UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3 Tanaman Nangka
Artocarpus heterophyllus Lamk 2.3.1
Deskripsi Tanaman Nangka
Nangka termasuk ke dalam suku Moraceae, nama ilmiahnya adalah Artocarpus heterophyllus. Dalam bahasa Inggris, nangka dikenal dengan nama
jackfruit. Tanaman nangka dapat tumbuh di daerah beriklim subtropis. Tanaman nangka berukuran sedang, ketinggiannya berkisar 8 – 25 meter dengan diameter
30 – 80 cm. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai yang dikenal sebagai lateks. Kulit batang nangka mengandung 3,3 tanin
Elevitch Manner, 2006. Klasifikasi tanaman nangka adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae Divisi
: Magnoliophyta Sub Divisi
: Angiospermae Kelas
: Magnoliopsida Ordo
: Urticales Famili
: Moraceae Genus
: Artocarpus Spesies
: Artocarpus heterophyllus Lamk
[Sumber : Elevitch Manner, 2006]
Gambar 2.3 Bagian Batang Artocarpus heterophyllus Lamk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.2 Kandungan Kimia
Batang nangka mengandung artokarpin, norartokarpin, kuwanon C, albanin A, kudraflavon B, kudraflavon C, artokarpesin, 6-prenilapigenin,
brosimon I, dan 3-prenil luteolin, furanolflavon, artokarpfuranol, dihidromorin, steppogenin, norartokarpetin, artokarpanon, sikloartokarpin, sikloartokarpesin,
artokarpetin, karpakromen, isoartokarpesin, dan sianomaklurin Lim, 2012. Tanaman nangka mengandung senyawa potensial dalam menghambat
tirosinase, yaitu polifenol. Dari penelitian diketahui bahwa senyawa yang menjadi penghambat tirosinase adalah senyawa golongan flavonoid pada beberapa
tanaman Artocarpus Supriyanti, 1996. Flavonoid, salah satu dari polifenol, memiliki peran besar dalam aktivitas tirosinase karena mengandung gugus fenol
dan cincin pyren. Struktur dari flavonoid secara prinsip sesuai sebagai substrat dan mampu berkompetisi sehingga dapat menjadi penghambat tirosinase.
Golongan flavonoid yang terdapat dalam kulit batang nangka yaitu artocarpetin 5,2′,4′-trihydroxy-7-methoxyflavone, norartocarpetin 5,7,2’,4’-
tetrahydroxyflavone, dihydromorin
5,7,2′,4′-tetrahydroxyflavanol, dan
streppogenin 5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavanone Chang, 2009.
[Sumber : Chang, 2009]
Gambar 2.4 Rumus Bangun Senyawa Aktif Kulit Batang Nangka
Ekstrak kulit batang nangka diekstraksi dengan metode maserasi untuk memperoleh senyawa flavonoid. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia
dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar Ditjen POM, 2000. Maserasi adalah proses penyarian
simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi
adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi untuk ekstrak cairan, serbuk
halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat
tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil Tiwari, 2011. Senyawa flavonoid umumnya diekstraksi dengan
menggunakan pelarut etanol Harborne, 1987. Ekstrak etanol kulit batang nangka berwarna cokelat kehitaman dengan bau harum kulit batang nangka. Ekstrak kulit
batang nangka bersifat asam lemah karena kandungan polifenol dan flavonoid. pH ekstrak kulit batang nangka yaitu 6,23.
2.4
Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat
Kadar fenolat total ekstrak etanol 96 kulit batang nangka Artocarpus heterophyllus pada penelitian ini diukur dengan menggunakan prinsip Folin
Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode Folin Ciocalteau digunakan dalam menetapkan kadar polifenol dalam ekstrak etanol 96 kulit
batang nangka karena metode ini bersifat spesifik terhadap senyawa fenolik Singleton dan Rossi, 1965.
Pereaksi Folin Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam hetero
polifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin Folin, dkk., 1944.
\
Gambar 2.5 Reaksi Folin Ciocalteu dengan Senyawa Fenol
Ion Fenolat Senyawa Fenolat
+ Senyawa Fenol
H
3
PO
4
MoO
3 13
++ + Pereaksi Folin-
Ciocalteu H
3
PMo
13
O
40
+ atau H
2
PMo
13
O
40
Kompleks molybdenum-blue
Kuinon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Reagen Folin-Ciocalteau digunakan karena senyawa golongan fenol dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer. Prinsip pengukuran kandungan fenolat dengan reagen Folin Ciocalteau adalah terbentuknya senyawa
kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang maksimum. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat atau gugus hidroksi fenolik mereduksi asam
heteropoli fosfomolibdat-fosfotungstat yang terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum tungsten. Senyawa fenolik
bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk menciptakan
kondisi basa digunakan Na
2
CO
3
15. Warna biru yang terbentuk akan semakin tua, setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk; artinya semakin besar
konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli fosfomolibdat-fosfotungstat menjadi kompleks
molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin tua Apsari dan Susanti, 2011.
Penentuan kadar fenolat total digunakan standar asam galat. Hal ini dikarenakan asam galat lebih stabil untuk membuat standar. Selain itu asam galat
juga merupakan senyawa fenolat dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat Nurhayati, Kusoro Siadi dan Harjono, 2012. Asam galat merupakan turunan dari
asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana Singleton dan Rossi, 1965. Asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hampir semua
tanaman, kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil Vermerris dan Nicholson, 2006.
2.5 Niosom
Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan non-ionik yang memiliki struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan
yang terhidrasi. Bentuk vesikel niosom merupakan struktur bilayer multilamellar atau unilamellar yang tersusun dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang
berfungsi sebagai bahan penstabil Kapoor, dkk., 2011.