Teater Sandiwara Seni Dan Politik: Peranan Seniman Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Di Sumatera Timur (1945-1949)

81 nasional indonesia tidak dapat dipatahkan sehingga belanda meninggalkan treves two rivers dengan membawa korban-korbannya. Sumber: Museum TNI Sumatera Utara. Gambar 14: Lukisan sebelah kiri merupakan perjuangan memperebutkan kembali kota Bangun Labuhan Deli. Lukisan sebelah kanan menggambarkan suasana sehabis perang mempertahankan kemerdekaan. Sumber : Koleksi Muhammad TWH. Adapun serentetan nama pelukis-pelukis Sumatera Timur yang kemudian menjadi terkenal, antara lain adalah A.Wahid, Daoed Yusuf, M. Idris, M. Yunan Dalimunte, Syarif Ismail dan Tahir Harahap. Arfi Rahmat

4.3 Teater Sandiwara

Seni petunjukan yang telah berumur sangat tua adalah teater. Teater muncul pada saat seorang bernama Thespis berkebangsaan Yunani melakukan kegiatan di atas bukit. Dia berlakon diatas bukit Yunani dengan menampilkan cerita-cerita dewa Yunani kuno. Thespis berlakon di tempat yang agak tinggi sehingga mendorong orang untuk berkerumun melihatnya. Pada mulanya lahirnya teater ini orang tidak tau apa nama pertunjukan tersebut, yang penting mereka melihat gerkan-gerakan yang Universitas Sumatera Utara 82 mempesona dan mendengar dialog-dialog yang memikat yang menyebabkan penonton tidak menanjak dari tempat berdirinya. Thespis merupakan “Bapak Aktor” dalam dunia teater, dan aktor pertama yang membuka jalan untuk perkembangan teater selanjutnya. Sandiwara teater adalah hasil kerja sastra dan juga hasil kerja seni. Bukan hanya semata-mata sastera dan juga bukan hanya semata-mata seni. Sastera menurut arti aslinya berasal dari kata “castra”, sesuai dengan filsafat hindu adalah “alat pengajaran” yaitu buku ilmu pengetahuan. Kesenian dapat ditafsirkan sebagai penjelmaan getaran jiwa yang memandang alam dari jurusan keindahan. Kesenian menjelmakan jeritan jiwa dalam bentuk keindahan pada hakekatnya tersimpul dalam paduan yang harmonis antara kehidupan berperasaan yang halus dengan dunia penjelmaan yang indah. Dalam seni sastera penjelmaannya dalam kata-kata. Sedngkan dalam seni sandiwara menjelma dalam perpaduan yang harmonis antara sekian banyak cabang seni yang mewujudkan sandiwara di atas pentas. 63 Kaum pergerakan menggunakan sarana sandiwara dimasa yang lalu digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan menanamkan rasa cinta tanah air. Tujuan utama yang dilakukan melalui pertunjukan sandiwara, lenong, lawak, dan sebagainya adalah “komunikasi tradisional”. Sasaran komunikasi tradisional adalah; mendidik, memberininformasi dan menghibur. Tujuan 63 Muhammad TWH, Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara, Medan, Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan R.I., hlm. 1-5. Universitas Sumatera Utara 83 dari komunikasi lainnya baik komunikasi massa dengan sarananya media cetak dan media elektronik adalah sama dengan apa yang dilakukan oleh komunikasi tradisional itu. Ketika kota Medan diduduki oleh sekutu dan tentara Belanda, para pemuda yang selama ini aktif dalam kegiatan drama, mendaftarkan diri menjadi anggota lasykar. Karena keadaan dalam kota Medan pada bulan-bulan berikutnya semakin memanas apalagi setelah peristiwa di jalan Bali “Pensiun Wilhelmina”, disusul lagi dengan penyerbuan oleh pemuda pejuang terhadap Siantar Hotel, maka secara berangsur-angsur anggota lasykar menyingkir keluar kota untuk bergerilya, dalam hal ini termasuk aktifis-aktifis seni drama. Diantara pemuda pejuang yang hijrah keluar kota itu adalah Arif Husin Siregar Momoni Ariva bersama-sama Das Chall, M.Tahir Harahap Bustami, Syahruddin Dena Ardansa dan lain-lain. Para pekerja sandiwara menyadari, bahwa pentas juga merupakan sarana untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan. Pada tahun 1946 di Tebing Tinggi dibentuk grup teater “Sriwedari” dipimpin oleh Anwar Dharma, Usman Siregar, dan Asnir Gus. Diantara lakon yang dipentaskan adalah “memendam rasa” dengan pelaku utamanya adalah Usman Siregar, Zubaedah dll. sedangkan lakon “Jalan Pulang” juga peran utamanya adalah Usman Siregar dan Rozanna. Tahun 1947 di P.Siantar dibentuk grup sandiwara “Srimpi” oleh M.Arief. R. Kamarsyah, M. Tahir Harahap dan Yusuf Said. Lakon-lakon yang dipentaskan yang Universitas Sumatera Utara 84 bertemakan perjuangan buah tangan Das Chall Wan Calidin. Diantara cerita yang dipentaskan adalah “selendang Pelangi” dengan pemain-pemainnya Lily Bustaman, Idrus dll. Lakon “bayangan” para pelakunya adalah Darmawan Nasution, Mustafa K. Salim, sutradara Das Chall. Tahun 1948 para pekerja sandiwara itu masuk ke Medan yang telah dikuasai oleh Belanda, dan kelompok “sriwedari” mengadakan pertunjukan di Bioskop Metropole. Lakon yang dibawa adalah “selendang pelangi” Usman Siregar- Rozanna “cempaka putih” Rozanna-usman Siregar. “dibawah Lentera Jalan” pelakunya adalah Liliy Bustaman dan Usman Siregar. Beberapa bulan menjelang Agresi Militer I atas inisiatif Bachtiar Siagian dan Derita Sp, diadakan konperensi Sandiwara se- Sumatera Timur di Tebing Tinggi yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 kelompok sandiwara. Adapaun topik yang dibahas dalam pertemuan ini adalah apakah andil sandiwara dalam mempertahankan kemerdekaan. Konperensi ini kemudian melahirkan satu gabungan yang bertugas mengolah kegiatan sandiwara teater yang diberi nama GUSTI Gabungan Usaha Seni Tonil Indonesia. Tetapi badan ini belum sempat berbuat banyak, karena Belanda melancarkan agresinya yang pertama yaitu tepat pada tanggal 21 Juli 1947. Para pejuang tentu harus meninggalkan kota Tebing Tinggi masuk hutan untuk bergerilya, sembari mencari jalan untuk masuk kembali ke dalam kota Medan untuk melanjutkan perjuangan. Pada tahun 1948 Arif Husin siregar bersama-sama Usman Siregar dan teman- temannya yang lain mendirikan grup sadiwara di kota Medan dengan nama Universitas Sumatera Utara 85 “sriwedari”. Kelompok ini mementaskan cerita-cerita karya dena Ardansa “Cempaka Putih”, karya Surapati, “Memendam Rasa” karya Rustamn Effendi “Dibawah Lentera”. Tahun 1949 di medan pernah berdiri grup “Gema” adalah “Bunga Rumah Makan” Utuy T. Sontany, Intelek Istimewa Dr. Abu Hanifah, “Lorong Belakang” Bachtiar Siagian. Antara tahun 1948-1950 hanya ada 3 kelompok sandiwara yang memperlihatkan aktifitasnya, yaitu : “Sriwedari”, “Gema”, dan “Arcadia”. Setelah tahun 1951 di Medan terbentuklah “Lembaga Kebudayaan rakyat” LEKRA. 64 Salah satu tokoh perjuangan yang berjuang melalui seni sandiwara teater ini adalah Ahmad CB. Karirnya di atas pentas dimulai dari tahun 1931 di Medan ketika dia masih berusia 16 tahun. Dalam usia yang masih muda dalam lubuk hati dan relung sanubari Ahmad CB telah tertanam rasa kebangsaan. Hal ini dapat kita lihat dengan bergabungnya beliau sebagai anggota Jong Islamitan Bond, anggota “Indonesia Muda”, kemudian menjadi anggota GERINDO Gerakan Rakyat Indonesia. Pada tahun 1935 didirikannyalah sebuah perkumpulan sandiwara yang bernama “Asmara Dhana”. Melalui group asmara Dhana ini Ahmad CB melakukan berbagai aktivitasnya untuk mendukung kemerdekaan di Sumatera Timur. Rasa kebangsaan yang ada di dalam dirinya itu selalu dimanifestasikan melalui seni pentas dan lagu-lagu gubahannya. 64 Ibid., hlm. 53-56. Universitas Sumatera Utara 86 Gambar 15 : Salah satu contoh pertunjukan Sandiwara pada saat perjuangan kemerdekaan. Sumber: koleksi Perpustakaan Tuanku Luckman Sinar

4.4. Seniman Sastera