BAB TIGA PULUH SATU PERCY
BAB TIGA PULUH SATU PERCY
IDE HEBAT ACAP KALI TERCETUS berkat kegagalan total. Selagi Percy berdiri di sana, tanpa senjata dan kalah jumlah, sebuah rencana terbentuk di kepalanya. Saking seringnya dicekoki legenda Yunani informatif oleh Annabeth, Percy heran sendiri karena dirinya ternyata masih mengingat sesuatu yang bermanfaat, tapi dia hams bertindak cepat. Dia tidak bisa membiarkan hal buruk menimpa teman- temannya. Dia tidak rela kehilangan Annabeth tidak lagi. Chrysaor tidak bisa dikalahkan. Tidak dalam satu pertarungan saja. Namun, tanpa krunya mungkin saja dia bakal kewalahan andai diserang berbarengan oleh sejumlah demigod. Bagaimana caranya membereskan kru Chrysaor? Percy menghimpun fakta yang sudah dia ketahui: para bajak Taut diubah jadi lumba-lumba bermilenium- milenium lalu ketika mereka menculik orang yang salah. Percy tahu cerita itu. Malahan, orang yang salah tersebut pernah mengancam bakal menjadikan Percy lumba-lumba. Dan sewaktu Chrysaor mengatakan krunya tidak takut apa-apa, salah satu lumba-lumba dengan gugup mengoreksinya. Ya, kata Chrysaor. Tetapi dia IDE HEBAT ACAP KALI TERCETUS berkat kegagalan total. Selagi Percy berdiri di sana, tanpa senjata dan kalah jumlah, sebuah rencana terbentuk di kepalanya. Saking seringnya dicekoki legenda Yunani informatif oleh Annabeth, Percy heran sendiri karena dirinya ternyata masih mengingat sesuatu yang bermanfaat, tapi dia hams bertindak cepat. Dia tidak bisa membiarkan hal buruk menimpa teman- temannya. Dia tidak rela kehilangan Annabeth tidak lagi. Chrysaor tidak bisa dikalahkan. Tidak dalam satu pertarungan saja. Namun, tanpa krunya mungkin saja dia bakal kewalahan andai diserang berbarengan oleh sejumlah demigod. Bagaimana caranya membereskan kru Chrysaor? Percy menghimpun fakta yang sudah dia ketahui: para bajak Taut diubah jadi lumba-lumba bermilenium- milenium lalu ketika mereka menculik orang yang salah. Percy tahu cerita itu. Malahan, orang yang salah tersebut pernah mengancam bakal menjadikan Percy lumba-lumba. Dan sewaktu Chrysaor mengatakan krunya tidak takut apa-apa, salah satu lumba-lumba dengan gugup mengoreksinya. Ya, kata Chrysaor. Tetapi dia
Hazel dan Piper sudah tidak terkejang-kejang lagi. Mereka duduk di geladak, menatap Percy sambil melongo, tapi ketika dia memelototi mereka dengan galak, keduanya mulai menggila kembali, gemetaran dan menggelepar seperti ikan. Para manusia lumba-lumba berebutan menjauhkan diri dari tawanan mereka. "Penipu!" gerung Chrysaor, "tutup mulutmu, Percy Jackson. Direktur perkemahan kalian tidak ada di sini. Dia dipanggil pulang ke Olympus. Itu pengetahuan umum." "Jadi, kau mengakui bahwa Dionysus adalah direktur kami!" kata Percy. "Dulunya direktur kalian," ralat Chrysaor, "semua orang tabu itu. Percy menunjuk si pendekar emas, seolah dia baru saja membongkar rahasianya sendiri. "Kalian lihat? Tamat riwayat kita. Kalau kalian tak percaya padaku, biar kuperiksa peti es!" Percy menerjang ke peti pendingin ajaib. Tak seorang pun berusaha menghentikannya. Dia membuka tutup peti dan mengaduk- aduk es. Pasti ada sesuatu. Harus ada. Berkat usaha-nya, Percy dihadiahi kaleng soda berwarna perak- merah. Dia mengacungkan kaleng itu kepada para pendekar lumba-lumba seperti hendak menyemprot mereka dengan obat pembasmi serangga. "Saksikanlah!" teriak Percy, "minuman pilihan sang dewa. Tundukkan diri kalian di hadapan kekuatan Diet Coke nan menakutkan!" Para manusia lumba-lumba mulai panik. Mereka sepertinya ingin mundur saja. Percy bisa merasakannya. "Sang dewa akan mengambil alih kapal kalian." Percy memperingatkan. "Dia akan menyempurnakan transformasi kalian jadi lumba-lumba, atau membuat kalian gila, atau mengubah kalian jadi lumba-lumba sinting! Cepat kabur sana, kalau kalian ingin selamat!" "Konyol!" ujar Chrysaor dengan suara melengking. Dia tampaknya tidak yakin harus menodongkan pedang ke mana —kepada Percy atau krunya sendiri. "Selamatkan din kalian!" Percy memperingatkan. "Sudah terlambat bagi kami!" Kemudian, Percy tercekat dan menunjuk ke lokasi persem-bunyian Frank. "Oh, tidak! Frank berubah jadi lumba-lumba gila!" Tak ada yang terjadi. "Kataku." Percy mengulangi, "Frank berubah jadi lumba-lumba gila!" Frank tergopoh-gopoh keluar entah dari mana sambil men-cekik lehernya dengan sikap dibuat-buat. "Oh, tidak," katanya, seperti sedang membaca teleprompter, "aku berubah jadi lumba-lumba gila." Dia mulai berubah, hidungnya memanjang hingga jadi moncong, kulitnya berubah
jadi mulus dan kelabu. Dia jatuh ke geladak sebagai lumba-lumba, ekornya memukul-mukul lantai papan. Kru bajak laut bubar karena ngeri, menjatuhkan senjata sambil berceloteh dan berdecak, melupakan para tawanan, mengabaikan perintah Chrysaor, dan melompat turun dari kapal. Di tengah kericuhan tersebut, Annabeth bergerak cepat untuk memotong tali pengikat Hazel, Piper, dan Pak Pelatih Hedge. Dalam hitungan detik, Chrysaor tinggal sendirian dan terkepung. Percy dan teman-temannya tidak bersenjata, terkecuali pisau Annabeth dan kuku belah Hedge, tapi ekspresi ganas di wajah mereka meyakinkan sang pendekar emas bahwa dia sudah tamat. Chrysaor mundur ke langkan. "Ini belum selesai, Jackson," geram Chrysaor, "aku akan membalas —)) Kata-katanya dipotong oleh Frank, yang berubah wujud lagi. Beruang seberat empat ratus kilogram jelas bisa memotong pembicaraan. Dia menghajar Chrysaor dan menggaruk topeng emas sehingga terlepas dari helmnya. Chrysaor menjerit, seketika menutupi wajah dengan lengan dan terguling ke dalam air. Mereka lari ke langkan. Chrysaor telah menghilang. Percy mempertimbangkan untuk mengejar si pendekar, tapi dia tidak mengenal perairan ini. Lagi pula, dia tidak mau menghadapi lelaki itu sendirian lagi. "Rencana brilian!" Puji Annabeth, membuat Percy merasa jauh lebih baik. "Sebenarnya, hanya nekat," ralat Percy, "kita harus menyingkirkan trireme perompak." "Mau dibakar?" tanya Annabeth. Percy memandang Diet Coke di tangannya. "Jangan. Aku punya ide lain." Waktu yang dibutuhkan lebih lama daripada perkiraan Percy. Selagi mereka bekerja, Percy berkali-kali melirik ke laut, menantikan kembalinya Chrysaor dan bajak laut lumba-lumba, tapi mereka tidak muncul-muncul. Leo bisa berdiri lagi, berkat sedikit nektar. Piper merawat luka Jason, tapi ternyata luka Jason tak separate kelihatannya. Dia hanya malu karena lagi-lagi ditaklukkan. Percy bisa berempati padanya. Mereka mengembalikan semua perbekalan ke tempat semula dan merapikan kapal yang berantakan gara-gara serangan tadi, sedangkan Pak Pelatih Hedge berpesta pora di kapal musuh, menghancurkan semua yang bisa dia temukan dengan tongkat bisbolnya. Ketika mereka sudah selesai, Percy mengembalikan senjata musuh ke kapal perompak. Ruang penyimpanan di kapal tersebut penuh harta karun, tapi Percy bersikeras agar mereka tak menyentuh apa-apa. "Aku bisa merasakan emas seharga kira-kira enam juta dolar di atas kapal," kata Hazel, "ada juga berlian, rubi--" "Enam j-juta?" Frank terbata. Molar Kanada atau Amerika?" "Tinggalkan saja," kata Percy, "akan kita jadikan persembahan." "Persembahan?" tanya Hazel. "Oh." Piper mengangguk. "Kansas." Jason nyengir. Dia juga hadir ketika mereka bertemu sang Dewa Anggur. "Gila. Tetapi aku suka." Akhirnya Percy menaiki kapal perompak dan membuka katup banjir. Percy meminta Leo mengebor beberapa lubang tambahan di dasar lambung dengan perkakasnya, dan Leo pun mengiyakan dengan senang hati. Kru Argo II berkumpul di balik langkan dan memotong tambang berkait. Piper mengeluarkan kornukopianya yang baru dan, berdasarkan instruksi Percy, meminta tanduk itu agar menyemburkan Diet Coke —yang memancar dengan tekanan sedahsyat semburan selang pemadam kebakaran —ke geladak kapal musuh. Percy kira bakal butuh waktu berjam-jam, tapi kapal itu tenggelam cepat sekali, terisi Diet Coke dan air laut. "Dionysus," seru Percy sambil mengangkat topeng emas Chrysaor, "atau Bacchus —yang mana sajalah. Engkau telah mewujudkan kemenangan ini, sekalipun Engkau tak di sini. Musuh-musuh-Mu bertekuk lutut saat mendengar nama-Mu atau saat melihat Diet Coke kesukaan-Mu, atau apalah. Jadi, anu, makasih."
Susah mengeluarkan kata-kata itu, tapi Percy mampu menahan diri sehingga tidak muntah. "Kami haturkan kapal ini kepada-Mu sebagai persembahan. Kami harap Engkau menyukainya." "Emas senilai
enam juta," gumam Leo, " awas saja kalau dia tidak suka." "Ssst," tegur Hazel, "logam mulia tidak hebat- hebat amat. Percayalah padaku." Percy melemparkan topeng emas ke atas kapal, yang kini tenggelam semakin cepat, cairan cokelat berbusa muncrat dari celah dayung trireme tersebut dan menggelegak dari palka, menjadikan laut berbuih cokelat. Percy memanggil ombak, dan terendamlah kapal musuh itu. Leo menyetir Argo II menjauh selagi kapal perompak menghilang ke bawah air. "Yang barusan itu mencemari laut, kan?" tanya Piper. "Aku takkan khawatir," kata Jason kepadanya, "kalau Bacchus menyukai persembahan kita, kapal itu bakal lenyap." Percy tidak tahu apakah itu akan terjadi, tapi dia merasa telah berbuat sebisanya. Dia tidak yakin Dionysus bakal mendengar atau peduli pada mereka, apalagi menolong mereka dalam pertempuran melawan raksasa kembar, tapi dia harus mencoba. Sementara Argo II menembus kabut ke timur, Percy menyimpulkan bahwa setidaknya ada sate hal positif yang dia dapat dari adu pedang melawan Chrysaor. Dia jadi rendah hati-- cukup rendah hati sampai-sampai rela memberikan persembahan kepada si pria anggur. Setelah bentrokan dengan bajak laut, mereka memutuskan untuk terbang ke Roma. Jason bersikeras bahwa dia sudah pulih sehingga sanggup mengemban tugas jaga, beserta Pak Pelatih Hedge, yang masih menggebu-gebu karena aliran adrenalin. Sehingga, tiap kali kapal diombang-ambingkan turbulensi, sang satir mengayunkan tongkat dan berteriak, "Mati!" Fajar tinggal beberapa jam lagi. Jadi, Jason menyarankan agar Percy tidur sebentar. "Tidak apa-apa, Bung," ujar Jason, "beri orang lain kesempatan untuk menyelamatkan kapal ini, ya?" Percy menuruti saran Jason. Namun, begitu masuk ke kabin, Percy sulit jatuh tertidur. Dia menatap lentera perunggu yang terayun di langit-langit dan memikirkan betapa gampangnya Chrysaor mengalahkannya dalam adu pedang. Si pendekar emas bisa saja membunuh Percy tanpa berkeringat sama sekali. Chrysaor membiarkan Percy hidup semata-mata karena ada yang bersedia membayar untuk membunuhnya belakangan. Percy merasa seperti ada panah yang menembus celah di baju tempurnya —seolah-olah dia masih memiliki berkah Achilles, dan seseorang telah menemukan titik lemahnya. Semakin tua umurnya, semakin lama dia bertahan hidup sebagai blasteran, semakin teman-teman Percy menjadikannya panutan. Mereka bergantung padanya dan mengandalkan kekuatannya. Bangsa Roma pun mengusung Percy di atas tameng dan menjadikannya praetor, padahal dia baru mengenal mereka beberapa minggu. Namun, Percy tidak merasa kuat. Semakin banyak tindakan heroik yang dia lakukan, semakin dia menyadari betapa terbatas kemampuannya. Percy merasa bagaikan penipu. Aku tidak sehebat yang kalian kira, dia ingin memperingatkan teman- temannya. Kegagalan Percy, seperti malam ini, tampaknya membuktikan hal tersebut. Mungkin itulah sebabnya Percy takut mati sesak napas. Mungkin sebenarnya Percy bukan takut tenggelam di dalam bumi
atau laut, melainkan takut terpuruk karena beratnya ekspektasi yang ditimpakan kepadanya. Wow ... ketika dia mulai punya pemikiran seperti itu, tahulah Percy bahwa dia sudah kebanyakan menghabiskan waktu dengan Annabeth. Athena pernah memberi tahu Percy kekurangan fatalnya: Dia konon terlalu setia terhadap teman-temannya. Dia tidak bisa melihat untung-rugi secara menyeluruh. Percy bakal menye-lamatkan seorang teman sekali pun dunia bakal hancur karenanya. Pada saat itu, Percy mengesampingkan perkataan Athena begitu saja. Mana mungkin kesetiaan itu jelek? Lagi pula, semuanya berakhir baik selepas pertarungan melawan Titan. Percy berhasil menyelamatkan teman- temannya sekaligus mengalahkan Kronos. Akan tetapi, kini Percy mulai bertanya-tanya. Dia rela mengadang monster, dewa, atau raksasa demi melindungi teman-temannya agar tak terluka. Namun,
bagaimana kalau Percy tidak sanggup melindungi teman-temannya? Bagaimana kalau orang lainlah yang harus memikul tanggung jawab tersebut? Sangat berat bagi Percy untuk mengakuinya. Dia bahkan kesulitan menyika pi hal sepele seperti membiarkan Jason mengambil giliran jaga. Percy tidak mau mengandalkan orang lain untuk melindunginya, seseorang yang bisa saja terluka gara-gara Percy. Ibu Percy pernah berbuat begitu demi dia. Ibunya mein-pertahankan hubungan dengan laki-laki fana menjijikkan karena dia kira tindakan tersebut bakal menyelamatkan Percy dari monster. Grover, sahabatnya, malah melindungi Percy selania. hampir setahun, sebelum Percy sadar dirinya adalah demigod, dan Grover nyaris saja dibunuh Minotaurus. Percy bukan anak-anak lagi. Dia tidak mau orang yang d sayangi mengambil risiko demi dia. Dia harus kuat supaya b, melindungi diri sendiri. Namun, sekarang dia harus melepask Annabeth seorang diri dalam rangka mengikuti Tanda Athena, padahal Percy tahu Annabeth bisa saja mati. Jika Percy terpaksa memilih —menyelamatkan Annabeth atau menyukseskan misi—bisakah Percy mendahulukan misi? Kelelahan akhirnya menguasai Percy. Dia jatuh tertidur, dan dalam mimpi buruknya, gemuruh guntur jadi tawa Gaea sang Dewi Bumi. Percy bermimpi sedang berdiri di beranda depan Rumah Besar di Perkemahan Blasteran. Wajah Gaea yang terlelap tampak di sisi Bukit Blasteran — muka raksasa sang dewi dibentuk oleh bayang-bayang lereng yang berumput. Bibirnya tak bergerak, tapi suaranya bergema ke sepenjuru lembah. Jadi ini rumahmu, gumam Gaea. Lihatlah tempat ini untuk terakhir kalinya, Percy Jackson. Kau seharusnya kembali ke sini. Jika demikian, paling tidak kau bisa mati bersama rekan-rekanmu ketika bangsa Romawi menyerbu. Kini darahmu akan tumpah jauh dari rumah, di bebatuan kuno, dan aku akan bangkit. Tanah berguncang. Di puncak Bukit Blasteran, pohon pinus Thalia terbakar tiba-tiba. Kerusakan merambati lembah —rumput berubah jadi pasir, hutan yang musnah jadi tanah gersang. Sungai dan danau kano mengering. Pondok-pondok dan Rumah Besar terbakar habis hingga hanya menyisakan arang. Ketika getaran tersebut berhenti, Perkemahan Blasteran menyerupai negeri tak bertuan sesudah ledakan born atom. Satu-satunya yang tersisa adalah beranda tempat Percy berdiri. Di sebelah Percy, debu berputar-putar dan memadat jadi sosok seorang wanita. Matanya terpejam seperti sedang berjalan sambil tidur. Jubahnya sehijau hutan, bebercak putih dan keemasan seperti berkas mentari yang menembus dahan-dahan pohon. Rambutnya sehitam tanah gembur. Wajahnya cantik, tapi meskipun senyum tersungging di bibirnya, dia tampak dingin dan berjarak. Percy
punya firasat bahwa wanita ini bisa tetap tersenyum sembari menyaksikan demigod mati dan kota terbakar. "Ketika tiba saatnya kurebut kembali bumi ini," kata Gaea, "akan kubiarkan tempat ini tandus selamanya, untuk mengingatkanku akan kaummu dan betapa mereka tak berdaya menghentikanku. Tak jadi soal kapan kau tumbang, Pion Mungilku yang Manis —di tangan Phorcys atau Chrysaor atau putra kembarku tersayang. Kau pasti akan tumbang, dan aku akan Nadir untuk melahapmu. Satu-satunya pilihan yang kau punyai sekarang akankah kau tumbang sendirian? Datanglah kepadaku secara sukarela; bawa gadis itu. Barangkali aku bersedia mengampuni tempat yang kau cintai ini. Jika tidak ...." Gaea membuka mata. Bola matanya diwarnai pusaran hijau dan hitam, sedalam kerak bumi. Gaea melihat segalanya. Kesabarannya tak berbatas. Dia bangun dengan lambat, tapi begitu dia terjaga, kekuatannya tak terbendung. Percy merinding. Tangannya jadi mati rasa. Dia menunduk dan menyadari bahwa dirinya remuk jadi debu, sama seperti semua monster yang pernah dia kalahkan. "Selamat menikmati Tartarus, Pion Mungilku," dengkur Gaea. Bunyi kelontang logam menyentakkan Percy hingga terbangun dari mimpinya. Mata Percy kontan terbuka. Dia sadar baru saja mendengar komponen pendaratan
dikeluarkan. Terdengar ketukan di pintu kabin Percy, dan Jason pun menyembulkan kepala ke dalam. Memar-memar di wajah Jason telah memudar. Mata birunya berbinar-binar penuh semangat. "Hei, Bung," katanya, "kita mau mendarat di Roma. Kau sungguh harus melihat ini." Langit biru jernih, seakan-akan tak pernah ada badai. Matahari terbit di atas perbukitan nun jauh di sana sehingga semua di bawahnya berkilau dan gemerlap seolah seisi kota Roma baru saja keluar dari tempat cuci mobil. Percy sudah pernah melihat kota besar sebelumnya. Bagai-manapun juga, dia, kan, dari New York. Namun, melihat betapa luasnya Roma, dia jadi tercekat dan sulit bernapas. Kota tersebut seolah tidak peduli terhadap batas-batas geografi. la terhampar di bukit dan lembah, mengangkangi Sungai Tiberis dengan lusinan jembatan, dan terbentang ke sana-sini hingga cakrawala. Jalan dan gang berzigzag tanpa aturan di antara petak-petak bangunan. Gedung kantor dari kaca berdiri di samping situs ekskavasi. Katedral berdiri di samping barisan pilar Romawi, yang berdiri di samping stadion sepak bola modern. Di sejumlah kawasan, vila-vila tua bergenting merah menyesaki jalan berubin.. Kalau Percy berkonsentrasi pada area-area itu saja, dia bisa membayangkan dirinya kembali ke zaman kuno. Ke mana pun dia memandang, terdapat alun-alun besar serta jalanan macet. Taman-taman yang membelah kota ditumbuhi kombinasi tumbuhan nan ganjil —pohon palem, pinus, juniper, dan zaitun—seolah Roma tak bisa memutuskan dirinya berada di belahan dunia mana, atau barangkali is semata-mata meyakini bahwa seluruh belahan dunia masih merupakan milik Roma. Kesannya seolah kota itu mengetahui mimpi Percy tentang Gaea. Ia tahu bahwa Dewi Bumi berniat memorak-porandakan seluruh peradaban manusia, dan kota ini, yang telah berdiri beribu-ribu tahun, balas berkata kepada Gaea: Kau mau menghancurleburkan kota ini, Muka Tanah? Coba saja kalau bisa. Dengan kata lain, kota fana ini seperti Pak Pelatih Hedge —hanya saja lebih tinggi.
"Kita akan mendarat di taman itu." Leo mengumumkan sambil menunjuk ke ruang terbuka hijau yang ditumbuhi pohon-pohon palem. "Moga-moga saja Kabut membuat kita kelihatan seperti merpati besar atau apalah." Percy berharap kalau saja kakak Jason, Thalia, ada di sini. Thalia punya kemampuan memanipulasi Kabut sesuai keinginannya. Percy tidak pernah jago melakukan itu. Dia cuma berpikiniangan lihat aku, dan berharap mudah-mudahan para penduduk Roma di bawah tidak menyadari bahwa trireme perunggu raksasa tengah turun ke kota mereka di tengah-tengah jam sibuk pagi hari. Harapan Percy sepertinya terkabul. Percy tidak melihat ada mobil yang oleng atau penduduk Roma yang menunjuk ke langit dan menjerit, 'Alien!" Argo II mendarat di lapangan rumput dan dayung- dayungnya terlipat. Kegaduhan lalu lintas mengelilingi mereka, tapi taman itu sendiri damai dan lengang. Di kiri mereka, lahan hijau tnelandai ke deretan pohon. Sebuah vila tua bertengger di keteduhan pohon- pohon pinus aneh yang batang lengkungnya menjulang kira-kira sembilan sampai dua belas meter, kemudian menyembulkan kanopi rimbun. Tanaman tersebut mengingatkan Percy pada pohon di buku cerita yang acap kali dibacakan ibunya semasa Percy kecil. Di kanan mereka, mengular di puncak bukit, terdapat tembok bata tebal yang bagian atasnya bertakik untuk ditempati pemanah —mungkin kubu pertahanan abad pertengahan atau zaman Romawi Kuno. Percy tidak tahu pasti. Di sebelah utara, di tengah kota kira-kira satu setengah kilometer dari sana, puncak Koloseum menjulang melampaui atap- atap bangunan, persis sekali seperti di foto-foto perjalanan. Saat itulah tungkai Percy mulai gemetar. Dia benar-benar di sini. Dia kira perjalanan ke Alaska sudah lumayan eksotik, tapi sekarang dia berada di jantung Kekaisaran Romawi, teritori musuh bagi demigod Yunani. Bisa dibilang, tempat ini telah membentuk hidupnya, "Kita akan mendarat di taman itu." Leo mengumumkan sambil menunjuk ke ruang terbuka hijau yang ditumbuhi pohon-pohon palem. "Moga-moga saja Kabut membuat kita kelihatan seperti merpati besar atau apalah." Percy berharap kalau saja kakak Jason, Thalia, ada di sini. Thalia punya kemampuan memanipulasi Kabut sesuai keinginannya. Percy tidak pernah jago melakukan itu. Dia cuma berpikiniangan lihat aku, dan berharap mudah-mudahan para penduduk Roma di bawah tidak menyadari bahwa trireme perunggu raksasa tengah turun ke kota mereka di tengah-tengah jam sibuk pagi hari. Harapan Percy sepertinya terkabul. Percy tidak melihat ada mobil yang oleng atau penduduk Roma yang menunjuk ke langit dan menjerit, 'Alien!" Argo II mendarat di lapangan rumput dan dayung- dayungnya terlipat. Kegaduhan lalu lintas mengelilingi mereka, tapi taman itu sendiri damai dan lengang. Di kiri mereka, lahan hijau tnelandai ke deretan pohon. Sebuah vila tua bertengger di keteduhan pohon- pohon pinus aneh yang batang lengkungnya menjulang kira-kira sembilan sampai dua belas meter, kemudian menyembulkan kanopi rimbun. Tanaman tersebut mengingatkan Percy pada pohon di buku cerita yang acap kali dibacakan ibunya semasa Percy kecil. Di kanan mereka, mengular di puncak bukit, terdapat tembok bata tebal yang bagian atasnya bertakik untuk ditempati pemanah —mungkin kubu pertahanan abad pertengahan atau zaman Romawi Kuno. Percy tidak tahu pasti. Di sebelah utara, di tengah kota kira-kira satu setengah kilometer dari sana, puncak Koloseum menjulang melampaui atap- atap bangunan, persis sekali seperti di foto-foto perjalanan. Saat itulah tungkai Percy mulai gemetar. Dia benar-benar di sini. Dia kira perjalanan ke Alaska sudah lumayan eksotik, tapi sekarang dia berada di jantung Kekaisaran Romawi, teritori musuh bagi demigod Yunani. Bisa dibilang, tempat ini telah membentuk hidupnya,
"Tindakan yang bijaksana," micas Percy, "satu demigod berjalan di Roma sendirian. Aku akan ikut denganmu sampai Sungai Tiberis. Kita bisa menggunakan surat pengantar itu. Mudah-mudahan kita bertemu Tiberinus si Dewa Sungai. Mungkin dia bisa memberimu pertolongan atau saran. Kemudian, kau bisa pergi sendiri dari sana." Mereka adu pelotot tanpa suara, tapi Percy tidak gentar. Ketika dia dan Annabeth baru jadian, ibu Percy menasihatinya: Mengantar teman kencan sampai ke depan pintu rumahnya termasuk bagian dari tata krama. Jika benar demikian, mengantar Annabeth untuk menyongsong misi solo fatal nan epik pasti termasuk bagian dari tata krama juga. "Ya sudah," gerutu Annabeth, "Hazel, sekarang sesampainya kita di Roma, apa menurutmu kau bisa melacak lokasi Nico?" Hazel mengejapkan mata, seolah baru sadar dari trans sesudah menyaksikan Pertunjukan Percy/Annabeth. "Eh, ... mudah-mudahan, kalau posisiku cukup dekat. Aku harus jalan-jalan keliling kota. Frank, mau ikut denganku?" Frank berbinar-binar. "Tentu saja." "Dan, ... Leo," imbuh Hazel, "mungkin bagus juga kalau kau ikut. Centaurus ikan bilang, bantuanmu bakal diperlukan untuk membereskan masalah mekanis." "Iya," kata Leo, "boleh saja." Senyum Frank berubah jadi menyerupai ekspresi di topeng Chrysaor. Percy bukan pakar dalam perkara hubungan asmara, tapi bahkan dia bisa merasakan ketegangan antara ketiga orang itu. Sejak mereka jatuh ke Samudra Atlantik, sikap ketiganya jadi lain. Bukan cuma karena kedua cowok itu memperebutkan Hazel, tapi kesannya mereka bertiga terjebak, memainkan semacam lakon misteri pembunuhan. Hanya saja, mereka belum menemukan siapa di antara mereka yang jadi korban. Piper mencabut pisaunya dan meletakkan senjata itu di langkan. "Jason dan aku bisa menjaga kapal untuk saat ini. Akan kulihat apa yang bisa ditunjukkan Katoptris padaku. Tetapi, Hazel, kalau kalian menemukan lokasi Nico, jangan ke sana bertiga saja. Kembalilah dan jemput kami. Butuh tenaga kita semua untuk melawan para raksasa." Dia tidak mengucapkan hal yang sudah jelas: Mereka semua sekali pun belum cukup, kecuali ada dewa di pihak mereka. Percy memutuskan tak mengungkit-ungkit soal itu. "Ide bagus," ujar Percy, "bagaimana kalau kita rencanakan bertemu kembali di sini jam ... berapa?" "Jam tiga sore?" usul Jason, "kalau kita masih ingin melawan para raksasa dan menyelamatkan Nico, barangkali kita paling lambat harus berkumpul jam segitu. Seandainya terjadi sesuatu sehingga mengubah rencana, cobalah kirimkan pesan-Iris." Yang lain mengangguk setuju, tapi Percy menyadari "Tindakan yang bijaksana," micas Percy, "satu demigod berjalan di Roma sendirian. Aku akan ikut denganmu sampai Sungai Tiberis. Kita bisa menggunakan surat pengantar itu. Mudah-mudahan kita bertemu Tiberinus si Dewa Sungai. Mungkin dia bisa memberimu pertolongan atau saran. Kemudian, kau bisa pergi sendiri dari sana." Mereka adu pelotot tanpa suara, tapi Percy tidak gentar. Ketika dia dan Annabeth baru jadian, ibu Percy menasihatinya: Mengantar teman kencan sampai ke depan pintu rumahnya termasuk bagian dari tata krama. Jika benar demikian, mengantar Annabeth untuk menyongsong misi solo fatal nan epik pasti termasuk bagian dari tata krama juga. "Ya sudah," gerutu Annabeth, "Hazel, sekarang sesampainya kita di Roma, apa menurutmu kau bisa melacak lokasi Nico?" Hazel mengejapkan mata, seolah baru sadar dari trans sesudah menyaksikan Pertunjukan Percy/Annabeth. "Eh, ... mudah-mudahan, kalau posisiku cukup dekat. Aku harus jalan-jalan keliling kota. Frank, mau ikut denganku?" Frank berbinar-binar. "Tentu saja." "Dan, ... Leo," imbuh Hazel, "mungkin bagus juga kalau kau ikut. Centaurus ikan bilang, bantuanmu bakal diperlukan untuk membereskan masalah mekanis." "Iya," kata Leo, "boleh saja." Senyum Frank berubah jadi menyerupai ekspresi di topeng Chrysaor. Percy bukan pakar dalam perkara hubungan asmara, tapi bahkan dia bisa merasakan ketegangan antara ketiga orang itu. Sejak mereka jatuh ke Samudra Atlantik, sikap ketiganya jadi lain. Bukan cuma karena kedua cowok itu memperebutkan Hazel, tapi kesannya mereka bertiga terjebak, memainkan semacam lakon misteri pembunuhan. Hanya saja, mereka belum menemukan siapa di antara mereka yang jadi korban. Piper mencabut pisaunya dan meletakkan senjata itu di langkan. "Jason dan aku bisa menjaga kapal untuk saat ini. Akan kulihat apa yang bisa ditunjukkan Katoptris padaku. Tetapi, Hazel, kalau kalian menemukan lokasi Nico, jangan ke sana bertiga saja. Kembalilah dan jemput kami. Butuh tenaga kita semua untuk melawan para raksasa." Dia tidak mengucapkan hal yang sudah jelas: Mereka semua sekali pun belum cukup, kecuali ada dewa di pihak mereka. Percy memutuskan tak mengungkit-ungkit soal itu. "Ide bagus," ujar Percy, "bagaimana kalau kita rencanakan bertemu kembali di sini jam ... berapa?" "Jam tiga sore?" usul Jason, "kalau kita masih ingin melawan para raksasa dan menyelamatkan Nico, barangkali kita paling lambat harus berkumpul jam segitu. Seandainya terjadi sesuatu sehingga mengubah rencana, cobalah kirimkan pesan-Iris." Yang lain mengangguk setuju, tapi Percy menyadari