Manurut pembagian tingkat kehilangan pembagian tingkat kehilangan pendengaran tersebut diatas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit mendengar, sedangkan kelompok 4 dan 5
tergolong tuli. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tunarungu adalah
individu yang mengalami gangguan pendengaran dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat frekuensi dan intensitas sehingga anak mengalami
kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu Mangunsong, 1998:68-69.
II.8.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketunarunguan
Somantri menjabarkan penyebab ketunarunguan terdiri atas beberapa faktor, yaitu: 1.
Pada saat sebelum dilahirkan a.
Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, dominant genes, receive gen dan lain-lain.
b. Sebab penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang penyakit, terutama
penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama, misal: rubella, moribilli dan lain-lain.
c. Sebab keracunan obat-obatan; pada saat kehamilan, ibu meminum obat-obatan
terlalu banyak, atau seorang pecandu alkohol.
2. Pada saat kelahiran
a. Pada saat melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu
dengan penyedotan. b.
Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya. 3.
Pada saat setelah kelahiran post natal a.
Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak meningitis atau infeksi umum seperti difteri, morbili dan lain-lain.
b. Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
c. Sebab kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian
dalam, misalnya jatuh Somantri, 2006:94.
II.8.3 Karakteristik Tunarungu
Menurut Telford dan Sawrey ketunarunguan tampak dari ciri-ciri sebagai berikut: a.
Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis b.
Kegagalan merespons apabila diajak bicara c.
Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi d.
Mengalami keterbelakangan di sekolah dalam Mangunsong, 1998:70.
Universitas Sumatera Utara
Ciri- ciri lain yang bisa dimiliki anak tunarungu ini adalah sebagai berikut, yaitu: a.
Sering tampak bengong atau melamun b.
Sering bersikap acuh tak acuh c.
Kadang bersifat agresif d.
Perkembangan sosialnya terbelakang e.
Keseimbangannya berkurang f.
Kepalanya sering miring g.
Sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya. Jika bicara sering membuat suara-suara tertentu.
h. Jika bicara sering menggunakan tangan
i. Jika bicara sering terlalu keras atau sebaliknya, sering monoton, tidak tepat dan
kadang-kadang menggunakan suara hidung. Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik anak
tunarungu yaitu ketidakmampuannya dalam memusatkan perhatian, mengalami kesulitan apabila diajak berbicara, apabila hendak berbicara sering menggunakan tangannya, sering
meminta lawan bicaranya untuk mengulang kalimat-kalimat yang tidak ia ketahui, sering melamun dan sikap acuh tak acuh, terkadang terlihat sangat agresif, perkembangan sosialnya
mengalami hambatan serta mengalami keterbelakangan di sekolah Nur’aeni, 1997:119.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Deskripsi Lokasi penelitian III.1.1 Sejarah Singkat SLB-B Karya Murni
Setelah perang dunia ke II, tentara Belanda datang ke Susteran Santo Yosef yang tinggal di Daendlesstrat sekarang Jl. Hayam Wuruk No. 11 Medan. Tentara itu membawa
dan menyerahkan Martha Ponikem, seorang putri penyandang cacat netra berumur 13 tahun. Tentara Belanda ini berpesan agar putri ini diberi pendidikan yang baik. Sr. Ildefonsa van
Watering menerima anak itu dengan senang hati. Namun setelah anak itu tinggal beberapa waktu di susteran, muncul suatu masalah dan
pertanyaan yang sebelumnya kurang dipikirkan lebih mendalam. Pendidikan atau tipe pengajaran apa dan bagaimana yang tepat yang akan diberikan kepada anak ini. Pertanyaan
ini seolah-olah mendapat jawaban ketika Sr. Ildefonsa mendapat kesempatan cuti di awal tahun 1950 ke negaranya di Belanda. Dalam rangka cuti, Sr. Ildefonsa berkeinginan
mengunjungi dan belajar bagaimana mendidik dan mengajar para penyandang cacat netra di salah satu institut yang namanya De Wijnberg di Grave. Sr. Ildefonsa berulang lagi ke tempat
ini untuk belajar dan sekaligus bagaimana orang-orang cacat khususnya anak tunanetra. Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Grave tempat institut anak tunanetra itu, Sr.
Ildefonsa bertemu dengan seorang gadis tunanetra bernama Trees Kim Lan Bong, yang sudah di didik selama 13 tahun. Trees Kim Lan Bong berasal dari Pulau Bangka - Indonesia. Dalam
pertemuannya itu Trees menyatakan keinginan dan kerinduannya untuk kembali ke Indonesia dan mau membantu teman-temannya penyandang cacat netra di Indonesia. Betapa bahagia
dan gembiranya hati Sr. Ildefonsa mendengar ungkapan Trees saat itu.
Universitas Sumatera Utara