UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahan aktif yang digunakan dalam pembuatan niosom pada penelitian ini adalah ekstrak etanol 96 kulit batang nangka yang berperan sebagai agen
depigmentasi. Uji polifenol dilakukan untuk menghitung kadar senyawa polifenol dalam ekstrak etanol 96 kulit batang nangka. Pengujian kandungan senyawa
fenolat total merupakan dasar aktivitas antihiperpigmentasi, karena diketahui bahwa senyawa fenolat berperan dalam mencegah terjadinya proses pigmentasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ninin K. J. tahun 2011, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 96 kulit batang nangka merupakan inhibitor
kompetitif dari tirosinase dan mekanisme penghambatan terjadi karena senyawa aktif dari ekstrak kulit batang nangka memiliki struktur yang mirip dengan L-
DOPA sebagai substrat dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase. Ekstrak etanol 96 kulit batang nangka memiliki sifat sebagai
inhibitor tirosinase dengan nilai IC
50
sebesar 142,37 ppm. Sediaan krim yang mengandung ekstrak etanol 96 kulit batang nangka 1,5 dan 2 memiliki
aktivitas penghambatan tirosinase berturut-turut sebesar 10,64 28,29 ppm dan 11,34 30,31 ppm. Besarnya nilai persen penghambatan bergantung pada
konsentrasi ekstrak yang digunakan. Dari nilai IC
50
, ekstrak etanol 96 kulit batang nangka memiliki aktivitas penghambatan tirosinase yang cukup tinggi,
artinya IC
50
didapatkan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm Moon, Yim, Song, Lee, dan Hyun, 2010.
4.3 Preparasi Niosom
Niosom yang dihasilkan berbentuk suspensi berwarna coklat muda agak kental dengan bau khas ekstrak kulit batang nangka. Pada suspensi niosom F1
warna yang terbentuk lebih gelap dari F2, dan pada suspensi niosom F2 warna yang terbentuk lebih gelap dari pada F3. Suspensi niosom F2 yang terbentuk
memiliki konsistensi yang lebih kental dari F1, dan suspensi niosom F3 yang terbentuk memiliki konsistensi yang lebih kental dari F2. Hal ini disebabkan
karena perbedaan konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam formula niosom. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi
surfaktan dapat menghasilkan niosom dengan warna yang lebih terang dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsistensi yang lebih kental. Adapun hasil suspensi niosom yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.2 Hasil Pembuatan Formula Niosom
Formula yang digunakan terdiri dari bahan aktif ekstrak etanol 96 kulit batang nangka, kolesterol sebagai bahan penstabil, span 60 sebagai surfaktan
nonionik, metanol p.a dan kloroform p.a sebagai pelarut organik, dan PBS phosphate buffer saline pH 7,3 sebagai fase air. Pada pembuatan niosom ini
digunakan kolesterol untuk mencegah kebocoran dari vesikel karena kolesterol mengepak barisan molekul lipid pada lapisan lipid ganda vesikel Rahman, Ismail,
dan Wahyudin, 2011. Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan dan bentuk yang tepat pada saat preparasi niosom Chandu, 2012. Pelarut yang
digunakan untuk larutan surfaktan adalah kloroform p.a karena dapat melarutkan sorbitan monostearat dan kolesterol Reynold, 1982, serta mudah menguap
Anonim, 1979 sehingga mempercepat penyalutan. Niosom dibentuk dari surfaktan nonionik dan kolesterol. Pada penelitian
ini dipilih surfaktan nonionik dari jenis sorbitan ester, yaitu sorbitan monostearat span 60 dengan berbagai konsentrasi. Surfaktan nonionik memiliki peran
penting dalam pembentukan niosom, memiliki bagian kepala hidrofilik dan bagian ekor hidrofobik Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, 2012. Kombinasi
sorbitan monostearat dan kolesterol dipilih dalam formula karena mudah didapat dan dapat membentuk niosom pada beberapa penelitian yang telah dipublikasikan
Blazek, 2001; Hu, 2000; Manconi dkk., 2002. Kombinasi surfaktan yang sering digunakan sebagai bahan niosom yang terdapat di literatur terdiri dari sorbitan
monostearat span 60 dan kolesterol yang dapat menghasilkan niosom yang stabil
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Blazek-Rhodes, 2001. Niosom yang dibentuk dari kombinasi surfaktan span 60 dan kolesterol memiliki efisiensi penjerapan yang lebih baik dibandingkan jenis
surfaktan lainnya Pando, Gutierrez, Coca, dan Pazos, 2013. Metode yang digunakan dalam pembuatan niosom pada penelitian ini
adalah hidrasi lapis tipis. Metode hidrasi lapis tipis adalah metode yang paling sering digunakan karena lebih mudah. Prinsip metode ini terdiri dari dua tahap
yaitu dengan menguapkan pelarut organik sehingga terbentuk lapisan tipis disekitar labu yang kemudian dihidrasi dengan fase air berupa larutan dapar fosfat
pH 7,3. Proses penguapan pelarut yang dilakukan terhadap masing-masing formula niosom menggunakan vacuum rotary evaporator suhu 60°C dengan
kecepatan 180 rpm. Pembuatan vesikel secara spontan terjadi ketika lapis tipis dihidrasi dengan PBS phosphate buffer saline pH 7,3. Hidrasi ini dilakukan
untuk mengembangkan vesikel dan mengoptimalkan penjerapan obat. Hidrasi dilakukan dengan menggunakan fase air yang dapat melarutkan obat. Proses
hidrasi yang dilakukan terhadap masing-masing formula niosom menggunakan rotary evaporator suhu 60°C dengan kecepatan 20 rpm. Pengelupasan lapisan
tipis lipid pada proses hidrasi dengan larutan PBS dibantu dengan menggunakan glass beads. Glass beads merupakan bola-bola kaca berukuran kecil yang tidak
merusak labu alas bulat. Glass beads dapat membantu mengangkat kerak lapisan lipid yang menempel pada dinding labu secara mekanik. Setelah seluruh lapisan
lipid terangkat pada dinding labu, kecepatan rotary evaporator dapat dinaikkan menjadi 180 rpm sehingga lapisan tipis dapat terdispersi sempurna dalam larutan
dapar fosfat pH 7,3 dan membentuk suspensi niosom yang homogen. Vesikel yang mengembang terjadi karena masuknya cairan ke dalamnya, sehingga dengan
adanya obat terlarut pada fase air, diharapkan obat akan ikut masuk ke dalam vesikel. Penjerapan senyawa polifenol ke dalam niosom berlangsung mulai saat
pembentukan lapis tipis, di mana senyawa polifenol akan terdisposisi pada bagian polar atau non polar molekul surfaktan. Proses hidrasi juga dapat meningkatkan
penjerapan senyawa polifenol pada niosom. Besarnya konsentrasi obat yang terjerap tergantung dari kemampuan obat untuk terdisposisi pada bagian polar dan
nonpolar molekul lipid yang membentuk vesikel dan kemampuannya berdifusi ke vesikel saat berlangsungnya hidrasi Rahman, Ismail, dan Wahyudin, 2011.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Analisis Ukuran Partikel
Analisis ukuran partikel dilakukan terhadap formula niosom yang telah dihasilkan dengan menggunakan alat particle size analyzer. Data ukuran partikel
dan indeks polidispersitas masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Tabel 4.4. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi
surfaktan span 60 yang ditambahkan kedalam formula niosom akan meningkatkan ukuran partikelnya.
Tabel 4.4 Data Ukuran Partikel
Formula Ukuran
partikel nm PDI
Polydispersity Index
F1 155,62
0,1380 F2
172,29 0,2850
F3 216,30
0,0940
Gambar 4.3 Diagram Perbandingan ukuran partikel F1, F2, dan F3
Hasil penentuan pengaruh variasi konsentrasi surfaktan terhadap ukuran partikel dalam formula niosom yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, peningkatan konsentrasi surfaktan yang
10 20
30 40
50 60
70 80
F1 F2
F3
U k
u ran
P ar
ti k
el n
m
Formula Niosom
F1 F2
F3