Seni Dan Politik: Peranan Seniman Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Di Sumatera Timur (1945-1949)
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Muhammad TWH (Tok Wan Haria) Umur : 84 tahun
Pekerjaan :Wartawan Senior
Alamat :Jl. Sei Alas No. 6 Darussalam Medan.
2. Nama : Sumbat Sembiring Umur : 87 tahun
Pekerjaan : Ketua DPD LVRI SUMUT Alamat : Jl. Jend. Gatot Subroto KM 7,5
3. Nama : Wara Sinuhaji Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jl. Amaliun Medan.
4. Nama : Rusmia Pasaribu Umur : 86 tahun
Pekerjaan : pegawai Swasta
(2)
5. Nama : Erwin Tobing Umur : 87 tahun
Pekerjaan : Dokter Spesialis THT
Alamat : Jl. Dr. Soemarsono No.8 Medan
6. Nama : Victor Hutabarat Umur : 61 tahun
(3)
LAMPIRAN
Lampiran 1: Naskah perjanjian Linggarjati yang dilangggar oleh Belanda dan memunculkan serangan Agresi Militer Belanda I.
(4)
Lampiran 2 : Peta Sumatera Timur Sumber : www.lenteratimur.com
(5)
Lampiran 3 : Monumen Lily Suheyri, yang berada di tengah-tengah kota Medan, namun keadaan nya sudah tidak terawat lagi.
(6)
Lampiran 4 : Patung Djaga Depari yang terletak di tengah kota Medan tepatnya di ujung jalan Jamin ginting.
(7)
Lampiran 6 : Lukisan “persiapan gerillya oleh S. Sudjojono
Lampiran 7 : Rakyat Mengungsi, karya S.Sudjojono
(8)
Lampiran 9 : Upacara di lapangan Merdeka
(9)
Lampiran 12 : Foto bersama Victor Hutabarat, penyanyi legendaris yang juga pernah menyanyikan lagu “Butet” dan “Mariam Tomong”.
(10)
Lampiran 13 : Foto bersama Sumbat Sembiring (kanan), salah seorang pejuang kemerdekaan yang ikut bertempur di front pertempuran tahun 1945 di daerah tanah
karo.
(11)
DAFTAR PUSTAKA Arsip
ANRI, Kementrian Penerangan, No. 771/Um., Yogjakarta, 6 Oktober 1949.
Buku
A.B. Lapian, dkk., Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959, Jakarta: CV. Defit Prima Karya Jakarta, 1996.
Adeng, dkk., Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Jawa Barat, Bandung: Jurnal Penelitian BKSNT Bandung, 2011.
Arifin Pulungan, Kisah Dari Pedalaman, Medan: Diancorporation, 1974.
AR. Surbakti, Letkol, Perang Kemerdekaan di Karo Area, Medan: Yayasan pro patria Medan, tanpa tahun terbit.
Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.
DPD Seni Budaya Gakari-Golongan Karya TK.I Sumatera Utara, Dinamika Seni
Budaya Sumatera Utara, Medan: DPD Seni Budaya Gakari-Golongan Karya
TK.I Sumatera Utara, 1981.
Gintings, Djamin, Bukit Kadir, Medan: C.V. UMUM, 1968.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.
J. Pelzer, Karl, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria
di Sumatera Timur 1863-1974, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Kahin, George Mc. Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran, 1980.
Muhammad TWH, Drs. H, Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara, Medan:Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI,1992.
(12)
______Sumatera Utara Bergelora, Medan: Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan
Kemerdekaan RI,1999.
______Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan
Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004.
______Sebelum dan Sesudah Proklamasi, Medan: Yayasan Pelesterian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2005.
Panglima Komando Daerah Militer II/BB, Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera
(1945-1950), Medan: Dinas Sejarah Kodam Bukit Barisan, 1984.
Perangin-angin, Robert, Djaga Depari Komponis Dari Tanah Karo, Medan: Karo Press, 2009.
_____Djamin Gintings Maha Putra Utama, Medan: TB. MONORA SIMA KARITAMA, 1996.
Pulungan, B. Ar, dkk., Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan
Republik Indonesia di Sumatera Utara, Jilid I (1945-1949), Medan:
Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1995.
Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Saputera, Edi, Simalungun Jogja-Nya Sumatera, Medan: U.P. Bina Sartika 45, 1978. Sinar, Tuanku Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera
Timur, Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006.
Situmorang, B.P., Sejarah Sastera Indonesia Jilid I, Flores: Penerbit Nusa Indah, 1980.
Sjahnan, H.R., Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah KODAM-II/BB, 1982.
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Jogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001.
Syarif Tanjung, Mhd, Tetesan Air Mata dan Darah di Kaki Bukit Barisan, Medan: DEWAN HARIAN RANTING ANGKATAN ‟45, 2000.
(13)
Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1991.
______Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan di Propinsi Jawa
Timur Studi kasus Kota Surabaya Tahun 1945-1949, Jakarta: CV. Ilham
Bagun Karya, 1999.
Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tetengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949 Jilid II),
Medan: tanpa penerbit, 1996.
Tim Pendidikan dan Latihan Sumut, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1994.
Yusra, Abrar, Amir Hamzah 1911-1946, Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastera H.B. Jassin, 1996.
Surat Kabar
Muhammad TWH, 2003, “Mengenang Basuki Abdullah-nya Sumatera Utara”, ANALISA, 9 Maret 2003.
Website
http://www.mahasiswabatak.com www.biografipedia.com
(14)
BAB III
MEDAN AREA DAN SEKITARNYA SETELAH PROKLAMASI
3.1 Sambutan Masyarakat Medan Terhadap Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan penuh tekad, keyakinan yang dilandasi serta dijiwai oleh suatu cita-cita luhur sebagaimana telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan UUD, memilih presiden dan wakil presiden serta Komite Nasionalyang akan membantu presiden. Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 dari Pegangsaan Timur 56 itu tidaklah diterima di daerah-daerah lainnya seperti di Sumatera Timur, dalam waktu yang bersamaan. Tiap-tiap daerah menerimanya dalam waktu yang berlain-lainan. Hal ini dikarenakan alat-alat komunikasi dan media massa kita masih kurang memadai dan sepenuhnya masih berada dibawah kontrol tentara Jepang. Tidak ada berita yang disiarkan tanpa melalui sensor tentara Jepang, dan berita mengenai proklamasi tersebut termasuk kedalam kategori berita yang dilarang untuk disiarkan.
Sebenarnya secara illegal berita proklamasi ini telah disiarkan lewat pemancar
“Radio Morse Domei Jakarta” ke seluruh penjuru dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari. Berita proklamasi tersebut kemudian ternyata diterima dengan baik di luar negeri. Pada malam harinya melalui siaran-siaran radionya juga, radio-radio India, Australia, dan San Francisco telah menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan
(15)
Republik Indonesia tersebut. Di daerah-daerah lain seperti di Pulau Jawa, siaran
Morse-cast Domei itu dapat diterima dengan baik dan disiarkan juga melalui surat
kabar.20
Pada awalnya berita megenai proklamasi tersebut kurang mendapat tanggapan yang serius dari masyarakat Sumatera Timur. Masyarakat masih kebingungan dan hanya mendengar desas-desus tentang kemerdekaan tersebut. Disamping itu berita bahwa tentara sekutu akan mendarat di Kota Medan, semakin menambah kebingungan masyarakat yang mendengar berita tersebut .21 Pada saat itu situasi politik kota Medan masih kosong dan tanpa kepemimpinan yang sah. Sementara itu utusan dari Sumatera yang menyaksikan secara langsung upacara proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta yaitu Mr. T. M Hasan, Dr. Amir dan Mr. Abbas belum tiba di Medan. Dalam perjalanan pulang mereka ke Sumatera, para utusan ini mendapat kabar bahwa Medan telah dikuasai oleh masyarakat yang pro Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mr. T. M Hasan dan Dr. Amir tiba di kota Medan.22 Setibanya di Medan situasi yang dijumpai pada saat itu yaitu munculnya kelompok-kelompok dengan keinginan berbeda-beda, yakni;
20
Biro Sejarah Pima, op. cit., hlm. 87-89.
21 Tuanku luckman sinar, op. cit., hlm. 606.
22
B. Ar Pulungan dkk, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara, Jilid I (1945-1949), (Medan : Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1995), hlm. 9.
(16)
1. Pihak pemerintah dan tentara pendudukan Jepang yang masih mempunyai kekuatan dan kekuasaan walaupun mereka sudah menyerah secara resmi kepada Sekutu, dan menunggu kedatangan Sekutu yang menentukan kelanjutan nasib mereka selanjutnya.
2. Golongan pejuang bangsa Indonesia yang sudah tidak sabar lagi untuk menanti komando perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia di Sumatera Timur.
3. Golongan yang semenjak dahulu merupakan pendukung pemerintahan Belanda di Indonesia yang terdiri dari kaum Raja-raja dan Bangsawan Sumatera Timur yang pro Belanda dan mengharapkan datangnya kembali kekuasaan Belanda setelah kekalahan Jepang.23
Dalam situasi yang tidak jelas seperti ini masyarakat sangat mudah dipengaruhi oleh golongan-golongan yang sedang berkembang pada saat itu. Setiap golongan berusaha untuk menjadi pemenang, kecuali Jepang yang hanya menunggu komando dari Sekutu. Melihat kondisi yang demikian, Mr. T. M Hasan menghimpun tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh-tokoh kerajaan untuk membicarakan apa yang telah diperintahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yaitu untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) yang nantinya akan menyebarluaskan berita tersebut. Rapat sudah berulang kali dilakukan, akan tetapi KNI belum juga berhasil dibentuk.
23
Panglima Komando Daerah Militer II/BB, Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera 1945-1950, (Medan : Dinas Sejarah Kodam Bukit Barisan, 1984), hlm. 67.
(17)
Sementara itu lapisan masyarakat khususnya para pemuda sebagai mobilisasi perjuangan semakin tidak sabar menunggu realisasi proklamasi di Sumatera Timur. Di Medan terdapat pasukan Jl. Amplas – Taman Siswa Sugondo Kartoprojo dkk, pasukan Jl. Istana 17A Ahmad Tahir dkk, B.H Hutajulu, Abdul Razak, Humala Sihite aktivis bawah tanah, lasykar Jl. Tempel Amir Yusuf, Bustami serta 53 orang pemuda mantan Gyugun, Heiho, Tokubetsu, Seinen Ronseisyo, Seinen Zyuku, Talapeta, gerakan anti fasis Surya Wirawan, golongan pers, nelayan, dll.24 Mereka inilah yang nantinya menjadi pelopor untuk pergerakan Sumatera Timur. suatau hal yang sulit dimengerti oleh golongan muda ketika itu adalah sikap Mr. T. M Hasan yang masih berdiam diri sejak Agustus 1945. Mengingat beliau sudah mendapat mandat untuk merealisasikan kemerdekaan dan sekaligus ditetapkan sebagai wakil pimpinan bangsa untuk Sumatera.
Kedatangan Sekutu yang dibonceng oleh NICA nampak jelas semakin mengarah pada pemulihan kembali kekuasaan Belanda di Nusantara. Kerja sama antara Sekutu dengan Belanda ini dinilai oleh pemuda sangat membahayakan dan akan menghambat realisasi proklamasi di Medan. Melihat kondisi tersebut pera pemuda dengan didorong rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara melakukan tindakan yang tegas untuk mengadakan pertemuan dengan mengundang golongan yang terdiri dari pemuda, organisasi anti fasis, wartawan, dan tokoh pergerakan.
24
Tim Pendidikan dan Latihan Sumut, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, (Medan : Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, 1994), hlm. 181.
(18)
Pada awalnya rapat direncanakan akan diadakan pada tanggal 21 September 1945 di Jl. Istana No. 17 (sekarang Jl. Pemuda tepatnya gedung juang 45) tetapi gagal karena larangan Jepang. Hal tersebut tidak mengahalangi para pemuda, kemudian pada tanggal 23 September di Jl. Fuji Dori No. 6 dengan menempatkan beberapa pemuda yang berjaga-jaga di luar, akhirnya rapat terlaksanakan.25 Kesepakatan yang diperoleh yaitu menyusun Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sebagai mobilisir dalam pernyataan kemerdekaan di Medan dan disusun suatu rencana untuk mengadakan pertemuan selanjutnya seminggu kemudian.
Para pemuda yang merasakan betul betapa menderitanya hidup dibawah penjajahan, zaman yang penuh dengan tantangan perang, sehingga mereka sangat menghargai nilai kemerdekaan. Penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan, tidak akan pernah berakhir selama kemerdekaan belum diproklamasikan. Menyadari hal itu pemuda langsung bertindak dengan mengadakan rapat pada tanggal 30 September 1945 di Gedung Taman Siswa Jl. Amplas Medan oleh BPI.26 Dalam rapat ini Mr. T. M Hasan mengumumkan secara resmi tentang proklamasi kemerdekaan serta berdirinya Republik Indonesia kepada seluruh peserta rapat ketika itu.
25
Gedung Fuji Dori merupakan asrama pemuda, sehingga kecurigaan Jepang terhadap aktivitas pemuda di tempat ini tidak terlalu kuat. Saat Jepang mengintai aktivitas para pemuda ini, untuk mengelabuinya mereka mengadakn makan siang seolah-olah pertemuan tersebut tidak untuk membahas masalah penting.
26
Rapat yang sederhana ini berjalan dengan penuh semangat yang dimulai pukul 09.00 Wib. Dalam rapat inilah Mr. T. M Hasan mengumandangkan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka serta lahirnya Republik Indonesia. Pernyataan tersebut disambut dengan tepuk tangan yang meriah serta wajah yang ceria. Hari tersebut merupakan hari yang bersejarah bagi kota Medan. Sejak hari itu BPI semakin gencar mengkampanyekan proklamasi melalui pamflet-pamflet yang ditempelkan di pohon yang ramai dilewati masyrakat karena pada masa itu sarana iformasi masih dalam pengawasan Jepang.
(19)
Setelah pertemuan di Jl. Amplas berita proklamasi semakain ramai terdengar, dalam setiap rapat bendera Merah Putih selalu dikibarkan dan pekikan kemerdekaan nyaring terdengar. Sebagai reaksi masyarakat atas proklamasi maka pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan rapat umum dilapangan Fukuraido (sekarang Lapangan Merdeka) yang dihadiri oleh ribuan penduduk. Dalam kesempatan itu kemerdekaan Republik Indonesia secara resmi dikumandangkan di Medan oleh Mr. T. M Hasan. Setelah berita itu secara resmi diumumkan oleh gubernur T.M.Hasan, pada tanggal 6 Oktober 1945 di Lapangan Fukuraido, barulah berita tersebut disambut dengan kegembiraan yang meluap-luap karena menyadari bahwa proklamasi itu mengakhiri penjajahan, perepecahan, dan penderitaan yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Sejak saat itu, ucapan merdeka merupakan salam nasional bagi setiap orang yang bertemu dengan yang lain.
3.2 Peristiwa-peristiwa di sekitar Proklamasi Kemerdekaan
“Lencana Merah Putih disentap dari dada seorang penjaja pekaian bekas,
disuruh telan, dan diinjak-injak oleh serdadu NICA itu. Apalagi mendapat kabar, bahwa pemuda itu dipukuli oleh serdadu NICA itu. Ditambah lagi adanya
penembakan dari dalam “Pension Wilhelmina” kearah kerumunan massa yang ada di tepi jalan seperti yang telah kami kemukakan itu”.27
Demikian kutipan dari buku Sumatera Utara Bergelora ciptaan Muhammad TWH. Keadaan tersebut merupakan
27
Kutipan dari Muhammad TWH,Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI), (Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1999), hlm. 22.
(20)
latar belakang meletusnya penyerbuan heroik terhadap “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali (Jl. Veteran) Medan, yang dikenal dengan “Peristiwa Jalan Bali” pada tanggal 13
Oktober 1945.
Sebenarnya keadaan sudah mulai panas sehari sebelum peristiwa itu. Para pemuda sudah mulai marah dikarenakan orang-orang KNIL yang direkrut menjadi tentara NICA makin sombong. Serdadu NICA itu melakukan penembakan ke arah penjual sayur didepan stasiun Besar Medan, tetapi syuku1r tidak ada korban yang jatuh. Para pemuda semakin geram melihat makin mangkak dan sombongnya mereka.
Penyerbuan tersebut dilakukan secara spontan tanpa ada yang mengkomandoi. Rakyat datang dari berbagai penjuru kota Medan dengan membawa tombak, parang, bambu runcing, kelewang, pedang, pisau, dan benda-benda tajam lainnya. Semua ingin dahulu-mendahului menyerbu tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri. peralatan-peralatan yang mereka gunakan mereka dapatkan dari para pedagang alat-alat pertanian di pusat pasar, seperti Toko Pase milik Nyak Ubit, Toko Peusangan dan toko alat-alat pertanian lainnya. Semuanya itu diserahkan secara sukarela kepada para pemuda dan orang-orang yang turut serta dalam penyerbuan itu. Disamping hanya beralatkan benda tajam dan beberapa pistol dan karaben, para pejuang kita memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang dalam pertempuran yang pertamakalinya meledak itu.28
(21)
Kemarahan rakyat untuk menghancurkan NICA tidak dapat dibendung oleh Jepang selaku yang mendapat mandate dari Inggeris untuk melakukan pengamanan. Mereka hanya dapat membawa korban yang luka-luka ke Rumah sakit dan Kamp Polonia. Jumlah korban akibat dari peristiwa tersebut yang tercatat adalah; seorang opsir Belanda, dua orang warga Swiss, dan 7 orang serdadu NICA. Mereka semuanya tewas, sedangkan yang luka-luka ada sebanyak 96 orang. Dari pihak republik menurut keterangan yang diperoleh, mengatakan bahwa jumlah korban pemuda Aceh yang turut melakukan penyerbuan itu ada sebanyak 7 orang.
Secepat kilat berita pertempuran yang pertama kali di Medan ini sampai ke daerah-daerah lainnya yang disambut rakyat dengan penuh kegembiraan. Peristiwa berdarah di jalan Bali ini merupakan suatu ujian berat bagi pejuang-pejuang kemerdekaan. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa yang menentukan. Seandainya yang terjadi ketika itu adalah kemenangan berada di pihak Belanda, maka pastilah jiwa dan semangat bangsa Indonesia akan sangat terpukul sekali. Akan tetapi yang terjadi adalah kemenangan mutlak diperoleh oleh bangsa Indonesia sampai kubu barisan NICA berhasil diduduki oleh barisan rakyat, maka moral dan semangat kemerdekaan semakin memuncak tinggi. Bertambah yakinlah rakyat diseluruh pelosok Sumatera Timur khusunya,bahwa jika persatuan kokoh dengan ludah bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa itu sajapun, penjajah pastilah bisa dimusnahkan.
(22)
Setelah peristiwa di Medan, tepatnya di Jalan Bali tersebut, peristiwa yang
sama yang mengikutinya adalah peristiwa “Siantar Hotel”. Setelah dikibarkannya
Sang Saka Merah Putih secara resmi pada tanggal 4 Oktober, sejak itu juga telah berkobar konfrontasi yang hangat antara pihak NICA dan pemuda Pematang Siantar. Ketika itu, serdadu NICA dibawah pimpinan Letnan Groenenberg telah menjadikan Siantar Hotel sebagai kubu atau markas mereka. Sikap para serdadu ini sangat angkuh luar biasa, karna mereka yakin akan kekuatan persenjataan yang mereka miliki, dan mereka yakin pula bahwa suatu kekuatan besar yang di Medan akan siap sedia membantu mereka. Meskipun demikian, rakyat simalungun pada khususnya tidak merasa gentar dengan keadaan tersebut.
Sejak tanggal 10 Oktober markas BKPI dipindahkan ke samping kantor Pemerintahan Kota, yang berhadap-hadapan langsung dengan kubu NICA (Siantar Hotel) sehingga konfrontasi semakin hari semakin memanas. Dalam situasi konfrontasi itulah Groenenberg menerima instruksi dari atasannya di Medan untuk melakukan tindakan-tindakan propokatip menerbitkan kerusuhan-kerusuhan. Dalam hal ini, para serdadu NICA melancarkan aksi propokatipnya dengan menurunkan Sang Saka Merah Putih di beberapa tempat di Pematang Siantar termasuk di depan asrama-I BKPI. Hal tersebut tentu saja mendapat tantangan yang keras dari pemuda dan rakyat Indonesia di Siantar. Perkelahian-perkelahian yang keras terjadi antara rakyat dan serdadu Belanda untuk meperebutkan bendera. Serdadu-serdadu Nica itu
(23)
kemudian mearikan diri ke kubunya (Siantar Hotel) sambil melepaskan tembakan-tembakan dengan pistol.
Setelah itu, segera diadakan rapat kilat dan melakukan serangan balasan sehingga serdadu yang melakukan penembakan itu, lari menyelamatkan diri ke gedung Siantar Hotel. Melihat kenyataan yang demikian, maka pimpinan pemuda mengambil keputusan untuk menghancurkan Siantar Hotel yang merupakan kubu NICA. Persis seperti yang terjadi di Medan, dengan terjadinya tindakan gila-gilaan oleh tentara NICA itu, meledaklah kemarahan pemuda dan massa rakyat. Dalam waktu yang singkat, beribu-ribu pemuda dan rakyat sekitarnya datang menyerbu ke satu sasaran yaitu Siantar Hotel. Dibarengi dengan semangat yang meluap-luap dengan senjata bambu runcing, tombak, pedang, parang bengkok, golok, geranat botol, senapang dan lain-lain. Pihak NICA dalam kepanikannya melihat serbuan massa yang demikian besar, lalu melepaskan tembakan-tembakan secara membabibuta. Seorang pemuda bernama Muda Rajaguk-guk terkena tembakan dan gugur. Hal tersebut tidak dapat membubarkan massa yang marah itu, bahkan sebaliknya membuat mereka semakin bartambah marah. Bal-bal getah ditumpuk-tumpuk disekitar hotel, dan bensin disebarkan lalu dibakar sehingga menimbulkan nyala api yang berkobar dan gumpalan asap yang mengepul-ngepul. Akibat tekanan
(24)
asap tersebut, enam orang serdadu NICA terpaksa keluar dari persembunyiannya dan akhirnya tewas dikeroyok massa rakyat.29
Karena merasa tidak sanggup lagi mempertahankan diri dengan kekuatan sendiri, Tentara Belanda/NICA dengan cepat meminta bantuan kepada tentara Jepang agar segera mengatasi peristiwa itu. Kemudian Butaicho Jepang Kolonel Orita yang merasa bertanggung jawab atas keamanan di daerah itu beserta 25 truck penuh serdadu Jepang tiba di Siantar Hotel. Kemudian pemuda-pemuda Indonesia disuruh mundur dengan bayonet terhunus. Kolonel Orita beserta beberapa perwira stafnya dan seorang jurubahasa menghadap ke markas besar BKPI dan segera mengadakan perundingan. Pemimpin pemuda/BKPI yang dikepalai oleh Burhanudin Kuncoro ketika itu tidak merasa keberatan dengan memberikan syarat bahwa: seluruh orang Belanda dan senjata yang ada di Siantar Hotel, harus segera diserahkan kepada BKPI dalam waktu setengah jam.
Ketika hendak menuju Siantar Hotel untuk melakukan perundingan, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang mengakibatkan seorang pemuda Indonesia gugur pada saat itu juga. Tembakan selajutnya kini diarahkan kepada Burhanuddin, akan tetapi cepat-cepat dilindungi oleh tentara Jepang yang mengawalnya. Tanpa pikir panjang
lagi, Burhanuddin langsung memerintahkan “gempur!!!”. Pada saat itu juga, massa
(25)
rakyat yang sejak tadi telah siap meyerbu, dengan pekikan merdeka serta semangat juang yang demikian hebat, langsung menyerbu Siantar Hotel dari berbagai jurusan.30
Dalam peristiwa itu, tentara Jepang dengan bersusah payah menyelamatkan orang-oramg Belanda/NICA dan dengan pengawalan, segera melarikannya ke Medan. Pertempuran itu berlangsung sekitar 6 jam lamanya yang dimulai dari pukul 12.15-18.30. setelah pertempuran berakhir, para pemuda menyelidiki hotel itu ternyata dijumpai ruangan-ruangan bawah tanah yang kemungkinan dipergunakan sebagai tempat persembunyian serdadu-serdadu Belanda. Kedalam ruangan itu, kemudian dituang air untuk mengeluarkan kalaku-kalau masih ada sisa serdadau Belanda yang bersembunyi di dalam. Sementara bendera Belanda yang berhasil dirampas pemuda diletakkan dilantai pintu masuk markas, sehingga setiap orang yang lalu lintas kaluar masuk pasti menginjaknya. Kemenangan pemuda dan rakyat Indonesia di jalan Bali dan Siantar Hotel member pengaruh yang cukup besar dalam menyalakkan semangat juang rakyat.
30
Perundingan dengan BKPI telah gagal sebelum perundingan itu dilakukan, akibat dari nafsu penjajahan kaum imperialis itu sendiri. Dalam pertempuran itu, mengakibatkan:
1. Hancurnya Siantar Hotel, (kubu pertahanan Belanda/NICA di P.Siantar)
2. Tujuhbelas orang serdadu Belanda/NICA tewas, dan banyak yang menderita luka berat dan ringan.
Sebaliknya di pihak Indonesia telah gugur: 1. Muda Raja guk-guk.
2. Ismail Situmorang.
3. Dan banyak rakyat yang terluka dan terbakar. Edisaputera, op. cit., hlm. 134-137
(26)
3.3Revolusi Sosial di Sumatera Timur
Revolusi Sosial atau sering juga disebut dengan “Peristiwa Malam Berdarah”
merupakan peristiwa pembunuhan terhadap raja-raja dan kaum bangsawan di Sumatera Timur. Saat Belanda masih menjajah Indonesia, bangsa Belanda memperkenalkan konsesi tanah. Maka para sultan bertugas untuk mengutip pajak dari masyarakat dan mereka akan mendapat imbalan dari Belanda. Semakin banyak pajak yang diperoleh dari rakyat maka semakin besar pula imbalan yang akan diterimanya. Raja yang menikmati ketenangan hidup semakin memperdalam jurang pemisah dengan rakyat jelata yang menderita dibawah pendudukan Belanda. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942, banyak terdapat daerah yang berdiri sendiri berkuasa penuh atas tanah dan seisinya. Daerah tersebut dikuasai oleh sultan-sultan yang berkuasa secara mutlak.
Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan para sultan ini bersikap ragu-ragu dalam menerima kemerdekaan Republik Indonesia dan mengharapkan datangnya kembali Belanda sehingga kaum feodal kurang berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, meletuslah Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret 1946 yang dikarenakan oleh kaum feodal yang tidak mau bergabung dengan kaum revolusioner, bahkan mereka menciptakan lingkungannya sendiri dengan mengikuti gaya hidup orang-orang Eropa yang “exclusive” dan tidak mau bergabung dengan kaum pergerakan yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya memperjuangkan kemerdekaan. Disamping itu juga mereka mendapat perlakuan
(27)
khusus dari sekutu, dengan harapan dengan adanya perlakuan istimewa ini, akan ada pertikaian atau kecemburuan antar suku yang ada di Medan dan akan mengakibatkan perpecahan.
Sewaktu meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur pergolakan terjadi dan keluarga sultan ada yang ditawan bahkan ada yang dibunuh. Peristiwa ini merupakan satu bentuk revolusi sosial yang dilakukan oleh kelompok radikal yang berada di dalam tubuh Persatuan Perjuangan (PP) yang mencakup pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), disamping Laskar Barisan Harimau Liar (BHL) dan tentara Sabibillah.31 Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Maret 1946, disamping untuk melenyapkan raja-raja serta kaum bangsawan revolusi sosial ini juga bertujuan untuk menguasai harta kekuasaan yang luar biasa yang dimiliki oleh raja-raja dan kaum bangsawan yang mereka peroleh dari keistimewaan yang diberikan oleh Kolonial Belanda. Dengan alasan tersebut mereka melakukan serangkaian perampokan, penculikan, dan pembunuhan di hampir seluruh daerah Sumatera Timur seperti Karo, Simalungun, Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tanjung Balai dan lain-lain.
Di Tanah Karo, dengan alasan menghadiri rapat PP di kota Berastagi, para pemuda laskar-laskar tersebut menangkap dan mengasingkan para raja Urung dan Sibayak yang hadir dalam rapat tersebut, sebagian diasingkan ke Aceh sebanyak 17
31
A.B. Lapian, dkk. Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959, (Jakarta: Cv. Defit Prima Karya Jakarta, 1996), hlm. 43.
(28)
orang. Di daerah Simalungun anggota BHL yang sebagian merupakan pemuda Simalungun pada tanggal 3 Maret malam harinya, mereka menangkap raja Pane serta keluarganya lalu merampas harta bendanya. Raja dan keluarganya ini lalu dibawa ke suatu tempat yang sedang diadakan pesta, kemudian mereka dibunuh. Selanjutnya para pemuda tersebut terus melancarkan aksinya dengan menangkap raja-raja Simalungun lainnya, membunuh mereka dan merampas harta bendanya.
Di tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, dengan menyerahkan ribuan orang bersenjata, pada tanggal 3 Maret mereka mengepung istana kotanya. Tidak luput pula para aristokrat antara lain Teuku Musa, pejabat pendukung kerajaan yang beristrikan orang Belanda serta keluarganya, semuanya dibunuh. Keesokan harinya semua bangsawan Melayu dibunuh, hingga dalm beberapa hari terdapat sekitar 140 orang yang dibunuh di kota itu. Demikian juga di Labuhan Batu yang raja-rajanya terkenal sangat kejam dalam menindas rakyat, juga tidak terlepas dari sasaran pemuda. Pada tanggal 3 Maret istana Sultan di Tanjung Pasir dikepung juga, diserbu, dan semua penghuninya ditawan. Keesokan harinya Sultan tersebut bersama dengan puteranya ditemukan sedang sekarat kerena tusukan tombak di suatu lokasi pekuburan Cina. Sementara di daerah itu juga, Wakil Pemerintah Negara Republik Indonesia, Tengku Hasan dan tiga orang pembantunya pada tengah malam disegap dan dibawa ke
(29)
pinggir sungai untuk dibunuh. Tengku Hasan dan seorang pembantunya dipenggal kepalanya dan dua orang pembantu lainnya melarikan diri.32
Demikianlah kejadian itu menyebar keseluruh wilayah Sumatera Timur termasuk kesultanan Langkat yang megah. Salah satu korban Revolusi Sosial dari daerah Kesultanan Langkat adalah salah satu sasterawan asal Sumatera Timur yaitu, Amir Hamzah. Amir Hamzah dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 dari kalangan bangsawan di Tanjungpura, Langkat. Ia adalah putera Tengku Bendahara Paduka Raja Kerajaan Langkat. Di pertengahan Maret 1946, Amir Hamzah mati dibunuh.
Pada usia 35 tahun, beliau dipancung oleh sekelompok pemuda dalam “revolusi sosial” Langkat.33
Sementara di Kesultananan Deli Revolusi berlangsung aman. Revolusi yang terjadi disini tidak sekejam dibanding daerah lain, dikarenakan anggota PADI serta benteng pertahanan pasukan Inggris di Medan cukup kuat untuk melindungi keluarga Sultan dari amukan massa. Sultan Deli meminta perlindungan dari Sekutu karena pada masa Kolonial Belanda hubungan antara Belanda dengan Melayu itu sangat dekat, sehingga pada masa perang kemerdekaan mereka berharap Belanda dapat berkuasa kembali di Nusantara untuk mendapatkan kembali keistimewaan mereka yang pernah diberikan oleh Belanda.
32Ibid., hlm. 43-45. 33
Abrar Yusra, Amir Hamzah 1911-1946, (Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastera H.B. Jassin, 1996), hlm. 86.
(30)
Revolusi Sosial yang dimulai pada tanggal 3 Maret berlangsung selama hampir pada keseluruhan bulan Maret. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya berakhir setelah pada tanggal 11 April 1946, PP memutuskan untuk beridiri teguh di belakang pemerintah dan menyerahkan masalah penangkapan. Usaha penyelesaian revolusi sosial tersebut tidak luput dari peranan para pemuda yang bergabung dalam organisasi-organisasi pemuda yang kuat di tiap daerah seperti NAPINDO, PESINDO, dan sebagainya.
3.4Agresi Militer Belanda I
Sebelum dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati, sebelumnya sudah pernah dilakukan perundingan-perundingan yang mengarah ke perjanjian tersebut. Dalam rangka melaksanakan diplomasi tersebut diambil suatu keputusan bahwa akan berlaku penghentian tembak-menembak di seluruh Indonesia yang dimulai pada tanggal 15 Februari 1947 pukul 12.00 tengah malam. Perundigan seperti ini sudah sering dilakukan akan tetapi pertempuran masih tetap saja ada. Melihat situasi yang terus berperang akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan melalui meja perundingan, sehingga pada tanggal 27 Maret 1947 ditandatanganilah Perjanjaian Linggarjati.34 Salah satu isi dari persetujuan Linggarjati itu adalah bahwa
34
(31)
pemerintah Belanda mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.35
Meskipun perjanjian Linggarjati telah ditandatangani, namun hubungan Indonesia dengan Belanda tidak bertambah baik. Belanda tidak senang melihat kemajuan-kemajuan perjuangan diplomatik RI untuk merdeka dan berdaulat penuh. Keinginan Belanda untuk menjajah Indonesia kembali mendorongnya untuk mengutak-atik isi perjanjian Linggarjati dengan tafsir sendiri yang tidak logis. Ketika ingin melaksanakan perjanjian linggarjati, Nampak bahwa mereka tidak jujur dan ikhlas dalam menyetujui perjanjian tersebut. Akan tetapi pelaksanaan diplomasi tersebut didorong oleh rasa angkuh untuk menjadikan jalur diplomasi sebagai selang waktu untuk membangun kekuatan militernya.
Agresi atau serangan Militer Belanda I adalah serangan serentak yang dilakukan Belanda terhadap daerah-daerah Republik Indonesia. Serangan ini dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947, perbedaan penafsiran terhadap persetujuan Linggarjati, yang ditandatangani pada bulan Maret 1947 merupakan penyebab
serangan ini. Di satu pihak Belanda menganggap “kerjasama” yang terdapat di dalam
pasal 2 persetujuan tersebut sebagai kedaulatan Belanda di Indonesia tetap
35 Pasal 1 perjanjian Linggarjati berisikan “Pemerintah Belanda mengakoei kenjataan kekoesaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Djawa, Madoera dan Soematra. Adapoen daerah-daerah jang didoedoeki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsoer-angsoer dan dengan kerdja-bersama antar kedoea belah pihak akan dimasoekkan poela kedalam Daerah Republik. Oentoek menjelenggarakan jang demikian itoe, maka dengan segera akan dimoelai melakoekan tindakan jang perloe-perloe, soepaja, selambatnja pada waktoe jang diseboetkan dalam pasal 12, termaksoednja daerah-daerah jang terseboet itoe telah selesai.
(32)
berlangsung sampai terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).36 Sementara di
pihak lain Indonesia mengartikan “kerjasama” dalam pasal tersebut sebagai suatu
kerjasama dengan pertanggungjawaban bersama dalam membentuk federasi dengan kedudukan yang setaraf.
Sementara itu Belanda mengeluarkan nota yang merupakan ultimatum yang harus dijawab pemerintah RI, 14 hari sejak tanggal 27 Mei 1947. Dalam notanya itu, Belanda menuntut pembentukan pemerintahan ad interim bersama, mengeluarkan uang bersama, menyelenggarakan pemilikan ekspor dan impor bersama, disamping menuntut agar RI mengirim beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda. Hal ini tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. RI bersedia mengakui kedaulatan Belanda hanya selama masa peralihan dan menolak gendamarie bersama.
Belanda yang tidak puas dengan jawaban tersebut kembali mengirim nota pada tanggal pada tanggal 15 Juli 1947, yang isinya tetap menuntut gendamare bersama dan menuntut agar RI menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Dalam nota itu, Belanda juga memberikan ultimatum bahwa dalam waktu 32 jam RI sudah harus member jawaban terhadap tuntutan-tuntutan Belanda. Oleh karena RI tetap menolak tututan tersebut, akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 dini hari Belanda melakukan serangan Militernya yang dikenal dengan Agresi Militer. Serangan berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Dalam serangannya Belanda berhasil
36
Isi dari pasal 2 perjanjian Linggarjati tersebut adalah, “Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menjelenggarakan segera berdirinja sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, jang berdasarkan perserikatan dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
(33)
menggempur jalan-jalan besar dan pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa dan Sumatera.
Di Medan area, tentara Belanda melancarkan serangan besar tahap yang pertama di sektor Barat dan Utara pada tanggal 21 Juli 1947. Dalam serangan ini Belanda mengerahkan empat buah pesawat mustangnya dan berhasil menaklukkan kota Binjai tepatnya di Markas Batalyon XII Resimen I Divisi IV Gajah II TRI. Selain markas Batalyon XII, ada beberapa sasaran yang menjadi korban bombardier mustang Belanda pada pagi itu, antara lain:
1. Markas RIMA (Resimen Istimewa Medan Area), yang kena hantaman voltreffer dan hancur lebur berlobang yang memiliki diameter 5 meter. Beberapa prajurit RIMA juga ikut menjadi korban.
2. Sejumlah rumah penduduk yang berada disekitar asrama Polisi Militer ikut rusak akibat dijatuhi bom. Sebuah rumah milik pegawai perkebunan juga menjadi hancur lebur dan semua penghuninya (suami-isteri, dan empat orang anaknya) ikut menjadi korban penyeranagan ini.
3. Rumah penjara Landschap yang biasanya digunakan Polisi Tentara sebagai rumah tahanan hancur juga dihantam voltreffer. Semua yang berada di rumah tahanan tersebut hancur babak belur, disana-sini berserakan kepala, paha dan bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi korban penyerangan Belanda ini.
(34)
4. Kantor dan Rumah kediaman Wedana Binjai juga menjadi sasaran bom mustang Belanda, namun tidak rusak parah karena pelurunya kurang tepat pada sasarannya.37
Setelah korban pemboman pesawat terbang Belanda itu dikumpulkan, terdapat sebanyak 26 orang yang meninggal dunia, dan 30 orang yang menderita luka berat. Aksi serangan udara Belanda tersebut juga tidak hanya ditujukan ke kota Binjai saja. Pemboman besar-besaran juga diarahkan ke Two Rivers di sektor Medan Selatan. Setelah dari Two Rivers, serangan dilanjutkan ke sektor Utara yakni sasarannya adalah Labuhan Deli, Hamparam perak, Kelumpang, Kelambirlima, Buluhcina, selanjutnya ke Tandem Hilir.
Dalam melancarkan aksinya, pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan Poh An Tui, yang berkhianat dan menyamar menjadi pasukan lasykar rakyat.38 Panser-panser yang mengangkutnya dihiasi dengan nama-nama besar pimpinan laskar rakyat
37 Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949 jilid II), (Medan: Tanpa penerbit, 1996), hlm.25-26.
38 Pasukan Poh An Tui adalah penduduk Tionghoa yang bekerja sama dengan Inggeris/Belanda. Barisan “Poh An Tui” berdiri pada tanggal 1 Januari 1946, atas bantuan Inggeris/Belanda dengan dilengkapi dengan persenjataan yang ringan dan yang berat. Kementerian Penerangan Propinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia, (Medan: Tanpa penerbit, 1953), hlm. 49-50.
Bukti penghianatan lainnya oleh pasukan Poh An Tui ini adalah, setelah berdirinya pasukan ini, intuk memperlihatkan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat kota Medan, Poh An Tui pernah mengadakan “Show of force” dengan melakukan demonstrasi anti Indonesia dengan membawa spanduk-spanduk dan poster-poster yang menghina bangsa Indonesia. Poster-poster itu beraksara Cina antara lain berbunyi: “kera-kera di kebun binatang lebih berhak merdeka daripada bangsa Indonesia”. Poh An Tui merupakan musuh nomor satu bangsa Indonesia ketika itu karena berusaha menjegal kemerdekaan Indonesia. Muhammad TWH, Sumatera Utara Bergelora, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004, hlm. 179.
(35)
seperti Bedjo, Timur Pane, Jacob Lubis, Hamid Nasution, Malim Zainal dan Yahya Aceh. Diatas panser yang paling depan mereka kibarkan bedera Merah Putih, sehingga pasukan-pasukan tersebut mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat sambilmeneriakkan kata MERDEKA!!!. Namun setelah melihat jeep-jeep dan truk-truk yang menyusuli ringan panser tersebut, rakyat sadar bahwa mereka sedang dikelabui oleh Belanda.
Serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda ini tentunya tidak dapat diterima oleh pejuang Republik Indonesia, sehingga pada tanggal 23 Juli 1947 Komando Medan Area melancarkan serangan merebut Medan kembali dari sektor Selatan dan Timur. dalam aksi balas dendam ini pasukan Republik mengalami kegagalan yang kedua kalinya setelah tanggal 22 Juli 1947 juga telah melakukan serangan namun mengalami kegagalan dan tidak berhasil merebut Medan Area. Dalam perjuangan yang dilakukan oleh pasukan kita ini yang dapat dicatat adalah bahwa pasukan kita mengalami banyak kendala dalam melakukan penyerangan balik terutama di bidang Logistik, dan angkutan.39
Sementara itu setelah peyerangan yang dilakukan oleh pasukan Republik, Belanda kembali melakukan penyerangan serangan besar tahap kedua pada sektor Selatan dan Timur serta mendaratkan pasukan di Pantai Cermin pada tanggal 28 Juli
1947.Dalam serangan besar tahap kedua ini Belanda juga menerapkan pola “gerakan
39
Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tetengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hlm. 37-48.
(36)
kilat” (blitzkrieg) yang sifatnya „menggunting dan mengepung‟ yang tujuannya
adalah agar pasukan kita kacau-balau, dihancurkan atau menyerah. Serangan ini berhasil menjadikan Perbaungan, Tanjung Morawa dan Lubuk Pakam takluk kepada tangan pasukan Belanda.
Dengan jatuhnya daerah-daerah tersebut ke tangan Belanda maka tentara-tentara Laskar rakyat harus melewati perjuangan yang sangat heroik untuk keluar dari kepungan tentera Belanda. Perjuangan yang kita kenal saat itu yakni perjuangan Aras kabu dan pertempuran di Sungai Ular. Dalam perjuangan heroik tersebut, dengan bermodalkan persenjataan yang minim pasukan Republik yang dipimpin oleh Manaf Lubis berhasil merebut stasiun Kereta Api Lubuk Pakam dan membakar stasiun tersebut. Dalam waktu yang bersamaan juga pasukan Bedjo dan pasukan Lahiraja Munthe memasuki kota Lubuk Pakam. Pasukan Belanda mengundurkan diri dari kota itu tetapi pada pukul 03.00 dini hari mereka meluncurkan kembali serangan balasan dengan menggunakan beberapa Tank. Pasukan kita memberikan perlawanan sengit
bahkan seorang anggota pasukan yang bernama Simbon melakukan “serangan jibaku” terhadap tank-tank musuh. Simbon gugur dalam peristiwa tersebut, akan tetapi berkat serangan sengit itu tentara musuh berhasil dipukul mundur. Kemudian jasad Simbon dikuburkan, dan pagi harinya rakyat Lubuk Pakam keluar dari rumah mereka menyambut pasukan-psukan kita denga luapan kegembiraan. Pada sore harinya sekitar pukul 16.00 tentara musuh kembali melakukan penyerangan,
(37)
mengakiatkan pasukan Munthe menyingkir ke daerah Dolok Masihol, dan pasukan Bedjo menyingkir menyususri Sungai Ular.
Demikian serangan demi serangan terjadi terhadap pasukan Republik, yang mana dalam Agresi Militer Belanda yang pertama ini, mereka berhasil menduduki daerah-daerah dan pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa dan Sumatera. Akhirnya setelah mendapat perintah dari dewan PBB (atas permintaan Australia dan India) agar menhentikan aksi tembak-menembak, pada tanggal 4 Agustus 1947 keduan Negara yang bertikai diumumkan untuk melakukan gencatan senjata. Dengan diumumkannya pengumuman ini, maka berakhirlah Agresi Militer I Belanda.
3.5Berdirinya Pemerintahan Republik di Sumatera Timur
Masa antara tahun 1945-1949 merupakan masa yang kritis bagi bangsa Indonesia, dimana terjadi pergolakan disana-sini. Masa ini juga merupakan masa dimana Belanda sedang giat-giatnya melakukan federalisasi, yang bertujuan untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara boneka atau negara bagian. Usaha terus-menerus dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda untuk menghapuskan kerajaan bumiputera, tetapi terhenti ketika pecahnya perang dunia ke-II. Kita lihat ketika pemerintahan NICA Belanda menduduki beberapa wilayah Indonesia tahun 1946-1949, pemerintahan kerajaan Bumiputera tidak lagi direhabilitirnya meskipun Belanda masih terikat dengan perjanjian “politik kontrak” dengan mereka. Belanda
(38)
(yang diciptakan Van mook) dan bukan kaum raja-raja yang feodal, untuk mengimbangi pihak Republik Indonesia.
Dalam kegiatan federasinya, Belanda berhasil menghimpun 15 negara, yang dibagi kedalam dua kelompok. Pertama, yang disebut dengan Negara, yaitu; Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Madura, dan Negara Djawa Timur. Kedua, disebut kelompok Daerah Istimewa, yaitu; Bangka dan Biliton, Riau, Djawa Tengah, Distrik Federal Batavia dan sekitarnya, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Barat Daya (Kota Waringin) dan Kalimantan Timur.40
Ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945) status kerajaan Bumiputera tetap tidak berubah dan mereka tunduk kepada sembarang pemerintah militer Jepang karena dalam keadaan perang. Proses pembentukan NST tidak terlepas dari dinamika berbagai kelompok etnis yang ada di wilayah Sumatera Timur sejak masa Kolonialisme Belanda hingga revolusi kemerdekaan.
Pada Agustus 1945 Medan diterpa oleh konflik politik dan sosial yang serius karena kekosongan kekuasaan setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Beberapa golongan-golongan masyarakat yang ada di Sumatera Timur tidak dapat dipersatukan oleh sebuah kepemimpinan sehingga terdapat berbagai pertikaian diantara golongan
40
George Mc. Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran, 1980), hlm. 428-431.
(39)
masyarakat. Ada yang masih mengharapakan hadirnya kembali penguasa lama dan tidak ingin bergantung kepada Republik yang belum jelas.
Setelah dibacakannya proklamasi kemerdekaan secara resmi oleh Mr. T. Moehammad Hasan di Sumatera Timur, maka beliau selaku Gubernur Sumatera ketika itu mencoba untuk mengatasi persoalan yang ada dalam golongan-golongan masyarakat dengan menampung aspirasi kaum bangsawan melalui kebijaksanaan rekonsiliasinya.41 Kebijaksanaan ini pada akhirnya tidak berhasil untuk menyatukan golongan-golongan masyarakat Sumatera Timur dimana para pendukung Republik mengambil jalan pintas untuk melenyapkan golongan Bangsawan dengan sistem feodalnya melalui revolusi sosial 1946. Raja-raja Sumatera Timur turut mendudkung N.R.I. atas hasutan dan disponsori oleh kaum komunis, maka pada tanggal 3 Maret
1946 terjadilah apa yang disebut “Revolusi Sosial” dimana raja-raja diturunkan dan kerajaan diambil alih. Banyak terjadi pembunuhan, perampokan harta benda, dan perkosaan terhadap kaum bangsawan, dan mana yang masih hidup ditangkap dan dimasukkan kedalam kamp tawanan. Sejak itu status kerajaan bumiputera di Sumatera sudah dihapus.42
Dalam kondisi yang tidak menentu ini, masyarakat Sumatera Timur seakan-akan menjadi terbagi dalam tiga kelompok yaitu Republik, Belanda, dan Kerajaan.
41
Pada tanggal 31 September 1945 peristiwa Proklamasi Kemerdekaan secara resmi diumumkan oleh Mr. T.M. Hasan selaku Gubernur Sumatera ketika itu, dihadapan 700 rakyat pada rapat Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I) di Sekolah Taman Siswa Medan.
42
(40)
Kelompok Republik adalah orang-orang yang mendukung dan ingin berlindung dibawah pemerintahan Republik Indonesia. Kelompok Belanda adalah orang-orang Belanda yang ingin menanamkan kedudukannya kembali di Indonesia. Sementara setelah proklamasi kemerdekaan raja-raja Melayu ada yang sebagian mendukung republik dan ada juga mendukung dan masih berlindung kepada Belanda. Dapat dikatakan sikap para raja-raja dan Sultan setelah proklamasi adalah bersikap
“menunggu dan lihat” tanpa menyatakan dukungan kepada siapa pun. Diantaranya
yang mendukung Republik adalah Sultan Langkat, Serdang, dan Asahan. Sultan Deli secara terang-terangan tidak mengakui akan kedaulatan Republik.43
Dengan pecahnya masyarakat kedalam beberapa kelompok ini, sehingga meletuslah revolusi sosial tahun 1946 yang susah dikendalikan dan menyerang siapa saja yang berbau feodal dan kolonial, termasuk didalamnya birokrat-birokrat republik
yang hanya memakai “dasi”. Revolusi sosial ini telah membawa puluhan korban
bangsawan Sumatera Timur diantaranya adalah Amir Hamzah. Untuk menumpas tindakan Revolusi Sosial ini maka Belanda melakukan aksinya lewat Agresi Militer Belanda tahun 1947.
Keberhasilan Agresi Militer Belanda dalam menumpas unsur-unsur Republik dari Sumatera Timur, telah memperkuat moral kaum Bangsawan untuk merealisasi ide-ide otonomi Sumatera Timur. Gagasan pembentukan Daerah Istimewa Sumatera
43
(41)
Timur akhirnya berlanjut ke arah pembentukan sebuah Negara Sumatera Timur. Pada tanggal 5 Oktober 1947, berangkatlah utusan dari Sumatera Timur ke Jakarta untuk rencana pembentukan Daerah Istimewa Sumatera Timur.44 Pada tanggal 8 Oktober 1947 tugas mereka berhasil dan dikeluarkanlah Besluit Letnan Gubernur Jendral H.H.
Van Mook, yaitu Staatblad No. 176 tahun 1947 jo Stbld No. 217 tahun 1947 yang
berisi bahwa komite DIST dirubah menjadi “Dewan Sementara Sumatera Timur”
yang akan merancang Statuen (Undang-undang Dasar).45 Dengan Staatsblad No.14
tahun 1948 terbentuklah “Negara Sumatera Timur” (N.S.T.). Adapun yang menjadi
Wali Negara Sumatera Timur ketika itu yang terpilih adalah Dr. Tengku Mansyur, dan Raja Kaliamsyah Sinaga sebagai Wakil Wali Negara.
Ada 7 buah departemen yang dibentuk dan ditetapkan untuk mengisi struktur pemerintahan N.S.T. saat itu, yakni;
Kepala Departemen Kehakiman : Mr. Tan Tjeng Bie. Kepala Departemen Keuangan : M. Lalisang.
Kepala Departemen Pekerjaan Umum : Tengku Sulong Habitullah. Kepala Departemen Kebudayaan : J. Keulemans.
44
Utusan Sumatera Timur yang berangkat ke Jakarta ketika itu adalah Tengku Dr. Mansyur, T. Mr. Dzulkarnain, Datuk Hafidz Haberham, Tuan Jomat Purba, M. Lalisang, dan Dr. F.J. Nainggolan. Tuanku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 566.
45
Adapun isi Undang-undang Ketatanegraan Sumatera Timur itu adalah:
1. Adanya suatu Dewan Perwakilan terdiri dari 38 anggota yang dipilih dan 12 orang yang diangkat.
2. Adanya suatau BADAN AMANAH terdiri dari sebanyak-banyaknya 7 orang.
3. Adanya seorang wali Negara dan Wakil Wali Negara yang dibantu oleh sebuah Dewan Penasehat sebanyak-banyaknya 5 orang anggota yang disatukan dalam sebuah Kabinet yang bertugas mengepalai sebuah Departemen. Tuanku Luckman Sinar, op. cit., hlm. 567.
(42)
Kepala Departemen Ekonomi :Mr. T. Bahriun (Merangkap Sementara).
Kepala Departemen Pemerintahan : Tengku Hafas
Kepala Departemen Keamanan : Tuanku Sultan Saibun.
Kemudian sebagai Panglima Barisan Pengawal Sumatera Timur diangkat Kolonel Jomat Purba. Selanjutnya Badan Amanah terdiri dari Raja Kaliamsyah Sinaga sebagai ketua dan anggotanya terdiri dari; Ngerajai Meliala, T.M. Nahar, Tan Bun Jin, D.P.
Van Meerten, Dt. Kamil,dan F. Rotty. Pada tanggal 12 Maret 1948 diadakanlah
upacara peresmian N.S.T. yang dihadiri oleh utusan dari berbagai wilayah lainnya di Indonesia dan pembesar-pembesar dari Jakarta.46
3.6Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II adalah peristiwa penyerangan Belanda terhadap Republik Indonesia untuk kedua kalinya. Pada tanggal 18 Desember 1948 tepatnya malam hari Tentara Belanda melancarkan aksi Militer terhadap daerah kekuasaan Republik Indonesia. Perjanjian Renville yang disepakati bersama antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani di atas kapal Amerika Serikat Renville pada tanggal 18 Januari 1948, merupakan kemenangan politik dan militer bagi Belanda. Dari pihak Indonesia, sebenarnya tidak menerima pokok-pokok isi Perjanjian Renville tersebut, namun untuk menjamin posisi RI di mata Internasional maka
46
(43)
perjanjian renville-pun diterima. Dengan diterimanya perjanjian tersebut berarti pasukan-pasukan RI harus mengosongkan daerah-daerah yang akan menjadi wilayah kekuasaan Belanda menurut isi perjanjian tersebut. Dengan demikian paling lambat pada tanggal 7 Februari 1948, seluruh pasukan RI harus sudah keluar dari garis statusquo. Selanjutnya berlangsunglah pengunduran besar-besaran pasukan RI ke daerah Republik yang semakin sempit. Pelaksanaan perjanjian Renville yang oleh
pemerintah RI dikatakan sebagai “perjuangan dari peluru ke suara rakyat “from the bullet to the ballot”, ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan karena Belanda
selalu megajukan tumntutan yang tidak mungkin diterima oleh pihak RI.
Semenjak permulaan Desember 1948, suasana politik sudah semakin keruh. Dalam perundingan-perundingan terdapat banyak perbedaan paham antara delegasi RI dengan delegasi Belanda. Ketika itu memang sudah jelas Nampak sikap Belanda yang berniat untuk menghancurklan RI. Kegentingan semakin meningkat, Belanda merasa dan memandang bahwa perselisihan antara Indonesia dan Belanda adalah masalah dalam negeri, dengan demikian Belanda tidak memandang lagi adanya KTN (Komisi Tiga Negara).
Pada tanggal 11 Desember 1948, Dr. Bell yang berkedudukan sebagai Wakil Tinggi Mahkota mengirim ultimatum kepada RI, yang berbunyi : “supaya RI ikut
dalam interi pemerintahan interim federal dan harus mengakui kedaulatan Belanda
sepenuhnya”. Ultimatum tersebut dijawab oleh pihak RI dengan mengatakan :
(44)
pemerintah RI sekedar hanya untuk mempertahankan de facto RI dan mempertahankan TNI. Setelah itu beberapa hari kemudian Belanda menjawab dengan : Bahwa hanyalah satu keterangan yang cepat serta mengikat dari pemerintahan RI yang dapat memberikan jalan lagi untuk memulai perundingan.
Pada tanggal 18 Desember 1948, sekitar pukul 23.30 menyusul sebuah pengumuman Belanda yang ditujukan baik kepada RI maupun KTN, yang isinya antara lain : Bahwa Belanda tidak mengakui dan terikat lagi dengn persetujuan Renville dan merasa bebas untuk melakukan tindakan apa saja yang diinginkannya.
Demikianlah maka pada pagi-pagi buta tanggal 19 Desember 1948, sejumlah tentara payung Belanda di drop di sekitar Lapangan Maguwo dan sekitar ibu kota perjuangan Joyakarta. Pada saat genting tersebut cabinet mengadakan sidang dengan tokoh-tokoh politik, dan pembesar-pembesar militer. Sidang cabinet tersebut memutuskan, bahwa pimpinan Negara serta orang-orang pemerintah tetap tinggal di ibu kota, kemudian memberikan mandate kepada Syafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
Sementara TNI berpendapat bahwa apapun yang terjadi terhadap orang-orang pemerintahan, perjuangan akan tetap diteruskan sampai cita-cita proklamasi tercapai. Panglima Besar Angkatan Perang, Jenderal Sudirman47 sebelum meninggalkan kota
47Jendral Sudirman merupakan salah satu pahlawan Republik Indonesia yang jasa-jasanya sangat dikenang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jendral Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 dan meninggal pada tanggal 29 Januari 1950. Ketika pendudukan Jepang, ia bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor yang begitu tamat pendidikan,
(45)
untuk bergabung dengan para gerilya pada tanggal 19 Desember 1948 mengeluarkan perintah harian sebagai berikut:
Perintah kilat Panglima Besar Angkatan Perang:
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948, angkatan perang Belanda menyerang kota Jogyakarta dan Lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. 4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan tersebut.
Demikianlah perintah Panglima Besar Angkatan Perang yang berarti perintah kepada seluruh pasukan RI untuk berperang melawan Agresi Militer Belanda ke II, tidak terkecuali di Sumatera. 48
langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Pada tanggal 18 Desember 1945 dia memperoleh pangkat Jenderal lewat pelantikan Presiden. Pangkat itu diterimanya bukan melalui Akademi Militer atau Pendidikan Tinggi, melainkan karena prestasinya.
Jenderal Sudirman merupakan pahlawan pembela kemerdekaan yang tidak peduli dengan keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal Pertama dan termuda di Republik Indonesia. Dimasa perjuangannya Jenderal Sudirman mengidap penyakit TBC. Dalam keadaan sakit ia memimpin dan memberi semangat kepada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerillya. Ia berpindah dari hutan ke hutan dan dari gunung ke gunung tanpa peduli sakit yang dideritanya. itulah sebabnya mengapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
48
Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949 jilid III), (Medan: Tanpa penerbit, 1996), hlm 1-3.
(46)
Di daerah Sumatera Timur perlawanan Gerilya dilakukan di semua daerah yang dimulai dari Asahan-Labuhan Batu yang dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi. Di daerah Langkat berita tentang terjadinya Agresi Militer Belanda ke II ini diketahui lewat radio pada malam harinya. Dari siaran radio tersebut dapat diketahui bahwa ibu kota perjuangan Yogjakarta telah diduduki oleh Belanda, Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa menteri ditawan, dan Pemerintahan Darurat telah diserahkan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara dengan berkedudukan di Sumatera.
Dengan didahului oleh Perintah-Harian Panglima Besar Sudirman yang dapat
ditangkap melalui siaran “All India Radio” pada sore hari tanggal 19 Desember 1948 tentang perintah gerakan bumi hangus dan perintah “perang gerilya”. Berdasarkan
perintah harian Panglima Besar itu lalu komandan Divisi X TNI meneruskan perintah harian tersebut kepada mayor M. Nasir selaku Komandan Resimen V KSBO, kemudian dengan segera pula perintah harian itu disampaikan kepada semua batalyon-batalyon yang berada dibawah komando Resimen V KSBO Divisi X TNI untuk melaksanakan perintah melakukan gerilya ke daerah-daerah pendudukan Belanda.
Di daerah Karo dalam upaya menghadapi aksi-aksi militer Belanda, pada mulanya daerah Karo dimasukkan dalam komando Sektor III yang dipimpin oleh Mayor Selamat Ginting. Pada tanggal 25 Desember Mayor Selamat Ginting dan stafnya tiba di Tulasan Deleng Pantar. Tempat ini sebelumnya telah dipersiapkan
(47)
sebagai markas Komandan Sektor IV sehingga seluruh pasukan telah lama mengetahui bahwa dalam keadaan perang, Komandan sektor dapat ditemukan disana. Dari tempat itulah aksi-aksi gerilya di sector III yang meliputi Tanah Karo dan Dairi dilancarkan.
Sementara di daerah Simalungun, menurut perjanjian Renville daerah Simalungun termasuk dalam wilayah kekuasaan Belanda. Ketika pecahnya perang kemerdekaan tidak ada lagi pasukan kita yang berada di Simalungun, oleh karena itu
TNI melakukan “wingate”49
ke Simalungun. Pelaksanaan wingate ke daerah ini dapat dilakukan karena telah terjadi hubungan baik antara pasukan-pasukan kita dengan masyarakat, sehingga diharapkan dengan bantuan rakyat, pasukan-pasukan kita akan sukses melakukan perang gerilya. Pelaksanaan wingate ke Simalungun telah dimulai sejak tanggal 21 Desember 1948 oleh Pasukan Istimewa yang dipimpin oleh Alfred Simatupang.
49“Wingate” adalah gerakan ke daerah musuh diambil dari nama seorang perwira Inggeris yang memasuki daerah yang sudah diduduki Jepang dalam Perang Dunia II. Di Indonesia gerakan ini ditujikan ke daerah RI yang sejak perjanjian Renville dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. (Sumber: Tim KhususTim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara), Ibid., hlm. 39.
(48)
BAB IV
KETERLIBATAN SENIMAN PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA TIMUR
Tahun 1945-1949 merupakan masa revolusi fisik di Indonesia. Fase ini menuntut bangsa Indonesia untuk kembali harus berjuang melawan Belanda. Kedatangan Belanda setelah proklamasi bertujuan untuk menguasai Indonesia kembali. Peristiwa ini berpengaruh besar terhadap bidang kenegaraan, sosial ekonomi, politik, dan seni budaya Indonesia. Revolusi didukung dari berbagai kalangan dan terjadi hampir diseluruh Indonesia, termasuk Sumatera Timur.
Serentak dengan perputaran roda revolusi nasional yang berputar terus-menerus, mental bangsa Indonesia yang selama penjajahan Belanda dan Jepang sebahagian besar berjiwa budak, kini secara drastis telah berubah menjadi jiwa bangsa yang merdeka. Semua suku dan golongan masyarakat yang ada di Sumatera Timur, telah bergabung menjadi satu kekuatan massal yang bersedia gugur untuk kemerdekaan. Bahkan karna fanatiknya terhadap kemerdekaan, siapa saja yang mereka anggap mau mencoba menghalang-halangi, pasti dengan segera mereka akan berhadapan dengan roda revolusi. Perubahan jiwa dan semangat yang demikian besar dan hebat, tentu saja tak mungkin terjadi tanpa adanya suatu pengarahan, bimbingan, dan alat-alat pendorong dari masa-masa sebelumnya.
(49)
Salah satu peranan penting yang sangat berpengaruh dalam kemerdekaan Indonesia adalah peranan yang dilakukan oleh para seniman. Seniman lagu, sastera, teater, dan lukis telah mempersembahkan dharma baktinya sesuai dengan profesinya yang ternyata sangat menonjol dalam penggugahan dan pembinaan semangat merdeka itu. Lagu-lagu perjuangan yang muncul digaris depan Medan Area menghadapi Sekutu (Inggris), Belanda, NICA dan segala antek-anteknya telah dapat di rekam oleh seniman-seniman kita melalui karya-karya mereka.
Pada masa-masa pemerintahan Kolonial, Belanda tidak pernah memberi ruang kepada para seniman Indonesia untuk mengembangkan diri. Belanda tidak pernah menghargai karya-karya kesenian putra-putra Indonesia. Belanda berhasil menjatuhkan mental para seniman Indonesia sehingga mereka merasa tidak dihargai. Alasan yang tidak pernah diketahui mengapa Belanda melakukan hal itu adalah adanya kekhawatiran akan munculnya karya seni ciptaan kaum seniman yang berjiwa merdeka. Ini membuktikan bahwa sekecil apapun karya dari para seniman pada masa penjajahan sangat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang.
Pada zaman pendudukan Jepang merupakan saat pematangan bagi pertumbuhan seni dan budaya. Pemerintah Jepang dalam menanggapi kehidupan seni dan budaya tidak mementingkan kedudukan sosial. Pada masa pendudukan Jepang
(50)
kehidupan seni tampak lebih memasyarakat dibandingkan pada masa Kolonial Belanda. Banyak pemuda pelajar mulai ikut aktif dalam bidang seni budaya.50
Memasuki periode revolusi kemerdekaan, para seniman mulai menunjukkan keberadaannya. Seniman-seniman era 1945-1949, tidak terlepas dari pengaruh Jepang yang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. seniman yang mulai menonjolkan keberadaannya pada masa Jepang yang kita kenal secara Nasional adalah seperti; Affandi,51 Amir Hamzah,52 Armin Pane,53 Djajakusuma,54 Ibu Soed,55 Kusbini,56 S. Sudjojono,57 Chairil Anwar,58 Usmar Ismail,59 dan lain-lain.
50 Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1991), hlm. 29-30.
51Affandi adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia. Ia lahir di Cirebon pada tahun 1907 dengan aliran lukisannya adalah ekspresionisme dan romantisme. Affandi telah melahirkan lebih kurang dari dua ribu lukisan. Pada tahun 1950-an pernah melakukan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Salah satu karyanya adalah poster propaganda “Boeng Ajo Boeng” yang dilukisnya pada tahun 1945. (www.biografipedia.com).
52
Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Pujangga Baru, lahir pada tahun 1911. Keturunan bangsawan Langkat Sumatera Timur.
53Armin Pane adalah organisator Pujangga Baru, Penulis novel yang berjudul Belenggu.
54Djajakusuma adalah pemeran dan sutradara film Indonesia.pada saat peristiwa revolusi Indonesia, ia berperan sebagai militer dan mendapat gelar kapten. Ia berjuang didaerah joyakarta. Film pertama yang diproduksinya adalah “Darah dan Doa” yang menceritakan tentang perjalanan Divisi Siliwangi dari Jogyakarta menuju Jawa Barat pada tahun 1948.
55Ibu soed, bernama asli Saridjah Niung adalah seorang pemusik, guru musik, pencipta lagu anak-anak, penyiar radio, dramawan dan seniman batik Indonesia. Ibu soed dikenal dengan lagu ciptaannya yaitu; “Berkibarlah Benderaku” dan “Tanah Airku “. http//www. Indonesiaberdendang.com diakses pada tanggal 03 Januari 2016.
56Kusbini adalah seniman musik era revolusi yang menciptakan lagu Bagimu Negeri. Tahun 1949 pernah mendirikan sekolah musik yang diberi nama Kusbini. Tashadi, dkk., Partisipasi Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Jogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1996), hlm. 65.
(51)
Kekuasaan Jepang tidak bertahan lama di Indonesia. Setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom Atom oleh Amerika, akhirnya Jepang menyerah. Berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia merupakan awal kebebasan bagi bangsa Indonesia. Hal ini juga sangat berdampak bagi perkembangan kebudayaan dan kesenian Indonesia. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk berekspresi melalui karya seni yang diciptakan.
Seluruh masyrakat telah mendengar bahwa Indonesia telah merdeka. Demikian juga para seniman mulai bergerak dengan lagu-lagu perjuangan dan coretan-coretan perjuangan. Para pelukis membuat coretan berbentuk tulisan dan karikatur di gerbong kereta api, gedung-gedung, dinding-dinding toko dan tempat-tempat strategis lainnya dengan slogan perjuangan. Pada saat revolusi fisik yang dialami rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut oleh Belanda kembali, para seniman selain berkarya ada pula yang turut berjuang di front-front pertempuran. Berikut akan dibahas mengenai perjuangan-perjuangan serta keterlibatan seniman Sumatera Timur dalam mempertahankan kemerdekaan.
57S. Sudjojono merupakan pelukis asal Sumatera Utara, yang lahir di Kisaran pada tanggal 14 Desember 1913. Karya lukisannya pada masa revolusi, banyak bertemakan tentang semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda.
58Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1992, dia adalah seorang penyair. Contoh karyanya yang terkeal adalah puisi yang berjudul Aku dan Krawang Bekasi.
59
Usmar Ismail adalah seorang tokoh teater dan penulis naskah. Naskah yang pernah dipentaskan salah satunya adalah Mutiara Dari Nusa Laut.
(52)
4.1 Seniman Musik
Pada umumnya musik menuntut kecerdasan dan perasaan yang lebih tinggi dari penonton atau pendengar. Hal ini dikarenakan musik melukiskan sesuatu secara abstrak. Pada masa kemerdekaan, musik yang dibutuhkan rakyat adalah musik yang praktis, mudah dipahami, dan mudah dihafalkan, musik yang bernuansakan kerakyatan, yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Dengan demikian seniman menjadikan seni budaya sebagai alat propaganda untuk mempengaruhi masyarakat.
Lagu-lagu propaganda di masa pendudukan Jepang dan revolusi di Indonesia dikenal dengan istilah musik fugsional yang diciptakan untuk mencari dukungan politik. Fungsi utama lagu-lagu propaganda adalah alat penyebarluasan pendapat yang bersifat simpel, tetapi dampaknya bersifat kompleks. Pada masa itu, teknik bernyanyi tidaklah begitu penting, yang diutamakan adalah makna serta isi teks lagu yang bersifat mengajak, mempengaruhi pikiran rakyat yang mudah dinyanyikan dan dihayati seluruh masyarakat. Para seniman menyadari kondisi masyarakat pada masa revolusi banyak yang belum melek huruf. Musik dan lagu yang diciptakan harus disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Tahun 1945-1949 merupakan tahun yang sangat berat untuk Indonesia, hal ini dapat kita nilai dari karya-karya seni yang lahir pada kurun waktu tersebut. Dari sebuah lagu dapat kita lihat gambaran suasana apa yang terjadi pada sebuah kurun
(53)
waktu tertentu. Pada umumnya, seniman itu peka dengan apa yang terjadi disekitar mereka. Apa yang dituangkan dalam sebuah lagu merupakan gambaran suasana kurun waktu tersebut. Seniman itulah yang menginterpretasikan situasi dan kondisi pertempuran sehinggga dijadikan menjadi sebah lagu untuk menambah spirit.60
Contoh lagu perjuangan yang lahir pada masa revolusi perjuangan adalah lagu
yang berjudul “Butet”. Bukan hanya orang batak, lagu ini bahkan sudah familiar bagi
bnayak orang diluar suku batak. Lagu butet, lagu yang mengalun dengan tempo yang mendayu ini sudah menjadi sebuah lagu yang melegenda.
60 Wawancara dengan Wara Sinuhaji Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara,pada tanggal 22 Juli 2015, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, mengenai peranan seniman pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur.
(54)
Dari lirik tersebut dapat kita rasakan bagaimana kondisi saat peperangan itu terjadi. Ayahnya rela meninggalkan istri dan ankanya demi mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia. Dalam kehidupan, harta yang paling berharga adalah keluarga kita, namun itu pun ditinggalkan bahkan nyawa sekalipun dikorbankan untuk tanah air Indonesia tercinta.
Selain lagu Butet, terdapat sebuah lagu dari Tanah Karo yang berjudul
“Erkata Bedil”, yang merupakan sebuah lagu perjuangan yang lahir pada saat
mempertahankan kemerdekaan.
Erkata Bedil adalah salah satu lagu perjuangan dari daerah Karo yang diciptakan oleh almarhum Djaga Depari. Jika lagu ini diterjemahkan kedalam bahasa
(55)
kuta Medan (bunyi/dentuman senjata di kota Medan) adalah kalimat pembuka dari
syair lagu ini, serta di baris kedua dilanjutkan dengan kalimat ngataken kami maju ngelawan (sebagai pertanda/panggilan bagi kami untuk maju melawan). Itulah dua baris kalimat pada bait pembuka dari lagu karya Djaga Depari ini.
Berkobarnya peperangan di kota Medan menjadi rasa tanggung jawab bagi pemuda/pemudi karo di wilayah-wilayah Tanah Karo lainnya untuk membantu saudara-saudaranya yang di Kota Medan. Perang di Medan adalah perang bagi seluruh wilayah dan masyarakat Karo, sehingga sering dikatakan “dari Medan Area
menuju Karo Area”. Dari makna lagu tersebut kita dapat melihat gambaran betapa
pentingnya kemerdekaan tersebut untuk dipertahankan.
Selain lagu-lagu diatas, terdapat beberapa lagu yang lahir pada saat mempertahnkan kemerdekaan di Sumatera Timur, diantaranya adalah Mariam Tomong, awaslah NICA/Belanda, Letnan Kadir (lagu yang didedikasikan khusus untuk Letnan Kadir), O turang, O bayangan, Marilah Pemuda-pemudi, Sora Mido dan lain-lain.
Di dalam buku yang berjudul Djaga Depari Seorang Komponis dari Tanah Karo diceritakan bagaimana kondisi setelah terjadinya gencatan senjata, antara lain dikatakan; “setelah pulang mengungsi, keadaan saat itu tidak menentu banyak orang
kehilangan anggota keluarganya, apakah mati ditembak musuh, mati dimakan binatang buas, di hutan, tersesat, cacat dan lain-lain. Melihat keadaan tersebut
(56)
inspirasi Djaga Depari pun timbul ketika ia melintas makam pahlawan dan mendengar tangisan sendu dihadapan pusara orang yang dikasihinya. Hatinya sungguh pilu bercampur sedih mendengar suara tangisan itu. Jiwa seninya pun meronta , memaksa kalbunya untuk melakukan penghiburan kepada mereka. Dari kejauhan terbayang rasa pilu yang menimpa teman-temannya. Ia termenung, hatinya sedih, kepada siapakh dia mengadu, akhirnya semuanya itu dituangkannya kedalam
sebuah lagu yang diberinya judul “Sora Mido” yang berarti suara himbauan”.
Dalam lagu Sora Mido ini Djaga Depari menghimbau kepada para pemimpin bangsa, agar janganlah serakah dan main-main. Karena dulu, nyawa dan darah adalah taruhan untuk kemerdekaan bangsa ini. Lihatlah air mata anak yatim dan para janda, tutunlah teman kita yang timpang dan saling mengasihanilah kamu karena Cuma itulah tangisan dan tuntutan orang-orang yang berjuang.
Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, para seniman masing-masing telah memainkan peranannya melalui karya-karyanya. Semuanya itu didedikasikan untuk membangkitkan dan membakar api semangat juang demi tercapainya kemerdekaan bumi pertiwi Indonesia. Kontribusi yang diberikan oleh seniman musik pada saat itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Sumbangan seniman-seniman musik terhadap semangat perjuangan kemerdekaan sangat besar, melalui syair-syair lagu yang indah, merdu dan bergairah dengan nuansa perjuangan sangat besar pengaruhnya terhadap semangat perjuangan. Syair-syair lagu pada masa perjuangan sangat menyentuh hati sanubari para pejuang.
(57)
4.2 Seniman Lukis
Salah satu bentuk dukungan seniman terhadap proklamasi adalah munculnya berbagai produk seni sebagai ungkapan mereka dalam mengekspresikan dirinya. Para pelukis dukungannya lewat lukisan/gambar-gambarnya yang sesuai dengan kondisi yang terjadi waktu itu.
Dalam menggugah jiwa dan semangat segenap lapisan masyarakat untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17-Agustus-1945 itu, peranan yang dilaksanakan oleh para pelukis kita juga tidak kurang hebatnya. Pelukis-pelukis kita memulai masa kebangkitannya pada masa Jepang. Setelah Indonesia merdeka,mereka mengabdikan baktinya dalam berbagai kesatuan perjuangan. Dengan alat-alat yang serba sederhana pelukis-pelukis itu mengolah tepas, triplek, kain-kain belacu, bahkan tembok-tembok dan dinding-dinding gedung menjadi wadah yang menggugah jiwa kemerdekaan.
Lukisan-lukisan yang mereka pamerkan dan sebarkan ke tengah-tengah masyarakat adalah lukisan jenis realis, mantap dan tepat dengan tuntutan situasi yang sedang bergolak pada saat itu. Seniman-seniman lukis di Sumatera Timur pada masa revolusi menyalurkan kreatifitas dan bakat artistiknya lewat berbagai aktifitas. Produk-produk seniman lukis yang berperan besar pada masa revolusi di Sumatera Timur meliputi:
(58)
4.2.1 Coretan-coretan Perjuangan
Di Sumatera Timur ketika itu coretan-coretan yang bernafaskan perjuangan sangat menonjol, bahkan dengan slogan-slogan heroik. Dinding-dinding toko atau bangunan, mobil, kereta api, ditulisi dengan cat-cat minyak yang bahannya tinggal diambil saja dari toko-toko besi setempat. Bahkan pada waktu itu ada yang menyumbangkan cat-cat minyak untuk perjuangan. Corat-coret yang bernafaskan perjuangan ternyata sangat efektif untuk menggugah semangat perjuangan.
Corat-coret tersebut diantaranya “MERDEKA ATAU MATI”, LEBIH BAIK MATI
BERPUTIH TULANG BERKALANG TANAH DARIPADA HIDUP DIJAJAH”.61
Dalam tulisan tersebut menunjukkan betapa hebatnya gelora semangat juang rakyat Indonesia melawan penjajah ketika itu. Coretan-coretan itu pada hakekatnya merupakan suatu ungkapan dari rakyat Indonesia khususnya rakyat Sumatera Timur yang dimotori oleh para seniman lukis untuk menolak segala bentuk penjajahan kembali dan mempertahankan Negara RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dilain pihak, Belanda tetap mempertahankan pendiriannya untuk kembali ingin berkuasa di Negara Republik Indonesia yang sudah merdeka. Maka coretan-coretan perjuangan juga semakin berani dalam mengungkapkan kata-katanya. Misalnya, coretan perjuangan yang berbunyi:
DOWN WITH IMPERIALISM
WE WANT PEACE AND ORDER
(59)
INDONESIA FIGHTS FOR PURE DEMOCRACY
ONCE FREE FOR OVER FREE
Bahkan ada coretan-coretan yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa di luar negeri terutama dari Australia yang intinya mendukung perjuangan bangsa Indonesia.
Coretan itu berbunyi “STOP USE OF THE MATERIAL TO MURDER INDONESIANS”. Bahkan ada 6 pelajar Sekolah Teknik pernah semalam suntuk bekerja keras menulisi corat-coret pada 50 gerbong trem listrik dengan berbagai
semboyan berbahasa Inggris yaitu “FREE FOREVER FREE, WE WANT SELF
DETERMINATION, FREEDOM OR DEAD, INDONESIAN PEOPLE AGAINST
IMPERALISM, WE STRUGGLE FOR LIFE”. Semuanya itu dilakukan oleh mereka dengan penuh semangat tanpa mengenal lelah dan pamrih.62
4.2.2 Poster Perjuangan
Para pelukis menyadari bahwa pada revolusi tahun 1945-1949, para seniman juga harus mengambil peran yang lebih nyata dalam perjuangan. Dengan pembuatan poster merupakan sebuah wujud nyata dalam mendukung kemerdekaan dengan menjadikannya sebgai alat komunikasi umum kepada masyarakat.
Ide pembuatan poster untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Bung Karno. Usulan tersebut kemudian disampaikan kepada S. Sudjojono sebagai seniman senior dan kepala seksi kebudayaan di Jawa Hokokai. S. Sudjojono kemudian menyerahkan
62
Tashadi, dkk, Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan di Provinsi Jawa Timur 1945-1949. (Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya, 1999), hlm 63.
(60)
tugas tersebut kepada seniman Affandi. Affandi pertama kalinya mengrjakan pembuatan poster tersebut dengan menggambar seorang pemuda berbaju emeja putih dengan meneriakkan “Merdeka”. Pergelangan pemuda itu terborgol dengan rantai yang sudah terputus. Lukisan dalam poster tersebut berlatarbelakangkan Bendera Merah Putih. Poster tersebut dilukiskan diatas kertas poster berukuran 80 x 100 cm.
Poster karya Affandi tersebut dilengkapi dengan senuah tulisan yang merupakan usulan dari seorang penyair yaitu Chairil Anwar. Tulisan tersebut berbunyi Boeng Ajo Boeng, diletakkan dibawah lukisan Affandi. Kalimat yang disertakan dalam poster perjuangan tersebut merupakan sebuah kalimat yang membangkitkan semangat.
Gambar 1: Affandi, Poster perjuangan,
Sumber: koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Poster tersebut kemudian diperbanyak oleh Dullah dengan cara menjiplak atau mengeblat diatas kertas pastoor. Poster yang telah diperbanyak tersebut
(61)
kemudian disebarkan ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk Sumatera Timur poster ini dapat kita temui di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Poster-poster perjuangan pada masa revolusi bermunculan di berbagai tempat di Sumatera Timur. Poster-poster tersebut intinya mengajak rakyat untuk tegar dalam membela kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Poster-poster awal revolusi yang banyak ditempel di pusat kota Medan antara lain gambar dan tulisannya menggambarkan semangat juang bangsa.
Poster perjuangan pada saat itu mempunyai fungsi penting yaitu sebagai sarana penyampaian informasi sekaligus ajakan untuk masyarakat. Poster menjadi sangat penting, karena media seperti radio dan Surat Kabar tidak berfungsi dengan baik, hal ini terjadi akibat kekacauan yang dibuat oleh Belanda.
4.2.3 Lukisan perjuangan
Lukisan perjuangan dalam hal ini tidak harus karya lukis yang diciptakan oleh seorang pelukis yang menghayati revolusi, namun setidak-tidaknya diciptakan oleh sang pelukis yang menghayati revolusi, baik sebagai pelaku revolusi maupun yang tidak terlibat langsung dalam revolusi tersebut. Adapun penghayatan akan revolusi dan pelukisnya dapat saja dilakukan sesudah revolusi usai, walaupun aktualitas dan refleksinya akan jauh lebih tinggi apabila pelaksanaanya berdekatan dengan ruang dan waktu dengan saat terjadinya peristiwa.
(62)
Lukisan adalah sebuah kesaksian dari para pelukis dalam kancah revolusi. Berbeda dengan poster dan coretan perjuangan yang memang karya penggerak semangat nasionalisme. Lukisan perjuangan merupakan rekaman/catatan yang berwujud gambar ataupun sketsa peristiwa yang telah terjadi pada saat revolusi. Berikut merupakan lukisan-lukisan perjuangan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sumatera Timur pada kurun waktu 1945-1949.
Gambar 2: NN, Laskar Rakyat berencana menggempur kedudukan Belanda Sumber: Koleksi Museum TNI Sumatera Utara.
(63)
Gambar 15 : NN, Sebuah lukisan yang menggabrkan pasukan Gerilya sektor-I dengan sukses melekasankan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di
Kampung Mesjid dengan taktik “pasang naik” pada tanggal 24 Juni 1949 pukul 04.30
pagi.
Sumber : Koleksi Museum TNI Sumatera Utara.
Gambar 16: NN, Lukisan yang menggabarkan pendaratan pasukan Belanda di Pantai Cermin secara besar-besaran dengan maksud menguasai Indonesia kembali, namun kedatangan mereka disambut oleh pasukan penjaga pantai dengan tembakan-tembakan senjata berat dan bren dengan semangat berapi-api pada tanggal 27 juli
1947.
(64)
Gambar 5: NN, Sebuah lukisan yang menggambarkan bahwa pada tanggal 25 November 1945, tentara Inggris menurunkan bendera Merah-Putih dan menggantikan
dengan bendera Inggris di sebuah hotel di Berastagi, mengakibatkan pemuda dan masyarakat marah dan serentak menyerbu tentara Inggris dan pada hari itu juga
Inggris meninggalkan Berastagi.
Sumber : Koleksi Museum TNI Sumatera Utara.
Gambar 6:
Affandi, Laskar Rakjat Mengatoer Siasat,1946, Cat Minyak pada canvas. (Koleksi Presiden Soekarno dan terdapat juga di Perpustakaan Tengku Luckman
(65)
Gambar 7:
S. Sudjojono, Kawan-Kawan Revolusi (Koleksi Presiden Soekarno yang terdapat juga di Perpustakaan Tengku Luckman Sinar).
Gambar 8 :
Peristiwa Penyerangan terhadap Pension Wilhelmina tanggal 13 Oktober 1945. Sumber: koleksi Muhammad TWH.
Gambar 9: Peristiwa Siantar Hotel
(66)
Gambar 10 :
MY. Soekarno, Para pejuang memutuskan saluran pipa air di Sibolangit yang mengalirkan air bersih ke Medan. Maksud dari pemotongan itu adalah untuk memaksa Belanda/Inggris mengakui secara De Facto pemerintahan RI di Sumatera
Utara.
Sumber: Koleksi Muhammad TWH
Gambar 11 : sebuah lukisan yang menggambarkan bahwa rakyat kita tidak mau bergaul dengan kaum penjajah. Lebih baik menyingkir ke hutan daripada menderita dalam pemerintahan kaum penjajahan pada saat terjadinya Agresi Militer
Belanda yang pertama tahun 1947. Sumber: Museum TNI Sumatera Utara
(1)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pembagian suku-suku di Sumatera Timur tahun 1930... 23
Tabel 2.2 Jumlah penduduk yang tinggal di Onderneming dan persentase terhadap
jumlah penduduk seluruhnya di tahun 1930... 24
Tabel 2.3 Penduduk Sumatera Timur menurut sensus 1930 dan data Jepang sampai
10 Maret 1943... 25
(2)
ix
DAFTAR SINGKATAN
1. NICA : Netherlands Indies Civil Administration 2. BPI : Barisan Pemuda Indonesia
3. DPD : Dewan Perwakilan Daerah 4. UI : Universitas Indonesia
5. KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana 6. UUD : Undang-Undang Dasar
7. PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 8. KNI : Komite Nasional Indonesia
9. KNIL : Koninklijke Nederlands Indische Leger 10.BKPI : Badan Kontak Pelajar Islam
11.PP : Persatuan Perjuangan 12.PSI : Partai Sosialis Indonesia 13.PNI : Partai Nasional indonesia 14.PKI : Partai Komunis Indonesia 15.BHL : Barisan Harimau Liar
16.NAPINDO : Nasionalis Pelopor Indonesia 17.PESINDO : Pemuda Sosialis Indonesia 18.NIS : Negara Indonesia Serikat 19.NST : Negara Sumatera Timur 20.TRI : Tentara Republik Indonesia
(3)
21.RIMA : Resimen Istimewa Medan Area 22.NRI : Negara Republik Indonesia 23.TNI : Tentara Nasional Indonesia 24.KTN : Komisi Tiga Negara
25.PDRI : Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 26.KSBO : Komando Sektor Barat dan Oetara
27.GERINDO : Gerakan Rakyat Indonesia 28.LEKRA : Lembaga Kebudayaan Rakyat
(4)
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Coretan Perjuangan
Gambar 2. Poster Perjuangan
Gambar 3. Lukisan, Laskar Rakyat Mengatur Siasat
Gambar 4. Kawan-kawan revolusi
Gambar 5. Peristiwa Pension Wilhelmina
Gambar 6. Peristiwa Siantar Hotel
Gambar 7. Pejuang Memutus Pipa Air di Sibolangit
Gambar 8. Megungsi
Gambar 9. Sebuah kampung di Tanah Karo terbakar
Gambar 10. Peristiwa 10 Desember 1945
Gambar 11. Merebut kembali Labuhan Deli
Gambar 12. Pertunjukan Sandiwara
Gambar 13. Praktek tentara pendudukan asing
Gambar 14. Laskar rakyat menyusun rencana
Gambar 15. Peristiwa kampung mesjid
(5)
Gambar 16. Pendaratan pasukan Belanda di Pantai Cermin
Gambar 17. Mengusir pasukan Inggris dari Berastagi
Ganbar 18. Boeng ajo boeng
Gambar 19. Poster perjuangan
Gambar 20. Poster perjuangan
(6)
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Naskah perjanjian Linggarjati
Lampiran 2. Peta Sumatera Timur
Lampiran 3. Monumen Lily Suheyri
Lampiran 4. Monumen Djaga Depari
Lampiran 5. S. Sudjojono
Lampiran 6. Persiapan gerilya
Lampiran 7. Rakyat mengungsi
Lampiran 8. Suasana setelah perang
Lampiran 9. Upacara di lapangan Merdeka
Lampiran 10. Arfi Rahmat
Lampiran 11. Foto dengan Victor Hutabarat
Lampiran 12. Foto dengan Sumbat Sembiring, Veteren Pejuang
Lampiran 13. Surat dukungan dari negara Syria terhadap bangsa Indonesia.