39
3.3 Revolusi Sosial di Sumatera Timur
Revolusi Sosial atau sering juga disebut dengan “Peristiwa Malam Berdarah” merupakan peristiwa pembunuhan terhadap raja-raja dan kaum bangsawan di
Sumatera Timur. Saat Belanda masih menjajah Indonesia, bangsa Belanda memperkenalkan konsesi tanah. Maka para sultan bertugas untuk mengutip pajak dari
masyarakat dan mereka akan mendapat imbalan dari Belanda. Semakin banyak pajak yang diperoleh dari rakyat maka semakin besar pula imbalan yang akan diterimanya.
Raja yang menikmati ketenangan hidup semakin memperdalam jurang pemisah dengan rakyat jelata yang menderita dibawah pendudukan Belanda. Menjelang
berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942, banyak terdapat daerah yang berdiri sendiri berkuasa penuh atas tanah dan seisinya. Daerah tersebut dikuasai oleh sultan-
sultan yang berkuasa secara mutlak. Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan para sultan ini bersikap
ragu-ragu dalam menerima kemerdekaan Republik Indonesia dan mengharapkan datangnya kembali Belanda sehingga kaum feodal kurang berpartisipasi dalam
perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, meletuslah Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret 1946 yang dikarenakan oleh kaum feodal yang tidak mau
bergabung dengan kaum revolusioner, bahkan mereka menciptakan lingkungannya sendiri dengan mengikuti gaya hidup orang-
orang Eropa yang “exclusive” dan tidak mau bergabung dengan kaum pergerakan yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya
memperjuangkan kemerdekaan. Disamping itu juga mereka mendapat perlakuan
Universitas Sumatera Utara
40
khusus dari sekutu, dengan harapan dengan adanya perlakuan istimewa ini, akan ada pertikaian atau kecemburuan antar suku yang ada di Medan dan akan mengakibatkan
perpecahan. Sewaktu meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur pergolakan terjadi dan
keluarga sultan ada yang ditawan bahkan ada yang dibunuh. Peristiwa ini merupakan satu bentuk revolusi sosial yang dilakukan oleh kelompok radikal yang berada di
dalam tubuh Persatuan Perjuangan PP yang mencakup pimpinan Partai Sosialis Indonesia PSI, Partai Nasional Indonesia PNI, dan Partai Komunis Indonesia
PKI, disamping Laskar Barisan Harimau Liar BHL dan tentara Sabibillah.
31
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Maret 1946, disamping untuk melenyapkan raja- raja serta kaum bangsawan revolusi sosial ini juga bertujuan untuk menguasai harta
kekuasaan yang luar biasa yang dimiliki oleh raja-raja dan kaum bangsawan yang mereka peroleh dari keistimewaan yang diberikan oleh Kolonial Belanda. Dengan
alasan tersebut mereka melakukan serangkaian perampokan, penculikan, dan pembunuhan di hampir seluruh daerah Sumatera Timur seperti Karo, Simalungun,
Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tanjung Balai dan lain-lain. Di Tanah Karo, dengan alasan menghadiri rapat PP di kota Berastagi, para
pemuda laskar-laskar tersebut menangkap dan mengasingkan para raja Urung dan Sibayak yang hadir dalam rapat tersebut, sebagian diasingkan ke Aceh sebanyak 17
31
A.B. Lapian, dkk. Terminologi Sejarah 1945-1950 1950-1959, Jakarta: Cv. Defit Prima Karya Jakarta, 1996, hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
41
orang. Di daerah Simalungun anggota BHL yang sebagian merupakan pemuda Simalungun pada tanggal 3 Maret malam harinya, mereka menangkap raja Pane serta
keluarganya lalu merampas harta bendanya. Raja dan keluarganya ini lalu dibawa ke suatu tempat yang sedang diadakan pesta, kemudian mereka dibunuh. Selanjutnya
para pemuda tersebut terus melancarkan aksinya dengan menangkap raja-raja Simalungun lainnya, membunuh mereka dan merampas harta bendanya.
Di tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, dengan menyerahkan ribuan orang bersenjata, pada tanggal 3 Maret mereka mengepung istana kotanya. Tidak luput pula
para aristokrat antara lain Teuku Musa, pejabat pendukung kerajaan yang beristrikan orang Belanda serta keluarganya, semuanya dibunuh. Keesokan harinya semua
bangsawan Melayu dibunuh, hingga dalm beberapa hari terdapat sekitar 140 orang yang dibunuh di kota itu. Demikian juga di Labuhan Batu yang raja-rajanya terkenal
sangat kejam dalam menindas rakyat, juga tidak terlepas dari sasaran pemuda. Pada tanggal 3 Maret istana Sultan di Tanjung Pasir dikepung juga, diserbu, dan semua
penghuninya ditawan. Keesokan harinya Sultan tersebut bersama dengan puteranya ditemukan sedang sekarat kerena tusukan tombak di suatu lokasi pekuburan Cina.
Sementara di daerah itu juga, Wakil Pemerintah Negara Republik Indonesia, Tengku Hasan dan tiga orang pembantunya pada tengah malam disegap dan dibawa ke
Universitas Sumatera Utara
42
pinggir sungai untuk dibunuh. Tengku Hasan dan seorang pembantunya dipenggal kepalanya dan dua orang pembantu lainnya melarikan diri.
32
Demikianlah kejadian itu menyebar keseluruh wilayah Sumatera Timur termasuk kesultanan Langkat yang megah. Salah satu korban Revolusi Sosial dari
daerah Kesultanan Langkat adalah salah satu sasterawan asal Sumatera Timur yaitu, Amir Hamzah. Amir Hamzah dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 dari kalangan
bangsawan di Tanjungpura, Langkat. Ia adalah putera Tengku Bendahara Paduka Raja Kerajaan Langkat. Di pertengahan Maret 1946, Amir Hamzah mati dibunuh.
Pada usia 35 tahun, beliau dipancung oleh sekelompok pemuda dalam “revolusi sosial” Langkat.
33
Sementara di Kesultananan Deli Revolusi berlangsung aman. Revolusi yang terjadi disini tidak sekejam dibanding daerah lain, dikarenakan anggota PADI serta
benteng pertahanan pasukan Inggris di Medan cukup kuat untuk melindungi keluarga Sultan dari amukan massa. Sultan Deli meminta perlindungan dari Sekutu karena
pada masa Kolonial Belanda hubungan antara Belanda dengan Melayu itu sangat dekat, sehingga pada masa perang kemerdekaan mereka berharap Belanda dapat
berkuasa kembali di Nusantara untuk mendapatkan kembali keistimewaan mereka yang pernah diberikan oleh Belanda.
32
Ibid., hlm. 43-45.
33
Abrar Yusra, Amir Hamzah 1911-1946, Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastera H.B. Jassin, 1996, hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
43
Revolusi Sosial yang dimulai pada tanggal 3 Maret berlangsung selama hampir pada keseluruhan bulan Maret. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya berakhir
setelah pada tanggal 11 April 1946, PP memutuskan untuk beridiri teguh di belakang pemerintah dan menyerahkan masalah penangkapan. Usaha penyelesaian revolusi
sosial tersebut tidak luput dari peranan para pemuda yang bergabung dalam organisasi-organisasi pemuda yang kuat di tiap daerah seperti NAPINDO, PESINDO,
dan sebagainya.
3.4 Agresi Militer Belanda I