BAB EMPAT PULUH DELAPAN PERCY

BAB EMPAT PULUH DELAPAN PERCY

PERCY SUDAH SERING BERTEMPUR. DIA bahkan pernah ber-tarung di arena, tapi tidak ada yang seperti ini. Di Koloseum besar, ditonton ribuan hantu yang bersorak-sorai, dipelototi Bacchus, dan menghadapi dua raksasa setinggi tiga setengah meter, Percy merasa kecil dan tak berarti bagaikan serangga. Dia juga merasa sangat marah. Bertarung melawan raksasa saja sudah susah. Dijadikan mainan oleh Bacchus — menyebalkan sekali. Percy teringat ucapan Luke Castellan bertahun-tahun lalu, sekembalinya Percy dari misi pertamanya: Apa kau tak menyadari betapa sia-sia semuanya? Bersikap heroik —jadi pion para dewa. Percy hampir seusia Luke saat itu. Dia bisa mengerti apa sebabnya Luke jadi sesinis itu. Lima tahun belakangan ini, Percy sudah terlalu sering dijadikan pion. Bangsa Olympia seolah bergantian menggunakan Percy untuk taktik mereka. Mungkin dewa-dewi masih lebih baik daripada bangsa Titan, para raksasa, atau Gaea, tapi bukan berarti mereka benar-benar

baik atau bijaksana. Bukan berarti Percy menyukai arena tempur tolol ini karenanya. Sayangnya, Percy tak punya pilihan. Jika dia ingin menyelamatkan teman-temannya, dia harus mengalahkan kedua raksasa ini. Dia harus selamat dan menemukan Annabeth. Ephialtes dan Otis memudahkan Percy dalam memilih-- mereka menyerang bersama-sama. Kedua raksasa bekerja sama mengangkat gunung palsu sebesar apartemen Percy di New York dan melemparkannya kepada para demigod. Percy dan Jason lari. Mereka terjun bersama-sama ke dalam parit terdekat dan gunung itu pun pecah berkeping-keping di atas mereka, menghamburi mereka dengan serpihan plester. Memang tidak mematikan, tapi perihnya minta ampun. Khalayak mencemooh dan berteriak-teriak, haus darah "Lawan! Lawan!" "Aku lagikah yang menghadapi Otis?" seru Jason melampau hiruk-pikuk tersebut. "Atau kau mau melawan dia kali ini?" Percy berusaha berpikir. Berbagi kekuatan memang lumrah-- bertarung dengan raksasa satu lawan satu, tapi tadi cara itu tidak terlalu ampuh. Tebersit di benak Percy bahwa mereka membutuhkan strategi baru. Sepanjang perjalanan mereka, Percy merasa wajib memimpin dan melindungi teman-temannya. Dia yakin Jason merasakan hal yang sama. Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, berharap mudah-mudahan begitu lebih aman. Mereka bertarung sebagai individu, masing-masing demigod mengerjakan keahliannya. Namun, ada sebabnya Hera mempersatukan mereka bertujuh. Beberapa kali ketika Percy dan Jason bekerja bersama-sama —mendatangkan badai di Benteng Sumter, membantu Argo Hkabur dari Pilar Hercules, bahkan mengisi Nymphaeum —Percy merasa lebih percaya diri, lebih mampu memecahkan masalah seolah seumur hidup ini dia adalah cyclops dan baru-baru ini saja terbangun dengan dua mata. "Kita akan menyerang bersama-sama," ujar Percy, "Otis dulu, sebab dia lebih lemah. Kalahkan dia cepat-cepat, kemudian lanjut ke Ephialtes. Perunggu dan emas bersama-sama —mungkin dengan cara itu kita bisa lebih lama mencegah mereka mewujud kembali." Jason tersenyum masam, seakan baru sadar bahwa dia akan mati memalukan. "Kenapa tidak?" Jason sepakat. "Tetapi Ephialtes takkan berdiri saja di sana dan menunggu selagi kita membunuh saudaranya. Kecuali —" "Anginnya bagus hari ini," tukas Percy, "dan, di bawah arena ada saluran air." Jason langsung mengerti. Dia tertawa, dan Percy pun merasakan secercah persahabatan. Ternyata cowok ini dan Percy sepikiran mengenai banyak hal. "Dalam hitungan ketiga?" kata Jason. "Buat apa menunggu?" Mereka menerjang ke luar pant. Sebagaimana yang diperkirakan Percy, si kembar telah mengambil satu gunung plester lagi dan tengah menunggu supaya bisa membidik tanpa halangan. Kedua raksasa mengangkat gunung ke atas kepala mereka, siap-siap melempar. Percy pun meledakkan pipa air di kaki mereka, dan mengguncangkan lantai. Jason mengirimkan embusan angin kencang ke dada Ephialtes. Raksasa berambut ungu itu terjungkal ke belakang. Gunung terlepas dari pegangan Otis dan langsung ambruk menimpa saudaranya. Hanya kaki ular Ephialtes yang tersembul ke luar, menolehkan kepala ke sana-sini, seolah bertanya-tanya di manakah bagian tubuh mereka yang lain.

Khalayak bersorak kesenangan, tapi Percy curiga Ephialtes hanya pusing. Maksimal mereka hanya punya waktu beberapa detik. "Hei, Otis!" teriaknya, "Nutcracker butut!" "Ahhhhhh!" Otis menyambar tombaknya dan melempar, tapi dia terlampau marah sehingga bidikannya tidak lurus. Jason menangkis tombak ke atas kepala Percy dan terceburlah senjata tersebut ke dalam danau. Kedua demigod mundur ke air sambil meneriakkan celaan mengenai balet —yang sebetulnya susah, sebab Percy tidak banyak tabu tentang baler. Otis menyerbu mereka dengan tangan kosong, sebelum dia menyadari bahwa a) dia

tidak membawa senjata, dan b) melaju ke sumber air untuk melawan putra Poseidon mungkin bukan ide bagus. Dia berusaha berhenti. Sudah terlambat. Kedua demigod berguling ke samping, dan Jason pun memanggil angin, meng-gunakan momentum si raksasa untuk mendorongnya ke dalam air. Saat Otis berjuang untuk bangun, Percy dan Jason menyerang berbarengan. Mereka menerjang si raksasa dan menghantamkan pedang ke kepala Otis. Makhluk malang itu bahkan tak sempat berputar-putar dahulu. Dia meledak jadi bubuk yang mendarat di permukaan danau, seperti sebungkus besar serbuk minuman. Percy mengaduk-aduk danau, menghasilkan pusaran air. Intisari Otis berusaha mewujud kembali, tapi saat kepalanya menyembul dari air, Jason mendatangkan petir dan kembali menghancurkannya jadi debu. Sejauh ini semuanya lancar, tapi mereka tidak bisa menakluk-kan Otis selamanya. Percy sudah capek setelah bertarung di bawah tanah tadi. Perutnya masih nyeri karena kena pukul gagang tombak. Dia bisa merasakan bahwa kekuatannya melemah, padahal mereka masih harus rnembereskan satu raksasa lagi. Seperti diberi aba-aba, gunung plester hancur berkeping-keping di belakang mereka. Ephialtes bangun sambil meraung murka. Percy dan Jason menunggu sementara Ephialtes terhuyung- huyung menghampiri mereka, tombak di tangannya. Setelah kejatuhan gunung plester, ternyata dia malah makin berseman gat. Matanya berkilat-kilat, memancarkan nafsu membunuh. Sinar matahari sore berkilauan di rambutnya yang dikepang dengan koin. Bahkan kaki ularnya terlihat marah, memamerkan taring dan mendesis-desis. Jason memanggil petir lagi, tapi Ephialtes menangkalnya dengan tombak dan menangkis sambaran kilat, sehingga meleleh-kan sapi plastik seukuran aslinya. Sang raksasa menyabet pilar barn yang menghalanginya hingga pecah berantakan, semudah menghancurkan balok mainan. Percy berusaha terns mengaduk-aduk danau. Dia tidak mau Otis bangkit dan ikut serta dalam pertarungan, tapi saat Ephialtes semakin dekat, Percy harus mengalihkan fokusnya. Jason dan Percy beradu dengan Ephialtes. Mereka mengitari Ephialtes sambil menikam dan menebas. Pedang mereka bergerak cepat, hanya menampakkan sekilas warna emas dan perunggu kabur, tapi sang raksasa mematahkan setiap serangan. "Aku takkan menyerah!" raung Ephialtes, "kalian mungkin telah merusak pertunjukanku, tapi Gaea tetap akan membinasakan dunia kalian!" Percy menyabetkan pedang, memotong tombak sang raksasa jadi dua. Ephialtes tidak gentar. Sang raksasa mengayunkan Ujung tumpul tombaknya dan menjegal Percy. Percy jatuh berdebum

dengan tangan membentur lantai. Riptide terpelanting, lepas dari cengkeramannya. Jason mencoba mengambil keuntungan. Didekatinya Ephialtes dan ditikamnya dada sang raksasa, tapi entah bagaimana Ephialtes bisa menangkis serangan itu. Ephialtes menggarukkan ujung tombak ke dada Jason, merobek baju ungunya jadi dua. Jason terhuyung-huyung sambil menunduk, menatap segaris tipis darah yang membujur di dadanya. Ephialtes menendang Jason ke belakang. Di boks kaisar, Piper menjerit, tapi suaranya ditenggelamkan oleh sorak-sorai khalayak. Bacchus menonton sambil tersenyum tipis, terus mengunyah keripik jagung. Ephialtes berdiri menjulang di hadapan Percy dan Jason, kedua potongan tombaknya terangkat di atas kepala mereka. Lengan Percy mati rasa. Gladius Jason terpental ke seberang arena. Rencana mereka gagal. Percy melirik Bacchus, memutuskan hendak mengutarakan sumpah serapah terakhir macam apa kepada Dewa Anggur yang tak berguna itu, ketika dia melihat sosok gelap di langit di atas Koloseum —sebentuk benda lonjong yang bergerak turun dengan cepat. Dari danau, Otis berteriak, mencoba memperingatkan saudaranya, tapi kepalanya yang setengah terbenam hanya mampu mengucapkan: "Mmm-hoooooooooo!" "Jangan khawatir, Saudaraku!" kata Ephialtes, matanya masih terpaku pada kedua demigod. "Akan kubuat mereka menderita!" Argo II berputar di dengan tangan membentur lantai. Riptide terpelanting, lepas dari cengkeramannya. Jason mencoba mengambil keuntungan. Didekatinya Ephialtes dan ditikamnya dada sang raksasa, tapi entah bagaimana Ephialtes bisa menangkis serangan itu. Ephialtes menggarukkan ujung tombak ke dada Jason, merobek baju ungunya jadi dua. Jason terhuyung-huyung sambil menunduk, menatap segaris tipis darah yang membujur di dadanya. Ephialtes menendang Jason ke belakang. Di boks kaisar, Piper menjerit, tapi suaranya ditenggelamkan oleh sorak-sorai khalayak. Bacchus menonton sambil tersenyum tipis, terus mengunyah keripik jagung. Ephialtes berdiri menjulang di hadapan Percy dan Jason, kedua potongan tombaknya terangkat di atas kepala mereka. Lengan Percy mati rasa. Gladius Jason terpental ke seberang arena. Rencana mereka gagal. Percy melirik Bacchus, memutuskan hendak mengutarakan sumpah serapah terakhir macam apa kepada Dewa Anggur yang tak berguna itu, ketika dia melihat sosok gelap di langit di atas Koloseum —sebentuk benda lonjong yang bergerak turun dengan cepat. Dari danau, Otis berteriak, mencoba memperingatkan saudaranya, tapi kepalanya yang setengah terbenam hanya mampu mengucapkan: "Mmm-hoooooooooo!" "Jangan khawatir, Saudaraku!" kata Ephialtes, matanya masih terpaku pada kedua demigod. "Akan kubuat mereka menderita!" Argo II berputar di

Percy menjatuhkan diri ke parit tepat saat ledakan meng-guncang Koloseum. Ketika Percy keluar lagi, Argo II hendak melakukan pendaratan. Jason menyembulkan kepala dari balik kubu perlindungan berupa kuda-kudaan plastik. Ephialtes terkulai dalam keadaan gosong dan mengerang-erang di lantai arena, pasir di sekelilingnya melebur jadi kaca berkat panasnya api Yunani. Otis masih kepayahan di danau, mencoba mewujud kembali, tapi dari lengan ke bawah tampilannya mirip genangan bubur hangus. Percy tertatih-tatih menghampiri Jason dan menepuk bahunya. Hantu hadirin berdiri dan memberi mereka tepuk tangan meriah saat Argo II mengeluarkan komponen pendaratannya, kemudian berhenti di lantai arena. Leo berdiri di balik kemudi, sedangkan Hazel dan Frank nyengir di sisinya. Pak Pelatih Hedge berjoget di landasan tembak sambil mengacungkan tinju ke udara dan berteriak, "Begitu baru mantap!" Percy menoleh ke boks kaisar. "Nah?" teriaknya kepada Bacchus. "Sudahkah yang barusan cukup menghibur bagimu, dasar kurcaci bermulut bau ang —" "Tidak perlu begitu." Mendadak sang dewa berdiri tepat di samping Percy di arena. Ditepisnya remah-remah keripik jagung dari jubahnya. "Sudah kuputuskan bahwa kalian layak jadi mitraku dalam pertempuran ini." "Mitra?" geram Jason, "Anda tidak berbuat apa-apa!" Bacchus berjalan ke tepi danau. Air seketika terkuras, menyisa-kan Otis si genangan bubur. Bacchus berjingkat-jingkat ke dasar dan mendongak ke khalayak ramai. Diangkatnya thyrsus-nya. Hadirin mencemooh dan berteriak mengejek serta mengacungkan jempol ke bawah. Dari dulu Percy tidak tahu gestur itu maksudnya hidup atau mati. Dengar-dengar, sih, dua-duanya. Bacchus memilih opsi yang lebih menghibur. Dia menggetok kepala Otis dengan tongkat runjung pinusnya, dan Bubur Otis raksasa pun terbuyarkan sepenuhnya. Khalayak menggila. Bacchus memanjat ke luar danau dan melenggang mendekati Ephialtes, yang masih berbaring telentang, gosong, dan berasap. Bacchus lagi-lagi mengangkat thyrsus-nya. "YA!" raung penonton. "JANGAN!" Ephialtes melolong. Bacchus mengetuk hidung sang raksasa, dan remuklah Ephialtes jadi debu. Para hantu bersorak dan melemparkan confetti gaib sementara Bacchus berkeliling stadion sambil merentangkan lengan ke atas penuh kemenangan, menikmati puja-puji tersebut. Dia menyeringai kepada para demigod. "Itu barn namanya pertunjukan, Kawan-kawan! Dan tentu saja aku berbuat sesuatu. Aku membunuh dua raksasa!" Selagi teman-teman Percy turun dari kapal, khalayak hantu berdenyar dan menghilang. Piper dan Nico turun dari boks kaisar dengan susah payah sementara renovasi magis Koloseum mulai berubah jadi kabut. Lantai arena tetap padat, tapi selain itu, stadion kelihatannya sudah berabad-abad tidak menyajikan pagelaran pembunuhan raksasa. "Ya," kata Bacchus, "yang barusan memang menyenangkan. Kalian kuberi izin melanjutkan perjalanan." "Izin?" sergah Percy. "Ya." Bacchus mengangkat alis. "Meskipun perjalananmu barangkali lebih berat daripada yang kau perkirakan, Putra Neptunus." "Poseidon," ralat Percy otomatis, "apa yang Anda maksud dengan perjalananku?" "Coba saja lapangan parkir di belakang Gedung Emmanuel," kata Bacchus, "tempat terbaik untuk ditembus. Nab, selamat jalan, Kawan-kawan. Oh iya, semoga berhasil membereskan perkara kecil yang satu lagi itu." Sang dewa menguap jadi kepulan kabut yang samar-samar beraroma jus anggur. Jason lari menghampiri Piper dan Nico. Pak Pelatih Hedge berderap ke depan Percy, diikuti oleh Hazel, Frank, dan Leo. "Apa itu Dionysus?" hanya Hedge, "aku suka sekali laki-laki itu!" "Kalian masih hidup!" kata Percy kepada yang lain, "raksasa bilang kalian ditawan. Apa yang terjadi?" Leo mengangkat bahu. "Oh, cuma Percy menjatuhkan diri ke parit tepat saat ledakan meng-guncang Koloseum. Ketika Percy keluar lagi, Argo II hendak melakukan pendaratan. Jason menyembulkan kepala dari balik kubu perlindungan berupa kuda-kudaan plastik. Ephialtes terkulai dalam keadaan gosong dan mengerang-erang di lantai arena, pasir di sekelilingnya melebur jadi kaca berkat panasnya api Yunani. Otis masih kepayahan di danau, mencoba mewujud kembali, tapi dari lengan ke bawah tampilannya mirip genangan bubur hangus. Percy tertatih-tatih menghampiri Jason dan menepuk bahunya. Hantu hadirin berdiri dan memberi mereka tepuk tangan meriah saat Argo II mengeluarkan komponen pendaratannya, kemudian berhenti di lantai arena. Leo berdiri di balik kemudi, sedangkan Hazel dan Frank nyengir di sisinya. Pak Pelatih Hedge berjoget di landasan tembak sambil mengacungkan tinju ke udara dan berteriak, "Begitu baru mantap!" Percy menoleh ke boks kaisar. "Nah?" teriaknya kepada Bacchus. "Sudahkah yang barusan cukup menghibur bagimu, dasar kurcaci bermulut bau ang —" "Tidak perlu begitu." Mendadak sang dewa berdiri tepat di samping Percy di arena. Ditepisnya remah-remah keripik jagung dari jubahnya. "Sudah kuputuskan bahwa kalian layak jadi mitraku dalam pertempuran ini." "Mitra?" geram Jason, "Anda tidak berbuat apa-apa!" Bacchus berjalan ke tepi danau. Air seketika terkuras, menyisa-kan Otis si genangan bubur. Bacchus berjingkat-jingkat ke dasar dan mendongak ke khalayak ramai. Diangkatnya thyrsus-nya. Hadirin mencemooh dan berteriak mengejek serta mengacungkan jempol ke bawah. Dari dulu Percy tidak tahu gestur itu maksudnya hidup atau mati. Dengar-dengar, sih, dua-duanya. Bacchus memilih opsi yang lebih menghibur. Dia menggetok kepala Otis dengan tongkat runjung pinusnya, dan Bubur Otis raksasa pun terbuyarkan sepenuhnya. Khalayak menggila. Bacchus memanjat ke luar danau dan melenggang mendekati Ephialtes, yang masih berbaring telentang, gosong, dan berasap. Bacchus lagi-lagi mengangkat thyrsus-nya. "YA!" raung penonton. "JANGAN!" Ephialtes melolong. Bacchus mengetuk hidung sang raksasa, dan remuklah Ephialtes jadi debu. Para hantu bersorak dan melemparkan confetti gaib sementara Bacchus berkeliling stadion sambil merentangkan lengan ke atas penuh kemenangan, menikmati puja-puji tersebut. Dia menyeringai kepada para demigod. "Itu barn namanya pertunjukan, Kawan-kawan! Dan tentu saja aku berbuat sesuatu. Aku membunuh dua raksasa!" Selagi teman-teman Percy turun dari kapal, khalayak hantu berdenyar dan menghilang. Piper dan Nico turun dari boks kaisar dengan susah payah sementara renovasi magis Koloseum mulai berubah jadi kabut. Lantai arena tetap padat, tapi selain itu, stadion kelihatannya sudah berabad-abad tidak menyajikan pagelaran pembunuhan raksasa. "Ya," kata Bacchus, "yang barusan memang menyenangkan. Kalian kuberi izin melanjutkan perjalanan." "Izin?" sergah Percy. "Ya." Bacchus mengangkat alis. "Meskipun perjalananmu barangkali lebih berat daripada yang kau perkirakan, Putra Neptunus." "Poseidon," ralat Percy otomatis, "apa yang Anda maksud dengan perjalananku?" "Coba saja lapangan parkir di belakang Gedung Emmanuel," kata Bacchus, "tempat terbaik untuk ditembus. Nab, selamat jalan, Kawan-kawan. Oh iya, semoga berhasil membereskan perkara kecil yang satu lagi itu." Sang dewa menguap jadi kepulan kabut yang samar-samar beraroma jus anggur. Jason lari menghampiri Piper dan Nico. Pak Pelatih Hedge berderap ke depan Percy, diikuti oleh Hazel, Frank, dan Leo. "Apa itu Dionysus?" hanya Hedge, "aku suka sekali laki-laki itu!" "Kalian masih hidup!" kata Percy kepada yang lain, "raksasa bilang kalian ditawan. Apa yang terjadi?" Leo mengangkat bahu. "Oh, cuma

Leo berjengit. "Iya, soal itu dia masih dalam kesulitan, menurut kami. Terluka, patah kaki, mungkin — setidaknya begitulah menurut visi yang ditunjukkan Gaea pada kami. Selanjutnya kita akan menyelamatkan dia." Dua detik sebelumnya, Percy sudah hampir ambruk. Kini sekujur tubuhnya dialiri adrenalin. Dia ingin mencekik Leo dan menuntut penjelasan, apa sebabnya Argo II tidak berlayar untuk menyelamatkan Annabeth lebih dulu, tapi Percy merasa itu mungkin terkesan kurang berterima kasih. "Ceritakan visi itu," kata Percy, "ceritakan semuanya padaku." Lantai berguncang. Papan-papan kayu mulai menghilang, menumpahkan pasir ke dalam lubang hypogeum di bawah. "Mari kita bicara di kapal saja," usul Hazel, "kita sebaiknya lepas landas selagi masih bisa." Mereka berlayar ke luar Koloseum dan menikung ke selatan, melintas di atas asap-asap bangunan Roma. Di sepenjuru Piazza del Colosseo, lalu lintas macet total. Para manusia biasa berkerumun di sana, barangkali mempertanyakan cahaya dan suara aneh yang berasal dari reruntuhan. Sejauh yang dapat Percy lihat, rencana penghancuran spektakuler yang digagas para raksasa sama sekali tidak berhasil. Kota tersebut tampak sama seperti sebelumnya. Sepertinya tak seorang pun memerhatikan trireme Yunani mahabesar yang naik ke langit. Para demigod berkumpul di sekitar kemudi. Jason membalut bahu Piper yang terkilir, sedangkan Hazel duduk di buritan sambil menyuapkan ambrosia kepada Nico. Putra Hades itu hampir tak sanggup mengangkat kepala. Suaranya pelan sekali sampai-sampai Hazel harus mencondongkan badan ke dekatnya kapan pun Nico berbicara. Frank dan Leo mengisahkan kejadian di ruangan yang menyimpan bola-bola mekanis Archimedes dan visi yang ditunjukkan Gaea kepada mereka di cermin perunggu. Mereka segera menyimpulkan bahwa petunjuk terbaik untuk menemukan Annabeth ada pada pesan misterius Bacchus tadi: Gedung Emmanuel, apa pun itu. Frank mulai mengetik di komputer kemudi, sedangkan Leo memencet-mencet panel kendali secepat kilat sembari bergumam, "Gedung Emmanuel. Gedung Emmanuel." Pak Pelatih Hedge mencoba membantu den gan cara menelaah peta jalan Roma yang terbalik. Percy berlutut di samping Jason dan Piper. "Bagaimana bahumu?" Piper tersenyum. "Nanti juga sembuh. Kalian berdua hebat." Jason menyikut Percy. "Bukan tim yang payah, kau dan aku." "Lebih baik daripada bertarung di ladang jagung Kansas." Percy mengiyakan. "Ini dia!" seru Leo sambil menunjuk monitor, "Frank, kau jago deh! Akan kuarahkan kapal ke sana." Frank membungkukkan bahunya. "Aku cuma membaca nama-nama yang tertera di layar. Ada wisatawan Cina yang menandai tempat itu di Google Maps." Leo nyengir kepada yang lain. "Dia bisa membaca aksara Cina." "Cuma sedikit," kata Frank. "Keren sekali, kan?" "Teman-teman," potong Hazel, "aku tidak enak harus meng-ganggu sesi puji-memuji kalian, tapi kalian sebaiknya mendengar ini.

Hazel membantu Nico berdiri. Nico memang aslinya pucat, tapi kini kulitnya seputih susu bubuk. Matanya yang berwarna gelap dan cekung mengingatkan Percy pada foto tawanan perang yang baru dibebaskan. Pada dasarnya, Nico memang tawanan perang yang baru saja dibebaskan, pikir Percy. "Terima kasih," kata Nico serak. Matanya melirik anggota regu dengan gugup. "Aku sudah berhenti berharap." Kira-kira seminggu belakangan ini, Percy sudah membayangkan banyak hal pedas yang bakal dia sampaikan kepada Nico ketika mereka berjumpa lagi, tapi cowok itu tampak begitu rapuh dan sedih. Percy tak sanggup marah-marah padanya. "Kau tahu tentang kedua perkemahan sejak awal," kata Percy, "kau bisa saja memberitahuku siapa aku ini pertama kali aku tiba di Perkemahan Jupiter, tapi kau tidak bilang apa-apa." Nico bersandar dengan loyo ke kemudi. "Percy, maafkan aku. Aku baru menemukan Perkemahan Jupiter tahun lalu. Ayahku menuntunku ke sana, meski aku tidak tahu pasti apa alasannya. Ayahku bilang dewa-dewi telah memisahkan kedua kubu selama berabad-abad dan melarangku memberi tahu siapa pun. Waktunya tidak tepat. Tetapi dia bilang penting agar aku tahu ...." Nico batuk sampai terbungkuk-bungkuk. Hazel memegangi pundaknya sampai Nico bisa tegak lagi. "Aku —kukira maksud Ayah karena Hazel," lanjut Nico, "karena aku harus membawa Hazel ke tempat aman. Tetapi sekarang menurutku dia ingin aku tahu tentang kedua perkemahan supaya aku memahami sepenting apa misi kalian, dan supaya aku mencari Pintu Ajal." Udara terkena setrum —secara harfiah, sebab Jason mulai memercikkan aliran listrik. "Apa kau menemukan pintu-pintu itu?" tanya Percy. Nico mengangguk. "Aku bodoh. Kukira aku bisa pergi ke mana saja di Dunia Bawah, tapi aku malah masuk ke perangkap Gaea. Lebih baik aku mencoba kabur dari lubang hitam saja sekalian." "Maaf ...." Frank mengulum bibirnya. "Lubang hitam apa yang kau maksud?" Nico hendak berbicara, tapi apa pun yang dia ingin katakan pasti terlalu mengerikan. Dia menoleh kepada Hazel. Hazel memegangi lengan adiknya. "Nico memberitahuku bahwa Pintu Ajal punya dua sisi —satu di dunia fana, satunya lagi di Dunia Bawah. Sisi fana portal itu terletak di Yunani. Tempat tersebut dijaga ketat oleh pasukan Gaea. Mereka membawa Nico ke dunia atas lewat sana. Kemudian, mereka membawanya ke Roma." Piper pasti sedang cemas, sebab kornokupianya tiba-tiba menyemburkan burger keju. "Pintu ini tepatnya terletak di Yunani sebelah mana?" Nico bernapas dengan susah payah. "Gerha Hades, yaitu sebuah kuil bawah tanah di Epirus. Aku bisa menunjukkan lokasinya di peta, tapi —tapi masalahnya bukan pada sisi fana portal tersebut. Masalahnya, di Dunia Bawah, Pintu Ajal terletak di ... di ...." Bulu kuduk Percy berdiri. Lubang hitam. Bagian Dunia Bawah yang tak terjamah, yang bahkan tidak bisa didatangi Nico di Angelo. Kenapa hal ini tak pernah terpikir oleh Percy sebelumnya? Dia sudah pernah ke ambang tempat itu. Sampai sekarang dia masih bermimpi buruk karenanya. "Tartarus," tebak Percy, "bagian terdalam Dunia Bawah." Nico mengangguk. "Mereka menarikku ke dalam lubang, Percy. Hal-hal yang kulihat di bawah sana ...." Suaranya pecah. Hazel merapatkan bibir. "Tak ada manusia fana yang pernah mendatangi Tartarus." Dia menjelaskan. "Setidaknya, tak seorang pun pernah pergi ke sana dan kembali dalam keadaan hidup. Tartarus adalah penjara Hades kelas berat. Penjagaannya

maksimum. Di sanalah para Titan tua dan musuh-musuh pan. dewa lainnya dikungkung. Ke sanalah semua monster kembali sewaktu mereka mati di bumi. Tartarus ... ya, tak seorang pure tahu seperti apa persisnya Tartarus itu." Mata Hazel terarah kepada adiknya. Komentar Haze] sesudahnya tidak perlu diucapkan: Tak seorang pun kecuali Nico. Hazel mengembalikan pedang hitam kepada Nico. Nico bertumpu pada pedangnya, seolah pedang itu adalala tongkat orang tua. "Sekarang aku paham apa sebabnya Hades tidal bisa menutup pintu itu," katanya, "dewa-dewi sekali pun tidal pernah mendatangi

Tartarus. Bahkan Dewa Kematian, Thanatos sendiri, tidak sudi mendekati tempat itu." Leo menoleh dari balik kemudi. "Jadi, biar kutebak. Kita harus ke sana." Nico menggelengkan kepala. "Mustahil. Aku sekali pun nyari5 tidak selamat dari sana, padahal aku putra Hades. Pasukan Gaea mengeroyokku seketika. Mereka teramat kuat di bawah sana takkan ada demigod yang sanggup bertahan di sana. Aku nyarh gila. Mata Nico seperti kaca pecah. Dengan sedih Percy bertanya-tanya dalam hati, apakah ada sesuatu yang rusak permanen dalam diri Nico. "Kalau begitu, kita berlayar ke Epirus saja," kata Percy, "akan kita tutup sisi fana pintu itu." "Kuharap bisa segampang itu," kata Nico, "supaya bisa ditutup, pintu itu harus dikendalikan di kedua sisinya. Seperti segel Banda; begitu. Kalau kalian bertujuh menyatukan kekuatan, mungkin —tapi coma mungkin—kalian bisa mengalahkan pasukan Gaea di sisi fana, di Gerha Hades. Tetapi kecuali ada tim yang bekerja secara simultan dari sisi Tartarus, tim yang cukup kuat sehingga bisa mengalahkan sepasukan monster di wilayah kekuasaan mereka —" "Pasti ada cara," ujar Jason. Tak seorang pun mencetuskan ide brilian. Percy merasa perutnya merosot sampai ke kaki. Kemudian, dia menyadari bahwa seisi kapal turun ke arah sebuah bangunan besar mirip istana. Annabeth. Kabar dari Nico demikian mengerikan sampai-sampai untuk sementara Percy lupa bahwa Annabeth masih dirundung bahaya. Percy pun merasa amat bersalah. 'Akan kita pecahkan masalah Tartarus nanti," kata Percy, "itukah Gedung Emmanuel?" Leo mengangguk. "Bacchus menyebut-nyebut lapangan parkir di belakang? Nah, itu dia. Sekarang apa?" Percy teringat mimpinya tentang ruangan gelap, suara mendengung si monster yang dipanggil Nyonya Besar. Dia teringat betapa terguncangnya Annabeth sekembalinya dari Benteng Sumter, sesudah menjumpai kawanan laba-laba. Percy curiga dia tahu makhluk apa yang ada di kuil itu induk semua laba-laba, yang sebenarnya. Jika Percy benar, dan Annabeth terjebak di bawah sana seorang diri dengan makhluk itu selama berjam-jam dalam keadaan patah kaki .... Pada saat ini, Percy tidak peduli apakah misi Annabeth semestinya dijalani seorang diri atau tidak. "Kita harus membebaskan Annabeth," ujar Percy. "Iya, sih." Leo sepakat. "Tetapi, ...." Dia kelihatannya ingin mengucapkan, Tetapi bagaimana kalau kita terlambat? Dengan bijak, Leo mengubah pendekatannya. "Ada lapangan parkir yang menghalangi." Percy memandang Pak Pelatih Hedge. "Tadi Bacchus bilang ditembus. Pak Pelatih, masih ada amunisi untuk ketapel, tidal?" Sang satir nyengir seperti kambing liar. "Kukira kau tak bakalan bertanya."[]