Bank Indonesia Sebagai Lender of The Last Resort LoLR dalam

informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran. Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan potential shock yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan. Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort LoLR. Suatu instrumen pengawasan pada saat krisis, dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi risiko sistemik. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank, yang juga turut menjaga stabilitas keuangan. Fungsi LoLR Bank Indonesia ini yang akan dibahas lebih lanjut dalam subbab berikutnya.

3. Bank Indonesia Sebagai Lender of The Last Resort LoLR dalam

Pemberian Bantuan Likuiditas Berdasarkan Undang – Undang No. 23 Tahun 1999 Peran Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan mencakup : 224 a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif; b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan financial system surveillance; c. Melakukan koordinasi dengan memberikan rekomendasi kepada kebijakan stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada Pemerintah cq. Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal dan Otoritas Jasa Keuangan OJK; 224 Anwar Nasution, Op. Cit, hal 11 Universitas Sumatera Utara d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu safe and robust payment system antara lain melalui kegiatan design, operasional dan pengawasan sistem pembayaran; e. Menyediakan mekanisme lender of the last resort LoLR dalam upaya menangkal terjadinya kegagalan bank karena liquidity mismatch. Salah satu dari fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah fungsi Bank Indonesia sebagai Jaring Pengaman Sistem Keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort LoLR. Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. 225 Merupakan suatu kelaziman bagi bank sentral untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort LoLR seperti pada kutipan berikut ini : ”The discretionary provision of liquidity to a financial institution or the market as a whole by the central banking reaction to an adverse shock, which causes 225 Bank Indonesia, “Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan”, http:www.bi.go.idwebidPerbankanStabilitas+Sistem+KeuanganPeran+Bank+IndonesiaPeran+BI , Diakses Sabtu, 25 Juli 2009. Universitas Sumatera Utara an abnormal increase in demand for liquidity that cannot be met from an alternative source”. 226 LoLR diartikan sebagai pemberi pinjaman pada tempat yang terakhir, yaitu membayar atau memberikan talangan bailout dan memberikan keringanan sementara atas kebutuhan likuiditas bank pelaksana yang sehat selama masa krisis, yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Sentral. Pengertian fasilitas LoLR kemudian diperluas sebagai dukungan terhadap lembaga keuangan, khususnya bank dari kejatuhannya meskipun lembaga tersebut tidak sehat, agar tidak terjadi kejatuhan perbankan secara sistemik. Dukungan demikian mencerminkan betapa pentingya peran Bank Sentral sebagai lembaga LoLR di dalam menjaga dan melindungi Sistem Keuangan Sistem Pembayaran dalam suatu negara. 227 Pada dasarnya, di beberapa Negara yang sistem perbankan dan sistem hukumnya telah maju pesat, terdapat aturan pokok mengenai LoLR, baik pada situasi normal maupun pada situasi luar biasa. Pada waktu normal, bantuan LoLR harus didasarkan pada aturan yang lebih jelas dan mudah diterapkan. LoLR hanya dapat disediakan bagi lembaga –lembaga yang solven dengan jaminan yang dapat diterima dan dengan nilai yang cukup. Sementara itu, pada waktu krisis, LoLR merupakan 226 Dong H, Emergency Liquidity Support Facilities in Building Strong Banks, eds. Charles Enoch, David Marston and Michael Taylor International Monetary Fund, Page 110. Di dalam Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, BI dan BLBI….Op. Cit, hal 16. 227 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan....Op. Cit, hal 31. Universitas Sumatera Utara bagian kesatuan dari suatu strategi manajemen krisis yang di desain dengan baik. Dalam hal ini terdapat pengecualian risiko sistemik. 228 Peran BI sebagai lender of the last resort merupakan fungsi yang melekat hampir seluruh bank sentral di dunia. “Hampir dipunyai oleh seluruh bank sentral diseluruh dunia” maksudnya adalah tidak semua bank sentral menjadi the last resort dalam praktiknya. Karena pada kenyataannya ada bank sentral yang tidak pernah menggunakan peranannya yang satu ini. Federal Reserve Bank Sentral Amerika Serikat atau yang biasa disebut The Fed, adalah salah satu bank sentral yang belum pernah menggunakan peran lender of the last resort nya. Karena menurut Martin Meyer, peran yang satu ini telah digantikan barisan terdepan oleh Federal Deposit Insurance Corporation FDIC, yaitu semacam lembaga penjamin simpanan bagi seluruh nasabah yang mempunyai simpanan pada bank – bank di AS. 229 FDIC menjadi semacam filter dan penahan bagi The Fed, artinya jika pada suatu saat ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas sehingga diperkirakan akan mengancam kelangsungan dan jalannya perbankan, maka FDIC akan berperan sebagai penjamin simpanan nasabah bagi bank yang mengalami kondisi kesulitan likuiditas dan bahkan jika banknya sampai dilikuidasi. FDIC-lah yang menjamin 228 Kusumaningtuti. SS, Op. Cit, hal 101. 229 Martin Meyer, The Fed : The Inside Story of How The World’s Most Powerfull Institution Drives The Market, United States of America : The Free Press, 2001, hal 120-121. Di dalam Verry Iskandar, Op. Cit, hal 54. Universitas Sumatera Utara simpanan para nasabah sehingga tidak terjadi kepanikan apabila bank tempat nasabah tersebut menyimpan uangnya, karena telah dijamin Pemerintah. 230 Bank sentral sering dipersepsikan memiliki akses tak terbatas atas sumber keuangan karena mereka dapat mencetak uang. Persepsi ini jelas sangat sederhana. Memberikan pinjaman secara bebas dalam masa krisis dapat merusak rejim moneter. Selain itu, pemberian pinjaman yang besar pada lembaga yang insolven meningkatkan risiko kredit pada Bank Sentral yang dapat merumitkan manajemen moneter dan meningkatkan inflasi. Hal ini dikarenakan Bank Sentral pada umumnya memiliki kapital yang minim dan pendapatan yang kecil dan cenderung memoneterkan monetize kerugian. Dengan demikian, ketika skala bantuan menjadi besar, otoritas fiskal perlu untuk mengasuransikan risiko kredit yang di ambil Bank Sentral. Menteri keuangan harus ikut dalam pengambilan keputusan pemberian pinjaman kepada lembaga yang penting secara sistematis yang menghadapi risiko insolvensi. 231 Walaupun kerangka yang digunakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, terdapat suatu konsensus umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman darurat pada kondisi normal dan krisis. Hal itu dapat dilihat dari tabel berikut ini. 230 Loc. Cit. 231 Hasil Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB HAdori Rekan, Studi Keuangan....,Op. Cit, hal 42. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Pertimbangan Utama dalam Pemberian Pinjaman Darurat 1. Adanya prosedur, kewenangan dan akuntabilitas yang jelas; 2. Kerjasama yang erat dan pertukaran informasi antara Bank Sentral, Otoritas Pengawas jika terpisah dari bank sentral, Lembaga Penjamin Simpanan jika ada dan Departemen Keuangan; 3. Keputusan meminjamkan kepada lembaga yang berperan sistemik dan berisiko insolvensi atau tanpa agunan yang memadai harus diambil bersama otoritas moneter, pengawas dan fiskal; 4. Pinjaman kepada lembaga non – sistemik jika ada, hanya diberikan kepada lembaga yang benar – benar solven dan dengan agunan yang memadai dan memnuhi syarat; 5. Pemberian pinjaman secara sepat; 6. Pinjaman dalam bentuk mata uang domestik; 7. Pinjaman dengan suku bunga diatas suku bunga rata – rata pasar; 8. Pelihara kendali moneter dengan sterilisasi yang efektif; 9. Bank – bank peminjam harus diperiksa dan diawasi secara ketat dan dibatasi aktivitasnya; 10. Diberikan hanya untuk jangka pendek, sebaiknya tidak melebihi tiga hingga enam bulan; 11. Tetapkan strategi exit yang jelas. Aspek Tambahan untuk kondisi krisis 12. Keputusan memberi pinjaman harus menjadi bagian terintegrasi dari strategi manajemen krisis dan harus diambil bersama otoritas moneter, pengawas dan fiskal; 13. Pengumuman kepada publik mengenai komitmen pemberian pinjaman; 14. Proses bantuan darurat harus terbuka dan apabila pengungkapan tersebut tidak mengganggu stabilitas keuangan; 15. Syarat – syarat pembayaran dapat dilonggarkan untuk mengakomodasi implementasi strategi restrukturisasi bank yang sistemik. Sumber : Dong He, Emergency Liquidity Support Facilities, IMF Working Paper No.0079, 2000. Di dalam Sukarela Batunanggar, Jaring Pengaman Keuangan : Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, www.scribd.comdoc3932765Batunanggar-Jaring-Pengaman-Keuangan-Kajian- Literatur-dan-Prakteknya-di-Indonesia-256k-, Diakses Selasa, 3 Maret 2009. Terminologi LoLR banyak digunakan untuk menggaris bawahi berbagai fungsi yang dilakukan oleh Bank Sentral. Dalam hal ini terminologi tersebut digunakan dalam kaitan stabilitas keuangan daripada sebagai alat manajemen keuangan jangka pendek. Lender of the last resort dapat didefinisikan sebagai ”ketetapan kebijakan likuiditas bagi lembaga keuangan atau pasar secara keseluruhan oleh Bank Sentral sebagai reaksi atas kegoncangan luar biasa, yang Universitas Sumatera Utara menyebabkan peningkatan tidak normal dalam kebutuhan likuiditas yang tidak dapat dipenuhi dari suatu sumber alternatif.” 232 Pengertian LoLR dapat dipergunakan dengan cara yang berbeda – beda. LoLR dilakukan oleh Bank Sentral sebagai alat yang digunakan paling akhir untuk membantu likuiditas suatu bank atau perbankan secara keseluruhan, di luar lembaga keuangan lainnya sebagai reaksi terhadap adanya suatu kondisi tidak normal yang mengakibatkan tidak normalnya kenaikan permintaan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari berbagai sumber alternatif. Disamping itu, LoLR merupakan elemen dasar dari Bank Sentral yang baik dalam mengatasi kredit bermasalah distress lending dan merupakan elemen penting dalam pengelolaan krisis. 233 Sterilisasi bantuan likuiditas, yang diberikan melalui fasilitas pinjaman darurat, dapat membuat Bank Sentral memutar likuiditas dalam sistem perbankan dan memfasilitasi pengendalian moneter dan stabilitas pasar uang. Akan tetapi, keberhasilan sterilisasi bergantung pada ketersediaan beberapa instrumen yang penting dan kondisi makro ekonomi dan moneter. Dalam kasus BLBI, bantuan likuiditas tidak berdiri sendiri, sehingga berakibat pada lepasnya pengendalian moneter. Dengan berlanjutnya inflasi dan depresiasi mata uang, akibat lepasnya pengendalian moneter, berakibat pada turunnya kepercayaan pada sektor perbankan, yang pada akhirnya kembali meningkatkan kebutuhan bantuan likuiditas. Apabila 232 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan...Op. Cit, hal 42. 233 Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara siklus semacam ini tidak dapat dihentikan, kebijakan moneter yang sangat ekspansionis akan berakibat timbulnya inflasi yang tinggi, capital outflows, dan runtuhnya rupiah. Bank Sentral perlu memiliki instrumen – instrumen guna mengurangi tambahan bantuan likuiditas. Operasi bantuan darurat sangat berisiko, sekalipun pinjaman tersebut merupakan alat untuk menjembatani sementara waktu kebutuhan likuiditas sebuah lembaga yang kemudian, dalam beberapa kasus terbukti menjadi baik setelah bantuan tersebut, meskipun pada beberapa lembaga yang lain pada akhirnya menjadi buruk dan harus ditutup. Dalam kasus buruk ini, pinjaman darurat masih dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi publik dalam hal memberikan waktu bagi pihak otoritas untuk mengatur secara sistematis penutupan dan resolusi bagi lembaga yang jatuh. 234 Di masa krisis sistemik, Bank Sentral sebagai lender of the last resort harus berusaha meyakinkan public bahwa akan bertindak tegas dan membatasi ruang lingkup gangguan keuangan. Juga dimungkinkan untuk memberikan bantuan kepada semua bank yang kekurangan likuiditas dalam stadium awal. Dalam situasi krisis yang luas, kriteria penentuan mana lembaga yang secara sistemik penting dapat diperlonggar dibanding masa normal. Bantuan likuiditas darurat biasanya diperlukan ketika jaminan penuh atas deposito tidak diberikan oleh Pemerintah. Pada mulanya, jaminan penuh atas deposit tersebut tidak cukup meyakinkan sehingga bank runs berlanjut kecuali jika bantuan likuiditas tersedia dalam jumlah yang besar. 234 Ibid, hal 43. Universitas Sumatera Utara TIDAK ADA BANTUAN LIKUIDITAS STOP KLIRING BANK TUTUP Tidak ada Jaminan terhadap Simpanan Masyarakat KREDIT Lebih sedikit daripada KREDIT AKTUAL 1998 Fungsi Intermediasi Sistem Perbankan menjadi berkurang DANA MASYARAKAT TIDAK PRODUKTIF Karena minimum tidak dapat dikembalikan dalam jangka pendek JUMLAH OUTPUT Menjadi lebih sedikit daripada JUMLAH OUTPUT AKTUAL 1998 Sumber : BI dan BLBI : Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum, hal 29. Gambar 1. Skema Keterkaitan antara Bantuan Likuiditas dan Perekonomian Sebagaimana praktik yang berlaku umum di negara – negara lain, kriteria dan pengukuran dampak sistemik tidak ditetapkan secara eksplisit dan dimuka ex ante dalam suatu ketentuan perundang – undangan, karena : 235 235 Naskah Akademik Rancangan Undang – Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, http:www.jpsk.infopublishdetail.php?module=det_naskahid=11, Diakses, Jum’at 31 Juli 2009. Universitas Sumatera Utara a. Berpotensi menimbulkan moral hazard Apabila kriteria dampak sistemik ditetapkan secara eksplisit, maka terdapat potensi bank atau lembaga keuangan bukan bank dapat memposisikan sebagai lembaga yang berdampak sistemik. Oleh karena itu bank LKBB cenderung kurang memperhatikan risiko excessive risk taking. Hal tersebut dilakukan karena pemilik atau pengurus lembaga keuangan memperkirakan lembaga keuangan dimaksud akan diselamatkan oleh Pemerintah.; b. Pengukuran dampak sistemik bersifat situasional Skala atau dampak sistemik disebabkan oleh berbagai situasi, baik yang bersifat internal dari lembaga keuangan maupun bersifat eksternal seperti krisis keuangan global, serangan teroris dan bencana alam. Oleh karena itu penetapan dampak sistemik sulit untuk ditetapkan di awal. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Dengan demikian, pengukuran dampak sistemik memerlukan professional judgement. Bantuan likuiditas hendaknya diberikan hanya kepada bank yang tidak liquid tetapi solvent. Perbedaan antara bank yang solvent dan yang tidak solvent banyak dikaji dalam literatur akademik. Liquid memiliki konotasi bahwa suatu bank mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya sedangkan solvent adalah kemampuan suatu bank untuk memenuhi kewajiban jangka menengah dan panjang. Membedakan suatu bank dalam keadaan illiquid dan insolvent sehingga layak untuk diberi bantuan likuiditas, pada banyak kasus, hal ini termasuk grey area yang menimbulkan kontroversi. Dalam praktik, suatu Bank Sentral bagaimanapun tidak selalu dapat membedakannya terutama ketika mengambil keputusan pemberian Universitas Sumatera Utara bantuan likuiditas yang harus dilakukan segera dalam jangka waktu yang sangat pendek. 236 Ketika sebagian besar Sistem Perbankan insolven, sumber untuk bantuan solvabilitas harus berasal dari Pemerintah dan sektor swasta, bukan dari Bank Sentral, dan berapapun biaya publik yang timbul harus diketahui secara jelas. Pemerintah dapat memutuskan bahwa Bank Sentral yang harus memberikan bantuan hingga strategi restrukturisasi berjalan, dan mungkin kelanjutannya, tetapi pinjaman tersebut, normalnya secara eksplisit dijamin oleh Pemerintah. Dibutuhkan transparansi, bahwa jika pinjaman tersebut tidak dibayar oleh lembaga penjamin, Pemerintah wajib mengkompensasi kerugian Bank Sentral. Salah satu opsi kompensasi kerugian bagi Bank Sentral adalah untuk tidak mentransfer keuntungan kepada Pemerintah sampai semua kerugian teratasi. Akan tetapi, Bank Sentral tidak biasanya dalam posisis mencari keuntungan, setelah membuat non performing loan 237 untuk bank insolven. Biasanya klaim oleh Bank 236 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan...Op. Cit, hal 33. 237 Salah satu penyebab dari besarnya non performing loan adalah besarnya pinjaman komersial luar negeri Indonesia. Besarnya pinjaman dalam mata uang asing tersebut, baik yang dilakukan oleh bank, lembaga keuangan ataupun nasabah bank telah menyebabkan sistem keuangan secara keseluruhan rentan terhadap gejolak nilai tukar. Penurunan rupiah yang luar biasa terhadap valuta asing utama menyebabkan pinjaman dalam mata uang asing juga meningkat nilainya secara luar biasa sesuai dengan penurunan tersebut. Peningkatan jumlah kewajiban tersebut berdampak pada kemampuan membayar kewajiban yang semakin menurun, bahkan dalam banyak kasus mengakibatkan ketidakmampuan membayar dan meningkatkan besaran NPL. Akan tetapi, besarnya bantuan likuiditas di sisi lain juga menjadi penyebab dari besarnya NPL pada masa – masa tertentu. Hal ini terjadi karena kelebihan likuiditas selain berpotensi untuk menciptakan inflasi juga diindikasikan digunakan untuk melakukan spekulasi terhadap nilai tukar valas dengan rupiah. Akibatnya Bank Sentral perlu mengeetatkan kembali likuiditas yang disalurkannya melalui operasi pasar terbuka. Pengetatan likuiditas ini menimbulkan konsekuensi meningkatnya tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga menyebabkan beban yang sangat tinggi untuk nasabah sehingga NPL meroket. Hal ini tentu sangat Universitas Sumatera Utara Sentral pada bank insolven dikonversikan ke dalam ekuitas pada bank yang dipegang oleh Pemerintah dan Pemerintah akan sebagai pertukaran, menerbitkan sekuritas dalam neraca Bank Sentral. Sangatlah penting bahwa sekuritas tersebut diterbitkan sesuai persyaratan pasar dan cukup marketable bagi Bank Sentral untuk di rekapitalisasi. Fungsi LoLR tersebut yang di amanatkan Undang – Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun 1968 Pasal 32 angka 3 yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank – bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Selain itu juga disebutkan dalam Penjelasan Umum angka III huruf b Undang – Undang tersebut bahwa Bank Sentral sebagai ”bankers bank” dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank – bank untuk tujuan peningkatan produksi dan lain – lain sesuai dengan program Pemerintah, sedangkan sebagai LoLR Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank – bank untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Hal inilah yang menjustifikasi Bank Indonesia memberikan BLBI, kenyataan bahwa kemudian persoalan penyimpangan BLBI mencuat kemudian dilakukan penyempurnaan Undang – Undang Bank Indonesia dengan merumuskan Undang – Undang No. 23 Tahun 1999 dengan amandemen pertama Undang – Undang No. 3 Tahun 2004. Antisipasi imbas krisis global 2008, dilakukan oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 tanggal 13 mempengaruhi kinerja sistem perbankan. Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan....Op. Cit, hal 25-26. Universitas Sumatera Utara Oktober 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang BI 99. Pasal yang diamandemen adalah Pasal 11 yang merupakan dasar hukum implementasi fungsi LoLR tersebut. Perpu ini kemudian ditetapkan menjadi Undang – Undang No. 6 Tahun 2009. Para peneliti kenamaan seperti Diamond 1984, Diamond dan Dybig 1983. Kalomiris and Khan 1991, Diamond and Rajan 2001, melakukan kajian secara mendalam dan menyimpulkan bahwa lender of the last resort diperlukan oleh sistem perbankan di setiap negara mengingat ciri kerentanan yang dimiliki bank serta dampaknya yang sangat luas terhadap sistem keuangan dan perekonomian. 238 Landasan teoritis doktrin lender of the last resort pertama sekali disusun oleh Henry Thornton pada tahun 1802. Thornton mengemukakan elemen-elemen dasar praktik bank sentral yang baik dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman darurat. Kemudian Walter Bagehot pada tahun 1873, yang lebih dikenal sebagai peletak teori LoLR modern mengembangkan karya Thornton meskipun sama sekali tidak merujuk namanya. Bagehot mengemukakan tiga prinsip pemberian LoLR yakni : 239 a Bank sentral sebagai lender of the last resort harus mencegah terjadinya kebangkrutan bank yang sehat akibat kekurangan likuiditas; b Bank sentral harus memberikan pinjaman dengan bebas tetapi mengenakan finalti; c Bank sentral harus mengakomodir siapa saja yang memiliki jaminan collateral dengan nilai yang berkualitas tinggi; d Bank sentral harus menyatakan kesiapannya untuk memberikan pinjaman. 238 Naskah Akademik Rancangan Undang – Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, http:www.jpsk.infopublishdetail.php?module=det_naskahid=11, Diakses Jum’at 31 Juli 2009 239 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah…..Op. Cit, hal 106-107 Universitas Sumatera Utara Disamping empat pilar tersebut, ada dua prinsip operasional khusus yang juga harus diterapkan. Pertama, pemberian LoLR oleh bank sentral bersifat diskresi bukan mandatory. Kedua, pertimbangan bank sentral bukan hanya kesulitan likuiditas yang dihadapi individual bank, akan tetapi juga mempertimbangkan dampak tularan kesulitan likuiditas tersebut kepada bank lain. 240 Ada tiga tujuan utama pemberian bantuan kepada bank oleh Pemerintah berdasarkan pengalaman di negara – negara maju yaitu : 241 a. Apabila dampak systemic cukup serius sehingga dipercaya akan mengakibatkan kebangkrutan bank misalnya kebangkrutan core bank – bank besar Pemerintah kemudian turun tangan memberikan jaminan terhadap seluruh kreditur. Jaminan tersebut diberikan sebelum terjadinya kebangkrutan untuk menjamin atau meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem perbankan; b. Bank yang dilikuidasi jarang mampu membayar klaim nasabah penyimpan dan kreditur lainnya dan apabila akhirnya tetap dibayar hampir tidak pernah secara penuh; c. Apabila bank bermasalah dibantu oleh sistem perbankan atau mendapat bantuan likuiditas dari Bank Sentral dan kemudian di ambil alih, nasabah penyimpan dan kreditur lainnya tidak mengalami kerugian. Apabila bank menerima bantuan yang sangat besar dari bank sentral maka biasanya diberikan beberapa bentuk jaminan atau dukungan dari Pemerintah untuk mengurangi mitigate kerugian. Meskipun, perbankan swasta memberikan bantuan kepada bank bermasalah biasanya hal tersebut dilakukan atas permintaan Pemerintah sehingga merupakan suatu bentuk jaminan Pemerintah. Sebelum krisis bantuan semacam ini diberikan kepada perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat mismatch pada pengelolaan likuiditas mereka, misalnya akibat kalah kliring. Pada masa krisis, bantuan likuiditas diberikan kepada perbankan yang mengalami saldo giro negatif, yang dalam 240 Rosa Maria Lastra, Crises Management and Lender of Last Resort, dalam Rosa M. Lastra ed, Bank Finance and Bank Insolvency Law in Economies in Transition, The Hague : Kluwer Law International, 1999, hal 23. Di dalam Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah…..Loc. Cit. 241 Loc. Cit Universitas Sumatera Utara perkembangannya meluas menjadi beberapa fasilitas. Pemanfaatan bantuan likuiditas pertama untuk kasus Indonesia adalah dengan memberikan izin bank – bank umum untuk ikut kliring sebagai suatu respon sistemik untuk mengatasi krisis. Ketika krisis tidak dapat dicegah maka Bank Sentral sebagai LoLR memiliki kewajiban untuk menanggulanginya dengan risiko biaya minimum. Di dalam menghadapi kegagalan suatu lembaga keuangan baik secara individual maupun dalam kelompok lembaga yang sangat rentan diperlukan strategi yang lebih baik. Intervensi dalam bentuk penutupan bank, merger atau dalam bentuk rehabilitasi lain membutuhkan keputusan dan kepastian. Peran Bank Sentral dalam LoLR harus dibedakan antara krisis yang terjadi pada sistem yang lebih luas systemic dan krisis terjadi hanya pada bank secara individual. Pada kasus dimana krisis terjadi secara sistemik maka tidak ada satupun kecuali bank sentral yang dapat memberikan bantuan likuiditas dengan cepat sehingga kepercayaan yang berkaitan dengan adanya kejutan pada permintaan likuiditas ini dapat dipulihkan kembali. Dalam konteks ini fungsi LoLR tidak bertentangan dengan kebijakan moneter. Dan tentunya bahwa dalam bantuan likuiditas yang diberikan haruslah dijamin dengan agunan collateral yang memadai dan dikenakan denda penalty yang tinggi. 242 Tekanan likuiditas tidak hanya dihadapi oleh bank yang tidak sehat, namun juga oleh bank yang sehat. Tekanan yang dihadapi oleh bank tidak hanya dari sisi kewajiban membayar kepada deposan, tetapi juga dari sisi tersendat dan terhentinya 242 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, BI dan BLBI....Op.Cit, hal 45. Universitas Sumatera Utara pembayaran oleh debitur yang diikuti dengan merosotnya kolektibilitas debitur dari klasifikasi lancar menjadi kurang lancar, diragukan atau macet. Kondisi tersebut mengakibatkan semua parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kesehatan bank menjadi kacau balau dan sulit digunakan sebagai dasar penelitian yang objektif seperti di masa normal. Dengan perkataan lain, dalam periode ini penilaian tingkat kesehatan terhadap bank praktis tidak dapat dilakukan, karena semua faktor penilaian bank berubah dengan cepat diluar kemampuan pengendalian bank, sementara itu Pemerintah dan Bank Indonesia lebih memusatkan perhatian pada upaya penyelamatan Sistem Perbankan dan upaya penyelamatan sistem perbankan dari kemandegan. Kemungkinan bank berada pada kondisi tidak solven dapat terjadi baik pada situasi ekonomi normal maupun situasi krisis. Secara umum, dalam situasi lingkungan yang panik dan tidak stabil, keberadaan pinjaman darurat tidak diragukan. Dalam situasi ini Bank Sentral harus mengungkapkan kesediaan untuk memberi pinjaman secara cepat, dan dukungannya harus tampak jelas. Keputusan untuk memberikan dukungan haruslah merupakan bagian dari strategi manajemen krisis secara umum, dan keputusan tersebut harus dibuat secara bersama – sama antara Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan pengawasan dengan Pemerintah. Terms pembayarannya dapat dilonggarkan untuk mengakomodasi implementasi dari strategi restrukturisasi bank. Bantuan likuiditas darurat dalam kondisi ini harus secara tegas Universitas Sumatera Utara dijamin oleh Pemerintah, dan kerugian yang kemungkinan timbul harus dapat dikompensasi melalui anggaran belanja. 243 Dalam masa krisis likuiditas, Bank Sentral seharusnya bebas memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum masa krisis kepada peminjam yang memiliki jaminan surat berharga dengan nilai yang minimal setara antara harga sebelum dan sesudah krisis serta dapat diterima oleh Bank Sentral, karena standar kualitas pada barang jaminan selama krisis sangat penting untuk dilakukan, seperti jaminan sekuritas surat berharga atau aset finansial lainnya yang marketable. Dengan demikian langkah ini akan meningkatkan likuiditas pada neraca bank, tetapi secara keseluruhan tidak akan merubah nilai asset. Bantuan likuiditas merupakan bantuan pinjaman yang bersifat darurat. Pada umumnya pelaksanaan fungsi pinjaman darurat terjadi apabila solvabilitas dari bank yang meminta pinjaman diragukan. Dalam kondisi normal, hal yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan apakah diberi atau ditolak lebih banyak disebabkan karena di dalam jangka waktu pendek keputusan harus sudah diambil, di mana dalam pengambil keputusan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan diantara dua sisi yang sulit, yaitu mengontrol kemungkinan munculnya moral hazard dan mencegah terjadinya ketidakstabilan sistematis. 244 Menciptakan potensi terjadinya moral hazard dengan memberikan insentif kepada bank untuk mengharapkan menerima bantuan likuiditas liquidity support 243 Loc. Cit. 244 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Studi Keuangan....Op. Cit, hal 41. Universitas Sumatera Utara untuk tingkat risiko yang lebih besar. Konsolidasi dan konglomerasi telah menimbulkan persoalan di dalam praktik LoLR ini, karena dengan konsolidasi dan konglomerasi menghasilkan lembaga keuangan yang lebih besar sehingga dapat memungkinkan dukunan LoLR tersebut semakin meningkat. Dampaknya, semakin banyak lembaga keuangan yang berpendapat bahwa begitu besar untuk jatuh too big to fail, peningkatan ukuran perusahaan akan meningkatkan kemungkinan mengalami kegagalan sehingga akan memiliki dampak yang mengganggu Sistem Keuangan. 245 Moral hazard yang terjadi pada saat penyaluran BLBI berupa penyimpangan yang terjadi pada saat penyaluran dan penggunaan BLBI yang dapat menjadi precedent bagi bank – bank lain untuk mendapat fasilitas BLBI dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Pada prinsipnya, bantuan likuiditas dan tambahan modal dalam bentuk rekapitalisasi dapat menimbulkan ekspektasi atau pengharapan bahwa lembaga keuangan bank akan terjamin dari semua risiko termasuk risiko kredit dan risiko pasar meskipun tidak dikelola dengan baik mismanagement. Karena itu setiap bentuk bantuan likuiditas dan tambahan modal dalam rekapitalisasi perbankan tanpa perkecualian rawan terhadap timbulnya moral hazard. 246 245 Ibid, hal 32. 246 Ibid, hal 40. Universitas Sumatera Utara

B. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam Pemberian Bantuan

Likuiditas untuk mengatasi Krisis Perbankan

1. Peran Pemerintah dan Bank Indonesia dalam Kebijaksanaan BLBI