BAB DUA PULUH SEMBILAN PERCY

BAB DUA PULUH SEMBILAN PERCY

PERCY SEDANG PATAH SEMANGAT. Sudah cukup payah bahwa dia kabur dari Atlanta sambil dikejar- kejar Dewa Laut jahat. Kemudian, dia gagal menghalau udang raksasa yang menyerang Argo II. Lalu ichthyocentaurus, saudara Chiron, bahkan tidak mau bertemu dengannya. Setelah melewati semua itu, mereka tiba di Pilar Hercules, dan Percy harus diam di atas kapal sementara Jason si Jagoan menyambangi kakak tirinya. Hercules, demigod paling tersohor sepanjang masa, dan Percy juga tidak dapat kesempatan untuk menemuinya. Oke, memang, sih, berdasarkan cerita Piper setelahnya, Hercules itu brengsek, tapi tetap saja .... Percy sudah bosan diam saja di kapal dan mondar-mandir di geladak. Laut terbuka semestinya adalah wilayah Percy. Dia semestinya tampil ke depan, mengambil tanggung jawab, dan melindungi semua orang agar tetap aman. Namun, di sepanjang perjalanan menyeberangi Samudra Atlantik, Percy praktis tidak mengerjakan apa-apa selain mengobrol dengan hiu dan mendengarkan Pak Pelatih Hedge menyanyi lagu tema acara TV. Parahnya lagi, Annabeth bersikap menjaga jarak sejak mereka meninggalkan Charleston. Annabeth menghabiskan sebagian besar waktunya di kabin, mempelajari peta perunggu yang dia dapatkan di Benteng Sumter, atau mencari informasi di laptop Daedalus. Kapan pun Percy mampir untuk menemuinya, Annabeth sedemikian larut dalam pemikirannya sendiri sehingga jalannya percakapan mereka kurang-lebih seperti ini: Percy: "Hei, sedang apa?" Annabeth: "Eh, tidak usah. Makasih." Percy: "Oke deh hari ini kau sudah makan belum?" Annabeth: "Kurasa sekarang giliran Leo yang berjaga. Tanyakan padanya." Percy: "Eh, rambutku kebakaran lho." Annabeth: "Oke. Sebentar lagi." Annabeth kadang-kadang seperti itu. Begitulah susahnya berpacaran dengan anak perempuan Athena. Namun, tetap saj , Percy bertanya-tanya harus berbuat apa demi menarik perhat i a 11 Annabeth. Percy mengkhawatirkan Annabeth sesudah kejadia di Benteng Sumter —ketika dia dikepung laba-laba—dan tidak, tahu caranya membantu Annabeth, terutama jika dia menutut, diri dari Percy. Sesudah meninggalkan Pilar Hercules —tanpa kerusakan apd pun; hanya saja sekarang ada beberapa butir kelapa yang tersangkut di lambung kapal —Argo 2 berlayar di udara sejauh beberapa ratusmil Percy berharap mudah-mudahan negeri kuno tidaklah sel) yang mereka dengar, Namun, kesannya hampir seperti jargon ikan saja: Lihatlah perbedaannya seketika! Beberapa kali tiap jam, ada yang menyerang kapal. Sekawanan burung Stymphalian pemakan daging menukik dari tengah-tengah langit malam, yang langsung dihanguskan oleh Festus. Roh-roh badai berputar-putar mengitari tiang layar, yang langsung disambar Jason dengan petir. Selagi Pak Pelatih Hedge menyantap makan malam di anjungan, seekor pegasus liar muncul entah dari mana, menginjak- injak enchilada sang pelatih, dan terbang lagi, menyisakan jejak kaki berlumur keju di sepenjuru geladak. "liu maksudnya apa?" tuntut sang pelatih. Gara-gara melihat pegasus, Percy jadi berharap kalau saja

Blackjack ada di sini. Dia sudah berhari-hari tak melihat temannya itu. Topan dan Arion juga belu.m muncul-muncul. Mungkin mereka tidak mau menjelajah ke Laut Mediterania. Seandainya memang begitu, Percy tak bisa menyalahkan mereka. Akhirnya, sekitar tengah malam, setelah serangan udara yang kesembilan atau kesepuluh, Jason berpaling kepada Percy. "Bagaimana kalau kau tidur dulu? Akan kuledakkan makhluk-makhluk yang menyerang dari langit selama aku sanggup. Kemudian, kita bisa lewat laut untuk sementara, dan nanti gantian kau yang membereskan mereka." Percy tidak yakin bisa tidur sementara kapal menembus awan bergoyang-goyang karena diguncang oleh roh-roh angin tg marah, tapi ide Jason masuk akal juga. Percy turun ke dek hawah dan ambruk ke tempat tidur. Mimpi buruknya, tentu saja, tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Percy bermimpi sedang berada dalam sebuah gua gelap. Dia hanya bisa melihat sampai beberapa kaki di depannya, tapi ruang tersebut pasti luas. Air menetes-netes dari suatu tempat di dekat

sana, sedangkan bebunyian bergema di dinding jauh dari sana. Dinilai dari aliran udaranya, Percy memperkirakan langit-langit gua terletak jauh sekali di atas. Dia mendengar langkah kaki berat, dan keluarlah raksasa kembar Ephialtes dan Otis dari keremangan. Percy hanya bisa membedakan keduanya dari rambut mereka —Ephialtes berambut hijau gimbal yang dikepang dengan koin-koin perak dan emas; Otis berambut ungu kepang satu yang diuntai dengan apakah itu petasan? Terkecuali perbedaan itu, mereka berpakaian identik, dan busana mereka memang menyerupai mimpi buruk. Mereka mengenakan celana putih dan baju gombrong berkerah lebar bentuk-V yang menunjukkan terlalu banyak bulu dada. Selusin belati yang disarungkan berjajar di sabuk mereka yang berhiaskan permata palsu. Mereka mengenakan sandal sebagai alas kaki, membuktikan bahwa —ya, benar—kaki mereka berupa ular. Jepit sandal mereka menjerat leher ular. Di tempat seharusnya terdapat jari kaki, kepala ular melengkung ke atas. Ular-ular memasuk-keluarkan lidah tak bosan-bosan dan memutar mata keemasan mereka ke sana-kemari, seperti anjing yang sedang memandang ke luar jendela mobil. Barangkali sudah lama mereka dipakaikan alas kaki yang berlubang sehingg bisa melihat pemandangan. Kedua raksasa berdiri di hadapan Percy, tapi mereka tidak menghiraukannya. Mereka justru menerawang ke kegelapan. "Kami sudah sampai." Ephialtes mengumumkan. Walaupun suaranya menggelegar, kata-katanya melirih di dalam gua, bergaung hingga terdengar kecil dan pelan. Jauh di atas, seseorang menjawab, "Ya, bisa kulihat. Pakaian itu susah dilewatkan." Suara tersebut membuat perut Percy mulas. Kedengarannya samar-samar seperti suara perempuan, tapi bukan suara manusia. Tiap kata didesiskan dengan nada suara yang campur baur, lebih dari satu laras, seolah-olah sekawanan lebah Afrika pembunuh telah belajar berbicara dalam bahasa Inggris secara serempak. Itu bukan suara Gaea. Percy yakin. Namun, apa pun makhluk tersebut, raksasa kembar jadi gugup. Mereka memindahkan tumpuan dan mengangguk-angguk hormat. "Tentu saja, Nyonya Besar," kata Ephialtes, "kami membawa kabar —" "Kenapa kalian berpakaian seperti itu?" tanya makhluk di kegelapan itu. Dia sepertinya tidak hendak mendekat, yang justru bagus, menurut Percy. Ephialtes melemparkan tatapan kesal kepada saudaranya. "Saudara saya semestinya mengenakan sesuatu yang lain. Sayangnya —" "Kau bilang aku yang jadi pelempar pisau hari ini," proses Otis. "Kubilang aku yang jadi pelempar! Kau seharusnya jadi pesulap! Ah, maafkan saya, Nyonya Besar. Anda pasti tidak ingin mendengar kami bertengkar. Kami datang sebagaimana yang Anda minta, untuk membawakan Anda kabar. Kapal itu tengah mendekat." Sang Nyonya Besar, siapa pun dia itu, mengeluarkan serangkaian desis tajam seperti bunyi ban yang dirobek berulang-ulang. Percy tersadar bahwa makhluk itu sedang tertawa. Dia bergidik.

"Berapa lama lagi?" tanya makhluk itu. "Mereka seharusnya sudah mendarat di Roma selepas fajar, menurut perkiraan saya," kata Ephialtes, "tentu saja, mereka harus melewati bocah emas terlebih dahulu." Ephialtes meringis, seakan si bocah emas bukanlah orang yang dia sukai.

"Kuharap mereka tiba dengan selamat," kata Nyonya Besar, "tidak asyik kalau belum-belum mereka sudah ditangkap. App; persiapan kalian sudah Beres?" "Ya, Nyonya Besar." Otis melangkah maju, dan gua pun bergetar. Retakan muncul di bawah ular kiri Otis. "Hati-hati, Dungu!" geram Nyonya Besar, "apa kau ingin kembali ke Tartarus?" Otis buru-buru mundur, wajahnya kuyu karena ngeri. Percy menyadari bahwa lantai gua, yang kelihatannya seperti batu padat, ternyata lebih menyerupai gletser yang dia pijak di Alaska —padat di sebagian tempat, sedangkan di tempat lain ... tidak terlalu. Percy bersyukur dia tidak berbobot dalam mimpi itu. "Hanya sedikit yang menopang tempat ini." Nyonya Besar memperingatkan. "Kecuali keterampilanku, tentu saja. Murka Athena yang sudah berabad-abad hanya dapat dikekang sekenanya, apalagi Ibu Pertiwi agung tengah gelisah dalam tidurnya di bawah kita. Karena diombang- ambing oleh kedua kekuatan itu, ya, sarangku jadi terkikis. Kita sebaiknya berharap semoga si anak Athena merupakan korban yang pantas. Barangkali dialah mainan terakh irku." Ephialtes menelan ludah. Pandangan matanya terpaku ke retakan di lantai. "Tidak lama lagi, Anda tak perlu cemas, Nyonya Besar. Gaea akan bangun, dan kita semua akan diberi imbalan. Anda tak perlu lagi menjaga tempat ini, atau menyembunyikan kreasi Anda." "Barangkali," ujar suara di kegelapan, "tetapi aku pasti akan merindukan manisnya pembalasan dendam. Kita telah bekerja sama dengan kompak selama berabad-abad, bukan begitu?" Si kembar membungkuk. Koin-koin berdenting di rambut Ephialtes. Percy tersadar bahwa sebagian koin merupakan drachma Perak, persis seperti yang diperoleh Annabeth dari ibunya. Percy yakin sekali sampai-sampai dia jadi mual. Annabeth telah memberi tahu Percy bahwa pada tiap generasi, segelintir anak Athena diutus menjalani misi untuk merebut kembali patung Parthenon yang hilang. Tak seorang pun berhasil. Kita telah bekerja sama dengan kompak selama berabad-abad Kepang rambut Ephialtes si raksasa dihiasi koin yang dikumpulkan berabad-abad--ratusan pampasan. Dibayangkannya Annabeth berdiri di tempat gelap ini sendirian. Percy mem-bayangkan si raksasa mengambil koin yang Annabeth bawa dan menambahkan koin tersebut ke dalam koleksinya. Percy ingin menghunus pedangnya dan memangkas ram but si raksasa mulai dari leher, tapi dia tidak kuasa bertindak. Dia hanya bisa menonton. "Mmm, Nyonya Besar," ujar Ephialtes gugup, "saya ingin mengingatkan Anda bahwa Gaea ingin gadis itu ditangkap hidup-hidup. Anda boleh menyiksanya. Membuatnya. gila. Terserah kehendak Anda, tentu saja. Tetapi darahnya hams ditumpahkan di bebatuan kuno." Nyonya Besar mendesis. "Untuk tujuan itu bisa digunakan yang lain." "Y-ya," kata Ephialtes, "tetapi Gaea menginginkan gadis yang ini; sedangkan pemudanya —putra Poseidon. Anda tentu bisa mengerti apa sebabnya kedua demigod itulah yang paling pas untuk tujuan tersebut." Percy tidak yakin apa maksudnya, tapi dia ingin meretakkan lantai dan mengirirnkan pasangan kembar bego berbaju emas itu ke kehampaan. Dia tidak sudi membiarkan Gaea menumpahkan darahnya untuk tujuan apa pun —dan tidak mungkin dia rela membiarkan siapa pun menyakiti Annabeth. "Kita lihat saja nanti," gerutu Nyonya Besar, "sekarang tinggalkan aku. Urus persiapan kalian. Kalian akan mendapatkan

pertunjukan seru yang kalian inginkan; sedangkan aku aku akan bekerja di kegelapan." Mimpi tersebut terbuyarkan, dan Percy pun terkesiap bangun. Jason mengetuk ambang pintunya yang terbuka. "Kita

sudah mendarat di air," kata Jason, tampak letih setengah mati, "giliranmu." Percy sebenarnya tidak mau, tapi dibangunkannya Annabeth. Percy menduga Pak Pelatih Hedge pun takkan keberatan mereka mengobrol sesudah jam malam jika tujuannya untuk memberi Annabeth informasi yang mungkin dapat menyelamatkan nyawa-nya. Mereka berdiri di geladak berdua saja, mengecualikan Leo, yang masih pegang kemudi. Dia pasti kecapekan, tapi dia menolak pergi tidur. "Aku tidak mau ada kejutan ala udangsaurus lagi." Leo ber- sikeras. Mereka semua sudah berusaha meyakinkan Leo bahwa serangan skolopendra bukan sepenuhnya karena salahnya, tapi dia tidak mengindahkan perkataan mereka. Percy memahami perasaan Leo. Tidak memaafkan kesalahan diri sendiri merupakan salah satu bakat terbesar Percy. Saat itu kira-kira sudah jam empat pagi. Cuaca tidak bagus. Kabut demikian tebal sampai-sampai Percy tidak bisa melihat Festus di ujung haluan, sedangkan hujan rintik-rintik hangat menyelubungi udara seperti tirai manik-manik. Sementara mereka melayari ombak setinggi enam meter, laut menggelora di bawah mereka, Percy bisa mendengar Hazel yang malang dalam kabinnya di bawah sedang muntah-muntah. Walau begitu, Percy lega bisa kembali ke air. Dia lebih suka berada di air daripada terbang menembus awan badai, dan diserang burung-burung pemakan manusia serta pegasus penginjak-injak llchilada. Percy berdiri bersama Annabeth di langkan depan sementara dia menceritakan mimpinya. Percy tidak yakin bagaimana Annabeth akan menyikapi kabar itu. Reaksi Annabeth malah lebih mengkhawatirkan daripada yang diperkirakan Percy: Dia tidak tampak kaget. Annabeth memicingkan mata ke kabut. "Percy, kau harus janji. Jangan beri tahu yang lain tentang mimpimu ini." "Jangan apa? Annabeth —" "Yang kau lihat ada hubungannya dengan -Tanda Athena," ujar Annabeth, "tidak ada gunanya jika yang lain tahu. Mereka hanya akan cemas, dan akan semakin berat bagiku untuk pergi sendirian." "Annabeth, kau tidak mungkin serius. Makhluk di kegelapan itu, ruang gelap yang lantainya rapuh —" "Aku tahu." Wajah Annabeth seputih kertas —Percy curiga penyebabnya bukan karena badai. "Tetapi aku harus melakukan ini sendirian." Percy menelan amarahnya. Dia tidak tahu pasti apakah dirinya marah pada Annabeth, pada mimpinya, atau pada keseluruhan dunia Yunani/Romawi yang telah bertahan dan membentuk sejarah manusia selama lima ribu tahun demi mencapai satu tujuan: untuk merusak hidup Percy Jackson. "Kau tahu ada apa di gua itu," tebak Percy, "adakah hubung-annya dengan laba-laba?" "Ya," kata Annabeth dengan suara kecil. "Kalau begitu, kenapa kau masih nekat ...?" Percy menghentikan ucapannya. Begitu Annabeth membulatkan tekad, sia-sia saja berdebat dengannya. Percy teringat kejadian tiga setengah tahun lalu, ketika mereka menyelamatkan Nico dan Bianca di Angelo malam-malam di Maine. Annabeth ditangkap oleh Atlas sang Titan. Selama beberapa waktu, Percy tidak tahu apakah Annabeth masih hidup atau sudah mati. Dia menempuh perjalanan lintas negeri untuk menyelamatkan Annabeth dari sang Titan. Hari-hari itu amat berat bagi Percy —bukan semata-mata karena serangan monster dan pertarungan, tapi karena rasa khawatir yang merundungnya. Bagaimana mungkin Percy sengaja melepas Annabeth, padahal dia tahu pacarnya tengah menyongsong sesuatu yang malah lebih berbahaya? Kemudian, tebersit di benak Percy: perasaannya waktu itu, selama beberapa hari, barangkali sama seperti perasaan Annabeth selama enam bulan ketika Percy hilang disertai amnesia. Percy jadi merasa bersalah karenanya. Rasanya egois, berdiri di sini sambil mendebat Annabeth. Annabeth harus menjalani misi ini. Nasib dunia mungkin bergantung pada keberhasilan misi Annabeth. Namun, sebagian diri Percy ingin berkata: Lupakan saja dunia. Dia tidak mau kehilangan Annabeth. Percy menerawang ke kabut. Dia tidak bisa melihat apa-apa di sekeliling mereka, tapi dia mahir menentukan

arah di laut, Dia tahu persis posisi bujur dan lintang mereka. Dia mengetahui kedalaman laut dan arah arus. Dia tahu kecepatan kapal tersebut, dan bisa merasakan bahwa tidak ada batu, beting, atau bahaya alami lainnya di jalur yang mereka lewati. Namun demikian, tidak bisa melihat tetap saja merisaukan. Mereka tidak diserang sama sekali sejak mereka menyentu.h air, tapi laut tampak berbeda. Percy sudah pernah ke Samudra Atlantik, Samudra Pasifik, bahkan ke Teluk Alaska, tapi laut ini terasa lebih kuno dan perkasa. Percy dapat merasakan lapisan air tengah berputar-putar di bawahnya. Banyak pahlawan Yunani dan Romawi yang telah mengarungi perairan ini —mulai dari Hercules sampai Aeneas. Para monster masih menghuni perairannya yang dalam, dililit Kabut yang sedemikian tebal sehingga biasanya tidur saja; tapi Percy bisa merasakan mereka bergerak-gerak gelisah, merespons kemunculan trireme Yunani berbahan perunggu langit dan kehadiran darah demigod. Mereka kembali, monster-monster seolah berkata. Akhirnya ada darah segar. "Kita tidak jauh dari pesisir Itali," kata Percy, terutama untuk memecah keheningan, "mungkin sekitar seratus delapan puluh kilometer dari mulut Sungai Tiberis." "Bagus," timpal Annabeth, sudah —" "Stop." Kulit Percy serasa diguyur air es. "Kita harus berhenti." "Kenapa?" tanya Annabeth. "Leo, stop!" teriak Percy. Terlambat. Kapal lain muncul dari balik kabut dan menabrak mereka. Dalam sepersekian detik, Percy melihat detail-detail acak: trireme lain; layar hitam bergambar kepala gorgon; pendekar kekar, bukan manusia, berkerumun di bagian depan kapal dalam balutan baju tempur Yunani, pedang dan tombak disiagakan; dan pelantak perunggu sejajar air, menubruk lambung Argo II. Annabeth dan Percy hampir terjungkal dari kapal. Festus menyemburkan api, membuat selusin pendekar yang terkaget-kaget menjerit dan terjun ke laut, tapi lebih banyak lagi yang menyerbu naik ke Argo II. Kait pencengkeram melilit langkan dan tiang layar, menancapkan kuku besi ke pelat-pelat di lambung kapal. Pada saat Percy sanggup berpikir jernih kembali, musuh sudah di mana- mana. Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena "saat fajar, semestinya kita

kabut dan kegelapan, tapi para penyerang sepertinya berwujud lumba-lumba yang menyerupai manusia, atau manusia yang menyerupai lumba-lumba. Sebagian bermoncong abu-abu. Yang lain memegang pedang dengan sirip kekecilan. Sebagian beringsut-ingsut di atas dua kaki yang menyatu sebagian, sedangkan yang lain memiliki kaki berupa sirip, yang mengingatkan Percy pada sepatu badut. Leo membunyikan bel peringatan. Dia lari ke ketapel terdekat, tapi dikeroyok oleh segerombolan pendekar lumba-lumba berisik. Annabeth dan Percy berdiri saling membelakangi, sebagaimana yang sering mereka lakukan berkali-kali sebelumnya, senjata mereka terhunus. Percy berusaha mendatangkan ombak, berharap bisa memisahkan kedua kapal atau bahkan membalikkan kapal musuh, tapi talc ada yang terjadi. Rasanya seperti ada yang melawan kehendak Percy, merebut laut dari kendalinya. Percy mengangkat Riptide, siap bertarung, tapi mereka kalah jumlah. Beberapa lusin pendekar menurunkan tombak dan mengepung mereka, dengan bijaksana menjauhkan diri dari jangkauan pedang Percy. Para manusia lumba-lumba membuka moncong dan mengeluarkan siulan pendek-pendek. Percy tidak pernah memerhatikan bahwa gigi lumba-lumba sebenarnya sangat taj am. Dia mencoba berpikir. Mungkin dia bisa menerobos kepungan dan menghabisi segelintir penyerang, tapi ujung-ujungnya dia dan Annabeth pasti ditombak. Paling tidak para pendekar tampaknya talc berniat membunuh mereka langsung. Mereka membatasi ruang gerak Percy dan Annabeth sementara rekan-rekan mereka membanjir ke dek bawah dan mengamankan kapal. Percy bisa mendengar mereka mendobrak pintu kabin, mengeroyok kabut dan kegelapan, tapi para penyerang sepertinya berwujud lumba-lumba yang menyerupai manusia, atau manusia yang menyerupai lumba-lumba. Sebagian bermoncong abu-abu. Yang lain memegang pedang dengan sirip kekecilan. Sebagian beringsut-ingsut di atas dua kaki yang menyatu sebagian, sedangkan yang lain memiliki kaki berupa sirip, yang mengingatkan Percy pada sepatu badut. Leo membunyikan bel peringatan. Dia lari ke ketapel terdekat, tapi dikeroyok oleh segerombolan pendekar lumba-lumba berisik. Annabeth dan Percy berdiri saling membelakangi, sebagaimana yang sering mereka lakukan berkali-kali sebelumnya, senjata mereka terhunus. Percy berusaha mendatangkan ombak, berharap bisa memisahkan kedua kapal atau bahkan membalikkan kapal musuh, tapi talc ada yang terjadi. Rasanya seperti ada yang melawan kehendak Percy, merebut laut dari kendalinya. Percy mengangkat Riptide, siap bertarung, tapi mereka kalah jumlah. Beberapa lusin pendekar menurunkan tombak dan mengepung mereka, dengan bijaksana menjauhkan diri dari jangkauan pedang Percy. Para manusia lumba-lumba membuka moncong dan mengeluarkan siulan pendek-pendek. Percy tidak pernah memerhatikan bahwa gigi lumba-lumba sebenarnya sangat taj am. Dia mencoba berpikir. Mungkin dia bisa menerobos kepungan dan menghabisi segelintir penyerang, tapi ujung-ujungnya dia dan Annabeth pasti ditombak. Paling tidak para pendekar tampaknya talc berniat membunuh mereka langsung. Mereka membatasi ruang gerak Percy dan Annabeth sementara rekan-rekan mereka membanjir ke dek bawah dan mengamankan kapal. Percy bisa mendengar mereka mendobrak pintu kabin, mengeroyok

telah ditaklukkan atau .... Percy menolak memikirkannya. Di sisi kanan lingkaran tombak, para pendekar lumba-lumba membukakan jalan untuk seseorang. Penampilannya seperti manusia seutuhnya, tapi dari sikap para lumba-lumba yang membungkuk kepadanya, jelas bahwa dialah sang pimpinan. Dia mengenakan baju tempur Yunani--sandal, rok kulit, pelindung tulang kering, tameng dada bermotif monster laut —dan seluruhnya serba-emas. Bahkan pedangnya, bilah Yunani seperti Riptide, berbahan emas alih-alih perunggu. Bocah emas, pikir Percy, teringat mimpinya. Mereka harus melewati bocah emas terlebih dahulu. Yang paling membuat Percy cemas adalah helm orang itu. Pelindung wajahnya berbentuk seperti kepala gorgon —bertaring lengkung, bermuka seram, mulutnya menyeringai galak, dan berambut ular keemasan yang mengikal di sekeliling wajahnya. Percy pernah menjumpai gorgon sebelumnya. Topeng tersebut mirip sekali dengan muka gorgon asli kelewat mirip kalau menurut Percy. Annabeth membalikkan badan sehingga pundaknya bersisian dengan Percy. Percy ingin merangkul Annabeh untuk melin-dunginya, tapi dia ragu gadis itu bakal mengapresiasi tindakan tersebut, dan dia tidak ingin memberi si emas petunjuk bahwa Annabeth adalah pacarnya. Mendongkrak posisi tawar musuh sama sekali tak ada manfaatnya. "Siapa kau?" Percy menuntut penjelasan. "Apa yang kau inginkan?"

Si pendekar emas terkekeh. Dengan jentikan pedangnya, lebih cepat daripada yang dapat diikuti mata Percy, si pendekar memukul Riptide sehingga terlepas dari genggaman Percy dan terlempar ke laut. Percy merasa seakan paru-parunyalah yang dilempar ke laut, sebab mendadak dia tak bisa bernapas. Dia tak pernah dilucuti semudah itu. "Halo, Dik." Suara si pendekar emas merdu dan mendayu, diwarnai logat asing —Timur Tengah, barangkali—yang samar-samar terkesan tak asing. "Selalu senang rasanya, merompak sesama putra Poseidon. Aku Chrysaor, si Pedang Emas. Yang kuinginkan ...." Dia memalingkan topeng emasnya kepada Annabeth. "Sederhana saja. Aku menginginkan semua yang kau miliki .[]