BAB TIGA BELAS PERCY

BAB TIGA BELAS PERCY

LUPAKAN SAJA TABIR ASAP BERAROMA nugget ayam. Percy ingin Leo menciptakan topi anti-mimpi. Malam itu Percy bermimpi buruk. Pertama-tama dia bermimpi kembali ke Alaska untuk menjalani misi pencarian elang legiun. Dia sedang mendaki jalan di gunung, tapi begitu Percy menginjakkan kaki ke bawah bubungan, dirinya ditelan oleh rawa-rawa —muskeg, Hazel menyebutnya. Percy mendapati dirinya tersedak Lumpur, cidak mampu bergerak, melihat, ataupun bernapas. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Percy paham bagaimana rasanya tenggelam. Ini cuma mimpi, kata Percy kepada diri sendiri, aku pasti akan terbangun. Namun, penegasan tersebut tidak mengurangi keseraman mimpinya. Percy tidak pernah takut air seumur hidupnya. Air adalah unsur ayahnya. Namun, sejak pengalaman di muskeg, Percy jadi takut mati karena sesak napas. Dia tidak mungkin mengakui ini kepada siapa pun, tapi dia bahkan jadi takut mendekati air. Percy tahu perasaan itu konyol. Dia tidak bisa tenggelam. Akan

tetapi, menurut dugaan Percy, kalau dia tidak bisa mengontrol rasa takutnya, perasaan itulah yang akan mengontrol dirinya. Percy teringat temannya Thalia, yang takut ketinggian meskipun dia adalah putri Dewa Langit. Adik Thalia, Jason, bisa terbang dengan cara mendatangkan angin. Thalia tidak bisa, mungkin karena dia terlalu takut untuk mencoba. Jika Percy meyakini dirinya bisa tenggelam Muskeg mengimpit dadanya. Paru-parunya mau meledak. Jangan panik, kata Percy kepada dirinya sendiri, ini tidak nyata. Tepat ketika dia tidak sanggup menahan napas lagi, mimpi berganti. Percy berdiri di ruangan lapang remang-remang mirip tempat parkir bawah tanah. Di mana-mana ada pilar yang berjajar, menyangga langit-langit yang tingginya sekitar enam meter. Sebuah tungku memancarkan pendar merah redup ke lantai. Percy tidak bisa melihat terlalu jauh karena gelap, tapi di langit-langit terdapat katrol, karung pasir, dan deretan lampu sorot gelap. Di sepenjuru ruangan tersebut, ada tumpukan peti kayu berlabel PROPERTI, SENJATA, dan KOSTUM. Salah satu bertuliskan: MACAM-MACAM PELUNCUR ROKET. Percy mendengar bunyi mesin yang berderit di kegelapan, roda gigi yang berputar, dan air yang mengalir deras lewat pipa-pipa. Lalu dia melihat seorang raksasa atau setidaknya Percy kira dia raksasa. Tingginya kira-kira tiga setengah meter —lebih tinggi daripada kebanyakan cyclops, tapi hanya setengah tinggi raksasa yang pernah Percy hadapi. Dia juga lebih mirip manusia daripada raksasa pada umumnya, tidak berkaki naga seperti kaumnya. Namun demikian, rambut ungunya yang panjang gimbal dikepang dengan jejalin koin emas dan perak, yang menurut perkiraan Percy merupakan gaya rambut khas raksasa. Di punggungnya tersandang tombak sepanjang tiga meter —senjata khas raksasa. Dia memakai sweter hitam berkerah tinggi paling besar yang pernah Percy lihat, celana hitam, dan sepatu kulit hitam yang ujungnya teramat lancip dan melengkung, mirip sepatu badut. Dia inondar-mandir di hadapan sebuah podium sambil mengamat-amati jambangan perunggu seukuran badan Percy. "Tidak, tidak, tidak." Si raksasa bergumam sendiri. "Mana daya tariknya? Mana nilainya?" Dia berteriak ke kegelapan, "Otis!" Percy mendengar suara terseret-seret di kejauhan. Satu raksasa lain muncul dari keremangan. Dia mengenakan pakaian hitam yang persis sama, sampai ke sepatu melengkungnya. Satu-satunya perbedaan di antara kedua raksasa itu adalah, rambut yang kedua herwarna hijau alih-alih ungu. Raksasa pertama menyumpah. "Otis, kenapa kau berbuat Iwgini setiap hari? Sudah kubilang aku hendak memakai sweter berkerah tinggi warna hitam hari ini. Kau boleh memakai apa sajaasalkan bukan sweter berkerah tinggi warna hitam!" Otis mengejap-ngejapkan mata seperti baru bangun tidur. " Kukira kau mau pakai toga kuning hari ini." "Itu kemarin! Waktu kau malah muncul sambil memakai toga kilning!" "Oh. Benar. Sori, Ephie." Saudaranya menggeram kesal. Mereka pasti kembar, sebab wajah mereka identik jeleknya. "Dan jangan panggil aku Ephie," tuntut Ephie, "panggil aku Ephialtes. Itu namaku. Atau kau boleh menggunakan nama panggungku. F YANG AGUNG!" Otis meringis. "Aku masih tidak yakin dengan nama panggung "Omong kosong! Nama itu sempurna. Nah, bagaimana persiapannya?" "Lancar." Otis kedengarannya tidak terlalu antusias. "Harimau pemakan manusia, pisau berputar Tetapi menurutku bagus juga kalau ada balerina." "Tidak ada balerina-balerina-an!" bentak Ephialtes, "dan benda itu." Dia melambaikan tangan ke arah jambangan perunggu dengan jijik. "Apa gunanya itu? Tidak menarik." "Tetapi justru itu inti pertunjukan kita. Dia bakal mati kecuali yang lain menyelamatkannya. Dan kalau mereka tiba sesuai jadwal —" "Oh, awas saja kalau tidak!" kata Ephialtes, "satu Juli, Kalends Juli, hari keramat Juno. Saat itulah Ibunda ingin membinasakan demigod-demigod tolol itu dan inenyombong habis-habisan di depan

Juno. Lagi pula, aku tidak mau membayar uang lembur kepada hantu-hantu gladiator itu!" "Ya, kalau begitu, mereka semua pasti mati," kata Otis, "sedangkan kita akan memicu kehancuran Roma. Persis seperti yang Ibunda inginkan. Sempurna sekali. Hadirin pasti menyukainya. Hantu-hantu Romawi menggemari hal semacam ini." Ephialtes terlihat tidak yakin. "Tetapi jambangan itu cuma nangkring di sana. Tak bisakah kita gantung jambangan itu di atas api, leburkan dalam kubangan asam, atau apalah?" "Kita masih membutuhkan dia dalam keadaan hidup beberapa hari lagi." Otis mengingatkan saudaranya. "Jika tidak, yang tujuh orang takkan terpancing dan bergegas menyelamatkannya." "Hmm. Betul juga. Tetap saja, aku menginginkan lebih banyak jeritan. Mati perlahan-lahan itu membosankan. Ah, ya sudah, bagaimana dengan kawan kita yang berbakat? Apa dia sudah siap menerima tamu?" Otis cemberut. "Sungguh aku tak suka bicara padanya. Dia membuatku gugup." "Tetapi apa dia sudah siap?" "Ya," kata Otis enggan, "dia sudah siap berabad-abad. Takkan ada yang memindahkan patung itu." "Bagus." Ephialtes menggosok-gosokkan tangan dengan antusias. "Ini kesempatan besar kita, Saudaraku." "Kau juga bilang begitu waktu aksi terakhir kita," gerutu Otis, "enam bulan aku terombang- ambing dalam balok es yang digantung di atas Sungai Lethe, dan kita bahkan tidak mendapat perhatian dari media." "Yang ini lain!" Ephialtes bersikeras. "Kita akan memelopori standar baru bagi dunia hiburan! Jika Ibunda puas, kita bisa naik dawn dan meraup kekayaan!" "Terserah apa katamu," desah Otis, "tetapi aku masih merasa bahwa kostum balerina Swan Lake manis juga —" "Tidak ada balet-balet- an!" "Sori "Ayo," kata Ephialtes, "mari kita periksa para harimau. Aku ingin memastikan bahwa mereka memang lapar!" Kedua raksasa terhuyung-huyung meninggalkan ruangan, dan Percy pun menoleh ke jambangan. Aku harus melihat ke dalam, pikirnya. Percy mendesak mimpinya agar maju hingga ke permukaan jambangan. Kemudian, Percy menembus tutup jambangan. Udara dalam jambangan berbau napas apak dan logam karatan. Satu-satunya penerangan berasal dari pendar ungu samar sebuah pedang gelap, itu adalah bilah besi Stygian yang disandarkan ke winding jambangan. Di sebelah pedang, meringkuklah seorang anak laki-laki bercelana jin compang-camping, berbaju hitam, dan berjaket penerbang gaya lama. Di tangan kanannya terdapa cincin tengkorak perak yang berkilauan. "Nico," panggil Percy. Namun, putra Hades itu tidak mendengarnya. Wadah tersebut disegel rapat. Udara di dalamnya berubal jadi beracun. Mata Nico terpejam, napasnya pendek-pendek. Dig seperti sedang bermeditasi. Wajahnya pucat, sedangkan badannya lebih kurus daripada yang Percy ingat. Pada dinding sebelah dalam jambangan terdapat tiga takikan kelihatannya digores Nico menggunakan pedangnya — mungkir sudah tiga hari dia ditawan? Tampaknya mustahil Nico sanggup bertahan selama itu tanpa mati sesak. Dalam mimpi sekali pun, Percy sudah mulai merasa panik, berjuang untuk menghirup oksigen yang cukup. Kemudian, dia menyadari sesuatu di antara kaki Nico —segelintir benda kemilau yang tidak lebih besar daripada gigi bayi Biji, Percy menyadari. Biji delima. Tiga buah telah dimakan dan bijinya diludahkan. Lima bual-masih terbungkus kulit merah tua. "Nico," kata Percy, "tempat apa ini? Kami akan menyelamat-kanmu ...." Citra itu mengabur, dan suara seorang gadis berbisik: "Percy.' Pada mulanya, Percy kira dia masih tidur. Ketika dia hilang ingatan, berminggu-minggu dia memimpikan Annabeth, satu-satunya orang yang Percy ingat dari masa lalunya. Saat matanya terbuka dan penglihatannya jadi jernih, Percy sadar bahwo Annabeth benar-benar berada di sana. Annabeh sedang berdiri di samping tempat tidur Percy. tersenyum kepadanya. Rambut pirang Annabeth tergerai ke bahu. Matanya yang sekelabu badai berbinar-binar cerah karena geli. Percy teringat hari pertamanya di Perkemahan Blasteran, lima tahun lalu, ketika .dia siuman dan mendapati Annabeth tengah berdiri menjulang di dekatnya. Kata Annabeth waktu itu, Kau ngiler kalau lagi tidur. Annabeth

memang sentimental. "Apa —ada apa?" tanya Percy, "apa kita sudah sampai?" "Tidak," kata Annabeth, suaranya pelan, "masih tengah malam." "Maksudmu ...." Jantung Percy mulai berdebar-debar kencang. dia sadar dirinya sedang mengenakan piama, di tempat tidur. Dia barangkali memang ngiler, atau paling tidak mengeluarkan suara-suara aneh saat sedang bermimpi. Tak diragukan lagi bahwa rambutnya berantakan dan bau napasnya tak sedap. "Kau menyelinap masuk ke kabinku?" Annabeth memutar- mutar bola matanya. "Percy, dua bulan umurmu tujuh belas tahun. Masa kau takut dimarahi Pak Pelatih Hedge?" "Eh, memangnya kau belum lihat pemukul bisbolnya?" "Lagi pula, Otak Ganggang, kita, kan, bisa jalan-jalan. Kita punya waktu untuk berduaan saja selama ini. Aku ingin memperlihatkan sesuatu — tempat favoritku di kapal." Denyut nadi Percy masih menjadi-jadi, tapi bukan karena dia takut kena marah. "Boleh tidak kalau aku, tahu, kan, sikat gigi dulu?" "Sana," kata Annabeth, "soalnya aku tidak mau menciummu kalau kau belum sikat gigi. Sisir juga rambutmu sekalian." Untuk ukuran trireme, kapal ini teramat besar, tapi menurut Percy rasanya tetap nyaman —seperti bangunan asrama di Akademi Yancy, atau sekolah asrama lainnya yang pernah mengeluarkan Percy. Annabeth dan Percy mengendap-endap ke geladak kedua. Kecuali ruang kesehatan, Percy belum pernah menjelajah ke sana. Annabeth membimbing Percy melewati ruang mesin, yang penampakannya mirip panjat-panjatan mekanis yang sangat berbahaya: pipa, piston, dan tabung yang lintang pukang mencuat dari bulatan perunggu sentral. Kabel-kabel yang menyerupai mi logam raksasa mengular di lantai dan dinding. "Kok bisa-bisanya benda ini berfungsi?" tanya Percy. "Entahlah," kata Annabeth, "dan selain Leo, cuma aku yang bisa mengoperasikan kapal ini." "Waduh." "Seharusnya, sih, aman. Kapal ini hanya hampir meledak sekali." "Mudah-mudahan kau bercanda." Annabeth tersenyum. "Ayo." Mereka berjalan melewati ruang perbekalan dan gudang senjata. Mendekati buritan kapal, mereka tiba di depan pintu ganda yang terbuka ke sebuah istal besar. Ruangan itu berbau jerami segar dan selimut wol. Di sebelah kiri terdapat tiga bilik kosong, seperti yang dipakai kandang pegasus di perkemahan. Di kanan terdapat dua kandang kosong yang dapat memuat hewan kebun binatang berukuran besar. Di tengah- tengah lantai ada panel tembus pandang seluas hampir dua meter persegi. Jauh di bawah, panorama malam melesat lewat —bermil-mil pedesaan gelap yang diselang-selingi jalan raya terang benderang bagaikan sarang laba-laba. "Kapal berdasar kaca?" tanya Percy. Annabeth menyambar selimut dari pagar bilik terdekat dan menghamparkannya menutupi sebagian lantai kaca. "Sini, duduklah bersamaku." Mereka bersantai di selimut seperti sedang piknik, dan menyaksikan dunia yang berlalu di bawah. "Leo membangun istal supaya pegasus bisa datang dan pergi dengan mudah," kata Annabeth, "hanya saja Leo tidak tahu bahwa pegasus lebih suka berkeliaran dengan bebas. Jadi, istal ini selalu kosong. Percy bertanya-tanya sedang di mana Blackjack sekarang —mengarungi angkasa entah di mana, mudah-mudahan sambil mengikuti jejak mereka. Kepala Percy masih berdenyut-denyut karena ditendang Blackjack, tapi dia tidak dendam pada kuda itu. "Apa maksudmu, datang dan pergi dengan mudah?" tanya Percy, "bukankah pegasus harus turun tangga dua tingkat?" Annabeth mengetukkan buku-buku jarinya ke kaca. "Ini pintu tingkap, seperti di pesawat tempur." Percy menelan ludah. "Maksudmu kita sedang menduduki pintu? Bagaimana kalau pintunya terbuka?" "Kuduga kita bakal jatuh menyongsong maut. Tetapi pintu ini takkan terbuka secara tak sengaja. Kemungkinan besar." "Hebat." Annabeth tertawa. "Kau tahu apa sebabnya aku suka di sini? Bukan cuma karena pemandangannya. Tempat ini meng-ingatkanmu pada apa?" Percy menoleh ke sana-sini: kandang dan bilik istal, pelita perunggu langit yang digantung di kasau, bau jerami, dan tentu saja Annabeth yang duduk dekat sekali dengannya, wajahnya cantik dan berbayang-bayang di bawah sorot cahaya lembut memang sentimental. "Apa —ada apa?" tanya Percy, "apa kita sudah sampai?" "Tidak," kata Annabeth, suaranya pelan, "masih tengah malam." "Maksudmu ...." Jantung Percy mulai berdebar-debar kencang. dia sadar dirinya sedang mengenakan piama, di tempat tidur. Dia barangkali memang ngiler, atau paling tidak mengeluarkan suara-suara aneh saat sedang bermimpi. Tak diragukan lagi bahwa rambutnya berantakan dan bau napasnya tak sedap. "Kau menyelinap masuk ke kabinku?" Annabeth memutar- mutar bola matanya. "Percy, dua bulan umurmu tujuh belas tahun. Masa kau takut dimarahi Pak Pelatih Hedge?" "Eh, memangnya kau belum lihat pemukul bisbolnya?" "Lagi pula, Otak Ganggang, kita, kan, bisa jalan-jalan. Kita punya waktu untuk berduaan saja selama ini. Aku ingin memperlihatkan sesuatu — tempat favoritku di kapal." Denyut nadi Percy masih menjadi-jadi, tapi bukan karena dia takut kena marah. "Boleh tidak kalau aku, tahu, kan, sikat gigi dulu?" "Sana," kata Annabeth, "soalnya aku tidak mau menciummu kalau kau belum sikat gigi. Sisir juga rambutmu sekalian." Untuk ukuran trireme, kapal ini teramat besar, tapi menurut Percy rasanya tetap nyaman —seperti bangunan asrama di Akademi Yancy, atau sekolah asrama lainnya yang pernah mengeluarkan Percy. Annabeth dan Percy mengendap-endap ke geladak kedua. Kecuali ruang kesehatan, Percy belum pernah menjelajah ke sana. Annabeth membimbing Percy melewati ruang mesin, yang penampakannya mirip panjat-panjatan mekanis yang sangat berbahaya: pipa, piston, dan tabung yang lintang pukang mencuat dari bulatan perunggu sentral. Kabel-kabel yang menyerupai mi logam raksasa mengular di lantai dan dinding. "Kok bisa-bisanya benda ini berfungsi?" tanya Percy. "Entahlah," kata Annabeth, "dan selain Leo, cuma aku yang bisa mengoperasikan kapal ini." "Waduh." "Seharusnya, sih, aman. Kapal ini hanya hampir meledak sekali." "Mudah-mudahan kau bercanda." Annabeth tersenyum. "Ayo." Mereka berjalan melewati ruang perbekalan dan gudang senjata. Mendekati buritan kapal, mereka tiba di depan pintu ganda yang terbuka ke sebuah istal besar. Ruangan itu berbau jerami segar dan selimut wol. Di sebelah kiri terdapat tiga bilik kosong, seperti yang dipakai kandang pegasus di perkemahan. Di kanan terdapat dua kandang kosong yang dapat memuat hewan kebun binatang berukuran besar. Di tengah- tengah lantai ada panel tembus pandang seluas hampir dua meter persegi. Jauh di bawah, panorama malam melesat lewat —bermil-mil pedesaan gelap yang diselang-selingi jalan raya terang benderang bagaikan sarang laba-laba. "Kapal berdasar kaca?" tanya Percy. Annabeth menyambar selimut dari pagar bilik terdekat dan menghamparkannya menutupi sebagian lantai kaca. "Sini, duduklah bersamaku." Mereka bersantai di selimut seperti sedang piknik, dan menyaksikan dunia yang berlalu di bawah. "Leo membangun istal supaya pegasus bisa datang dan pergi dengan mudah," kata Annabeth, "hanya saja Leo tidak tahu bahwa pegasus lebih suka berkeliaran dengan bebas. Jadi, istal ini selalu kosong. Percy bertanya-tanya sedang di mana Blackjack sekarang —mengarungi angkasa entah di mana, mudah-mudahan sambil mengikuti jejak mereka. Kepala Percy masih berdenyut-denyut karena ditendang Blackjack, tapi dia tidak dendam pada kuda itu. "Apa maksudmu, datang dan pergi dengan mudah?" tanya Percy, "bukankah pegasus harus turun tangga dua tingkat?" Annabeth mengetukkan buku-buku jarinya ke kaca. "Ini pintu tingkap, seperti di pesawat tempur." Percy menelan ludah. "Maksudmu kita sedang menduduki pintu? Bagaimana kalau pintunya terbuka?" "Kuduga kita bakal jatuh menyongsong maut. Tetapi pintu ini takkan terbuka secara tak sengaja. Kemungkinan besar." "Hebat." Annabeth tertawa. "Kau tahu apa sebabnya aku suka di sini? Bukan cuma karena pemandangannya. Tempat ini meng-ingatkanmu pada apa?" Percy menoleh ke sana-sini: kandang dan bilik istal, pelita perunggu langit yang digantung di kasau, bau jerami, dan tentu saja Annabeth yang duduk dekat sekali dengannya, wajahnya cantik dan berbayang-bayang di bawah sorot cahaya lembut

terjebak dalam truk bersama hewan-hewan yang diperlakukan semena-mena. Kok kau senang mengingat-ingat hal semacam itu?" "Soalnya, Otak Ganggang, itulah kali pertama kita benar-benar mengobrol, kau dan aku. Aku bercerita tentang keluargaku, dan ...." Annabeth mengeluarkan kalung perkemahannya, yang terdiri dari cincin perguruan tinggi ayahnya serta manik-manik tanah fiat warna- warni —satu untuk tiap tahun di Perkemahan Blasteran. Kini ada satu lagi yang termuat dalam tali kulit tersebut: koral merah pemberian Percy waktu mereka mulai pacaran. Percy membawakan koral tersebut dari istana ayahnya di dasar laut. "Selain itu," lanjut Annabeth, "aku jadi teringat bahwa kita sudah saling kenal lama sekali. Umur kita waktu itu baru dua belas tahun, Percy. Bisakah kau percaya itu?" "Tidak." Percy mengakui. "Jadi, kau tahu kau suka padaku sejak saat itu?" Annabeth nyengir. "Awalnya aku benci padamu. Kau membuatku sebal. Kemudian, aku bertenggang rasa padamu selama beberapa tahun. Lalu —" "Oke deh, terserah." Annabeth mencondongkan tubuhnya dan mencium Percy, selagi tidak ada yang menonton —tidak ada orang-orang Romawi, tidak ada pendamping satir yang hobi teriak-teriak. Annabeth menarik diri. "Aku merindukanmu, Percy." Percy ingin menyampaikan hal yang sama kepada Annabeth, tapi komentar semacam itu sepertinya terlalu remeh. Selagi berada di kawasan Romawi, Percy mampu bertahan hidup berkat ingatan akan Annabeth. Aku merindukanmu tidaklah cukup. Percy teringat kejadian malam ini, ketika Piper memaksa eidolon meninggalkan benaknya. Percy tidak menyadari kehadiran eidolon itu sampai Piper menggunakan charmspeak. Selepas kepergian si eidolon, Percy merasa seakan besi panas telah dikeluar-kan dari dahinya. Dia tidak menyadari betapa kesakitan dirinya sampai arwah itu pergi. Kemudian, pikirannya jadi jernih. Jiwanya kembali bermukim dengan nyaman dalam raganya. Perasaannya saat duduk di sini bersama Annabeth juga sama. Kejadian beberapa bulan berselang seperti mimpi saja. Peristiwa di Perkemahan Jupiter terkesan kabur dan tidak nyata, sama seperti pertarungan melawan Jason, ketika mereka sama-sama dikendalikan eidolon. Namun demikian, Percy tak menyesali waktu yang dihabis-kannya di Perkemahan Jupiter. Pengalaman tersebut telah mem-buka matanya. "Annabeth," kata Percy ragu-ragu, "di Roma Baru, demigod bisa hidup dengan damai." Ekspresi Annabeth jadi awas. "Reyna sudah menjelaskannya padaku. Tetapi, Percy, tempatmu di Perkemahan Blasteran. Tempat yang satu lagi itu —" "Aku tahu," ujar Percy, "tetapi selagi di sana, aku melihat banyak sekali demigod yang hidup tanpa rasa takut: anak-anak yang kuliah, pasangan yang menikah dan punya anak. Yang seperti itu tidak ada di Perkemahan Blasteran. Aku terus saja memikirkan kau dan aku dan barangkali suatu hari nanti seusai perang melawan raksasa Sulit memastikannya di tengah-tengah cahaya keemasan tersebut, tapi Percy merasa Annabeth merona. "Oh," katanya. Percy takut dia terlalu banyak bicara. Mungkin dia sudah membuat Annabeth takut gara- gara impian besarnya tentang masa depan. Annabeth-lah yang biasanya punya rencana. Percy menyumpahi dirinya sendiri di dalam hati. Kendati sudah lama mengenal Annabeth, Percy tetap saja merasa belum memahaminya. Setelah jadian beberapa bulan sekali pun, hubungan mereka masih terasa baru dan rapuh, seperti patung kaca. Percy takut melakukan kesalahan dan merusak hubungan mereka. "Maafkan aku," kata Percy, "aku cuma aku harus memikirkan itu supaya sanggup bertahan. Untuk memberiku harapan. Lupakan saja aku pernah mengungkit-ungkit —" "Jangan!" kata Annabeth, "bukan begitu, Percy. Demi dewa-dewi, itikadmu manis sekali. Hanya saja kita mungkin sudah menghancurkan

kesempatan itu. Jika kita tidak bisa memperbaiki hubungan dengan bangsa Romawi —padahal kedua kubu demigod memang tidak pernah akur. Itulah sebabnya para dewa memisahkan kita. Aku tidak tahu apakah kita bisa diterima di sana." Percy tidak mau berdebat, tapi dia tidak bisa melepaskan harapan itu. Rasanya penting —bukan cuma untuk Annabeth dan dia, melainkan juga untuk semua demigod lain. Diterima di dua dunia semestinya mungkin. Biar bagaimanapun jadi demigod juga seperti itu —bukan benar-benar bagian dari dunia manusia fana maupun komunitas Gunung Olympus, tapi berusaha berdamai dengan kedua aspek fitrah mereka. Sayangnya, pemikiran itu mengingatkan Percy pada dewa- dewi, perang yang akan mereka hadapi, dan mimpinya tentang si kembar Ephialtes dan Otis. "Aku sedang mimpi buruk waktu kau membangunkanku." Percy mengakui. Diceritakannya apa yang dia lihat kepada Annabeth. Bagian yang paling menggelisahkan sekali pun tampaknya tidak mengejutkan Annabeth. Dia menggeleng-geleng sedih ketika Percy memaparkan pemenjaraan Nico di dalam jambangan perunggu. Matanya berkilat-kilat marah ketika Percy menceritakan rencana para raksasa untuk menggelar perusakan Roma besar-besaran, yang akan dibuka oleh kematian mengenaskan para demigod. "Nico dijadikan umpan," gumam Annabeth, "pasti pasukan Gaea-lah yang sudah menangkapnya, entah bagaimana. Tetapi kita tidak tahu persis di mana mereka menawannya." "Di suatu tempat di Roma," kata Percy, "di bawah tanah. Mereka mengesankan bahwa Nico masih bisa hidup beberapa hari lagi, tapi tak terbayang olehku dia mampu bertahan sekian lama tanpa oksigen." "Lima hari lagi, menurut Nemesis," kata Annabeth, "Kalends Juli. Paling tidak tenggat waktu tersebut sekarang jadi masuk di akal." "Kalends itu apa?" Annabeth nyengir, seolah dia senang mereka kembali ke pola lima yang biasa —Percy yang kurang pengetahuan, Annabeth yang menjelaskan ini-itu. "Itu istilah Romawi untuk bulan baru. Dani situlah kata kalender berasal. Tetapi bagaimana mungkin Nico mampu bertahan hidup selama itu? Kita sebaiknya bicara pada hazel." "Sekarang?" Annabeth bimbang. "Tidak. Menurutku kita bisa menunggu sampai pagi. Aku tidak mau membuatnya terpukul di tengah malam gara-gara kabar ini." "Kedua raksasa menyebut-nyebut sebuah patung." Percy incligingat-ingat. "Dan teman berbakat yang menjaga patung itu. I tah siapa si teman ini, tapi dia membuat Otis takut. Siapa pun yg bisa membuat raksasa takut ...." Annabeth menatap jalan raya di bawah yang mengular menembus perbukitan gelap. "Percy, pernahkah kau bertemu poseidon baru-baru ini? Atau mendapat pertanda darinya?" Percy menggeleng. "Tidak sejak .... Wow. Sepertinya sudah I mi.' juga. Terakhir kali sehabis Perang Titan. Aku bertemu ayahku Perkemahan Blasteran, tapi kejadiannya Agustus tahun lalu."

Rasa ngeri melanda diri Percy. "Kenapa? Sudahkah kau bertem Athena baru-baru ini?" Annabeth menghindari tatapan Percy. "Beberapa minggu lalu." Annabeth mengakui. "Pertemua kami tidak bagus. Athena tidak seperti biasanya. Mungki karena gangguan kepribadian ganda Yunani/Romawi yang Nemes utarakan. Aku tidak tahu pasti. Ibuku mengucapkan hal-hal yan menyakitkan. Dia bilang aku telah mengecewakannya." "Mengecewakan Athena?" Percy tidak yakin dia tak sala dengar. Annabeth adalah anak demigod yang sempurna. Dia putri Athena teladan. "Mana mungkin kau mengecewakan —?" "Entahlah," kata Annabeth merana, "terlebih lagi, aku jug bermimpi buruk. Mimpiku sama membingungkannya seperi mimpimu." Percy menunggu, tapi Annabeth tidak berbagi apa-ap lagi. Percy ingin membuat Annabeth merasa lebih baik memberitahunya bahwa semua bakal baik-baik saja, tapi Perc tahu dia tak bisa. Percy ingin memperbaiki segalanya demi merek berdua agar mereka bisa berbahagia selamanya. Setelah bertahun tahun menjalani cobaan, dewa-dewi terkejam sekali pun haru mengakui bahwa mereka layak hidup bahagia. Namun, Percy punya firasat bahwa kali ini dia tak dapat Rasa ngeri melanda diri Percy. "Kenapa? Sudahkah kau bertem Athena baru-baru ini?" Annabeth menghindari tatapan Percy. "Beberapa minggu lalu." Annabeth mengakui. "Pertemua kami tidak bagus. Athena tidak seperti biasanya. Mungki karena gangguan kepribadian ganda Yunani/Romawi yang Nemes utarakan. Aku tidak tahu pasti. Ibuku mengucapkan hal-hal yan menyakitkan. Dia bilang aku telah mengecewakannya." "Mengecewakan Athena?" Percy tidak yakin dia tak sala dengar. Annabeth adalah anak demigod yang sempurna. Dia putri Athena teladan. "Mana mungkin kau mengecewakan —?" "Entahlah," kata Annabeth merana, "terlebih lagi, aku jug bermimpi buruk. Mimpiku sama membingungkannya seperi mimpimu." Percy menunggu, tapi Annabeth tidak berbagi apa-ap lagi. Percy ingin membuat Annabeth merasa lebih baik memberitahunya bahwa semua bakal baik-baik saja, tapi Perc tahu dia tak bisa. Percy ingin memperbaiki segalanya demi merek berdua agar mereka bisa berbahagia selamanya. Setelah bertahun tahun menjalani cobaan, dewa-dewi terkejam sekali pun haru mengakui bahwa mereka layak hidup bahagia. Namun, Percy punya firasat bahwa kali ini dia tak dapat