BAB TIGA PULUH TIGA ANNABETH

BAB TIGA PULUH TIGA ANNABETH

ANNABETH MENDUGA SITUASINYA BISA SAJA lebih buruk. Sekali pun dia harus menjalani misi solo mengerikan, paling tidak dia sempat menikmati makan slang bersama Percy di tepi Sungai Tiberis terlebih dulu. Sekarang dia berkesempatan naik skuter bersama Gregory Peck. Dia mengetahui film lama itu berkat ayahnya. Selama beberapa tahun terakhir, sejak keduanya berbaikan, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, dan Annabeth baru tahu bahwa ayahnya suka yang gombal-gombal juga. Memang, sih, ayahnya menyukai sejarah militer, senjata, dan pesawat bersayap ganda, tapi dia juga menggemari film-film lama, terutama komedi romantis dari tahun 1940-an dan '50-an. Roman Holiday adalah salah satu favoritnya. Dia memaksa Annabeth ikut nonton. Menurut Annabeth plot film itu konyol —seorang putri kabur dari pengawalnya dan jatuh cinta pada jurnalis Amerika di Roma—tapi Annabeth curiga ayahnya suka film itu karena

mengingatkannya pada percintaannya sendiri dengan sang Dewi Athena: pasangan yang mustahil berbahagia selama-lamanya. Ayah Annabeth sama sekali tidak mirip Gregory Peck. Athena sudah jelas tidak ada mirip-miripnya dengan Audrey Hepburn. Namun, Annabeth tahu bahwa orang-orang melihat hal yang ingin mereka lihat. Mereka tidak butuh Kabut untuk membengkokkan persepsi mereka. Sementara skuter biru muda melesat di jalanan Roma, sang Dewi Rhea Silvia memberi Annabeth informasi tentang perubahan di kota tersebut selama berabad-abad ini. "Itu Pons Sublicius," kata Rhea Silvia sambil menunjuk tikungan di Sungai Tiberis, "kau tabu, tempat Horatius dan kedua temannya mempertahankan kota dari serangan agresor? Nah, itu baru namanya orang Romawi pemberani!" "Lihat

yang di sana, Sayang," imbuh Tiberinus, "itulah tempat Romulus dan Remus terdampar di tepi sungai." Sepertinya yang dia maksud adalah tempat di tepi sungai yang sekarang dijadikan sarang bebek dari robekan kantong plastik dan bungkus permen. "Ah, iya," desah Rhea Silvia bahagia, "kau baik sekali, mei banjiri dirimu sendiri dan mendamparkan bayi-bayiku ke tepi supaya ditemukan serigala." "Bukan apa- apa, kok," kata Tiberinus. Annabeth merasa pening. Sang Dewa Sungai membicarakan kejadian beribu- ribu tahun lalu, ketika area ini masih berupa rawa-rawa dan mungkin hanya memuat segelintir gubuk. Tiberinus menyelamatkan dua bayi, yang salah satunya jadi pendiri kekaisaran terbesar di dunia. Bukan apa-apa, kok. Rhea Silvia menunjuk sebuah gedung apartemen besar. "Itu dulunya kuil Venus. Lalu jadi gereja. Kemudian, istana. Setelah. itu gedung apartemen. Tempat itu terbakar tiga kali. Kemudian, dijadikan gedung apartemen lagi. Kalau lokasi yang di sana itu —" "Tolong jangan bercerita lagi," kata Annabeth, "Anda mem-buatku pusing." Rhea Silvia tertawa. "Maafkan aku, Sayang. Berlapis-lapis sejarah di sini, tapi ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Yunani. Athena sudah tua ketika Roma baru terdiri dari gubuk-gubuk tanah. Akan kau lihat sendiri, kalau kau selamat." "Terima kasih atas dukungannya," gerutu Annabeth. "Kira sudah sampai." Tiberinus mengumumkan. Dia menepi di depan sebuah bangunan marmer besar, bagian depannya sudah kumuh, tapi tetap cantik. Ukiran indah dewa-dewi Romawi menghiasi pinggiran atap. Jalan masuk nan besar ditutupi gerbang berterali besi dan digembok. "Aku harus ke dalam sana?" Annabeth berharap kalau saja dia mengajak Leo, atau paling tidak meminjam pemotong kawat dari sabuk perkakas pemuda itu. Rhea Silvia menutupi mulutnya dan cekikikan. "Bukan, Sayang. Bukan ke dalam. Ke bawah." Tiberinus menunjuk undakan batu di samping bangunan —jenis tangga batu yang bakal mengarah ke apartemen bawah tanah, andai tempat ini berada di Manhattan. "Roma simpang siur di atas tanah," kata Tiberinus, "tetapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan di bawah tanah. Kau harus turun ke kota yang telah terkubur, Annabeth Chase. Temukan altar sang dewa asing. Kegagalan pendahulumu akan memandumu. Setelah itu aku tidak tahu." Tas punggung Annabeth terasa berat di bahunya. Dia telah mempelajari peta perunggu berhari-hari, juga menelaah laptop Daedalus untuk mencari informasi. Sayangnya, segelintir hal yang dia temukan justru membuat misi ini semakin terkesan mustahil.

"Saudara-saudaraku tak seorang pun berhasil mencapai k ya?" Tiberinus menggeleng. "Tetapi kau tabu hadiah apa yang telah menanti, jika kau dapat membebaskannya." "Ya," kata Annabeth. "Benda tersebut dapat mendamaikan anak-anak Yunan i dan Romawi," ujar Rhea Silvia, "benda tersebut bisa mengubah jalannya perang yang akan datang." "Kalau aku hidup," kata Annabeth. Tiberinus mengangguk sedih. "Karena kau juga mafhum akan penjaga yang harus kau hadapi?" Annabeth teringat laba-laba di Benteng Sumter dan mim pi yang dijabarkan Percy — suara yang mendesis di kegelapan. "Ya." Rhea Silvia memandang suaminya. "Dia pemberan Barangkali dia lebih kuat daripada yang lain." "Kuharap demikian," kata sang Dewa Sungai, "selamat jalan, Annabeth Chase. Semoga beruntung." Rhea Silvia berseri-seri. "Kami sudah merencanakan kegiatan menyenangkan sore ini! Ayo belanja!" Gregory Peck dan Audrey Hepburn melaju di atas sepeda motor biru muda mereka. Kemudian, Annabeth membalikkan badan dan menuruni undakan sendirian. Annabeth sudah berkali-kali berada di bawah tanah. Namun, di tengah jalan selagi menuruni tangga, dia baru sadar sudah berapa lama sejak dia terakhir kali berpetualang sendirian. Annabeth mematung. Demi dewa-dewi terakhir kali menyongsong bahaya sendirian, dia masih kanak-kanak. Setelah kabur dari "Saudara-saudaraku tak seorang pun berhasil mencapai k ya?" Tiberinus menggeleng. "Tetapi kau tabu hadiah apa yang telah menanti, jika kau dapat membebaskannya." "Ya," kata Annabeth. "Benda tersebut dapat mendamaikan anak-anak Yunan i dan Romawi," ujar Rhea Silvia, "benda tersebut bisa mengubah jalannya perang yang akan datang." "Kalau aku hidup," kata Annabeth. Tiberinus mengangguk sedih. "Karena kau juga mafhum akan penjaga yang harus kau hadapi?" Annabeth teringat laba-laba di Benteng Sumter dan mim pi yang dijabarkan Percy — suara yang mendesis di kegelapan. "Ya." Rhea Silvia memandang suaminya. "Dia pemberan Barangkali dia lebih kuat daripada yang lain." "Kuharap demikian," kata sang Dewa Sungai, "selamat jalan, Annabeth Chase. Semoga beruntung." Rhea Silvia berseri-seri. "Kami sudah merencanakan kegiatan menyenangkan sore ini! Ayo belanja!" Gregory Peck dan Audrey Hepburn melaju di atas sepeda motor biru muda mereka. Kemudian, Annabeth membalikkan badan dan menuruni undakan sendirian. Annabeth sudah berkali-kali berada di bawah tanah. Namun, di tengah jalan selagi menuruni tangga, dia baru sadar sudah berapa lama sejak dia terakhir kali berpetualang sendirian. Annabeth mematung. Demi dewa-dewi terakhir kali menyongsong bahaya sendirian, dia masih kanak-kanak. Setelah kabur dari

biasa pasti sedang menikmati siang nan hangat. Pasangan sedang bergandengan di kafe. Wisatawan menyesaki toko dan museum. Warga Roma biasa pasti sedang sibuk menjalani aktivitas sehari-hari, barangkali tidak ambil pusing dengan sejarah ribuan tahun di bawah kaki mereka, dan tentu saja tidak menyadari keberadaaii roh, dewa, serta monster yang masih bermukim di sini, juga tidal; tahu bahwa kota mereka mungkin saja bakal dihancurkan ha ri ini kecuali sekelompok demigod berhasil mencegah para raksasa. Annabeth melangkah masuk melewati ambang pintu. Dia kini berada di ruang bawah tanah berarsitektur cyborg. Tembok bata kuno saling silang dengan kabel dan pipa ledeng modern. Langit-langit disangga perpaduan kuda-kuda baja dan pilar granit Romawi tua. Separuh depan ruang bawah tanah tersebut memuat tumpukan peti. Karena penasaran, Annabeth membuka beberapa peti. Sebagian berisi gulungan tali warna-warni —seperti yang dipakai untuk layangan dan prakarya. Peti-peti lain penuh dengan pedang plastik gladiator murahan. Mungkin dulu tempat ini pernali dijadikan gudang toko suvenir. Di bagian belakang ruang bawah tanah, lantai telah digali, menampakkan undakan lain — berbahan batu putih —yang meng-arah kian dalam ke bawah tanah. Annabeth beringsut ke tepi. Diterangi pendar belatinya sekali pun, di bawah terlalu gelap sehingga tidak terlihat apa-apa. Annabeth meraba dinding dan menemukan sakelar. Ditekannya sakelar itu. Lampu neon putih menerangi tangga. Di bawah, Annabeth melihat lantai mosaik bergambar rusa dan faun —barangkali ruang yang dulunya bagian dari vila kuno Romawi, terpendam dalam ruang bawah tanah modern beserta peti-peti berisi tali dan pedang plastik. Annabeth menapak turun. Ruangan tersebut berukuran sekitar dua meter persegi. Dindingnya dulu mungkin berwarna cerah, tapi sebagian besar freskonya sudah terkelupas atau memudar. Satu-satunya jalan keluar berupa lubang yang digali di pojok, tempat ubin mosaiknya telah dicopot. Annabeth berjongkok di samping bukaan. Di bawahnya terdapat gua berukuran lebih besar, tapi Annabeth tak dapat melihat dasarnya. Dia mendengar air mengalir kira-kira sembilan hingga dua betas meter di biasa pasti sedang menikmati siang nan hangat. Pasangan sedang bergandengan di kafe. Wisatawan menyesaki toko dan museum. Warga Roma biasa pasti sedang sibuk menjalani aktivitas sehari-hari, barangkali tidak ambil pusing dengan sejarah ribuan tahun di bawah kaki mereka, dan tentu saja tidak menyadari keberadaaii roh, dewa, serta monster yang masih bermukim di sini, juga tidal; tahu bahwa kota mereka mungkin saja bakal dihancurkan ha ri ini kecuali sekelompok demigod berhasil mencegah para raksasa. Annabeth melangkah masuk melewati ambang pintu. Dia kini berada di ruang bawah tanah berarsitektur cyborg. Tembok bata kuno saling silang dengan kabel dan pipa ledeng modern. Langit-langit disangga perpaduan kuda-kuda baja dan pilar granit Romawi tua. Separuh depan ruang bawah tanah tersebut memuat tumpukan peti. Karena penasaran, Annabeth membuka beberapa peti. Sebagian berisi gulungan tali warna-warni —seperti yang dipakai untuk layangan dan prakarya. Peti-peti lain penuh dengan pedang plastik gladiator murahan. Mungkin dulu tempat ini pernali dijadikan gudang toko suvenir. Di bagian belakang ruang bawah tanah, lantai telah digali, menampakkan undakan lain — berbahan batu putih —yang meng-arah kian dalam ke bawah tanah. Annabeth beringsut ke tepi. Diterangi pendar belatinya sekali pun, di bawah terlalu gelap sehingga tidak terlihat apa-apa. Annabeth meraba dinding dan menemukan sakelar. Ditekannya sakelar itu. Lampu neon putih menerangi tangga. Di bawah, Annabeth melihat lantai mosaik bergambar rusa dan faun —barangkali ruang yang dulunya bagian dari vila kuno Romawi, terpendam dalam ruang bawah tanah modern beserta peti-peti berisi tali dan pedang plastik. Annabeth menapak turun. Ruangan tersebut berukuran sekitar dua meter persegi. Dindingnya dulu mungkin berwarna cerah, tapi sebagian besar freskonya sudah terkelupas atau memudar. Satu-satunya jalan keluar berupa lubang yang digali di pojok, tempat ubin mosaiknya telah dicopot. Annabeth berjongkok di samping bukaan. Di bawahnya terdapat gua berukuran lebih besar, tapi Annabeth tak dapat melihat dasarnya. Dia mendengar air mengalir kira-kira sembilan hingga dua betas meter di

tugasnya. Frank bisa berubah jadi burung. Jason malah bisa mengontrol angin dan melayang saja ke bawah. Bahkan Piper punya kemampuan charmspeak dia bisa meyakinkan Tiberinus serta Rhea Silvia agar menawarkan lebih banyak bantuan. Apa yang dipunyai Annabeth? Sebilah belati perunggu yang tidak istimewa serta sekeping koin perak terkutuk. Dia membawa tas punggung berisi laptop Daedalus, botol air, sejumlah ambrosia untuk keadaan darurat, serta sekotak korek api —barangkali tidak berguna, tapi ayahnya telah mencekoki Annabeth pentingnya membawa alat penghasil api. Dia tidak punya kekuatan super. Bahkan satu-satunya benda magis milik Annabeth, topi tak kasat mata New York Yankees, tidak lagi berfungsi, dan masih berada dalam kabinnya di Argo II. Kau punya kecerdasan, kata sebuah suara. Annabeth bertanya-tanya apakah Athena tengah berbicara kepadanya, tapi barangkali dia cuma berangan-angan kosong. Kecerdasan seperti pahlawan favorit Athena, Odysseus. Dia memenangi Perang Troya berkat kepandaiannya, bukan kekuatannya. Dia menaklukkan segala jenis monster dan cobaan berkat akal cerdiknya. Itulah yang dihargai oleh Athena. Putri sang Bijak berjalan sendiri. Artinya bukan saja tanpa orang lain, Annabeth menyadari. Namun, juga tanpa kekuatan istimewa. Oke, Jadi, bagaimana caranya turun dengan selamat dan memastikan dia bisa keluar lagi jika perlu? Annabeth naik kembali ke ruang bawah tanah dan menatap peti-peti yang terbuka. Tali layangan dan pedang plastik. Ide yang tebersit di benaknya teramat konyol sampai-sampai Annabeth tertawa; tapi itu lebih baik daripada nihil sama sekali. Dia mulai bekerja. Tangannya seolah tabu persis hares berbuat apa. Terkadang hal itu terjadi, misalnya ketika Annabeth membantu Leo memperbaiki mesin kapal atau menggambar rancang bangun di komputernya. Dia tidak pernah membuat apa pun dari tali layangan dan pedang plastik sebelumnya, tapi pekerjaan ini terasa mudah, natural. Dalam hitungan menit, Annabeth telah menggunakan selusin gulungan tali dan sepeti pedang untuk membuat tangga-tanggaan —jejalin undak-undakan yang kuat, tapi tidak terlalu tebal, dari deretan pedang yang berjarak enam puluh sentimeter satu sama lain untuk digunakan sebagai pegangan serta pijakan. Untuk mengetes, Annabeth mengikat ujung tangga-tanggaan ke pilar dan menumpukan seluruh bobotnya ke tali tersebut. Pedang-pedang plastik melengkung di bawah tubuhnya, tapi karena pedang-pedang itu memperbesar ukuran simpul pada tali, setidaknya cengkeraman Annabeth bisa lebih mantap. Tangga itu takkan memenangi penghargaan desain, tapi kreasi itu mungkin bisa membantu

Annabeth mencapai dasar gua dengan selamat. Pertama-tama, Annabeth memasukkan gulungan tali yang tersisa ke tas punggungnya. Dia tidak yakin buat apa dia melakukan itu, tapi tali-tali itu bisa dimanfaatkan, juga tidak terlalu berat. Annabeth kembali ke lubang di lantai mosaik. Dia mengikat ujung tangga ke tonggak terdekat, menurunkan tali tersebut ke dalam gua, dan merayap ke bawah.[]