40
3 Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal
yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. 4 Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video musik yang
mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan. 5 Program atau promo program yang mengandung mautan kekerasan secara
dominan dan jelas, dibatasi waktu penayangannya.
4
B. Pemberitaan Pers dan Kebebasan Pers Menurut Undang-Undang Penyiaran.
Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pendapat berekspresi dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. Dimana keberadaan pers dijamin oleh pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 amademen kedua bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pada masa Orde Baru kita mengenal Undang-Undang No. 11 tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang di ubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dimana setiap media cetak harus memiliki Surat Izin Terbit SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan dan harus pula
4
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia KPI, Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran.
41
dilengkapi dengan Surat Izin Cetak SIC dari Kodam. Diubah dengan Undang- Undang No. 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 tahun
1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1967. Dalam Undang-Undang tersebut dikeluarkan
Peraturan Menteri Penerangan tahun 1984 tentang Perizinan. Izin tersebut berupa Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP. Didalam Pasal 33 dinyatakan bahwa
SIUPP dapat dibatalkan jika oleh pemerintah yang bersangkutan dianggap telah melakukan pelanggaran.
5
Memasuki era reformasi, Undang-Undang tersebut diganti menjadi Undang- Undang Nomor : 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-Undang Nomor : 40
tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers diakui sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat, yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum
6
Pasal 2. Kemerdekaan pers dijamin sebagai Hak Asasi warga negara Pasal 4 ayat 1. Dimana pers nasional tidak lagi dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran Pasal 4 ayat 2. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi Pasal 4 ayat 3. Dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan didepan hukum, wartawan mempunyai hak tolak agar
wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak
5
www.dewankehormatanpwi.com .Diakses pada tanggal 7 Februari 2003.
6
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan
dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Penjelasan Atas Undang- Undang Nomor : 40 tahun 1999 tentang Pers.
42
menyebutkan identitas sumber informasi
7
Pasal 4 ayat 4. Di lain pihak, pers wajib melayani hak jawab Pasal 5 ayat 2, dan wajib pula melayani hak koreksi Pasal 5
3. Disamping itu, penjelasan Undang-Undang Pers pada bagian umum,
mempertegas posisi Undang-Undang Pers. Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, Undang-Undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Delik pers hanyalah diatur dalam pasal-pasal KUH Pidana.
8
Delik pers adalah buah pikiran atau perasaan yang isinya mengandung suatu tindakan yang diancam dengan pidana. Delik pers bukanlah
tindak pidana khusus tetapi merupakan kejahatan biasa.
9
Dengan demikian pemidanaan terhadap pelanggaran Undang-Undang Pers berpegang ketentuan KUHP.
Adapun bila terjadi delik pers, sistem pertanggungjawaban pidana menurut Pasal 12 Undang-Undang Pers berserta penjelasannya menganut Stair System sistem
bertangga, sebagai lawannya adalah Waterfall System sistem air terjuan. Stair System
biasa pula
disebut fiksi
pertanggungjawaban redaksi.
Artinya, pertanggungjawaban yang dipikul oleh pimpinan redaksi pemred adalah fiktif
karena yang melakukan perbuatan delik pers bukan dia, melainkan orang lain wartawan, tetapi ia harus bertanggungjawab. Implikasi atau konsekuensinya adalah,
7
Hak tolak dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan
keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Penjelasan Atas Undang- Undang Nomor : 40 tahun 1999 tentang Pers.
8
Andi Muis, Pencemaran Nama Baik dan Komunikasi Massa, dalam DICTUM, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, edisi 3, 2004 Jakarta : LeIP, 2004,h. 79.
9
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996,h. 376.
43
wartawan bawahan bisa bebas dari posisi sebagai terdakwa, sehingga Pasal 55-56 KUH Pidana tentang penyertaan dalam perbuatan pidana tidak berlaku.
10
Sebaliknya, dalam sistem Waterfall system, pemred dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain dan seterusnya hingga
kepada wartawan yang mungkin memang adalah pelaku delik pers penulis yang sebenarnya. Tetapi sistem air terjun bisa pula menjadi sistem bertangga apabila
pemred merangkap penanggung jawab atau ia tidak mau menyorongkan tanggung jawab kepada angota redaksi lain atau wartawan yang menulis berita yang melanggar
delik pidana tersebut. Jadi dalam sistem air terjun dapat pula berlaku fiksi pertanggungjwaban redaksi Responsible editor. Ketentuan inilah yang bisa
merupakan Lex Specialis terhadap Pasal 55-56 KUH Pidana.
11
Sistem air terjun dapat menyebabkan wartawan bawahan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terjebak dalam delik pers.
Sebaliknya sistem bertangga dapat menyebabkan wartawan bawahan kurang berhati- hati dalam menjalankan tugas karena apabila ia melakukan delik pers, maka bukan
dia yang wajib bertanggung jawab. Sistem ini juga mengecualikan pemberlakuaan Pasal 55-56 KUH Pidana Lex generalis. Tetapi, secara umum Lex specialis ini tidak
ada manfaatnya bagi Undang-Undang Pers untuk dijadikan Pasal-pasal delik pers. Baik Stair system maupun Waterfall system memerlukan dewan redaksi atau rapat-
10
Andi Muis, Pencemaran Nama Baik dan Komunikasi Massa, dalam DICTUM, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,….. h. 82.
11
Ibid., h. 82.
44
rapat redaksi untuk mengambil keputusan bersama apabila ada kejadian-kejadian penting yang perlu diberitakan News worthy events agar para wartawan tidak terlalu
bebas dan tidak terlalu berhati-hati dalam menjalankan tugas jurnalistik yang semuanya bisa berdampak buruk terhadap kebebasan pers.
Isi pemberitaan pers yang tak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi
sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Suharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika
seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun 1999,
Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi.
Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah yang terbit.
Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.
Menguatnya fenomena pers industri, yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi di bidang media massa. Fenomena pers industri, membuat media massa
memiliki dua wajah, sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Kedua sifat institusional ini membawa implikasi dalam orientasi keberadaannya. Sebagai institusi
bisnis media massa sama halnya dengan setiap korporasi, yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam inward looking, untuk kepentingan sendiri.
45
Sedang dalam menjalankan fungsi sebagai institusi sosial, berorientasi ke luar outward looking untuk kepentingan masyarakat. Pertentangan dua wajah ini
menjadi perdebatan yang kunjung usai, menandai keberadaan media dalam masyarakat. Sementara ke dalam pertentangan orientasi ini membawa implikasi
terhadap opersi kerja kaum jurnalis. Di satu pihak, dari dalam, jurnalis yang dituntut untuk menghasilkan informasi untuk memenuhi orientasi bisnis, pada pihak lain, dari
luar, ada harapan agar menjalankan fungsi sosial. Sehingga media dan jurnalis berada di antara dua dunia, sebagai pekerja dalam konteks institusi bisnis ataukah sebagai
pelaku profesi yang menjalankan fungsi sosial. Kebebasan pers karenanya tidak menjadi concern atau monopoli orang-orang
pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers bisa disalah gunakan oleh orang-orang pers itu sendiri. Yaitu ketika pers, baik pada arah
individu jurnalis atau pemilik media, berselingkuh dengan kekuasaan politik, ekonomi dan komunalismebudaya.
12
Kebebasan pers di suatu negara demokratis pada hakekatnya adalah bagian dari kebebasan bersuara bagi masyarakat. Keterbukaan untuk menyebarkan informasi
menjadi bagian yang sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Sehingga, upaya mendirikan media pers pada dasarnya merupakan hak mendasar bagi setiap
warga negara agar dapat mengumandangkan suaranya. Benar, hak setiap warga,
12
http:buntomijanto.wordpress.com20070717menyoal-kebebasan-pers-pers-bebas-dan- keblabasan-pers
.Diakses pada tanggal 9 Maret 2011.
46
bukan semata-mata hak wartawan dan pengelola media pers yang saat ini telah menggurita.
Kemampuan pers dalam menjalankan peranannya tersebut banyak bergantung kepada seberapa jauh kemerdekaan dari negara dan kekuatan-kekuatan lainnya
“direbut” oleh kalangan praktisi media. Hanya pers yang bebas yang dapat melayani masyarakat yang demokratis. Ia harus bebas mengkritik segala kebijakan, tingkah
laku para pejabat yang menyimpang dan pers harus mempunyai hak untuk mengetahui aktivitas pemerintahan yang sedang berjalan demi menjaga kepentingan
publik. Oleh karena itu, kebebasan pers pada dasarnya merupakan hak yang sifatnya korelatif, yaitu hak untuk terealisasinya hak lain, yakni; hak warga untuk mendapat
informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuatan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers
sendiri.
13
Begitu juga dengan “penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat,
adil, dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab”Pasal 2.
14
C. Pedoman Perilaku Penyiaran dalam Hukum Islam