BAB DUA PULUH ENAM PIPER
BAB DUA PULUH ENAM PIPER
KEESOKAN PAGINYA PIPER DIBANGUNKAN OLEH peluit kapal yang beda —kumandangnya nyaring sekali sampai-sampai menjatuhkan Piper dari tempat tidur. Dia bertanya-tanya apakah Leo berbuat iseng lagi. Kemudian, peluit itu kembali menggelegar. Kedengarannya berasal dari jarak beberapa ratus meter — dari kendaraan lain. Piper buru-buru berpakaian. Pada saat dia naik ke geladak, yang lain sudah berkumpul —semua berpakaian tergesa-gesa kecuali Pak Pelatih Hedge, yang bertugas jaga ma'am. Baju Olimpiade Musim Dingin Frank terbalik. Percy memakai celana piama dan tameng dada perunggu — perpaduan yang unik sekali. Rambut Hazel ke samping semua, seperti ditiup angin ribut; sedangkan Leo tak sengaja membakar diri sendiri. Kausnya gosong compang-camping. Lengannya berasap. Kurang dari seratus meter di kiri Argo II, sebuah kapal pesiar mahabesar meluncur lewat. Para wisatawan melambai- KEESOKAN PAGINYA PIPER DIBANGUNKAN OLEH peluit kapal yang beda —kumandangnya nyaring sekali sampai-sampai menjatuhkan Piper dari tempat tidur. Dia bertanya-tanya apakah Leo berbuat iseng lagi. Kemudian, peluit itu kembali menggelegar. Kedengarannya berasal dari jarak beberapa ratus meter — dari kendaraan lain. Piper buru-buru berpakaian. Pada saat dia naik ke geladak, yang lain sudah berkumpul —semua berpakaian tergesa-gesa kecuali Pak Pelatih Hedge, yang bertugas jaga ma'am. Baju Olimpiade Musim Dingin Frank terbalik. Percy memakai celana piama dan tameng dada perunggu — perpaduan yang unik sekali. Rambut Hazel ke samping semua, seperti ditiup angin ribut; sedangkan Leo tak sengaja membakar diri sendiri. Kausnya gosong compang-camping. Lengannya berasap. Kurang dari seratus meter di kiri Argo II, sebuah kapal pesiar mahabesar meluncur lewat. Para wisatawan melambai-
dan berdada putih serta berjubah hijau, yang permukaannya telah terkikis selama bermilenium- milenium. "Batu Gibraltar," kata Annabeth terkagum-kagum, "di ujung Spanyol. Kalau yang di sana itu — " Dia menunjuk ke selatan, ke perbukitan merah kecokelatan yang lebih jauh lagi. "Pasti Afrika. Kita sudah di mulut Laut Mediterania." Pagi itu hangat, tapi Piper menggigil. Walaupun laut ter-bentang luas di depan mereka, dia merasa seperti sedang berdiri di pembatas yang mustahil dilewati. Begitu memasuki Laut Mediterania —Mare Nostrum—mereka akan berada di negeri kuno. Jika legenda-legenda itu benar, misi mereka akan tambah berbahaya sepuluh kali lipat. "Sekarang apa?" tanya Piper, "terus berlayar saja?" "Kenapa tidak?" ujar Leo, "ini, kan, jalur yang lalu lintas airnya ramai. Kapal keluar-masuk sepanjang waktu." Tapi bukan trireme berpenumpang demigod, pikir Piper. Annabeth menatap Batu Gibraltar. Piper mengenali ekspresi tercenung di wajah temannya. Hampir dapat dipastikan bahwa Annabeth tengah menanti-nantikan masalah. "Pada zaman dahulu," kata Annabeth, "area ini disebut Pilar Hercules. Batu Gibraltar konon merupakan salah satu pilar tersebut. Ada satu lagi, pegunungan di Afrika. Tak ada yang tahu pasti pegunungan mana tepatnya." "Hercules, ya?" Percy mengerutkan kening. "Cowok itu seperti restoran waralaba di zaman Yunani Kuno. Ke mana pun kita berpaling —dia ada di sana." Gelegar yang menggemuruh mengguncangkan Argo II, tapi kali ini Piper tidak yakin dari mana asalnya. Dia tidak melihat kapal lain, sedangkan langit cerah. Mulutnya mendadak jadi kering. "Jadi, itu Pilar Hercules. Berbahayakah?" Annabeth terus memfokuskan perhatian pada tebing-tebing putih, seolah menunggu sampai Tanda Athena menyala. "Bagi bangsa Yunani, Pilar tersebut menandai pengujung dunia yang mereka kenal. Bangsa Romawi bilang pilar-pilar itu ditulisi peringatan dalam bahasa Latin —" "Non plus ultra," ujar Percy. Annabeth tampak tercengang. "Iya. Nihil di Balik Ini. Kok kau tahu?" Percy menunjuk. "Soalnya aku sedang melihatnya." Tepat di depan mereka, di tengah-tengah selat, mewujudlah sebuah pulau dan berdada putih serta berjubah hijau, yang permukaannya telah terkikis selama bermilenium- milenium. "Batu Gibraltar," kata Annabeth terkagum-kagum, "di ujung Spanyol. Kalau yang di sana itu — " Dia menunjuk ke selatan, ke perbukitan merah kecokelatan yang lebih jauh lagi. "Pasti Afrika. Kita sudah di mulut Laut Mediterania." Pagi itu hangat, tapi Piper menggigil. Walaupun laut ter-bentang luas di depan mereka, dia merasa seperti sedang berdiri di pembatas yang mustahil dilewati. Begitu memasuki Laut Mediterania —Mare Nostrum—mereka akan berada di negeri kuno. Jika legenda-legenda itu benar, misi mereka akan tambah berbahaya sepuluh kali lipat. "Sekarang apa?" tanya Piper, "terus berlayar saja?" "Kenapa tidak?" ujar Leo, "ini, kan, jalur yang lalu lintas airnya ramai. Kapal keluar-masuk sepanjang waktu." Tapi bukan trireme berpenumpang demigod, pikir Piper. Annabeth menatap Batu Gibraltar. Piper mengenali ekspresi tercenung di wajah temannya. Hampir dapat dipastikan bahwa Annabeth tengah menanti-nantikan masalah. "Pada zaman dahulu," kata Annabeth, "area ini disebut Pilar Hercules. Batu Gibraltar konon merupakan salah satu pilar tersebut. Ada satu lagi, pegunungan di Afrika. Tak ada yang tahu pasti pegunungan mana tepatnya." "Hercules, ya?" Percy mengerutkan kening. "Cowok itu seperti restoran waralaba di zaman Yunani Kuno. Ke mana pun kita berpaling —dia ada di sana." Gelegar yang menggemuruh mengguncangkan Argo II, tapi kali ini Piper tidak yakin dari mana asalnya. Dia tidak melihat kapal lain, sedangkan langit cerah. Mulutnya mendadak jadi kering. "Jadi, itu Pilar Hercules. Berbahayakah?" Annabeth terus memfokuskan perhatian pada tebing-tebing putih, seolah menunggu sampai Tanda Athena menyala. "Bagi bangsa Yunani, Pilar tersebut menandai pengujung dunia yang mereka kenal. Bangsa Romawi bilang pilar-pilar itu ditulisi peringatan dalam bahasa Latin —" "Non plus ultra," ujar Percy. Annabeth tampak tercengang. "Iya. Nihil di Balik Ini. Kok kau tahu?" Percy menunjuk. "Soalnya aku sedang melihatnya." Tepat di depan mereka, di tengah-tengah selat, mewujudlah sebuah pulau
Argo II kini tinggal beberapa ratus meter dari pilar-pilar. "Butuh jawaban," kata Leo mendesak, "aku bisa memutar kapal, atau kita bisa lepas landas. Stabilisator sudah berfungsi lagi. Tetapi aku harus tahu secepat —" "Kita harus terus," kata Annabeth, "menurutku dia menjaga selat ini. Jika dia memang Hercules, kabur lewat laut ataupun udara tak ada gunanya. Dia pasti ingin bicara pada kita." Piper menahan dorongan hati untuk menggunakan charmspeak. Dia ingin berteriak kepada Leo: Terbang! Ayo menyingkir dari sini! Sayangnya, dia merasa Annabeth benar. Jika mereka ingin melintas ke Laut Mediterania, mereka tak bisa menghindari pertemuan ini. "Bukankah Hercules memihak kita?" tanya Piper penuh harap, "maksudku dia salah satu dari kita, kan?" Jason mendengus. "Dia putra Zeus, tapi ketika meninggal, dia jadi dewa. Dewa susah ditebak." Piper teringat perjumpaan mereka dengan Bacchus di Kansas —dewa lain yang dulunya adalah demigod. Sikapnya juga tidak membantu. "Hebat," kata Percy, "kita bertujuh lawan Hercules." "Dan satu satir!" imbuh Hedge, "kita bisa kalahkan dia." "Aku punya ide yang lebih bagus," kata Annabeth, "kita kirim utusan ke pantai. Sekelompok kecil —satu atau maksimal dua. Usahakan untuk bicara dengannya." "Biar aku yang pergi," kata Jason, "dia putra Zeus. Aku putra Jupiter. Mungkin dia bakal bersikap ramah padaku." "Atau mungkin dia bakal membencimu," timpal Percy, "saudara tiri tidak selalu akur." Semua mata dipalingkan kepada Piper. Piper berusaha menahan diri supaya tidak menjerit-jerit dan terjun ke laut. Firasat buruk merongrongnya. Tetapi kalau Jason hendak menepi, Piper ingin mendampinginya. Barangkali dewa teramat perkasa ini bersedia membantu. Mereka semestinya mendapat nasib mujur sesekali, kan? "Baiklah," ujar Piper, "biar aku ganti baju dulu." Jason merengut. "Terima kasih, Tuan Optimis." "Layak dicoba," ujar Annabeth, "paling tidak Jason dan Hercules punya persamaan. Dan kita butuh diplomat paling ulung. Seseorang yang pandai berkata-kata." Sesudah Leo menjangkarkan Argo II di antara kedua pilar, Jason mendatangkan angin untuk membawa dirinya dan Piper ke pantai. Pria berjubah ungu itu sudah menunggu mereka. Piper sudah mendengar banyak sekali cerita mengenai Hercules. Dia pernah menonton sejumlah film dan animasi norak tentang pria itu. Sebelum hari ini, jika Piper teringat Hercules, dia cuma memutar-mutar bola mata dan membayangkan lelaki tolol berusia tiga puluhan yang berbulu, berdada bidang, berjanggut lebat menjijikkan, mengenakan jubah kulit singa, dan membawa-bawa pentungan besar, seperti manusia gua. Piper membayangkan bahwa Hercules orangnya bau, suka bersendawa, sering menggaruk-garuk badan, Argo II kini tinggal beberapa ratus meter dari pilar-pilar. "Butuh jawaban," kata Leo mendesak, "aku bisa memutar kapal, atau kita bisa lepas landas. Stabilisator sudah berfungsi lagi. Tetapi aku harus tahu secepat —" "Kita harus terus," kata Annabeth, "menurutku dia menjaga selat ini. Jika dia memang Hercules, kabur lewat laut ataupun udara tak ada gunanya. Dia pasti ingin bicara pada kita." Piper menahan dorongan hati untuk menggunakan charmspeak. Dia ingin berteriak kepada Leo: Terbang! Ayo menyingkir dari sini! Sayangnya, dia merasa Annabeth benar. Jika mereka ingin melintas ke Laut Mediterania, mereka tak bisa menghindari pertemuan ini. "Bukankah Hercules memihak kita?" tanya Piper penuh harap, "maksudku dia salah satu dari kita, kan?" Jason mendengus. "Dia putra Zeus, tapi ketika meninggal, dia jadi dewa. Dewa susah ditebak." Piper teringat perjumpaan mereka dengan Bacchus di Kansas —dewa lain yang dulunya adalah demigod. Sikapnya juga tidak membantu. "Hebat," kata Percy, "kita bertujuh lawan Hercules." "Dan satu satir!" imbuh Hedge, "kita bisa kalahkan dia." "Aku punya ide yang lebih bagus," kata Annabeth, "kita kirim utusan ke pantai. Sekelompok kecil —satu atau maksimal dua. Usahakan untuk bicara dengannya." "Biar aku yang pergi," kata Jason, "dia putra Zeus. Aku putra Jupiter. Mungkin dia bakal bersikap ramah padaku." "Atau mungkin dia bakal membencimu," timpal Percy, "saudara tiri tidak selalu akur." Semua mata dipalingkan kepada Piper. Piper berusaha menahan diri supaya tidak menjerit-jerit dan terjun ke laut. Firasat buruk merongrongnya. Tetapi kalau Jason hendak menepi, Piper ingin mendampinginya. Barangkali dewa teramat perkasa ini bersedia membantu. Mereka semestinya mendapat nasib mujur sesekali, kan? "Baiklah," ujar Piper, "biar aku ganti baju dulu." Jason merengut. "Terima kasih, Tuan Optimis." "Layak dicoba," ujar Annabeth, "paling tidak Jason dan Hercules punya persamaan. Dan kita butuh diplomat paling ulung. Seseorang yang pandai berkata-kata." Sesudah Leo menjangkarkan Argo II di antara kedua pilar, Jason mendatangkan angin untuk membawa dirinya dan Piper ke pantai. Pria berjubah ungu itu sudah menunggu mereka. Piper sudah mendengar banyak sekali cerita mengenai Hercules. Dia pernah menonton sejumlah film dan animasi norak tentang pria itu. Sebelum hari ini, jika Piper teringat Hercules, dia cuma memutar-mutar bola mata dan membayangkan lelaki tolol berusia tiga puluhan yang berbulu, berdada bidang, berjanggut lebat menjijikkan, mengenakan jubah kulit singa, dan membawa-bawa pentungan besar, seperti manusia gua. Piper membayangkan bahwa Hercules orangnya bau, suka bersendawa, sering menggaruk-garuk badan,
Pria itu berotot, tapi badannya tidak terlalu kekar. Rambutnya yang sehitam eboni dipotong pendek gaya Romawi. Matanya biru cemerlang seperti Jason, tapi kulitnya sewarna tembaga, seolah-olah dia menghabiskan seumur hidupnya di meja pencokelat kulit. Yang paling mengejutkan: tampangnya seperti pemuda dua puluh tahunan. Jelas tidak lebih tua daripada itu. Dia tampan juga; kesannya liar, tapi tidak seperti manusia gua. Dia memang punya pentungan, yang tergeletak di pasir di sampingnya, tapi pentungan itu mirip tongkat bisbol yang terlalu besar —silinder mahoni mengilap sepanjang satu setengah meter dengan gagang kulit berornamen perunggu. Pak Pelatih Hedge pasti bakal Jason dan Piper mendarat di tepi ombak. Mereka mendekat pelan-pelan, berhati-hati supaya tidak membuat gerakan yang mengancam. Hercules memerhatikan mereka tanpa emosi, seakan-akan mereka adalah sejenis burung laut yang tak pernah dia lihat sebelumnya. "Halo," kata Piper. Salam selalu bagus untuk mengawali pertemuan. "Ta kabar?" ujar Hercules. Suaranya dalam tapi santai, sangat modern. Kesannya dia sedang menyapa mereka di ruang loker SMA. "Lumayan." Piper berjengit. "Eh, maksudku baik. Saya Piper. Ini Jason. Kami —" "Mana kulit singamu?" potong Jason. Piper ingin menyikutnya, tapi Hercules tampak geli alih-alih kesal. "Di luar sini terlalu panas," katanya, "buat apa aku pakai kulit singa? Memangnya kau ke pantai pakai mantel bull]?" "Kurasa masuk akal juga." Jason kedengarannya kecewa. "Hanya saja, di gambar-gambar kau selalu memakai kulit singa." Hercules memelototi langit dengan tatapan menyalahkan, seolah ingin protes kepada ayahnya, Zeus. "Jangan percayai semua yang kau dengar tentang aku. Menjadi terkenal tak semenyenangkan yang kau kira." "Betul sekali." Piper mendesah. Hercules melekatkan pandangan mata biru cerahnya pada Piper. "Apa kau terkenal?" "Ayah saya dia main film." Hercules mendengus. "Film-lah yang paling parah. Demi dewa-dewi Olympus, tidak ada yang benar di film-film. Pernahkah kalian melihat satu pun film tentang aku yang pemerannya mirip aku?" Piper harus mengakui dia ada benarnya. "Saya kaget Anda semuda ini." "Ha! Kekekalan membuat awet muda. Tetapi, ya, aku belum terlalu tua sewaktu meninggal, setidaknya berdasarkan standar modern. Aku mengerjakan banyak hal sebagai pahlawan terlalu banyak, malah." Matanya berpaling kepada Jason. "Putra Zeus, ya?'' "Jupiter," ujar Jason. "Tidak beda-beda amat," gerutu Hercules, "Ayah sama menye-balkannya dalam kedua wujud itu. Aku? Nama asliku Heracles. Kemudian, bangsa Romawi datang dan menamaiku Hercules. Aku tidak terlalu banyak berubah, hanya saja akhir-akhir ini aku jadi sakit kepala berat kalau memikirkannya ...." Sebelah kiri wajahnya berkedut-kedut. Jubahnya berdenyar, sekejap berubah warna jadi putih, kemudian kembali ke ungu. "Pokoknya," kata Hercules, "kalau kau putra Jupiter, kau mungkin paham. Banyak tekanan. Sekeras apa pun kita berusaha, selalu saja kurang. Lama-lama orang bisa gila karenanya."
Hercules menoleh kepada Piper. Punggung Piper serasa dirambati ribuan semut. Ada ekspresi sedih bercampur kelam di mata Hercules. Kesannya tidak waras dan jelas tidak aman. "Sedikit saran, Sayang," kata Hercules, "berhati-hatilah. Putra-putra Zeus acap kali ... ya, lupakan saja." Piper tidak yakin apa
maksudnya. Mendadak dia ingin jauh-jauh dari dewa ini, tapi dia berusaha mempertahankan ekspresi yang tenang dan sopan. "Begini, Dewa Hercules," kata Piper, "kami sedang menjalani misi. Kami minta izin untuk melintas ke Laut Mediterania." Hercules mengangkat bahu. "Itulah sebabnya aku di sini. Setelah aku meninggal, Ayah menjadikanku penjaga pintu Olympus. Kataku, Asyik! Tugas di istana! Hura- hura terus! Yang luput dia singgung adalah, aku bertugas menjaga pintu ke negeri kuno, terjebak di pulau ini selama-lamanya. Menyenangkan sekali." Dia menunjuk pilar yang menjulang dari laut. "Pilar tolol. Sebagian orang mengklaim bahwa aku menciptakan Selat Gibraltar dengan cara mendorong gunung-gunung sehingga sating menjauhi. Sebagian orang mengatakan gunung-gunung itulah pilarnya. Dasar bodoh. Pilar ya pilar." "Benar," kata Piper, "tentu saja. Jadi, bolehkah kami melintas?" Sang dewa menggaruk-garuk janggutnya yang modis. "Ya, aku harus memberi kalian peringatan standar mengenai betapa berbahayanya negeri kuno itu. Tak sembarang demigod bisa bertahan hidup di Mare Nostrum. Oleh karena itu, aku harus memberi kalian misi untuk diselesaikan. Untuk membuktikan nilai diri kalian, bla, bla, bla. Sejujurnya, aku tidak membesar-besarkan perkara itu. Biasanya kuberi demigod tugas enteng seperti berbelanja, menyanyikan lagu lucu, dan sejenisnya. Setelah merampungkan tugas-tugas berat gara-gara paksaan sepupuku yang jahat, Eurytheus, ya, aku tidak mau jadi penindas, kalian mengerti?" "Makasih," kata Jason. "Sama-sama. Bukan masalah kok." Hercules kedengarannya kalem dan supel, tapi dia tetap saja membuat Piper gugup. Binar kelam di matanya mengingatkan Piper pada arang yang direndam minyak tanah, bisa tersulut sewaktu-waktu. "Omong- omong," ujar Hercules, "apa misi kalian?" "Raksasa," kata Jason, "kami hendak ke Yunani untuk men- cegah mereka membangunkan Gaea." "Raksasa," gerutu Hercules, "aku benci mereka. Waktu aku masih pahlawan demigod ... oh, sudahlah. Jadi, dewa mana yang menugasi kalian —Ayah? Athena? Mungkin Aphrodite?" Dia memandang Piper sambil mengangkat alis. "Melihat kecantikanmu, kutebak dialah ibumu." Piper semestinya berpikir lebih cepat, tapi Hercules telah membuyarkan konsentrasinya. Dia terlambat menyadari bahwa percakapan itu telah jadi ladang ranjau. "Hera mengutus kami," kata Jason, "dia menyatukan kami untuk —" "Hera." Tiba-tiba ekspresi Hercules jadi menyerupai tebing Gibraltar— keras dan tanpa ampun bagaikan batu. "Kami membencinya juga," kata Piper cepat-cepat. Demi dewa- dewi, kenapa tidak terpikir olehnya? Hera adalah musuh bebuyutan Hercules. "Kami tidak ingin membantunya. Dia tidak memberi kami pilihan, tapi —" "Tetapi di sinilah kalian sekarang," kata Hercules, keramah-tamahannya lenyap semua. "Maaf, kalian berdua. Aku tidak peduli sepenting apa misi kalian. Aku tidak sudi melakukan apa pun yang diinginkan Hera. Takkan pernah."
Jason kelihatan bingung. "Tetapi kukira kau sudah berbaikan dengan Hera ketika kau jadi dewa."Seperti yang kubilang tadi," gerutu Hercules, "jangan percayai semua yang kalian dengar. Kalau kalian ingin mehntas ke Laut Mediterania, aku rasa aku harus memberi kalian tugas ekstraberat." "Tetapi kita, kan, bersaudara," protes Jason, "Hera mengacau-kan hidupku juga. Aku paham —" "Kau tidak memahami apa pun," kata Hercules dingin, "keluargaku yang pertama: mati. Hidupku tersia-sia demi menunaikan tugas- tugas konyol. Istri keduaku meninggal, setelah dikelabui sehingga meracuniku dan membuatku mati menyakitkan. Kompensasi yang kudapat? Dijadikan dewa minor. Kekal, sehingga, aku takkan pernah bisa melupakan kepedihanku. Terjebak di sini sebagai penjaga gerbang, pramupintu kacung Olympus. Tidak, kau tidak paham. Satu-satunya dewa yang memahamiku sedikit adalah Dionysus. Setidaknya dia menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Aku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, kecuali film adaptasi jelek tentang hidupku." Piper menggunakan charmspeak-nya. "Memprihatinkan sekali, Dewa
Hercules. Tetapi tolong beri kami keringanan. Kami bukan orang jahat." Piper kira dia berhasil. Hercules bimbang. Kemudian, rahang-nya menegang, dan dia pun menggeleng. "Di sisi lain pulau, di perbukitan itu, kalian akan menemukan sebuah sungai. Di tengah-tengah sungai itu hiduplah Achelous sang dewa tua." Hercules menunggu, seolah informasi ini semestinya membuat mereka lari ketakutan. "Lalu ...?" tanya Jason. "Lalu," kata Hercules, "aku ingin kalian mematahkan tanduk-nya yang satu lagi dan membawakanku tanduk itu." "Dia punya tanduk," kata Jason, "tunggu sebentar tanduknya yang satu lagi? Apa —?" "Cari tahu saja sendiri," bentak sang dewa, "nih, ini semestinya membantu." Dia mengucapkan kata membantu seolah maksudnya adalah menyakitkan. Dad balik jubah, Hercules mengambil sebuah buku kecil dan melemparkannya kepada Piper. Buku tersebut nyaris luput dari tangkapan Piper. Sampul mengilap buku itu memuat foto-foto kuil Yunani dan monster yang tersenyum. Minotaurus berpose sambil angkat jempol. Buku itu berjudul Panduan Hercules: Mare Nostrum. "Bawakan aku tanduk itu selambat- lambatnya saat matahari terbenam," kata Hercules, "kalian berdua saja. Dilarang menghubungi teman- teman kalian. Kapal kalian harus tetap di tempatnya. Kalau kalian berhasil, kalian boleh melintas ke Laut Mediterania." "Kalau tidak?" tanya Piper, cukup yakin bahwa dia tidak ingin mendengar jawaban Hercules. "Achelous akan membunuh kalian, tentu saja," kata Hercules, "dan akan kupatahkan kapal kalian jadi dua dengan tangan kosong dan kukirim teman-teman kalian ke kuburan." Jason memindahkan tumpuan. "Tak bisakah kami menyanyi-kan lagu lucu saja?" "Aku bakal bergegas kalau jadi kalian," kata Hercules dingin, "matahari terbenam. Atau teman-teman kalian akan mati."[]