UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Analisis Ukuran Partikel
Analisis ukuran partikel dilakukan terhadap formula niosom yang telah dihasilkan dengan menggunakan alat particle size analyzer. Data ukuran partikel
dan indeks polidispersitas masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Tabel 4.4. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi
surfaktan span 60 yang ditambahkan kedalam formula niosom akan meningkatkan ukuran partikelnya.
Tabel 4.4 Data Ukuran Partikel
Formula Ukuran
partikel nm PDI
Polydispersity Index
F1 155,62
0,1380 F2
172,29 0,2850
F3 216,30
0,0940
Gambar 4.3 Diagram Perbandingan ukuran partikel F1, F2, dan F3
Hasil penentuan pengaruh variasi konsentrasi surfaktan terhadap ukuran partikel dalam formula niosom yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, peningkatan konsentrasi surfaktan yang
10 20
30 40
50 60
70 80
F1 F2
F3
U k
u ran
P ar
ti k
el n
m
Formula Niosom
F1 F2
F3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan dalam formulasi niosom dapat meningkatkan ukuran partikel. Hal ini disebabkan karena semakin banyak surfaktan yang bergabung membentuk vesikel
multilamelar sehingga ukuran partikel niosom bertambah besar. Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat menyebabkan permukaan partikel menjadi lebih kasar
dan membuat dinding vesikel lebih tebal. Konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi cenderung membuat vesikel lebih tahan terhadap gangguan lingkungan
disekitarnya Wathoni, Sriwidodo, dan Insani, 2013. Setiap kumpulan partikel biasanya disebut polidispersi. Semakin tinggi
nilai polidispersitas menunjukkan distribusi ukuran partikel yang tidak seragam, hal ini disebabkan karena nanopartikel tersebut saling beragregasi membentuk
kumpulan-kumpulan saling berkelompok sehingga terdispersi tidak seragam polidispers, dan menyebabkan kestabilan dari nanopartikel berkurang.
Nanopartikel dapat digolongkan ke dalam kelompok yang bersifat monodispers jika diperoleh nilai indeks polidispersitas 0,7. Indeks polidispersitas adalah
parameter untuk menentukan homogenitas dari nanopartikel. Nidhin, Indumathy, Sreeram, dan Nair, 2008.
Hasil indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom tersebut menunjukkan bahwa niosom yang mengandung ekstrak etanol 96 kulit batang
nangka yang terbentuk bersifat monodispers dengan nilai polidispersitas yang cukup rendah. Indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom
mengindikasikan partikel yang terbentuk terdispersi seragam sehingga memiliki kecenderungan stabil secara fisik, tidak terjadi agregasi pada partikel yang
menyebabkan perbesaran ukuran partikel. Hasil ini penting dalam mengurangi kendala penyimpanan nanopartikel yang cenderung tidak stabil akibat beragregasi.
Diharapkan dengan indeks polidispersitas yang rendah dan ukuran partikel yang stabil akan tetap mempertahankan ukuran partikel niosom Sari, 2012. Adapun
grafik distribusi ukuran masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5 Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan
Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan larutan standar asam galat dengan konsentrasi 40 µg mL dengan larutan blanko PBS
phosphate buffer saline. Penggunaan larutan PBS phosphate buffer saline sebagai blanko disebabkan karena PBS phosphate buffer saline merupakan fase
air yang digunakan pada saat proses hidrasi niosom. Hasil pengukuran menunjukkan puncak serapan pada panjang gelombang 756 nm.
Menurut literatur, panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur kadar polifenol dengan menggunakan metode Folin Ciocalteau adalah 760 nm
Ratnayani, 2012. Perbedaan hasil panjang gelombang yang didapatkan dengan literatur dapat dipengaruhi oleh proses preparasi dan kondisi lingkungan. Hasil
tersebut tidak berbeda secara signifikan sehingga panjang gelombang tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan kadar total senyawa fenolat yang
tidak terjerap dalam niosom. Adapun hasil pengukuran panjang gelombang maksimum asam galat dalam PBS phosphate buffer saline dapat dilihat pada
Lampiran 12.
Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS
y = 0,011x + 0,005 R = 0,9999
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7 0,8
0,9 1
20 40
60 80
100
A b
sor b
an si
Konsentrasi µgml
Absorbansi Linear Absorbansi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selanjutnya, dilakukan penetapan kurva kalibrasi yang bertujuan untuk mendapatkan persamaan regresi yang akan digunakan untuk menghitung kadar
senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom. Penentuan kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom menggunakan larutan standar asam galat
dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 µg mL dengan blanko PBS phosphate buffer saline. Masing-masing seri konsentrasi larutan di vortex
terlebih dahulu sebelum diinkubasi agar larutan bercampur homogen. Hasil dari pengukuran absorbansi sejumlah larutan standar asam galat pada panjang
gelombang 756 nm diperoleh persamaan regresi y = 0,011x + 0,005 dengan r = 0,9999. Nilai ini menunjukkan bahwa absorbansi dengan konsentrasi memberikan
hubungan yang linier, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan kadar obat yang tidak terjerap dalam niosom. Adapun kurva kalibrasi asam galat dalam PBS
dapat dilihat pada Gambar 4.5. Metode yang digunakan untuk memisahkan antara obat bebas dan obat
yang terjerap niosom adalah dengan menggunakan teknik ultrasentrifugasi. Prinsipnya adalah pemisahan obat yang tidak terjerap dari suspensi niosom.
Vesikel niosom yang telah terbentuk disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C. Supernatan hasil sentrifugasi merupakan kadar senyawa
fenolat yang tidak terjerap dan dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer. Jika jumlah obat yang terdeteksi pada supernatan sama dengan
jumlah obat yang ditambahkan ke dalam formula maka dapat diasumsikan bahwa tidak ada obat yang terjerap, tetapi jika berbeda diperkirakan telah terbentuk
niosom yang dapat membawa obat Blazek-Rhodes, 2001. Kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom ditentukan
dengan memasukkan absorbansi supernatan pada kurva kalibrasi. Pengukuran dilakukan secara duplo dan dihitung rata-rata kadar yang dihasilkan dari dua kali
pengukuran masing-masing formula niosom. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan berbeda
dengan jumlah senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam formula, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses hidrasi dapat menghasilkan niosom yang dapat
menjerap senyawa aktif. Perhitungan kadar total senyawa fenolat yang tidak terjerap pada masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 14.