4. Sikap Positif
Rasa positif dari konselor mampu membantu siswasiswi tunarungu untuk menjadi sosok yang lebih tangguh dalam menjalani kehidupan yang sangat keras. Dengan
menjadikan mereka sebagai sahabat dan menganggap mereka sama seperti kita, akan sangat membantu siswasiswi dalam menemukan jati dirinya.
“Selama saya menjadi konselor ditempat ini, saya tidak pernah memandang mereka sebagai sosok yang malang sehingga perlu dikasihani. Saya menganggap mereka
adalah anak-anak yang dahsyat. Kenapa saya berkata seperti itu? Karena ada kalanya mereka bercerita kepada saya bahwa mereka sering dijadikan bahan olok-
olok oleh orang-orang yang memiliki kondisi fisik sempurna. Namun, mereka selalu berusaha tetap tersenyum sekalipun dipermalukan. Mendengar itu, hati saya pun
sedih. Karena itu saya menganggap mereka anak-anak yang dahsyat.”
5. Kesetaraan
Saat melaksanakan proses konseling, Ibu F. Sitohang selalu berupaya untuk menerima keberadaan siswasiswi nya dan selalu menanamkan dihatinya bahwa baik dirinya
maupun anak-anak tunarungu yang dibimbingnya sama-sama bernilai dan berharga. Beliau menganggap bahwa semua manusia itu sama dihadapan Tuhan.
“.. Saya percaya, tiap kita ini adalah berharga di hadapan Tuhan. Baik kaya maupun miskin, terlahir sebagai manusia normal atau memiliki kekurangan fisik semuanya
sama dihadapan Tuhan. Jadi jangan pernah membeda-bedakan manusia hanya karena kondisi fisiknya. Jadilah manusia yang berguna bagi semua orang. Karena
Tuhan memandang hati, bukan rupa. Demikian dikatakannya..”
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan
Dalam proses konseling antara Konselor dengan siswasiswi SLB – B Karya Murni, adanya keterbukaan dari konselor terhadap anak-anak penyandang cacat ini. keterbukaan
disini maksudnya adalah bahwa konselor bersedia untuk membagikan pengalaman hidupnya pada siswa tunarungu. Sehingga mereka bisa menjadikan pengalaman konselor tersebut
sebagai bekal dalam kehidupan mereka. Dengan empati, konselor semakin mudah untuk memahami mereka, sehingga ada
kalanya bukan siswasiswi yang menghampiri konselor untuk konseling, tapi konselor yang menghampiri siswa. Sehingga mereka merasa bahwa mereka sungguh-sungguh diperhatikan.
Sikap mendukung merupakan pelengkap dari tahapan sebelumnya. Dengan mendukung mereka, maka secara tidak langsung konsep diri mereka terbentuk. Sehingga ketika suatu
waktu mereka dihadapkan pada masalah yang sama, maka mereka sudah mampu untuk menemukan jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Selalu menganggap mereka sebagai sahabat, menjadikan anak-anak yang memerlukan perlakuan khusus ini akan merasa sangat dihargai. Dengan rasa dihargai ini, mereka akan
lebih bersemangat untuk melakukan segala kegiatan mereka juga untuk menggapai setiap impian dan cita-cita mereka. Inilah rasa positif yang ditimbulkan dalam proses konseling.
Kemampuan kita untuk menerima orang lain yang memiliki kekurangan dan menganggap mereka juga bagian dari hidup kita merupakan kesetaraan dalam hidup.
Seharusnya kita menanamkan dalam diri kita masing-masing bahwa setiap kita adalah sama- sama berharga di hadapan Tuhan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, kegiatan komunikasi antarpribadi antara konselor dengan siswasiswi tunarungu di SLB – B Karya Murni Medan memiliki
peran yang sangat besar dalam membentuk konsep diri siswasiswi tunarungu di sekolah ini.
Universitas Sumatera Utara
IV.4. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwasanya informan peneliti sudah paham dengan yang dinamakan dengan konsep diri. Proses konseling
yang selama ini diadakan di SLB – B Karya Murni Medan, ternyata sangat membantu dalam pembentukan konsep diri siswasiswi tunarungu di sekolah ini. hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian berikut: 1.
Keterbukaan pada pengalaman Informan I, informan II dan informan III menyatakan bahwa mereka bersedia berbagi
dengan konselor pada saat konseling, bahkan saat dimana ada kesempatan untuk berbagi dengan konselor, mereka sangat antusias untuk mengikutinya. Hal ini
memudahkan konselor dalam melaksanakan tugasnya dan juga membantu siswasiswi tunarungu disekolah ini untuk membentuk konsep diri mereka.
2. Tidak bersikap defensif
Dalam melaksanakan program konseling, informan I, II dan III tidak bersikap defensif. Ketiga informan ini cenderung mau berbagi dan bercerita dengan konselor
terhadap masalah yang mereka alami. Baik mengenai masalah yang berhubungan dengan pendidikan, persahabatan, keluarga maupun mengenai masalah asmara yang
mereka alami. Kekurangan yang mereka miliki tak membuat mereka semakin menutup diri, malah sebaliknya mereka semakin terbuka. Hal ini memudahkan
mereka dalam melakukan segala aktivitasnya maupun dalam bersosialisasi dengan berbagai pihak.
3. Kesadaran yang cermat
Sebagai anak penyandang tunarungu, informan I, II dan III tidak merasa rendah diri. Mereka memiliki semangat yang tinggi dan mampu memotivasi diri mereka untuk
Universitas Sumatera Utara