2. Empati
Dengan berjalannya waktu, seorang konselor akan semakin mengenali keberadaan siswasiswi yang akan dibimbing. Setiap perangai dan tingkah pola mereka seolah-
olah sudah dikuasai oleh nya. Kadang kala, tanpa harus melakukan konseling, beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada siswasiswi nya.
“... Sering kali saya yang harus menghampiri mereka, karena ketika melihat perangai mereka yang berubah hati saya berkata bahwa mereka sedang mengalami sesuatu hal
yang membebani mereka. Disaat-saat seperti ini, kehadiran kita sangat dibutuhkan oleh mereka. Kadang kala, saya sedih juga melihat mereka dalam kondisi seperti itu.
Karena bagi saya, mereka itu sudah saya anggap sebagai anak-anak saya. Jawabnya dengan mata berkaca-kaca..”
3. Sikap Mendukung
Saat melakukan proses konseling sebagai seorang konselor bagi mereka, beliau sangat mengharapkan agar siswasiswi nya mendapatkan penyelesaian dan jalan keluar yang
tepat. Sehingga ketika akan melaksanakan konseling berikutnya mereka mengikutinya dengan antusias. Salah satu bentuk dukungannya yaitu, dengan
memberikan semangat dan membantu mereka untuk menemukan jalan keluar atas apa yang sedang mereka alami. Seperti yang diungkapkannya berikut ini:
“... saya selalu mendukung anak-anak dengan cara berusaha untuk membantu menemukan jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang sedang mereka alami.
Bahkan tanpa sepengetahuan mereka, setiap selesai konseling saya selalu berdoa buat mereka. Sehingga mereka bisa menjadi pribadi yang tangguh dalam menjalani
kehidupan ini.”
Universitas Sumatera Utara
4. Sikap Positif
Rasa positif dari konselor mampu membantu siswasiswi tunarungu untuk menjadi sosok yang lebih tangguh dalam menjalani kehidupan yang sangat keras. Dengan
menjadikan mereka sebagai sahabat dan menganggap mereka sama seperti kita, akan sangat membantu siswasiswi dalam menemukan jati dirinya.
“Selama saya menjadi konselor ditempat ini, saya tidak pernah memandang mereka sebagai sosok yang malang sehingga perlu dikasihani. Saya menganggap mereka
adalah anak-anak yang dahsyat. Kenapa saya berkata seperti itu? Karena ada kalanya mereka bercerita kepada saya bahwa mereka sering dijadikan bahan olok-
olok oleh orang-orang yang memiliki kondisi fisik sempurna. Namun, mereka selalu berusaha tetap tersenyum sekalipun dipermalukan. Mendengar itu, hati saya pun
sedih. Karena itu saya menganggap mereka anak-anak yang dahsyat.”
5. Kesetaraan