Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan)

(1)

PERANAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM

MEMBENTUK KONSEP DIRI

(Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap

Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu

Di SLB - B Karya Murni Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan

Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh :

OLOAN HENDRA RICKI SILALAHI

090922058

090922058

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/Siswi Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi antarpribadi dalam proses konseling antara siswa/siswi dengan konselor dalam membentuk konsep diri siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, berikut untuk mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan, masalah yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah siswa/siswi. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Wilbur Schramm. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaiut dengan mengaitkan komponen komunikasi antarpribadi konselor dalam proses konseling dengan komponen pembentukan konsep diri.

Temuan studi ini menunjukkan bahwa layanan konseling konselor dengan siswa/siswi tunarungu berperan besar dalam membentuk konsep diri yang positif siswa/siswi tunarungu. Hal ini terjadi karena adanya suasana konseling yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan penelitian juga menemukan bahwa layanan konseling yang telah diberikan kepada siswa/siswi tunarungu sudah cukup baik. Terlihat bahwa para siswa/siswi tersebut menunjukkan konsep diri yang wajar. Mereka menyadari keadaan cacatnya, tetapi keadaan cacatnya tersebut tidak melemahkan mereka. Komunikasi antarpribadi yang efektif telah memunculkan terbentuknya konsep diri siswa/siswi tunarungu seperti terbuka pada pengalaman, tidak bersikap defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan anugerah dan kasih karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan)” yang merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan serta dukungan semangat dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua terkasih, ayahanda L. Parlindungan Silalahi dan Ibunda T. Juliana Sinaga untuk setiap dukungan moril dan materil bahkan dukungan doa yang tiada habisnya kepada penulis. Terima kasih juga kepada adinda Rina Adriani Silalahi, Amd dan Shanty Khristifany Silalahi yang selalu memberikan semangat selama penyelesaian skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibunda Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat bermanfaat bagi penulis.


(4)

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departement Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M. Si selaku dosen wali penulis. Terima kasih untuk setiap arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi yang pernah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

6. Kak Icut, kak Ros dan kak Maya yang membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi.

7. Ibu Florida Pardosi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLB – B Karya Murni Medan, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di sekolah ini.

8. Ibu F. Sitohang, Roma, Mona, Jonathan, Hizkia, Wylis dan Yohanes yang sudah menjadi informan juga seluruh siswa/i SLB – B Karya Murni Medan, terima kasih untuk kerja samanya. Bersyukur sempat mengenal kalian.

9. Ayahanda R. Silaen dan Ibunda P. Pangaribuan, terima kasih untuk setiap dukungan doa, perhatian dan semangat yang boleh penulis terima selama ini.

10. Kepada temanku Tetti, Lamhot, Benget, Mila, Arief, Seppianta, Wahyu, Bang O.K. Harianda, Hera, Fitri, Kak Vera, Ira, Nuke, Endah, Maya, Zaki dan semua teman-teman Ilmu Komunikasi Ekstensi Angkatan 2009 yang telah membantu dan mendukung penulis.

11. Teman-teman Batch 90 Telkomsel Regional Medan Ancha, Desy, Rany, Dody, Fiqi dan Eka. 12. Ibunda dr. Ulfah Mahidin, SpPK Selaku Pimpinan di Laboratorium R.S. Martha Friska,

Medan. Bu Tety, Bu Verly, kak Dede, Ajeng, Hotni, Ari, Elfida dan seluruh rekan kerja penulis di Laboratorium R.S. Martha Friska Medan.

13. Semua pihak yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian pendidikan dan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa membalaskan segala budi baik yang boleh penulis terima selama ini.


(5)

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembacanya.

Medan, Agustus 2011 Penulis

Oloan Hendra R. Silalahi NIM: 090922058


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 7

I.3 Pembatasan Masalah ... 7

I.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

I.4.1 Tujuan Penelitian ... 8

I.4.2 Manfaat Penelitian ... 8

I.5 Kerangka Teori ... 9

I.5.1 Komunikasi ... 10

I.5.2 Komunikasi Antarpribadi ... 10

I.5.3 Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)... 13

I.5.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal ... 13

I.5.5 Teori Interaksi Simbolik ... 15

I.5.6 Konsep Diri ... 16

I.5.7 Konseling Individual ... 18

I.5.8 Tunarungu ... 20

I.6 Kerangka Konsep ... 21

I.7 Operasionalisasi Konsep ... 21

1.8 Defenisi Operasional Variabel... 24

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi ...27

II.1.1. Tujuan Komunikasi... 30

II.1.2. Fungsi Komunikasi... 30

II.1.3. Unsur-unsur Komunikasi... 31

II.2 Komunikasi Antarpribadi ... ... 32

II.2.1 Karakteristik Komunikasi Antarpribadi... 33


(7)

II.3 Teori Pengungkapan Diri (self disclosure) ... 39

II.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal... 45

II.4.1 Karakteristik Komunikasi Non Verbal... 46

II.4.2 Kategori Komunikasi Non Verbal………... 47

II.5 Teori Interaksi Simbolik ... 48

II.6 Konsep Diri ...52

II.6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri... 54

II.6.2 Dimensi-Dimensi Dalam Konsep Diri... 56

II.6.3 Perkembangan Konsep Diri... 58

II.7 Konseling Individual... 59

II.7.1 Ciri-ciri Konseling Individual... 61

II.7.2 Karakteristik Hubungan Konseling Individual ... 61

II.8 Tunarungu ...63

II.8.1 Pengertian Tunarungu... 63

II.8.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketunarunguan... 64

II.8.3 Karakteristik Tunarungu... 65

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 67

III.1.1 Sejarah Singkat SLB – B Karya Murni ... 67

III.1.2 Profil SLB – B Karya Murni ... 71

III.1.3 Program Kerja SLB – B Karya Murni ... 74

III.2 Metode Penelitian ... 75

III.3 Lokasi Penelitian ...78

III.4 Subjek Penelitian ...78

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 79

1. Penelitian Lapangan (Field Research) ... 79

2. Penelitian Kepustakaan (Library Research) ... 80

III.6 Teknik Analisis Data ... 80

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data di Lapangan ... 83

IV.2 Teknik Pengolahan Data ... 84

IV.3 Analisis Data Kualitatif ... 84

IV.3.1 Informan I ... 86

IV.3.2 Informan II ... 92


(8)

IV.3.4 Informan IV ... 104

IV.4 Pembahasan Hasil Penelitian... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan 111 V.2 Saran ...113

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel Hal 1 Konsep Operasional ... 22

2 Luas Tanah dan Bangunan SLB – B Karya Murni ... 72

3 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Jenis Kelamin ... 73

4 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 73

5 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Agama ... 74

6 Karakteristik Informan ... 74

DAFTAR GAMBAR Gambar Hal 1 Jendela Johari ... 40


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Transkrip Wawancara Surat Izin Penelitian

Lembar Catatan Bimbingan Skripsi Biodata


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/Siswi Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi antarpribadi dalam proses konseling antara siswa/siswi dengan konselor dalam membentuk konsep diri siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, berikut untuk mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan, masalah yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah siswa/siswi. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Wilbur Schramm. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaiut dengan mengaitkan komponen komunikasi antarpribadi konselor dalam proses konseling dengan komponen pembentukan konsep diri.

Temuan studi ini menunjukkan bahwa layanan konseling konselor dengan siswa/siswi tunarungu berperan besar dalam membentuk konsep diri yang positif siswa/siswi tunarungu. Hal ini terjadi karena adanya suasana konseling yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan penelitian juga menemukan bahwa layanan konseling yang telah diberikan kepada siswa/siswi tunarungu sudah cukup baik. Terlihat bahwa para siswa/siswi tersebut menunjukkan konsep diri yang wajar. Mereka menyadari keadaan cacatnya, tetapi keadaan cacatnya tersebut tidak melemahkan mereka. Komunikasi antarpribadi yang efektif telah memunculkan terbentuknya konsep diri siswa/siswi tunarungu seperti terbuka pada pengalaman, tidak bersikap defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Komunikasi menjadi aktivitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi. Komunikasi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan diri sendiri dan orang lain, bergaul, bersahabat, mencintai atau mengasihi orang lain dan sebagainya. Komunikasi merupakan penyampaian informasi dan pengertian dari seorang kepada orang lain. Komunikasi akan berhasil jika adanya pengertian serta kedua belah pihak saling memahaminya. Dengan kata lain, komunikasi sangat penting, seperti halnya dengan bernafas. Tanpa komunikasi tidak akan ada hubungan dan kesepian dalam menjalani aktivitas. Ada beberapa bentuk komunikasi yang kita kenal, yaitu:

a. Komunikasi Personal (personal communication)

b. Komunikasi Kelompok

c. Komunikasi Organisasi (organization communication)

d. Komunikasi Massa (mass communication)

a) Komunikasi Personal (personal communication)

Terdiri dari komunikasi intra personal (intrapersonal communication) dan komunikasi antar personal (interpersonal communication)

b) Komunikasi Kelompok

1. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) terdiri dari ceramah,

forum, diskusi dan seminar.

2. Komunikasi kelompok besar (large group communication) terdiri dari kampanye. c) Komunikasi Organisasi (organization communication)


(12)

Komunikasi personal (antarpribadi) bersifat transaksional, sebuah hubungan manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Biasanya komunikasi itu bertujuan untuk mengelola hubungan bahkan sampai pada pembentukan konsep diri. Hubungan antar pribadi yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan semangat, saling merespon tanpa adanya manipulasi, tidak hanya tentang menang atau kalah dalam berargumentasi melainkan tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008:3-5).

Dalam komunikasi antarpribadi tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi dari komunikasi antarpribadi itu sendiri. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56). Dalam kegiatan apapun komunikasi antarpribadi tidak hanya memiliki ciri maupun karakter tertentu, tetapi juga memiliki tujuan agar komunikasi antarpribadi tetap berjalan dengan baik. Adapun tujuan dari komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut:

a. Untuk memahami dan menemukan diri sendiri.

b. Menemukan dunia luar sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan

lingkungan.

c. Membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna dengan orang

lain,

d. Melalui komunikasi antarpribadi, individu dapat mengubah sikap dan perilaku sendiri dan orang lain,

e. Komunikasi antarpribadi merupakan proses belajar

f. Mempengaruhi orang lain

g. Mengubah pendapat orang lain

h. Membantu orang lain (Sugiyo, 2005:9)

Dalam kaitannya untuk mengenali diri sendiri dan orang lain, komunikasi antarpribadi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang. Terkait dengan

pembentuknya, konsep diri mulai berkembang sejak masa bayi dan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri. Konsep diri individu terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan oleh orang lain melalui proses komunikasi. Bila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengembangkan sikap-sikap postitif mengenai dirinya sendiri, seperti rasa percaya diri yang baik serta kemampuan untuk melihat dan menilai diri sendiri secara positif. Individu dengan konsep diri positif cenderung akan menimbulkan tingkah laku yang baik terhadap lingkungan sosialnya.


(13)

Sebaliknya bila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka individu tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu, dan kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.

Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta

keinginannya. Di era yang modern ini sangatlah penting bagi setiap individu untuk memahami maupun mengenal konsep diri. Namun bagaimana dengan mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Padahal hidup mestilah dihormati bagaimanapun wujud nya bagi setiap orang, pada dasar nya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat tersebut dapat menjadikan manusia merasa rendah diri, bahkan merasa tidak berguna, dan selalu bergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain. Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan tertentu sesuai dengan jenis cacatnya. Begitu juga dengan penyandang tunarungu, stigma yang

diberikan masyarakat normal sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi dan prasangka bahwa

penyandang tunarungu itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada Pasal 5 Ayat (2) dan pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:

warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Secara yuridis formal anak luar biasa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikannya diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa [USPN Pasal 4 ayat (1)].


(14)

Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah tersendiri. Menurut Mangunsong, yang dimaksud dengan “anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa (1998:66)”. Menurut Moores, “tunarungu adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat

frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong, 1987)”. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal dan non verbal. Menurut Purba, komunikasi verbal (verbal communication) meliputi: komunikasi lisan (oral communication) & komunikasi tulisan (written communication). Sementara yang termasuk dalam komunikasi non verbal (non verbal communication) terdiri dari: komunikasi kial (gestural

communication) dan komunikasi gambar (pictorial communication) (Purba dkk, 2006:36). Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa:

Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.

Bertitik tolak dari alasan di atas, maka Yayasan Karya Murni menyediakan tenaga konselor yang bertugas untuk membantu para siswa/i tunarungu. Adapun tugas dari konselor tersebut adalah:


(15)

2. Menolong siswa/i tunarungu untuk dapat menerima dirinya sendiri dan membantu untuk membentuk konsep dirinya.

3. Membimbing siswa/i tunarungu dalam proses pendidikan nya.

Semua siswa yang ada di SLB-B Karya Murni ini adalah manusia yang berpotensi yang layak dikembangkan untuk dapat mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas.

Seorang siswa tunarungu yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena keterbatasan pendengaran, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya

memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar dia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berperilaku positif.

Pembentukan konsep diri seorang siswa/i tunarungu akan dapat berjalan dengan efektif apabila dalam prosesnya menggunakan komunikasi antarpribadi yang meliputi komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi antarpribadi akan sangat mempengaruhi hubungan antarpribadi antara konselor dengan siswa/i tunarungu. Apabila seorang konselor dapat menjalin komunikasi antarpribadi yang baik terhadap siswa/i tunarungu dan terdapat

kesepahaman makna maka akan terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Sehingga siswa/i tunarungu dapat mengungkapkan isi hatinya yang dapat memudahkan konselor dalam membantu pembentukan konsep diri siswa/i tunarungu tersebut.

Berangkat dari keprihatinan yang dialami siswa/i tunarungu ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dilakukan di SLB-B Karya Murni Medan karena peneliti melihat bahwa ada beberapa siswa/i tunarungu seperti kehilangan interaksi dikarenakan keterbatasan fisik yang mereka miliki, kurangnya kasih sayang dari orang disekitarnya begitu juga dengan kurangnya konsep diri.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Peranan Komunikasi Antarpribadi Yang Dilakukan Oleh Konselor Dalam Membentuk Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB-B Karya Murni Medan”.


(16)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri Siswa/i Tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan?”

I.3. Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas, namun lebih jelas dan terarah maka perlu dibuat pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian menggunakan metode Deskriptif dengan tipe studi kasus dimana peneliti

mendeskripsikan atau merekonstruksikan wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

2. Subjek dalam penelitian ini adalah konselor dan siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, yang duduk di tingkat SLTP.

3. Penelitian fokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi

antarpribadi khususnya mengenai layanan konseling individual konselor dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan.

4. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga selesai.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1) Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah penelitian yang akan menguraikan apa yang akan dicapai, dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang

berhubungan dengan penelitian tersebut.


(17)

a. Untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni.

b. Untuk mengetahui metode komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap

siswa/i tunarungu dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu. c. Untuk mengetahui bagaimana respon siswa/i tunarungu.

d. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh konselor ketika membimbing.

e. Untuk mengetahui solusi yang dipilih konselor guna mengatasi masalah yang dihadapinya

1.4.2) Manfaat Penelitian

Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya komunikasi antarpribadi yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri siswa/i tunarungu.

b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya khasanah penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak SLB-B Karya Murni Medan, sehingga dapat meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan dan permasalahan siswa/i tunarungu.


(18)

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995:39). Kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menggambarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

a. Komunikasi

b. Komunikasi Antarpribadi

c. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

d. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

e. Teori Simbolik

f. Konsep Diri

g. Konseling Individual

h. Tunarungu

1.5.1) Komunikasi

Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari bahasa Latin: Communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna

(Effendy, 2003:9). Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5). Jadi, jika mengadakan suatu komunikasi dengan


(19)

satu pihak lain, maka kita menyatakan gagasan kita untuk mendapatkan komentar dari pihak lain mengenai suatu objek tertentu. Theodorson (dalam Liliweri, 1997:11) mengatakan bahwa komunikasi adalah pengalihan informasi dari satu kelompok kepada kelompok lain terutama dengan menggunakan simbol. Sedangkan Panji Anogoro dan Ninik Widiyanti (dalam Liliweri, 1997:104) memberi defenisi komunikasi sebagai berikut: komunikasi merupakan kapasitas individu dan kelompok lain.

1.5.2) Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh De Vito (dalam Liliweri, 1997:12) bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Menurut Barnlund ada beberapa ciri yang bisa diberikan untuk mengenal komunikasi antarpribadi (dalam Liliweri, 1997:14), yaitu:

1. Komunikasi antarpribadi terjadi secara spontan 2. Tidak mempunyai struktur yang teratur atau diatur 3. Terjadi secara kebetulan

4. Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu 5. Identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas

6. Bisa terjadi hanya sambil lalu saja

Menurut Evert M. Rogers (dalam Liliweri, 1997:13) ada beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu:

1. Arus pesan dua arah

2. Konteks komunikasi adalah tatap muka.

3. Tingkat umpan balik yang tinggi.

4. Kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi.

5. Kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban.


(20)

Asumsi dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut komunikator reaksi komunikan menyenangkan, maka ia akan merasa bahwa komunikasinya telah berhasil.

Menurut Rakhmat bahwa, pola-pola komunikasi antarpribadi (interpersonal)

mempunyai efek yang berlainan pada hubungan antarpribadi. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi antarpribadi dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Bila diantara komunikator dan komunikan berkembang sikap curiga, maka makin sering mereka berkomunikasi makin jauh jarak yang timbul. Yang menjadi persoalan adalah bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat menumbuhkan hubungan antarpribadi yang baik, yaitu: sikap percaya, sikap suportif dan terbuka (Rakhmat, 2005:129).

Percaya (trust), menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah percaya didefenisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang

dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (Griffin, dalam Rakhmat, 2005:130).

Sikap Suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur dan tidak empatis. Sudah jelas dengan sikap defensif, komunikasi interpersonal akan gagal: karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Perilaku yang menimbulkan iklim suportif adalah: deskripsi, orientasi masalah, spontanitas, empati, persamaan dan provisionalisme.

Sikap terbuka (open-mindedness) sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Menurut Brooks dan Emert karakteristik orang yang sikap terbuka adalah sebagai berikut:

a. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan logika

b. Membedakan dengan mudah, melihat suasana dan sebagainya

c. Berorientasi pada isi

d. Mencari informasi dari berbagai sumber


(21)

f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaan (Rakhmat, 2005: 136).

Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai dan yang paling penting dapat saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal melalui komunikasi yang dilakukan. Melalui komunikasi antarpribadi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai, anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas, anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. Proses komunikasi antarpribadi seperti ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri seseorang.

I.5.3) Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

Self disclosure teori adalah proses sharing/berbagi informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian dan sebagainya. Dalam melakukan proses self-disclosure seseorang harus memahami waktu, tempat dan tingkat keakraban. Kunci dari suksesnya self-disclosure adalah kepercayaan

Salah satu model inovatif untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window). “Johari” berasal dari nama depan dua orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft dan Harry Ingham (Senjaya, 2007:2.44). Meskipun self disclosure yang mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya kita perlu

mempertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut (Senjaya, 2007:2.45).


(22)

I.5.4) Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Dalam penyampaian pesan, seorang komunikator dituntut untuk memiliki kemampuan

dan sarana agar mendapat umpan balik (feedback) dari komunikan sehingga maksud pesan tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan berjalan efektif. Komunikasi dengan tatap muka (face-to-face) dilakukan. antara komunikator dan komunikan secara langsung, tanpa menggunakan media apapun kecuali bahasa sebagai lambang atau simbol. Komunikator dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan non verbal.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa lisan (oral communication) dan bahasa tulisan (written communication). Ada tiga ciri utama komunikasi verbal, yaitu:

1. Bahasa verbal adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi non verbal. Jadi komunikasi verbal ini digunakan setelah pengetahuan dan kedewasaan kita sebagai manusia tumbuh.

2. Komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding dengan komunikasi non verbal,

sebab bila kita ke luar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat non verbal.

3. Komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa

non verbal. Melalui komunikasi verbal kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak (Sendjaja, 2005:6.3).

Sementara komunikasi non verbal dapat didefenisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words). Sehingga komunikasi non verbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Beberapa contoh komunikasi nonverbal adalah: gerakan atau isyarat badaniah (gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata dan sebagainya, dan menggunakan gambar untuk mengemukakan ide atau gagasannya (Sendjaja, 2005:6.3).

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima; jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan (dalam Mulyana, 2002:198).

Kategori komunikasi non verbal dalam Sendjaja Sasa Djuarsa antara lain vocalics atau paralanguage, kinesic yang mencakup gerakan tubuh, lengan dan kaki, serta ekspresi wajah (facial expression), perilaku mata (eye behaviour), lingkungan yang mencakup objek benda dan artefak, proxemics yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian), chronomics (waktu) dan olfaction (bau) (Sendjaja, 2005:6.17).

Ada tiga perbedaan antara komunikasi verbal dan non verbal, yaitu:

1. Komunikasi verbal dikirimkan oleh sumber secara sengaja dan diterima oleh penerima


(23)

2. Perbedaan simbolik. Berarti bahwa makna dalam komunikasi verbal dipahami secara subjektif oleh individu yang terlibat didalam suatu kondisi, sedangkan makna non verbal lebih bersifat alami dan universal.

3. Mekanisme pemrosesan. Yaitu, komunikasi verbal mensyaratkan kaidah dan aturan

berbahasa secara indah dan terstruktur (Sendjaja, 1994:257).

I.5.5) Teori Interaksi Simbolik

Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain

memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yaitu komunikasi dan petukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia

membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek

disekelilingnya. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses


(24)

tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang memungkinkan kekuatan sosial

memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:68)

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara singkat interaksionalisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama individu merespon sebuah situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.5.6) Konsep Diri

Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat)

yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Konsep diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lain disekitarnya, termasuk kerabat akan tetapi yang paling mempengaruhi adalah ketika kita berinteraksi dengan orang lain yakni pengharapan, kesan dan citra orang lain tentang kita.

Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi, yaitu sebagai berikut: a. Dimensi Internal

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya sendiri. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk yaitu:


(25)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut mencakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. 2. Diri Pelaku (Behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai “Apa yang dilakukan oleh diri”.

3. Diri Penerima/Penilai (Judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan elevator.

Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri dan identitas pelaku. b. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima bentuk yaitu:

1. Diri Fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik (cantik, jelek, menarik, tidak menarik, tinggi, pendek, gemuk, kurus, dan sebagainya) 2. Diri Etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan agamanya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

3. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

4. Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa dekat terhadap dirinya sebagai anggota dari suatu keluarga.

5. Diri Sosial (social self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan disekitarnya.

Seluruh bagian diri ini, baik internal maupun eksternal, saling berinteraksi dan membentuk suatu kesatuan hati yang utuh.

I.5.7) Konseling Individual

Istilah konseling berasal dari bahasa inggris “to counsel” yang secara etimologi berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasehat. Jones mendefenisikan konseling sebagai kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada


(26)

masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada

perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri (Lubis, 2006:7).

Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini:

a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien. b. Terjadi dalam suasana yang profesional.

c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah

laku klien.

Rogers mengemukakan sebagai berikut: counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour. Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9).

Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefenisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seseorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut:

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi

konselor. Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate) 2. Bersifat afek

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain. 3. Integrasi pribadi

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan


(27)

6. Struktur

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.

7. Kerjasama

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor. 9. Perubahan

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk

berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya

terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi didalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44)

Dari defenisi-defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa layanan konseling individual merupakan kegiatan komunikasi antarpribadi konselor dengan kliennya, dimana dalam prosesnya melibatkan keikutsertaan/keterlibatan dua orang individu yang terjadi dalam suasana keakraban/kebersamaan dan terdapat interaksi, atau umpan balik antara kedua belah pihak sehingga si klien dapat memahami pikiran ataupun pesan yang disampaikan konselor yang tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah klien sehingga klien mempunyai konsep diri yang jelas.

I.5.8) Tunarungu

Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun bagi lingkungan sekitarnya. Menurut

Mangunsong, yang dimaksud dengan anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa (Mangunsong 1998:66). Menurut Moores, ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat

frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong 1998:68). Secara khusus ketulian didefenisikan sebagai gangguan pendengaran yang sangat parah sehingga anak mengalami kesulitan dalam


(28)

memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu, sehingga berpengaruh pada prestasi pendidikan.

Menurut Telford dan Sawrey ketunarunguan tampak dari ciri-ciri sebagai berikut:

a. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis

b. Kegagalan merespons apabila diajak bicara

c. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi

d. Mengalami keterbelakangan di sekolah (dalam Mangunsong, 1998:70).

1.6. Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak (hasil pemikiran rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Suatu variabel adalah konsep tingkat rendah, yang acuan-acuannya secara relatif mudah diidentifikasikan, diurut atau diukur (Kriyantono, 2007:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis dengan dunia empiris. Adapun konsep operasional yang akan diteliti adalah:

1.Komunikasi AntarPribadi 2.Konsep Diri siswa/i tunarungu

1.7. Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka konsep operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:


(29)

Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 1

Konseptualisasi

Unit Analisis Operasional Komponen Indikator

1.Komponen Komunikasi Antarpribadi Konselor Terhadap siswa/i tunarungu

a. Keterbukaan - sikap terbuka konselor dalam

proses konseling

b. Empati - Kemampuan konselor dalam

mengenali siswa/i tunarungu

c. Dukungan - Dukungan konselor dalam

proses konseling

d.Rasa positif -Tanggapan positif konselor

terhadap siswa/i tunarungu

e. Kesamaan

(De Vito, 1997:259)

-Kesamaan pandangan dan

sikap antara konselor terhadap siswa/i tunarungu

2.Komponen Konsep Diri

Siswa/i tunarungu

a. Terbuka pada pengalaman - Perasaan cemas, marah atau

takut akan berkurang/hilang terhadap masalah yang sedang dihadapi siswa/i tunarungu

- Sikap optimis siswa/i akan masa depan

b. Tidak bersifat defensif -Sifat terbuka siswa/i tunarungu


(30)

-Sifat tidak menyalahkan orang lain akan kecacatan atau kesulitan yang diderita siswa/i

c. Kesadaran yang cermat -Sudah memiliki rasa percaya

diri dari siswa/i

-Menyadari kelebihan dan bakat yang dimiliki siswa/i

d.Penghargaan diri tanpa

syarat

-Merasa cukup berarti dilingkungannya -Ada prestasi di dalam

maupun di luar kelas

e. Menjalin hubungan yang

harmonis dengan orang lain

(Hall, 1993:128)

- Dapat bergaul dengan sesama siswa/i SLB-B

-Ada rasa tanggung jawab dan memiliki satu sama lain.


(31)

1.8. Defenisi Operasional Variabel

Defenisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel dalam konsep operasional. Dengan kata lain, defenisi variabel operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995:46). Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Komponen komunikasi antarpribadi antara konselor dan siswa terdiri dari:

a. Keterbukaan, yaitu sikap terbuka konselor dalam proses konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunarungu.

b. Empati, yaitu kemampuan seorang konselor untuk mengenali siswa/i tunarungu

selama proses konseling.

c. Dukungan, yaitu dukungan konselor dalam proses konseling.

d. Rasa positif, yaitu adanya anggapan positif konselor terhadap siswa/i tunarungu.

e. Kesamaan, yaitu adanya kesamaan pandangan, sikap, ideologi, dan persepsi antara

konselor terhadap siswa/i tunarungu.

2. Komponen konsep diri terdiri dari:

a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunarungu mulai

mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari karena terlalu mengancam atau merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu bisa berupa kecemasan. Ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa mendengar lagi, masalah di dalam keluarga, pelajaran di sekolah, masalah hubungan dengan teman sepergaulan baik di


(32)

lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah, maupun masalah dengan guru dan sebagainya. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia inginkan.

b. Tidak bersifat defensif merupakan sikap keterbukaan yang dimiliki siswa/i tunarungu dimana ia dapat menerimanya dengan bebas sebagai bagian dari dirinya yang berubah dan berkembang secara realistis dan sebagaimana adanya. Sikap ini dimulai dengan mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya.

c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk dalam diri siswa/i tunarungu dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain. Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap dirinya cukup berarti dilingkungannya.

d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana siswa/i tunarungu bebas

mengaktualisasikan dirinya untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang dimiliki.

e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain yaitu sikap dimana siswa/i

tunarungu mampu menghargai keberadaaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga ia menganggap dirinya sederajat atau setara dengan orang lain. Sikap ini ditandai dengan adanya keinginan untuk bekerjasama dan saling tenggang rasa dengan teman-temannya, guru pembimbing maupun terhadap warga lainnya disekitar lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya.


(33)

BAB II

URAIAN TEORI

II.1. Komunikasi

Komunikasi apabila diaplikasikan dengan benar akan mampu mencegah dan memperbaiki hubungan sekaligus menciptakan suasana yang menyenangkan dan

menciptakan hubungan yang harmonis baik antarpribadi, antar kelompok, antar bangsa dan sebagainya, membina kesatuan dan persatuan umat manusia seluruh penghuni bumi yang menghasilkan citra positif. Disinilah terlihat begitu pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk melanjutkan hubungan maupun melepaskan hubungan.

Istilah komunikasi dalam bahasa inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang artinya sama. Sama disini

dimaksudkan adalah sama makna. Jadi komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2000:9). Menurut Goyer komunikasi adalah berbagai pengalaman, dapat diamati sebagai penelitian dimana respon penggerak dan penerima berhubungan secara sistematis untuk referensi stimulus (dalam Ardiyanto, 2007:19). Dalam pengertian ini

komunikasi memberikan individu-individu untuk memahami dan merespon apa yang

disampaikan, jika penyampaian dipahami dan dimengerti, maka komunikasi berjalan dengan baik dan sehat.

Carl I. Hovland mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk mengubah tingkah laku orang lain (dalam Widjaja, 2000:26-27). Adapun pengertian komunikasi yang lain menurut Rogers bersama D. Lawrance Kincaid, 1981 mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi


(34)

dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saat saling pengertian yang mendalam (dalam Cangara, 2006:19). Jadi, dengan demikian komunikasi itu adalah

persamaan pendapat dan untuk kepentingan itu maka orang harus mempengaruhi orang lain dahulu sebelum orang lain itu berpendapat, bersikap dan bertingkah laku yang sama dengan kita.

Komunikasi merupakan penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan berhasil jika adanya pengertian serta kedua belah pihak saling memahaminya. Dimana dapat disimpulkan bahwa komunikasi sangat penting sama halnya dengan bernafas. Tanpa komunikasi tidak ada hubungan dan kesepian dalam menjalani aktivitas. Kualitas komunikasi menetukan keharmonisan hubungan dengan sesama individu. Adapun bentuk dari komunikasi yaitu:

1. Komunikasi Personal (personal communication)

Terdiri dari komunikasi intra personal (intrapersonal communivcation) dan komunikasi antar personal (interpersonal communication).

2. Komunikasi Kelompok

1. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) terdiri dari ceramah,

forum, diskusi dan seminar.

2. Komunikasi kelompok besar (large group communication) terdiri dari

kampanye.

3. Komunikasi Organisasi (organization communication)

4. Komunikasi Massa (mass communication) (Effendy, 2004: 10).

Komunikasi menjadi salah satu hal terpenting dalam proses apapun, maka dalam harmonisasi hubungan ini terbentuk dalam komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Hal ini membutuhkan proses di dalamnya, adapun proses komunikasi menurut Onong terbagi atas dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder.

1. Proses Komunikasi Secara Primer

Adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang ini umumnya bahasa tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang digunakan dapat berupa gerak tubuh, gambar, warna dan sebagainya.


(35)

Adalah proses penyampaian pesan oleh seorang kepada orang lain dengan

menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Proses ini termasuk sambungan dari proses primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu, dalam prosesnya komunikasi sekunder ini akan semakin efektif dan efisien karena di dukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih, yang di topang oleh teknologi-teknologi lainnya (Effendy, 2004:11).

Dalam keseluruhan komunikasi menjadi akan memberikan manfaat yang mendalam, jika komunikasi berlangsung dengan baik mampu memberikan keuntungan dan mampu mencapai tujuan yang baik, jika komunikasi menjadi efektif. Pentingnya komunikasi untuk membina hubungan yang baik, bahwa kebutuhan utama manusia yang sehat secara rohaniah adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang-orang lain. Abraham Maslow menyebutkan bahwa satu diantara keempat kebutuhan utama manusia adalah kebutuhan sosial untuk memperoleh rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan (dalam Rakhmat, 2005:9).

II.1.1) Tujuan Komunikasi

Dalam berkomunikasi tidak hanya untuk memahami dan mengerti satu dengan yang lainnya tetapi juga memiliki tujuan dalam berkomunikasi. Pada umumnya komunikasi mempunyai tujuan, antara lain:

1. Untuk mengubah sikap (to change the attitude)

Memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan merubah sikapnya. Misalnya memberikan informasi tentang bahaya Narkoba pada masyarakat dan remaja pada khususnya dengan tujuan agar masyarakat dan remaja menjadi tahu bahaya dari Narkoba yang bisa berujung dengan kematian.

2. Untuk mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)

Memberikan berbagai informasi kepada masyarakat dengan tujuan akhir agar masyarakat mau merubah pendapat dan persepsinya terhadap tujuan informasi yang disampaikan, misalnya informasi mengenai pemilu.


(36)

3. Untuk merubah perilaku (to change the behavior)

Memberi berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan merubah perilakunya. Misalnya informasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian kepada masyarakat pengguna sepeda motor agar selalu menggunakan helm selama berkendara untuk keselamatan pengguna itu sendiri.

4. Untuk mengubah masyarakat (to change the society)

Memberikan berbagai informasi kepada masyarakat, yang pada akhirnya bertujuan agar masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan (Effendy 2003:55).

II.1.2) Fungsi Komunikasi

Proses komunikasi tidak terlepas dari bentuk dan fungsi komunikasi, dimana komunikasi yang baik, tidak jauh dari fungsi yang mendukung keefektifan komunikasi. Adapun fungsi komunikasi itu sendiri adalah sebagai berikut:

1. Menginformasikan (to inform)

Kegiatan komunikasi itu memberikan penjelasan, penerangan, mengenai bentuk informasi yang disajikan dari seorang komunikator kepada komunikan. Informasi yang akurat diperlukan oleh beberapa bagian masyarakat untuk bahan dalam pembuatan keputusan.

2. Mendidik (to educate)

Penyebaran informasi tersebut sifatnya memberi pendidikan atau penganjuran suatu pengetahuan, menyebarluaskan kreativitas untuk membuka wawasan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas, baik untuk pendidikan formal di sekolah maupun di luar sekolah.

3. Menghibur (to entertaint)

Penyebaran informasi yang disajikan kepada komunikan untuk memberikan hiburan. Menyampaikan informasi dalam lagu, lirik dan bunyi, maupun gambar dan bahasa membawa setiap orang pada situasi menikmati hiburan.

4. Mempengaruhi (to influence)

Komunikasi sebagai sarana untuk mempengaruhi khalayak untuk sumber

motivasi, mendorong dan mengikuti kemajuan orang lain melalui apa yang dilihat, dibaca dan didengar. Serta memperkenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah sikap dan perilaku ke arah yang baik dan modernisasi (Effendy 2003:55).


(37)

II.1.3) Unsur-Unsur Komunikasi

Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, maka jelas bahwa komunikasi antar manusia hanya bisa terjadi, jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur ini juga bisa disebut komponen atau elemen komunikasi. Untuk itu, kita perlu mengetahui unsur-unsur komunikasi. Menurut Wilbur Schramm komunikasi selalu menghendaki adanya paling sedikit tiga unsur yaitu:

1. Sumber (Source)

Sumber dapat merupakan perorangan (seseorang yang sedang berbicara, menulis, menggambar, melakukan suatu gerak-gerik) atau sebuah organisasi komunikasi (seperti surat kabar, biro publikasi, studio televisi, studio radio, studio film, dan sebagainya).

2. Pesan (Message)

Pesan atau message dapat berwujud tinta di atas kertas, gelombang radio di udara, daya tekan dalam aliran listrik, lambaian tangan, kibaran bendera, atau tanda-tanda lain yang bila ditafsirkan mempunyai arti tertentu.

3. Sasaran (Destination)

Sasaran dapat merupakan seorang yang sedang mendengarkan, memperhatikan, atau membaca, bisa juga berupa para anggota kelompok diskusi, hadirin yang sedang mendengarkan ceramah, penonton sepakbola, anggota gerombolan (mob), atau anggota kelompok khusus yang kita sebut massa (mass audience) seperti pembaca surat kabar atau penonton televisi (dalam Effendy, 2003: 39).

II.2. Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh De Vito (dalam Liliweri, 1997:12) bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Hubungan antarpribadi yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan semangat, saling merespon tanpa adanya manipulasi, tidak hanya tentang menang atau kalah


(38)

dalam berargumentasi melainkan tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008:3-5). Komunikasi antarpribadi merupakan suatu interaksi antar manusia, dimana awal mula membangun sebuah hubungan. Komunikasi antarpribadi mempengaruhi hubungan, jika hubungan dan komunikasi terjalin baik, maka akan terjalin jalinan yang panjang, dimana saling menghargai dan memberikan perhatian lebih satu dengan yang lain. Dalam komunikasi antarpribadi tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi yang dari komunikasi antarpribadi itu sendiri. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56). Komunikasi

antarpribadi dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Komunikasi antarpribadi memungkinkan kita bisa memperoleh sahabat dalam kehidupan, membina hubungan yang baik, membentuk konsep diri, hingga mampu menghindari dan mengatasi terjadinya konflik dengan sahabat, tetangga maupun masyarakat. Dikatakan demikian karena, konsep diri merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses komunikasi antarpribadi, karena setiap orang akan bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Artinya bahwa bila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengembangkan sikap-sikap postitif mengenai dirinya sendiri, seperti rasa

percaya diri yang baik serta kemampuan untuk melihat dan menilai diri sendiri secara positif.

II.2.1) Karakteristik Komunikasi Antarpribadi

Barnlund mengemukakan pendapatnya mengenai karakteristik komunikasi antarpribadi yang kemudian dikutip oleh Liliweri, yaitu:

a) Komunikasi antarpribadi terjadi secara spontan b) Tidak memiliki struktur yang teratur atau diatur c) Terjadi secara kebetulan

d) Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu e) Identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas


(39)

f) Bisa terjadi hanya sambil lalu (dalam Liliweri, 1997:14)

Menurut Liliweri, komunikasi antarpribadi mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Spontan dan terjadi sambil lalu saja (umumnya tatap muka)

2. Tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu

3. Terjadi secara kebetulan diantara peserta yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas

4. Berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja 5. Kerapkali berbalas-balasan

6. Mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan harus

bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan

7. Harus membuahkan hasil

8. Menggunakan berbagai lambang-lambang bermakna (Liliweri, 1997:14)

Menurut De Vito, komunikasi dapat menjadi efektif maupun sebaliknya, karena apabila terjadi suatu permasalahan dalam hubungan, diantaranya hubungan persahabatan, maka komunikasi antarpribadi menjadi tidak efektif. Berikut ini terdapat 3 sudut pandang yang membahas tentang karakteristik komunikasi antarpribadi yang efektif yakni:

1. Sudut Pandang Humanistik

Sudut pandang yang menekankan pada keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan yang menciptakan interaksi yang bermakna, jujur dan memuaskan. Beberapa hal yang ditekankan dalam sudut pandang yang memiliki penjabaran yang luas, diantaranya:

a. Keterbukaan, yang memiliki pengertian bahwa dalam komunikasi antarpribadi

yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi, kesediaan untuk membuka diri, kesediaan untuk mengakui perasaan dan pikiran yang anda miliki dan mempertanggungjawabkannya.

b. Empati, kemampuan seseorang untuk “mengetahui” apa yang sedang dialami orang

lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang atau “kacamata” orang lain tersebut, dimana seseorang juga mampu untuk memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa depannya.

c. Sikap mendukung, dalam hal ini merupakan pelengkap dari pada kedua hal

sebelumnya, karena komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana tidak mendukung.

d. Sikap positif, komunikasi antarpribadi akan terbina apabila orang memiliki sikap

yang positif terhadap diri mereka sendiri, karena orang yang merasa positif dengan diri sendiri akan mengisyaratkan perasaan kepada orang lain, yang selanjutnya juga


(40)

akan merefleksikan perasaan positif kepada lawan bicaranya, kemudian sikap positif juga dapat diwujudkan dengan memberikan suatu sikap dorongan dengan menunjukkan sikap menghargai keberadaan, pendapat dan pentingnya orang lain, dimana perilaku ini sangat bertentangan dengan sikap acuh.

e. Kesetaraan, memiliki pengertian bahwa kita menerima pihak lain atau mengakui

dan menyadari bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga. Karena pada kesetaraan, suatu konflik akan lebih dapat dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada dari pada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.

2. Sudut Pandang Pragmatis

Sudut pandang yang menekankan pada manajemen dan kesegaran interaksi dan secara umum, kualitas-kualitas yang menentukan pencapaian tujuan spesifik. Beberapa hal yang ditekankan dalam sudut pandang ini adalah sebagai berikut:

a. Kepercayaan diri, komunikator yang efektif memiliki kepercayaan diri, dimana

hal itu dapat dilihat pada kemampuan untuk menghadirkan suasana nyaman pada saat berinteraksi diantaranya kepada orang-orang yang merasa gelisah, pemalu atau kuatir dan membuat merasa lebih nyaman.

b. Kebersatuan, mengacu pada penggabungan antara pembicara pendengar, dimana

terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan yang mengisyaratkan minat dan perhatian untuk mau mendengarkan.

c. Manajemen interaksi, dalam melakukan komunikasi dapat mengandalkan

interaksi untuk kepuasan kedua belah pihak, hingga tidak seorang pun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh yang paling penting. Beberapa cara yang tepat untuk melakukannya adalah dengan menjaga peran sebagai pembicara dan pendengar melalui gerakan mata, ekspresi vokal, gerakan tubuh dan wajah yang sesuai dan juga dengan saling memberikan kesempatan untuk berbicara merupakan wujud dari manajemen interaksi.

d. Daya ekspresi, mengacu pada kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang

ingin disampaikan dengan aktif, bukan dengan menarik diri atau dengan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.

e. Orientasi kepada orang lain, dalam hal ini dimaksudkan untuk lebih

menyesuaikan diri pada lawan bicara dan mengkomunikasikan perhatian dan minat terhadap apa yang dikatakan oleh lawan bicara.

f. Sudut pandang pergaulan sosial, sudut pandang yang berdasarkan model

ekonomi imbalan dan biaya. Suatu hubungan diasumsikan sebagai suatu kemitraan dimana imbalan dan biaya saling dipertukarkan.

3. Sudut Pandang Pergaulan Sosial

Sudut pandang yang berdasarkan model ekonomi imbalan dan biaya. Suatu hubungan diasumsikan sebagai suatu kemitraan dimana imbalan dan biaya saling dipertukarkan (De Vito, 1997:259-268).


(41)

Ketiga sudut pandang tersebut tidak terpisah satu dengan yang lain melainkan saling melengkapi, karena setiap sudut pandang tersebut membantu kita untuk dapat memahami komunikasi sebagai solusi yang efektif untuk mengatasai masalah dalam suatu hubungan. Menurut Rakhmat komunikasi efektif ditandai dengan hubungan antarpribadi yang baik (2005:129). Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan antarpribadi, yaitu:

1. Percaya (Trust)

Faktor percaya merupakan faktor yang terpenting diantara berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi. Menurut Griffin, percaya didefenisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (dalam Rakhmat, 2005:130). Adapun unsur percaya, yaitu:

a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada

seseorang, ia akan menghadapi resiko. Resiko itu dapat berupa kerugian yang anda alami. Bila tidak ada resiko, percaya tidak diperlukan.

b. Orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa

akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.

c. Orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya.

Sejauh mana kita percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Disamping faktor-faktor personal, ada tiga faktor yang berhubungan dengan sikap percaya, yaitu:

a. Karakteristik dan maksud orang lain

b. Hubungan kekuasaan

c. Sifat dan kualitas komunikasi

Bila komunikasi bersifat terbuka, maksud dan tujuan sudah jelas, maka akan timbul sikap saling percaya. Sikap percaya berkembang apabila setiap komunikan menganggap komunikan lainnya bersikap jujur. Tentu saja sikap ini dibentuk berdasarkan pengalaman kita dengan komunikan. Selain pengalaman ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya, yaitu menerima, empati dan kejujuran (Rakhmat, 2005:132).


(42)

2. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas, sikap defensif komunikasi antarpribadi akan gagal, karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi dari pada

memahami pesan orang lain. Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal yaitu ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif atau faktor-faktor situasional dan sebagainya.

3. Sikap Terbuka

Sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:136) memberi karakteristik orang yang bersifat terbuka yaitu:

a. Menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data dan logika

b. Membedakan dengan mudah, melihat suasana dan sebagainya

c. Berorientasi pada isi

d. Mencari informasi dari berbagai sumber

e. Lebih bersifat profesional dan bersedia mengubah kepercayaannya

f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaan

Agar komunikasi antarpribadi yang kita lakukan melahirkan hubungan antarpribadi yang efektif, maka diperlukan juga sikap terbuka. Bersama-sama dengan sikap percaya dan suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai diri dan yang paling penting saling mengembangkan kualitas hubungan antarpribadi.


(43)

II.2.2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi

Dalam kegiatan apapun komunikasi antarpribadi tidak hanya memiliki ciri maupun karakteristik tertentu, tetapi juga memiliki tujuan agar komunikasi antarpribadi tetap berjalan dengan baik. Adapun tujuan dari komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut:

1. Mengenal diri sendiri dan orang lain

Salah satu cara mengenal diri sendiri adalah melalui komunikasi antarpribadi memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbincangkan diri kita sendiri, dengan membicarakan tentang diri kita sendiri pada orang lain. Kita akan mendapatkan perspektif baru tentang diri kita sendiri dan memahami lebih mendalam tentang sikap dan perilaku kita. Pada kenyataan nya, persepsi-persepsi diri kita sebagian besar merupakan hasil dari apa yang kita pelajari tentang diri kita sendiri dari orang lain melalui komunikasi antarpribadi.

Melalui komunikasi antarpribadi kita juga belajar tentang bagaimana dan sejauhmana kita harus membuka diri pada orang lain. Melalui komunikasi

antarpribadi kita juga akan mengetahui nilai, sikap dan perilaku orang lain. Kita dapat menanggapi dan memprediksi tindakan orang lain.

2. Mengetahui dunia luar

Komunikasi antarpribadi juga memungkinkan kita untuk memahami lingkungan kita secara baik yakni tentang objek, kejadian-kejadian dan orang lain. Banyak

informasi yang kita miliki dengan interaksi antarpribadi.

Banyak hal yang memperlihatkan bahwa melalui komunikasi antarpribadi, kita sering membicarakan kembali hal-hal yang telah disajikan di media massa. Namun demikian pada asumsinya nilai, keyakinan, sikap dan perilaku kita banyak

dipengaruhi oleh komunikasi antarpribadi dibandingkan dengan media massa dan pendidikan formal.

3. Menciptakan dan memelihara hubungan

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, hingga dalam kehidupan sehar-hari orang ingin menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain. Dengan demikian, banyak waktu yang digunakan dalam komunikasi antarpribadi bertujuan untuk menciptakan dan memlihara hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan demikian membantu mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita merasa lebih positif tentang diri kita sendiri.

4. Mengubah sikap dan perilaku

Dalam komunikasi antarpribadi sering kita berupaya menggunakan sikap dan perilaku orang lain. Keinginan memilih suatu cara tertentu. Mencoba makanan baru, membaca buku, berfikir dalam cara tertentu dan sebagainya. Singkatnya banyak yang kita gunakan untuk mempersuasikan orang lain melalui komunikasi antarpribadi.

5. Bermain dan mencari hiburan

Bermain mencakup semua kegiatan untuk memperoleh kesenangan. Pembicaran-pembicaraan yang lain yang hampir sama merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh hiburan. Seringkali hal tersebut tidak dianggap penting, tapi sebenarnya komunikasi yang demikian perlu dilakukan, karena memberi suasana lepas dari keseriusan, ketegangan, kejenuhan dan sebagainya.


(44)

6. Membantu orang lain

Kita sering memberikan berbagai nasehat dan saran pada teman-teman yang sedang menghadapi masalah atau suatu persoalan dan berusaha untuk

menyelesaikannya. Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan dari proses komunikasi antarpribadi adalah membantu orang lain (Widjaja, 2000:122).

II.3. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

Teori pengungkapan diri adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain maupun sebaliknya. Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi dalam dirinya. Pada teori ini terjadi ketika kita dengan sengaja memberikan informasi tentang diri kita sendiri kepada orang lain, dimana mereka tidak akan mengetahui dan memahami jika kita tidak memberitahukan kepada orang lain. Hubungan antarpribadi tidak akan mencapai keintiman tanpa pengungkapan diri (self disclosure). Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, perasaan, keinginan, motivasi, dan ide yang sesuai dan terdapat didalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya.

Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti memperlakukan mereka (Dayakisni, 2003:88).


(45)

Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi lebih akrab dari pada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang mengakhiri hubungan semacam ini. bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan dengan orang lain, kita merasa bodoh dan tidak aman.

Ada empat macam pengenalan yang ditunjukkan dalam jendela Johari Window

Gambar 1 Jendela Johari

Diketahui sendiri Tidak diketahui

sendiri Diketahui orang lain

Tidak diketahui orang lain Sumber:

Liliweri, 1997:53

Berdasarkan gambar Johari Window diatas dapat diketahui bahwa tiap diri kita memiliki keempat unsur tersebut, termasuk yang belum diketahui maupun yang disadari. Dalam pengembangan hubungan terdapat empat kemungkinan sebagaimana terwakili melalui suasana di ke empat bidang tersebut.

a. Bidang 1. Mengetahui diri sendiri dan mengetahui orang lain (Terbuka)

Melukiskan kondisi antara seseorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka. Pada bidang ini, kita mengenal diri kita dalam hal kepribadian, kelebihan dan kekurangan. Menurut konsep ini, kepribadian, kelebihan dan kelemahan yang kita miliki, selain diketahui oleh diri sendiri, juga diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, kita sukses dalam

1. Terbuka 2. Buta


(46)

berkomunikasi, maka kita harus mampu mempertemukan keinginan kita dan keinginan orang lain.

Jika ingin menang sendiri dengan cara mendesak kehendak kita pada orang lain, maka hal itu dapat mengundang konflik. Sebab itu, jika bidang terbuka ini makin melebar, dalam arti kita dapat memahami orang lain dan orang lain juga memahami diri kita, maka komunikasi pun terjalin dengan sangat erat. Sebaliknya, jika bidang terbuka ini makin mengecil berati komunikasi cenderung tertutup dan komunikasi yang terjalin belum akrab. b. Bidang 2. Tidak mengetahui diri sendiri tetapi mengetahui orang lain (Buta)

Melukiskan masalah hubungan antara kedua belah pihak hanya diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri. Pada bidang buta ini orang tidak mengetahui

kekurangan yang dimilikinya, tetapi sebaliknya kekurangan justru diketahui oleh orang lain, banyak orang yang mengetahui kelemahannya tetapi ia berusaha menyangkal. Oleh karena itu, jika bidang buta ini melebar ke bidang lain, maka akan terjadi kesulitan.

c. Bidang 3. Mengetahui diri sendiri tetapi tidak mengetahui orang lain (Tersembunyi) Masalah hubungan antara kedua belah pihak diketahui diri sendiri namun tidak diketahui oleh orang lain. Pada bidang ini kemampuan yang kita miliki tersembunyi, hingga tidak diketahui oleh orang lain. Ada dua konsep yang erat hubungannya dengan bidang ini, yaitu over disclosure dan under disclosure.

Over disclosure ialah sikap terlalu banyak mengungkapkan sesuatu, hingga hal-hal yang seharusnya disembunyikan juga diutarakan. Misalnya saja, konflik rumah tangga. Sedangkan under disclosure ialah sikap terlalu menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dikemukakan. Terlalu banyak tahu tentang orang lain, namun tidak mau bicara tentang dirinya. Pada bidang tersembunyi ini juga memiliki keuntungan pada diri seseorang jika dilakukan secara wajar. Tetapi jika under disclosure itu muncul, maka akan menyulitkan tercapainya komunikasi yang baik.

d. Bidang 4. Tidak diketahui diri sendiri atau orang lain (Wilayah tak dikenal)

Dimana kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka. Bidang ini adalah bidang kritis dalam komunikasi. Sebab selain diri kita sendiri yang tidak mengenal diri kita, juga orang lain tidak mengetahui siapa kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi kesalahan persepsi maupun kesalahan perlakuan kepada orang lain karena tidak saling mengenal baik kelebihan dan kekurangan juga statusnya.

Pada keempat bidang dalam Johari Window merupakan satu kesatuan yang teradapat dalam diri setiap orang. Hanya saja kadar bidang berbeda satu dengan yang lain. Mereka yang mampu bersosialisasi dan membangun hubungan baik, maka akan memperluas bidang terbuka. Sebab dengan memperluas bidang terbuka maka ketiga bidang yang lain akan menyempit. Dengan demikian komunikasi merupakan medium penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui komunikasi kita tumbuh dan belajar, kita menemukan pribadi kita dan orang lain, kita bergaul, bersahabat, menemukan kasih sayang, bermusuhan, membenci orang lain, dan sebagainya.


(1)

ini juga memudahkan siswa/siswi tunarungu dalam menyelesaikan setiap

permasalahan yang dihadapinya maupun dalam membentuk konsep diri yang positif. 5. Kesetaraan

Bagi konselor, dalam melaksanakan program konseling prinsip utama yang selalu diterapkannya adalah bahwa setiap manusia adalah sama dihadapan Tuhan. Baik manusia dengan kondisi fisik normal maupun mereka yang memiliki kekurangan adalah sama dihadapan Tuhan. Prinsip ini yang sangat menguatkan siswa/siswi tunarungu di sekolah ini semakin memantapkan dirinya bahwa mereka berharga sehingga tidak menjadi minder dan rendah diri ketika berhubungan dengan orang lain yang memiliki kondisi fisik normal.


(2)

BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang komunikasi antarpribadi dalam membentuk konsep diri siswa/siswi SLB – B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 Medan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Temuan menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi antara konselor dengan siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni berperan besar dalam membentuk konsep diri positif siswa/siswi tunarungu. Hal ini karena adanya situasi yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Anak tunarungu pada dasarnya terkesan tertutup dan pasif, oleh karena itu perlu keakraban dari pihak luar dalam melakukan pendekatan dengan mereka. Dengan empati dan menciptakan suasana yang akrab, ramah serta penuh kasih sayang, maka siswa/siswi tunarungu dapat lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan konselor. Temuan juga menunjukkan bahwa konseling yang selama ini diberikan kepada siswa/siswi tunarungu sudah cukup baik. Terlihat bahwa sebagian besar dari mereka telah menunjukkan konsep diri yang wajar. Mereka menyadari kecacatannya, namun keadaan cacat tersebut tidak membatasi mereka untuk berkarya dan berprestasi.

2. Temuan menemukan bahwa setiap kasus menunjukkan jawaban positif terhadap metode konseling yang dilakukan konselor terhadap siswa/siswi tunarungu, yaitu dengan sugesti dan tidak ada unsur pemaksaan atau perintah. Yakni tidak langsung pada pokok permasalahan melainkan diajak terlebih dahulu untuk bercerita hal-hal yang ringan tentang pengalaman pribadi masing-masing siswa.


(3)

3. Temuan studi ini menunjukkan bahwa respon dari siswa/siswi bervariasi. Pada awal pertama konseling, konselor yang pertama sekali proaktif mengajak siswa. Namun setelah beberapa kali konseling, ditemukan bahwa siswa yang kemudian aktif menjumpai konselor. Temuan studi ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat keaktifan antara ketiga siswa yang mengikuti konseling. Semua tergantung pada kepribadian masing-masing siswa karena berdasarkan data dilapangan ditemukan ada dua sifat siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni, yaitu terbuka dan tertutup.

4. Temuan menunjukkan bahwa terdapat dua jenis masalah yang umumnya dihadapi oleh siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni dan memerlukan layanan konseling, yaitu bagaimana menghadapi masa depan dan mengenali diri sendiri lebih baik.

5. Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi siswa/siswi tunarungu, konselor memberikan nasehat atau kata-kata yang memotivasi dan kebanyakan diambil dari ayat-ayat Kitab Suci. Temuan menunjukkan konselor telah menunjukkan empati yang suportif terhadap siswa tunarungu.

V.2 Saran

Masih berhubungan dengan kesimpulan diatas, maka peneliti merasa perlu untuk memberikan beberapa saran yang merupakan sumbangan pemikiran peneliti. Saran-saran yang dimaksud adalah:

1. Sebaiknya konselor lebih proaktif dalam menemukan kesulitan yang dihadapi siswa/siswi tunarungu dan terus memantau siapa saja siswa/siswi yang bermasalah atau pun yang tidak bermasalah.


(4)

2. Sehubungan dengan hal diatas, sebaiknya konselor memiliki program/jadwal yang jelas dan teratur untuk melakukan konseling, sehingga kebutuhan setiap siswa terpenuhi dan mereka merasa lebih diperhatikan.

3. Perlu diadakan berbagai kegiatan yang dapat lebih meningkatkan kreatifitas dan kesadaran kognitif siswa/siswi tunarungu seperti kegiatan menulis puisi, cerpen dan mengadakan pentas seni.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : Refika Aditama.

Alsa, A. 2003. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ardiyanto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Beebe, Redmond. 2008. Interpersonal Communication Relating To Others. Pearson International Edition. United Of America.

Bodgan, Robert, dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya : Usaha Nasional.

Cangara, Hafied, Msc. Dr. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Dayakisni, Tri. & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Malang : UMM Press.

Daymon, Christine dan Immy Holloway, 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta : Bentang.

De Vito, Joseph, A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi ke lima. Hunter Collage of The City University of New York. New York.

Effendy, Onong Uchjana, 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

---, 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Fitts, W.H. 1971. The self concept and self actualization research. Monograph. Library of Congres Catalog.

Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey. 1993. Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis). Yogyakarta : Kanisius.

Hallen, A. 2005. Bimbingan & Konseling Edisi Revisi. Jakarta : Quantum Teaching.

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Lubis, Lahmuddin. 2006. Konsep-konsep Dasar Bimbingan Konseling. Bandung : Citrapustaka Media.

Mangunsong, F. 1998. Psikologi dan pendidikan Anak Luar Biasa. LPSP3. Jakarta : Universitas Indonesia.

Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. XXIV. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

--- 2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nur’aeni. 1997. Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah. Jakarta : Rineka Cipta. Purba, Amir dkk. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. --- 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.


(6)

Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2005. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei :Edisi Revisi.

Jakarta : LP3S.

Somantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT Refika Aditama. Sugiyo, 2005. “Komunikasi Antarpribadi”. Semarang : UNNES Press.

West, Turner, Richard, Lynn. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi Analisi dan Aplikasi, Buku 1 edisi ke-3. Jakarta : Salemba Humanika.

Widjaja, H,A,W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : Rineka Cipta. Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.

Daftar Pustaka Online:

tanggal 3 maret 2011


Dokumen yang terkait

Konsep Diri Mahasiswa Indekos Dalam Konteks Komunikasi Antarpribadi

2 65 115

Peranan Komunikasi Layanan Konseling Individual Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor).

11 196 128

Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan)

2 50 111

Komunikasi Kelompok Dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Kelompok Terhadap Pembentukan Konsep Diri di Komunitas games online “Perang Kaum” )

6 66 116

Komunikasi Antar Pribadi Dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Antar Pribadi Pengurus Panti Asuhan Terhadap Pembentukan Konsep Diri Anak-Anak Panti Asuhan Yayasan Elida Medan)

6 53 121

Komunikasi Antarpribadi dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Antarpribadi terhadap Pembentukan Konsep Diri Remaja di Yayasan SOS Desa Taruna Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan).

1 25 142

Komunikasi Antar Pribadi Dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Kasus Mengenai Komunikasi AntarPribadi Orang Tua Terhadap Pembentukan Konsep Diri Remaja Pada Beberapa Keluarga di Medan)

11 139 114

Konsep Diri Pecandu Game Online (Studi Deskripsi Tentang Konsep Diri Pecandu Game Online Di Kota Bandung)

1 10 1

Konsep Diri Mahasiswi yang Menikah Muda (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Konsep Diri dengan Komunikasi Antarpribadi pada Mahasiswi Setelah Menikah Usia Muda di Kota Medan)

0 0 7

Konsep Diri Mahasiswi yang Menikah Muda (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Konsep Diri dengan Komunikasi Antarpribadi pada Mahasiswi Setelah Menikah Usia Muda di Kota Medan)

0 1 16