dan efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh P serta proses pelaksanaan kontrak yang panjang 47 menjadi tantangan besar selama eksekusi kontrak tersebut. Dua faktor tersebut membuka kesempatan yang lebih besar bagi A untuk melakukan pengingkaran kontrak. Jika melihat proses pelaksanaan kontrak, risiko yang ditanggung oleh P merupakan akumulasi dari kinerja A serta kontinuitas dan efektifitas pengawasan yang dilakukan. Keberhasilan minimasi risiko P sangat dipengaruhi oleh kinerja A, terutama terhadap perilaku moral hazard selama menjalankan kontrak. Jika A melakukan moral hazard dan P gagal melakukan pengawasan, maka risiko terbesar akan ditanggung oleh P dengan rusaknya kondisi kawasan hutan, lubang-lubang tambang ditinggalkan tanpa reklamasi dan revegetasi. Pemulihan kawasan hutan dapat dipastikan mengalami kegagalan. 6. Moral Hazard Dalam suatu hubungan keagenan, kedua pihak P-A akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena 47 Masa berlakunya kontrak IPPKH tergantung dari masa berlakunya izin sektor pertambangan, baik PKP2B, KK maupun IUP yang dimiliki Agent ditambah dengan waktu untuk melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi. Izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat biasanya mempunyai rentang waktu yang sangat panjang dibandingkan dengan izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin-izin tersebut dapat diperpanjang sesuai kebutuhan, demikian juga dengan IPPKH. 143 salah satu pihak khususnya agen menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya insentif godaan bagi satu atau lebih pelaku khususnya agen untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005. Perilaku oportunis juga terindikasi dalam implementasi kebijakan PKH. Sebagaimana disebutkan oleh Eisenhardt 1989 dan Gibbons 2005 di atas, perilaku oportunis juga dilakukan oleh A untuk mencapai tujuan, mengurangi risiko dan mengurangi biaya transaksi dalam melaksanakan kontraknya. Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian lain tulisan ini, kurangnya informasi yang dimiliki tentang kebijakan dan peraturan dalam pengelolaan kawasan hutan, justru menjadi pemicu A melakukan moral hazard. Perilaku tersebut didukung dengan ketidakmampuan P dalam menjalankan fungsi pengawasan serta penegakan hukum terhadap perilaku A. Di sisi lain, A justru menguasai informasi, pengetahuan dan pengalaman teknik untuk mencapai tujuannya yang sama sekali tidak dimiliki oleh P. Penguasaan informasi tersebut yang dipergunakan oleh A untuk melakukan aktifitas pembukaan kawasan hutan, penambangan dan aktifitas pasca tambang tanpa mengindahkan kewajiban- kewajiban yang telah disepakatai dalam kontrak. Di sisi lain, menurut Kiewiet dan McCubbins 1991, pihak P dihadapkan pada tiga hal khusus yang sulit ketika memberikan delegasi. Pertama, A dapat menyimpan menyembunyikan informasi dari P dimana informasi tersebut akan merugikan A dan menguntungkan P. Kedua, A dapat melakukan sesuatu di belakang tanpa sepengetahuan P, menyembunyikan sesuatu yang apabila P mengetahuinya akan menjadi bumerang bagi A. Ketiga, prinsipal menghadapi ‗Madison dilemma‘ yang harus mendelegasikan kewenangannya, namun di sisi lain akan memberikan kekuatan untuk A yang akan mengancam eksistensi P. Moral hazard tidak saja dilakukan oleh A dalam implementasi kebijakan PKH, namun juga dilakukan oleh P. Indikasi perilaku moral hazard dilakukan oleh P yang mendominasi informasi tentang kebijakan dan peraturan pengelolaan hutan. Sebagaimana telah lazim terjadi di hampir semua aspek kepemerintahan di Indonesia, praktik korupsi dan kolusi juga terjadi dalam proses implementasi kebijakan PKH. Ketiadaan informasi yang dimiliki A tentang proses perizinan maupun implementasi kebijakan PKH dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang menjadi penumpang gelap free rider mencari keuntungan dari situasi tersebut. Perilaku Moral Hazard A Perilaku mengabaikan kontrak hampir selalu dilakukan oleh A. Dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian maupun pengumpulan data dan informasi sekunder yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa semua A melakukan pengabaian kontrak. Dari enam indikator yang dikumpulkan tidak satupun dari A mempunyai nilai sempurna lihat pembahasan respon perusahaan pada bab sebelumnya. Dalam wawancara dengan beberapa responden yang mewakili A, sebagian besar menyatakan tidak tahu prosedur dan teknis yang harus dilakukan untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak IPPKH. Hal itu menunjukkan bahwa kurangnya informasi yang dimiliki A menyebabkan pengabaian terhadap kontrak. Sebaliknya, kelebihan informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya tambang justru tidak mempengaruhi kinerja 144 mereka dalam melaksanakan kontrak, karena informasi dan pengetahuan tersebut tidak berhubungan dengan isi kontrak. Dalam kontrak disebutkan beberapa kewajiban A selama masa IPPKH-nya berlaku. Dari kewajiban-kewajiban tersebut, A harus mengacu pada peraturan perundang-undangan lain di sektor kehutanan seperti tata cara pemeliharaan tata batas kawasan hutan, tata cara perlindungan kawasan hutan, tata cara rehabilitasi DAS, tata cara reklamasi dan revegetasi versi kehutanan maupun tata cara teknis lainnya. Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut tentunya akan meningkatkan biaya transaksi. Banyak kasus yang terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah dibiarkannya bekas tambang yang sudah tidak dipergunakan lagi. Lubang- lubang tambang dibiarkan terbuka tanpa perlakuan reklamasi dan revegetasi. Hal itu akan menjadi risiko terbesar bagi P jika pengabaian terhadap kontrak IPPKH dibiarkan terjadi. Moral hazard yang dilakukan oleh A akibat keterbatasan informasi dan lemahnya pengawasan P terhadap perilaku A menjadi penyebab gagalnya P mencapai tujuan dalam pengelolaan kawasan hutan. Illegal Mining Selain perilaku moral hazard tersebut di atas yang teridentifikasi, dalam proses implementasi kebijakan PKH juga menimbulkan moral hazard yang lebih besar, yaitu illegal mining yang disebabkan oleh ketidakmampuan financial A untuk memenuhi biaya transaksi selama permohonan IPPKH. Illegal mining biasa dilakukan oleh A dengan kekuatan finansial yang rendah dan dipicu oleh beberapa faktor lainnya seperti; birokrasi pengurusan izin yang lama, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, permintaan pasar akan jenis komoditi tambang, harga komoditi di pasar dan adanya kekuatan backing perusahaan. Tingginya biaya dan lamanya waktu yang diperlukan dalam pengurusan IPPKH di Kementertian Kehutanan menjadi salah satu alasan beberapa perusahaan melakukan illegal mining. Terlebih jika pada saat yang bersamaan harga komoditas tambang sedang bagus. Tergiur oleh keuntungan yang besar, pengusaha memberanikan diri untuk melakukan kegiatan tambangnya di dalam kawasan hutan tanpa harus memperoleh IPPKH terlebih dahulu. Menurut penuturan beberapa narasumber, cara-cara seperti itu sudah jamak terjadi, terutama pada saat harga komoditas melambung. Mereka menambang terlebih dahulu untuk mendapatkan modal, sembari mengajukan IPPKH kepada menteri kehutanan. Keberanian mereka didukung oleh aparat yang berada di belakangnya untuk melindungi jika terjadi satu dan lain hal terkait dengan aksi illegal mining yang dilakukan. Dengan demikian, mereka berharap sambil menambang mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan. Modus lain yang dipakai adalah dengan mengajukan alih fungsi kawasan hutan melalui pemerintah daerah. Modus ini juga banyak dilakukan, terutama bagi izin-izin pertambangan yang berada di dalam hutan lindung. Para pengusaha melakukan illegal mining, di lain pihak pengusaha juga mengajukan alih fungsi kawasan hutan. Selain alih fungsi kawasan hutan, pengusaha juga berusaha untuk mengubah kawasan hutan tersebut melalui review RTRW yang setiap lima tahun dilakukan pengkajian ulang, dan hampir selalu terdapat perubahan fungsi kawasan hutan. 145 Peranan aparat birokrat maupun keamanan sangat besar dalam praktik illegal mining ini. Hanya beberapa diantara mereka yang tertangkap dan diusut sampai tuntas. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kendari Pos 48 , polisi hanya mem-police line tiga perusahaan yang melakukan aktifitas illegal mining di Kabupaten Kolaka, sementara tiga atau mungkin 4 perusahaan lainnya masih aktif beroperasi. Polisi juga terkesan mengulur waktu agar ketiga perusahaan yang belum di-police line tersebut mengapalkan ores bijih mineral nikel yang pada saat itu sedang dalam proses pengapalan. Perusahaan-perusahaan tersebut bukan saja tidak memiliki IPPKH namun juga diragukan telah memiliki izin di bidang pertambangan dari pemerintah kabupaten setempat. Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Gerak Sultra melakukan demonstsrasi di depan Kepolisian Daerah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka mempersoalkan adanya illegal mining yang telah merugikan daerah dan negara. Mereka juga menganggap operasi perusahaa-perusahaan tersebut telah melanggar prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dan fungsipemanfaatan sumberdaya hutan. Sementara itu, Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara telah mengidentifikasi praktik illegal mining di kabupaten tersebut. Sejumlah 17 tujuh belas perusahaan telah dilaporkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Konawr Utara melalui surat nomor 522.299VI2013 tanggal 24 Juni 2013 tentang laporan perambahan kawasan hutan kepada Bupati Konawe Utara. Surat tersebut ditembuskan ke 24 institusi yang berkompeten, diantaranya adalah KPK, Kementeri Kehutanan, Kementerian ESDM, Gubernur Sulawesi Tenggara, DPRD Kabupaten Konawe Utara, Kepala Kepolosian Daerah Sulawesi Tenggara, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut Kepala Dinas Kabupaten Konawe Utara, mereka semua beroperasi di dalam kawasan hutan lindung HL, hutan produksi terbatas HPT, hutan produksi tetap HP dan hutan produksi konversi HPK. Menurut salah seorang penyidik Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Provinsi Sulawesi Tenggara, BKSDA beberapa kali menangkap illegal mining bahkan hingga sampai pada putusan pengadilan. Sebenarnya Bupati yang seharusnya bertanggungjawab terhadap operasional IUP-IUP yang telah dikeluarkan, Bupati harus melakukan kontrol terhadap aktifitas mereka. Bahkan di Kabupaten Konawe Utara, terdapat ratusan IUP yang telah diterbitkan oleh Bupati, namun sebagian diantaranya adalah fiktif. Banyak IUP yang arealnya adalah laut, sementara areal daratannya adalah hutan lindung atau kawasan konserasi. Dalam aktifitasnya mereka berdalih bahwa mereka melakukan kegiatan di dalam areal penggunaan lain APL, padahal ketika dicek oleh penyidik BKSDA mereka bekerja secara illegal di dalam kawasan hutan. Sementara APL yang mereka maksud berada di laut. Penyidik BKSDA tersebut juga menegaskan bahwa adanya orang-orang kuat dibalik IUP-IUP yang melakukan illegal mining, merupakan kekuatan tambahan bagi pelaku-pelaku illegal mining melakukan aktifitasnya. Bahkan para Bupati dan Ketua DPRD berani menjadi ‗penjamin‘ untuk sebuah chainsaw yang ditahan oleh penyidik BKSDA. Praktik moral hazard juga terjadi di lingkungan pemerintah daerah. 48 Kendari Pos. 2013 Oktober 1. Polisi ulur waktu. Kendari Pos;1 kol 4-5 146 Seorang sekretaris kepala dinas kehutanan menerima Rp. 250 juta hanya untuk membuat konsep surat rekomendasi untuk persetujuan penerbitan sebuah IUP. Mine and Run Bentuk moral hazard lainnya adalah meninggalkan bekas tambang yang tanpa dilakukan reklamasi dan revegetasi kecuali pit atau lubang terakhir tambang. Perilaku ini acapkali terjadi yang disebabkan oleh rendahnya komitmen A untuk melaksanakan kontrak dengan baik sesuai dengan harapan P. Terlebih jika P tidak melakukan kontrol atau monitoring dengan baik dan kontinyu. Massa berlaku izin pertambangan IUP ≤ 5 tahun yang pendek mempunyai peluang melakukan ‗mine and run‘ atau ‗tambang kemudian segera pergi‘ lebih besar daripada yang mempunyai masa berlaku panjang. Pendeknya waktu izin pertambangan yang kemudian disusul dengan terbitnya IPPKH akan cenderung untuk mengekspoitasi bahan tambangnya dengan masif, mereka mengutamakan produksi tambangnya semaksimal mungkin. Sedangkan untuk pemulihan kawasan hutannya tidak begitu dipedulikan. Bagi pemilik IPPKH, maksimasi produksi dan kemudian membayar semua kewajiban administratif termasuk di dalamnya PNBP sudah cukup, tanpa harus melakukan kewajiban mereklamasi dan merevegetasi 49 . Pengamatan di lapangan menunjukkan hampir semua A tidak bisa melakukan rencana tambangnya seperti yang disusun dalam rencana penggunaan kawasan hutan 50 . Berbagai kendala menjadi penghalang, baik teknis maupun non teknis. Terlebih jika letak bijih tambang atau mineral berada pada satu hamparan yang luas, bisa memakan waktu yang lama untuk mengeksploitasinya, dan kegiatan reklamasi dan revegetasinya juga akan mundur. Teknik back filling tidak dapat dijalankan dengan baik sesuai rencana, dimana seharusnya pit yang dibuka tahun lalu harus ditutup direklamasi tahun ini dengan menggunakan material tanah dari pit tahun lalu ditambah dengan material tanah pada lubang tambang yang digali tahun ini. Namun dalam praktiknya reklamasi baru bisa dilakukan pada tahun ke 3 atau lebih lama lagi. Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh Setiyadi 2011 51 . Dalam sebuah tabloid Setiadi 2001 mengingatkan; ― … banyak perusahaan tambang, terutama yang skala kecil, yang bersifat hit and run . Semuanya kembali kepada perusahaannya, memang. Hanya saja, banyak pengusaha tambang yang tidak disiplin. Akibatnya, biaya reklamasi yang harus dilakukan menjadi besar,‖. 49 Sebagian pengusaha berpendapat, dengan adanya kewajiban membayar jaminan reklamasi ke pemerintah, maka jika perusahaan tidak melakukan kewajiban untuk mereklamasi areal bekas tambang tidak menjadi masalah, karena sudah diganti dengan jaminan tersebut. 50 Setiap perusahaan yang mengajukan IPPKH diwajibkan menyusun rencana kerja penggunaan kawasan hutan yang berisi rencana operasi produksi, rencana kegiatan reklamasi dan revegetasi setiap tahunnya. Massa berlaku IPPKH biasanya akan menyesuaikan dengan masa berlaku izin pertambangannya ditambah dengan waktu untuk reklamasi dan revegetasi sampai dianggap lulus dalam penilaian. IPPKH bisa diperpanjang jika diperlukan. 51 AgroIndonesia. 2011 April 18. Waspadai hit and run. Diakses di http:agroindonesia.co.id20110418demi-kepentingan-nasional pada tanggal 11 Januari 2014 147 Terkait dengan praktik mine and run tersebut, seorang pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan juga menyampaikan pendapatnya berdasarkan pengamatannya di lapangan. Dalam kesempatan interview, pejabat tersebut mengatakan: ―…walaupun ada seratusan IUP yang dikeluarkan oleh Bupati tapi kalau saya untuk ini, selama saya masih belum pensiun, saya hanya bisa memprogramkan paling tidak 4 yang terjadi izin pinjam pakai karena saya juga banyak melihat Konawe Utara ya sekarang baru dirasakan, suatu saat akan terasa, bagaimana nanti. Adakah sekarang yang betul-betul setelah selesai penambangan adakah yang terjadi sampai bisa betul dia reklamasi yang sebenarnya? Kan ndak ada Dimanapun itu pertambangan ndak ada yang bisa. Selesai menambang kalau sudah selesai ya pulang …‖ Perilaku Moral Hazard P Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa korupsi dan kolusi sebagai salah satu bentuk moral hazard di Indonesia masih jamak terjadi terutama di kalangan birokrat. Hal itu juga terindikasi dalam proses implementasi kebijakan PKH. Korupsi dan kolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusra et al 2011 bahwa: ―… Pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan harus melalui sejumlah pintu. Ada belasan syarat yang harus dipenuhi dan diverifikasi sebelum izin diterbitkan Kementrian Kehutanan. Dengan prosedur normal, proses itu memerlukan 1-2 tahun. Tapi jalan pintas selalu terbuka —dengan sejumlah ongkos, tentu saja…‖ Yusra et al 2011 juga mengungkapkan bahwa untuk mengurus IPPKH seorang pengusaha tambang bauksit di Kalimantan Timur dikenakan tarif Rp 2-5 milyar. Setoran lainnya yang harus disediakan oleh pengusaha tersebut adalah adanya kesepakatan di muka berupa pengenaan royalti sebesar 2,5 dari jumlah produksi bauksit selama konsesi IPPKH 30 tahun. Permintaan tersebut dirasakan sangat sulit dipenuhi oleh pengusaha, hingga akhirnya pengusaha tersebut membiarkan dokumen permohonan IPPKH terbenam di Kementerian Kehutanan. Berdasarkan penelusuran informasi selama penelitian di Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara diperoleh informasi bahwa untuk mendapatkan sebuah kontrak yang telah ditandatangani Menteri Kehutanan dalam bentuk IPPKH, seorang pengusaha harus mengeluarkan biaya transaksi sebesar 7 milyar rupiah. Sementara itu, informasi lain yang diperoleh dari seorang pengusaha batubara yang sedang mengajukan IPPKH lokasi tambang di Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa besarnya biaya transaksi untuk mendapatkan IPPKH dari Menteri Kehutanan jauh lebih besar dari apa yang pernah diungkap dan diberitakan Majalah Tempo 52 . Tingginya biaya tersebut 52 Disebutkan dalam Majalah Tempo 3 Juli 2011 bahwa biaya pengurusan IPPKH di Kementrian Kehutanan adalah berkisar antara Rp 3-4 milyar ditambah 10 kepemilikan saham Septian et al 2011 148 menjadi dasar bagi pengusaha untuk mengurungkan maksudnya mengurus lebih lanjut IPPKH yang saat itu sudah berada di meja Menhut. Dalam melakukan kajian terhadap perizinan pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan, KPK melakukan kajian sistem perizinan yang dilakukan pada akhir tahun 2013, dengan menggunakan data dan informasi hasi1 wawancara di 10 provinsi dan para pelaku usaha. Dari hasil wawancara itu sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa perizinan di sektor kehutanan tidak gratis dan bahkan memerlukan biaya besar untuk memperoleh surat-surat izin. ―Sebagian besar pengusaha mengatakan ini tidak gratis, perlu biaya besar untuk memperoleh surat-surat seperti itu. Banyak sekali orang yang mendapatkan izin, banyak juga dapat pengesahan kata Kartodihardjo dalam AgroIndonesia 2014. Dalam kajian tersebut teridentifikasi sebelas temuan yang terindikasi adanya praktik korupsi dalam pengurusan izin di sektor kehutanan, salah satu diantaranya adalah IPPKH. Mengenai 11 temuan dalam hasil kajian KPK, Menteri Kehutanan menjanjikan perbaikan dengan berencana memutus rantai- rantai perizinan yang menghambat. KPK juga menemukan adanya kelemahan dalam pengawasan dan pengendalian pemermtah atas ketertiban pelaksanaan pelaporan penyetoran Pendapatan Negara Bukan Pajak PNBP. Jika saja pengawasan dan pengendalian ini dapat dikendalikan, akan banyak uang negara yang dapat diselamatkan. Sebagai contoh, jika dalam aktifitas pertambangan di dalam kawasan hutan dapat dikendalikan, maka akan ada lebih dari Rp l5,9 triliun yang dapat diselamatkan. Sedangkan, PNBP yang bisa diselamatkan sekitar Rp 12 triliun dari sektor kehutanan AgroIndonesia, 2014. Data dan informasi tersebut di atas menunjukkan adanya moral hazard dalam praktik perizinan pinjam pakai kawasan hutan di Kementerian Kehutanan. Berkeliarannya free rider baik dari kalangan partai politik, konsultan 53 maupun oknum orang dalam di Kementerian Kehutanan menjadi aktor yang memanfaatkan situasi dari kurangnya informasi yang dimiliki A. Free rider juga terindikasi pada pengurusan izin usaha pertambangan IUP di kabupaten dan permohonan rekomendasi gubernur. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kepentingan kelompoknya. Menurut Hasanbasri 2012 perilaku mementingkan diri sendiri bukan merupakan persoalan moral. Dalam kacamata organisasi, perilaku itu adalah normal karena kesempatan untuk melakukannya memang tersedia. Sependapat dengan situasi tersebut, Hechter 1997, 2004 dalam Hasanbasri 2012 menyatakan bahwa dalam rational choice theory meyebutkan perilaku adalah pilihan individual. Orang memilih tindakan sesuai dengan apa yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip maksimasi ini membuat orang selalu menilai situasi yang ada dan kepentingan pribadi yang bisa ia gunakan dari sebuah situasi. Kepentingan pribadi tercermin dari tujuan-tujuan yang terungkap maupun yang tidak terungkap. Pilihan rasional memberikan kesempatan orang berhitung manfaat yang paling tinggi dari konteks sebuah perilaku. Perilaku maksimasi yang 53 Konsultan berperan dalam mengurus IPPKH dan memuluskan jalan dengan menghubungkan perusahaan dengan birokrat yang mempunyai kewenangan dalam proses perizinan tersebut. Dalam menjalankan peranannya, konsultan bekerjasama dengan oknum di Kementerian Kehutanan untuk memperlancar proses perizinan. Untuk satu perusahaan pertambangan yang mengurus IPPKH, konsultan membandrol harga antara Rp 400-500 juta. 149 ekstrim berupa fenomena penumpang gelap atau free rider, yang intinya mencari kesempatan gratis. Orang berupaya sampai di tempat tujuan tanpa harus membeli tiket. Mereka menikmati hasil tanpa bekerja keras.

7. Kontrol