Upaya Penyelesaian BLBI a.

Jadi dapat dikatakan bahwa bank – bank yang kalah kliring kemudian tidak dapat memenuhi rekening giro di Bank Indonesia dan bersaldo debet negatif, telah masuk sebagai bank yang memenuhi kriteria penerima BLBI yaitu dengan diperbolehkan tetap ikut serta dalam kliring yang merupakan salah satu fasilitas BLBI.

6. Upaya Penyelesaian BLBI a.

Penyelesaian BLBI Secara Yuridis 1. Pengalihan Hak Tagih BLBI kepada Pemerintah BPPN Pada tanggal 6 Februari 1999, Pemerintah melalui Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia telah menandatangani persetujuan bersama tentang pengalihan dan penyerahan hak tagih BLBI dari Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh BPPN. Dalam pengambilalihan hak tagih cessie terhadap BLBI dari Bank Indonesia disepakati bahwa posisi BLBI adalah per tanggal 29 Januari 1999. Pemerintah menerbitkan surat utang sebagai tanda pengalihan hak tagih atas BLBI tersebut. 201 BLBI yang dialihkan melalui cessie tersebut adalah meliputi BLBI pada 48 bank terdiri dari 33 bank dalam penyehatan yang meliputi 10 Bank Beku Operasional BBO, 5 Bank Take Over BTO, 18 Bank Dalam Penyehatan BDP yang pada 201 Surat Utang Pemerintah itu masing – masing No. SU – 001 MK1998 tanggal 25 September 1998 senilai Rp. 80 Triliun dan Surat Utang No. SU – 003 MK 1999 tanggal 8 Februari 1999 sebesar Rp. 64 Triliun dari BLBI per tanggal 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144,536 Triliun. Verry Iskandar, Op. Cit, hal 93. Universitas Sumatera Utara tanggal 13 Maret 1999 ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha BBKU, dan ditambah dengan 16 bank di luar BDP, yaitu Bank Dalam Likuidasi BDL pada tanggal 1 November 1997. Penerbitan Surat Utang Pemerintah dalam pengambilalihan hak tagih BLBI guna memberikan kepastian hukum dan aspek legalitas dipayungi dengan Keppres No. 55 Tahun 1998 Tentang Penjaminan dalam Negeri dalam bentuk Hutang. Dalam pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa : ”Untuk kepentingan penyehatan perbankan nasional yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN Pemerintah menerbitkan Surat Utang.” Pasal 3 angka 1 menyebutkan : ”Penerimaan surat utang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 diperuntukkan bagi pembayaran dana yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia terhadap bank – bank yang dialihkan kepada BPPN.” Secara yuridis formal, maka perjanjian hak menagih BLBI telah beralih dari Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam hal ini BPPN dengan telah dilakukannya cessie atas hak tagih BLBI. Dengan demikian segala sesuatu yang berkaitan dengan risiko BLBI menjadi beralih dari Bank Indonesia kepada Pemerintah dan BPPN. Universitas Sumatera Utara Tabel 2. Bank Dalam Penyehatan Kronologi Penyehatan Perbankan 1 April 1998 – 13 Maret 1999 1 April 1998 21 Agustus 1998 13 maret 1999 BBO Masuk BPPN BBO BTO Likuidasi BTO Rekapitulasi 7 Bank 7 Bank 3 Bank 3 Bank 38 Bank 7 Bank 9 Bank Bank Surya BDNI BDNI Bank Tiara Bank Aken Bank Mashil Utama Bank Duta Bank Lippo Bank Kredit Asia Bank Tiara BUN Bank Danamon Bank Sahid GP Bank Arya Pandu Artha BNN BII Bank Centris BUN Bank Modern Bank FDFCI Bank PSP Bank Central Dagang Bank Rsi Bank Bali Bank Deka Bank Danamon BCA Bank Nomura Int’l Bank Bahari Bank Tamara Bukopin Bank Subentra Bank Modern Bank Dana Asia Bank Metropolitan Bank Pos Bank Niaga Bank Hokindo Bank FDFCI Bank Budi Int’l Bank Ciputra Bank Jaya Bank Universal Bank Pelita Bank Exim Bank Yana Bank Alfa Bank Rama Bank Prima Express Bank Lautan Berlian Bank Kharisma Bank Artha Media Bank Danyhutama Bank Dewa Rutji Bank Patriot Bank Orient Bank Bumi Raya Utama Bank Papan Sejahtera Bank Baja Int’l Bank Pesona Kriyadana Bank Sanho Bank Tata Bank Dagang Industri Bank Intan Bank Sino Bank ASPAC Bank Indotrade Bank Sewu Int’l Bank Ficorinvest Bank Hastin Int’l Bank Uppindo Bank Indonesia Raua Bank Bepede Indonesia Bank Umum Servita Bank Dharmala Sumber : Bank Indonesia Keterangan : Bank Exim pada perkembangannya keluar dari BPPN dan kemudian dilebur bersama BBD, Bapindo, BDN menjadi Bank Mandiri. BCA di BTO-kan kemudian oleh Pemerintah setelah menyusul terjadi rush. Universitas Sumatera Utara 2. Upaya Penyelesaian BLBI oleh BPPN Dalam upaya mengembalikan uang negara yang telah disalurkan kepada Bank Dalam Penyehatan BDP, maka BPPN memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan itu diatur dalam Undang – Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 37 A angka 3; Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 Tentang Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Nasabah pada Bank Umum; dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1998 Tentang Pendirian BPPN. Tugas BPPN diantaranya ialah : menyehatkan bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; menyelesaikan aset bank secara fisik maupun kewajiban debitur; mengupayakan pengembalian uang negara melalui penyelesaian aset, restrukturisasi perusahaan dan perbankan; melakukan penjualan dan pengambilalihan aset. Tugas dan kewenangan yang ada pada BPPN memang sangat besar, karena dibutuhkan kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi dalam upaya pengembalian uang negara. Dalam upaya pemulihan perbankan lembaga yang memiliki kesamaan fungsi seperti BPPN ada di negara lain, seperti KAMCO di Korea Selatan dan Dana Harta di Malaysia. Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya BPPN telah melakukan tindakan yuridis terhadap upaya pengembalian BLBI, yaitu : 202 i. Master Settlement and Aquisition Agreement MSAA; MSAA merupakan suatu perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan jalan penyerahan aset. MSAA ini diberlakukan bagi pemegang saham pengendali PSP 202 Hasil Riset Bank Indonesia Satgas BLBI dengan HLB Hadori Rekan, Mengurai Benang Kusut BLBI I...Op. CitI, hal 99. Universitas Sumatera Utara bank yang masih memiliki aset yang cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah. MSAA dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. MSAA terhadap PSP bank yang berstatus BBOBBKU yang memuat penyelesaian BLBI dan kredit yang melanggar BMPK; b. MSAA terhadap PSP bank yang berstatus BTO yang memuat penyelesaian kredit yang melangar BMPK saja, karena proses penyelesaian BLBI kepada BTO dilakukan oleh Pemerintah melalui proses rekapitalisasi perbankan dengan cara mengkonversikan tagihan BLBI menjadi penyertaan saham sementara. ii. Master Refinancing Note Issuance Agreement Master Recognition Agreement MRNIA MRA; MRNIA MRA diberlakukan terhadap debitur atau PSP bank yang asetnya tidak mencukupi setelah dilakukan penilaian untuk memenuhi kewajibannya kepada Pemerintah. Dalam MRNIA MRA, PSP bank mengakui bahwa penyelesaian kewajibannya belum selesai dan tuntas. Karena walaupun telah melakukan pembayaran tetapi aset yang diserahkan belum mencukupi untuk membayar kewajibannya, sehingga untuk mencukupinya maka ditambah dengan dimasukkannya personal guarantee dan corporate guarantee untuk menjamin pelunasan dengan batas waktu tertentu yang telah ditentukan. iii. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara PMS; Pada tanggal 26 Maret 1999 melalui Surat Keputusan Bersama SKB Nomor 117 KMK. 0171999 dan No. 31 15 KEP GBI, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan keputusan bersama mengenai rekapitalisasi bank – bank dengan status BTO. Untuk menindaklanjuti keputusan bersama tersebut pada tanggal 29 Mei 1999, Pemerintah melalui BPPN merekapitalisasi bank – bank berstatus BTO. Mereka adalah BCA, Bank Tiara, Bank Danamon dan Bank PDFCI. Rekapitalisasi dilakukan dengan jalan mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara. Konversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara mempunyai arti sebagai berikut : i Pemerintah mengakui pengalihan BLBI baik jumlah maupun syarat – syaratnya; ii Posisi Pemerintah berubah dari kreditur menjadi pemegang saham; iiiPerubahan posisi Pemerintah itu berarti BLBI lunas karena terjadi suatu restrukturisasi berdasarkan pembaruan perjanjian yang menyebabkan hapusnya perjanjian lama; Universitas Sumatera Utara iv Hapusnya perjanjian lama dalam rangka BLBI membuat semua jaminan yang melekat pada BLBI hapus demi hukum. Jumlah BLBI untuk bank – bank BTO yang telah dikonversi menjadi penyertaan modal oleh Pemerintah melalui BPPN pada tanggal 29 Mei 1999 adalah sebesar Rp. 54,6 Triliun. iv. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Pengendali PKPS; Mekanisme penyelesaian BLBI melalui MSAA ternyata mengundang banyak komenter negatif. Untuk menyempurnakannya kemudian muncul penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali, melalui penandatanganan Akta Pengakuan Utang APU. PKPS menempuh jalur yang mirip MSAA. Bedanya dalam PKPS, Pemegang Saham Pengendali tetap bertanggung jawab bila penjualan aset yang diagunkan dijaminkan belum mencukupi hutang BLBI – nya. Tanggung jawab itu dilakukan dengan cara memberikan personal guarantee PG dan atau corporate guarantee CG. Jurus PKPS berhasil merampungkan BLBI pada Bank – Bank Beku Kegiatan Usaha sebesar Rp. 3,3 Triliun. Dengan demikian, realisasi penyelesaian BLBI melalui mekanisme rekapitalisasi, MSAA dan MRNIA MRA serta Akta Pengakuan Utang adalah sebesar Rp. 111,5 Triliun, yang rinciannya sebagai berikut : i Melalui rekapitalisasi atau penyertaan modal sementara pada Bank – Bank Take Over, yakni BCA, Tiara Asia, Danamon dan PDFCI nilainya sebesar Rp. 54,6 Triliun; ii Melalui MSAA pada Bank Beku Operasi, yakni BDNI, Surya, Hokindo, Modern dan BUN, nilainya sebesar Rp. 53,6 Triliun; iiiAkta Pengakuan Utang pada Bank Beku Kegiatan Usaha nilainya sebesar Rp. 3.3 Triliun. Sehingga jumlah BLBI yang telah diselesaikan telah mencapai 77, 2 dari total BLBI sebesar Rp. 144,5 Triliun. Berbagai langkah menunjukkan bahwa Pemerintah telah melakukan tindakan kepemilikan atas BLBI. Dengan adanya tindakan kepemilikan itu, bisa dikatakan BLBI menjadi lunas. Konsekuensinya, jaminan yang melekat pada BLBI secara hukum menjadi lepas. Dengan demikian BLBI menjadi tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan jumlah BLBI. 3. Penyelesaian BLBI oleh Aparat Penegak Hukum Dalam penyaluran BLBI diindikasikan dan patut diduga terjadi penyimpangan sebagaimana yang telah dilansir oleh BPK RI dalam Audit Investigasinya. Hal ini Universitas Sumatera Utara wajib segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan. Penyimpangan itu dapat terjadi pada level kebijakan oleh Pemerintah, pemberian BLBI oleh Bank Indonesia maupun pengalokasian dana BLBI oleh Bank Penerima BLBI. Semua itu harus dituntaskan dengan penyelesaian yang menyeluruh dengan mengedepankan supremasi hukum. Jika didapat bukti yang meyakinkan Kejaksaan dapat membawa para konglomerat debitor yang mempunyai utang tetapi tidak mau melunasi utangnya ke meja hijau. Kebijakan Presiden dalam penyelesaian kasus BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002 Tentang Release and Discharge dapat diartikan sebagai bentuk intervensi Presiden terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Langkah ini dinilai kompromi dan diskriminatif, menunjukkan kesan bahwa Pemerintah lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya Secara legal Presiden dapat melakukan ”intervensi” dalam penyelesaian kasus BLBI dengan cara memberikan grasi. Kebijakan ini dilakukan tidak terhadap proses hukum yang sedang berjalan masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan atau penuntutan namun setelah proses hukumnya selesai dilaksanakan telah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Namun pemberian grasi ini dilakukan dengan mensyaratkan dua hal, Pertama, proses hukum harus tetap berjalan. Para debitur BLBI harus menjalani proses hukum hingga ke pengadilan dan telah mempunyai putusan berkekuatan hukum tetap inkracht. Kedua, para debitur BLBI tersebut menyesal dan mengakui perbuatannya serta mengembalikan seluruh kerugian negara membayar seluruh utangnya kepada negara ditambah dengan bunga yang telah dinikmatinya. Alternatif Universitas Sumatera Utara lainnya adalah dengan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi KPK untuk menangani perkara korupsi BLBI sesuai Undang – undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Penyelesaian BLBI Secara Politis

1. Penyelesaian BLBI di Dewan Perwakilan Rakyat Dalam rangka membantu penyelesaian masalah BLBI antara Pemerintah dan Bank Indonesia, DPR RI melakukan kajian mendalam, hal ini ditunjukkan dengan membentuk sebuah Panitia Kerja Panja BLBI yang berasal dari Komisi IX DPR RI. Maksud dan tujuan pembentukan Panja BLBI tersebut adalah untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah BLBI. Hal ini dapat menjadi cerminan akuntabilitas Bank Indonesia sebagai lembaga publik yang kebijakannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pula. 203 2. Penyelesaian BLBI antara Pemerintah dan Bank Indonesia Pada awalnya antara Pemerintah dan Bank Indonesia seolah saling lepas tangan mengenai masalah BLBI, hal ini berkait erat dengan beban tanggung jawab BLBI. Pihak atau lembaga mana yang berhak dan wajib menanggung BLBI, Pemerintah sebagai penentu kebijakan ataukah Bank Indonesia sebagai pemberi dana BLBI. Pemerintah, berpendapat bahwa pemberian BLBI merupakan wewenang Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, sebaliknya Bank Indonesia bersikukuh bahwa hal itu 203 Ibid, hal 108. Universitas Sumatera Utara merupakan kebijakan Pemerintah dimana Bank Indonesia pada saat itu merupakan bagian dari Pemerintah. Jika keadaan seperti ini berlangsung terus, maka penyelesaian BLBI akan menemui jalan buntu. Karena itu seharusnya Pemerintah dan Bank Indonesia menyadari untuk bersama – sama menanggung beban atas BLBI yang telah dikeluarkan, percuma jika hanya saling melempar tanggung jawab, karena pada hakekatnya Bank Indonesia dan Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan ibaratnya seperti organ lambung bagian kiri dan kanan yang berada dalam satu tubuh yaitu negara Indonesia. BLBI bagaimana pun juga harus diterima sebagai sebuah pelajaran yang amat berharga. Pilihannya pada saat itu memang sangat sulit dan dilematis bagi siapapun otoritas moneter dan Pemerintah pada waktu itu. Pembagian beban burden sharing atas BLBI ditanggung secara bersama – sama oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Tujuan dari pembagian beban tersebut adalah untuk mengurangi beban pada APBN, mengupayakan penyelesaian aset assets recovery oleh BPPN. Dan yang lebih penting adalah hal ini dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi otoritas moneter di masa yang akan datang agar tidak mengulangi kejadian yang sama.

B. Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP

1. Pengertian FPJP