BAB EMPAT PULUH SEMBILAN ANNABETH

BAB EMPAT PULUH SEMBILAN ANNABETH

ANNABETH SUDAH MELAMPAUI AMBANG RASA takutnya. Dia sudah diserang hantu-hantu chauvinis. Pergelangan kakinya patah. Dia sudah dikejar sampai ke jurang oleh sepasukan laba-laba. Sekarang, selagi dilanda nyeri tak terkira, dengan pergelangan kaki dibebat papan serta plastik bergelembung, dan tidak membawa senjata terkecuali belatinya, Annabeth harus menghadapi Arachne —monster setengah laba-laba yang ingin membunuhnya dan mengabadikan peristiwa itu dalam tenunan tapestri. Beberapa jam terakhir ini, Annabeth sudah menggigil, ber-keringat, merengek, dan tak henti-henti menahan air

mata sehingga tubuhnya tak kuasa lagi merasa takut. Pikirannya seolah berkata, Oke, sore nih. Aku tidak bisa lebih takut lagi daripada sekarang. Oleh karena itu, Annabeth justru mulai berpikir. Si monster turun dari atas patung yang berselimut jaring laba-laba. Dia bergerak dari benang ke benang sambil mendesis kesenangan, keempat matanya berkilat-kilat di kegelapan. Entah dia tidak terburu-buru atau dia memang lamban. Annabeth berharap dia memang lamban. Tidak ada bedanya, sih. Kalaupun dia lamban, kondisi Annabeth talc memungkinkannya untuk berlari. Peluangnya untuk memenangi pertarungan juga kecil. Bobot Arachne barangkali beratus-ratus kilogram. Kakinya yang berduri pas sekali untuk menangkap dan membunuh mangsa. Selain itu, Arachne mungkin punya kekuatan seram lainnya —gigitan beracun atau kemampuan bergelantungan dari jaring ke jaring, seperti Spiderman Yunani Kuno. Tidak. Pertarungan bukan jawaban. Yang tersisa tinggal tipu daya dan akal bulus. Dalam legenda kuno, Arachne terlibat masalah gara-gara besar kepala. Dia menyombong bahwa tapestrinya lebih bagus daripada buatan Athena, yang melahirkan program TV relita hukuman Gunung Olympus yang pertama: Jadi, Kau piker Kau Bisa Menenun Lebih Baik Daripada Seorang Dewi? Arachne menderita kekalahan telak. Annabeth mafhum akan sifat besar kepala. Kesombongan merupakan kekurangan fatalnya juga. Annabeth sering kali harus mengingatkan dirinya bahwa dia tak bisa mengerjakan semua sendirian. Terkadang dia bukanlah orang terbaik untuk suatu pekerjaan. Kadang-kadang dia berpandangan sempit dan melupakan kebutuhan orang lain, termasuk Percy. Perhatian Annabeth juga mudah teralihkan gara-gara sibuk membicarakan proyek favoritnya sendiri. Namun, bisakah dia memanfaatkan kekurangan itu untuk melawan si laba-laba? Mungkin kalau dia mengulur-ulur waktu walau dia tak yakin mengulur-ulur waktu bakal berguna. Teman-temannya takkan bisa mencapainya, sekali pun mereka tahu harus ke mana. Takkan ada bala bantuan. Namun begitu, lebih baik mengulur-ulur waktu daripada mati.

Annabeth berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, yang sebenarnya tidak mudah ketika pergelangan kakimu patah. Dia terpincang-pincang ke tapestri terdekat —yang menggambarkan pemandangan kota Roma Kuno. "Menakjubkan," ujar Annabeth, "ceritakan tentang tapestri ini." Bibir Arachne terkembang di atas mandibulanya. "Apa peduli-mu? Kau toh bakal mati sebentar lagi." "Iya, memang," kata Annabeth, "tetapi caramu mengabadikan cahaya di tapestri ini sangatlah mengagumkan. Apa kau menggunakan benang emas asli untuk menggambarkan sinar matahari?" Tenunan itu memang sungguh memukau. Annabeth tidak perlu pura-pura terkesan. Arachne menyunggingkan senyurn pongah. "Tidak, Nak. Bukan emas. Aku memadukan warna, mengontraskan kuning cerah dengan nuansa-nuansa yang lebih gelap. Itulah yang menghasilkan efek tiga dimensi." "Indah." Benak Annabeth terbagi dua: saw untuk menjalin obrolan, satu lagi mencari-cari siasat untuk mempertahankan nyawa. Tak ada gagasan yang muncul. Arachne baru sekali dikalahkan —oleh Athena sendiri, dan itu pun dalam lomba menenun, berkat sihir dewata serta kemampuan mumpuni. ...," kata Annabeth, "apa kau menyaksikan pemandangan ini dengan mata kepalamu sendiri?" Arachne mendesis, mengeluarkan busa dari mulut yang sama sekali tidak menarik. "Kau mencoba menunda ajalmu. Taktik itu takkan berhasil." "Bukan, bukan," bantah Annabeth, "sayang raja rasanya, tapestri-tapestri seindah ini tidak bisa dilihat oleh semua orang. Semua tapestri ini seharusnya masuk museum atau ...." "Atau apa?" tanya Arachne. Sebuah gagasan gila mewujud secara utuh dalam benak Annabeth, seperti ibunya yang dilahirkan dari kepala Zeus. Namun, bagaimana caranya menjalankan rencana tersebut? "Bukan apa-apa." Annabeth mendesah penuh damba. "Ide konyol. Sayang sekali." Arachne merangkak Annabeth berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, yang sebenarnya tidak mudah ketika pergelangan kakimu patah. Dia terpincang-pincang ke tapestri terdekat —yang menggambarkan pemandangan kota Roma Kuno. "Menakjubkan," ujar Annabeth, "ceritakan tentang tapestri ini." Bibir Arachne terkembang di atas mandibulanya. "Apa peduli-mu? Kau toh bakal mati sebentar lagi." "Iya, memang," kata Annabeth, "tetapi caramu mengabadikan cahaya di tapestri ini sangatlah mengagumkan. Apa kau menggunakan benang emas asli untuk menggambarkan sinar matahari?" Tenunan itu memang sungguh memukau. Annabeth tidak perlu pura-pura terkesan. Arachne menyunggingkan senyurn pongah. "Tidak, Nak. Bukan emas. Aku memadukan warna, mengontraskan kuning cerah dengan nuansa-nuansa yang lebih gelap. Itulah yang menghasilkan efek tiga dimensi." "Indah." Benak Annabeth terbagi dua: saw untuk menjalin obrolan, satu lagi mencari-cari siasat untuk mempertahankan nyawa. Tak ada gagasan yang muncul. Arachne baru sekali dikalahkan —oleh Athena sendiri, dan itu pun dalam lomba menenun, berkat sihir dewata serta kemampuan mumpuni. ...," kata Annabeth, "apa kau menyaksikan pemandangan ini dengan mata kepalamu sendiri?" Arachne mendesis, mengeluarkan busa dari mulut yang sama sekali tidak menarik. "Kau mencoba menunda ajalmu. Taktik itu takkan berhasil." "Bukan, bukan," bantah Annabeth, "sayang raja rasanya, tapestri-tapestri seindah ini tidak bisa dilihat oleh semua orang. Semua tapestri ini seharusnya masuk museum atau ...." "Atau apa?" tanya Arachne. Sebuah gagasan gila mewujud secara utuh dalam benak Annabeth, seperti ibunya yang dilahirkan dari kepala Zeus. Namun, bagaimana caranya menjalankan rencana tersebut? "Bukan apa-apa." Annabeth mendesah penuh damba. "Ide konyol. Sayang sekali." Arachne merangkak

aku yakin dewa-dewi lain akan memperebutkan karyamu juga. Mereka akan bersaing demi mendapatkan tapestrimu untuk dipajang di istana mereka. Terkecuali Athena, kutebak tidak ada dewa lain yang pernah melihat buah karyamu?" Arachne menggertakkan mandibulanya. "Begitulah. Pada zaman dahulu, Athena merobek-robek semua kreasi terbaikku. Masalahnya, tapestriku menggambarkan dewa-dewi secara kurang positif. Ibumu tidak menghargai hal tersebut." "Munafik, ya," kata Annabeth, "padahal dewa-dewi saling ejek sepanjang waktu. Menurutku kuncinya adalah mengadu mereka satu sama lain. Ares, contohnya, pasti amat menyukai tapestri yang mengolok-olok ibuku. Dia selalu membenci Athena." Kepala Arachne miring tak wajar. "Kau mau mendiskreditkan ibumu sendiri?" "Aku cuma memberitahumu kesukaan Ares," kata Annabeth, "dan, Zeus pasti menyukai sesuatu yang mengolok-olok Poseidon. Oh, aku yakin kalau bangsa Olympia melihat karyamu, mereka akan menyadari betapa hebatnya dirimu, kemudian aku harus menengahi perang tawar-menawar. Di sisi lain, apa salahnya mendiskreditkan ibuku? Dia mengutusku ke mari untuk mati, kan? Kali terakhir aku bertemu ibuku di New York, dia pada dasarnya tidak sudi lagi mengakuiku sebagai anak." Annabeth mengisahkan ceritanya. Dia membagi kegetiran serta dukanya, dan ceritanya pasti terkesan tulus. Si laba-laba tidak menerkam. "Begitulah fitrah Athena," desis Arachne, "dia bahkan mengesampingkan putrinya sendiri. Sang dewi takkan pernah mengizinkan tapestriku dipertontonkan di istana dewa-dewi. Dari dulu dia ini padaku." "Tetapi bayangkan kalau kau pada akhirnya bisa membalas dendam.,, "Dengan cara membunuhmu!" "Begitu juga bisa." Annabeth menggaruk-garuk kepala. "Atau dengan cara menjadikanku kaki tanganmu. Aku bisa membawakan karyamu ke Gunung Olympus. Aku bisa mengatur supaya karya-karyamu dipamerkan di hadapan dewa-dewi lainnya. Pada saat ibuku tahu, bakalan sudah terlambat. Bangsa Olympia akan melihat sendiri bahwa kreasimu lebih bagus." "Kalau begitu, kau mengakuinya!" seru Arachne, "Putri Athena mengakui aku ini lebih lihai! Oh, merdunya di telingaku." "Tetapi pujianku tak ada gunanya buatmu." Annabeth mengingatkan. "Kalau aku mati di bawah sini, kau akan terus hidup dalam kegelapan. Gaea membinasakan dewa-dewi, dan mereka takkan pernah menyadari bahwa kaulah penenun yang lebih lihai." Sang laba-laba mendesis. Annabeth takut kalau-kalau ibunya mendadak muncul dan mengutuknya dengan penyakit gangs. Hal pertama yang dipelajari setiap anak Athena: Ibu adalah yang paling ahli dalam segalanya, dan kita tidak boleh berkata aku yakin dewa-dewi lain akan memperebutkan karyamu juga. Mereka akan bersaing demi mendapatkan tapestrimu untuk dipajang di istana mereka. Terkecuali Athena, kutebak tidak ada dewa lain yang pernah melihat buah karyamu?" Arachne menggertakkan mandibulanya. "Begitulah. Pada zaman dahulu, Athena merobek-robek semua kreasi terbaikku. Masalahnya, tapestriku menggambarkan dewa-dewi secara kurang positif. Ibumu tidak menghargai hal tersebut." "Munafik, ya," kata Annabeth, "padahal dewa-dewi saling ejek sepanjang waktu. Menurutku kuncinya adalah mengadu mereka satu sama lain. Ares, contohnya, pasti amat menyukai tapestri yang mengolok-olok ibuku. Dia selalu membenci Athena." Kepala Arachne miring tak wajar. "Kau mau mendiskreditkan ibumu sendiri?" "Aku cuma memberitahumu kesukaan Ares," kata Annabeth, "dan, Zeus pasti menyukai sesuatu yang mengolok-olok Poseidon. Oh, aku yakin kalau bangsa Olympia melihat karyamu, mereka akan menyadari betapa hebatnya dirimu, kemudian aku harus menengahi perang tawar-menawar. Di sisi lain, apa salahnya mendiskreditkan ibuku? Dia mengutusku ke mari untuk mati, kan? Kali terakhir aku bertemu ibuku di New York, dia pada dasarnya tidak sudi lagi mengakuiku sebagai anak." Annabeth mengisahkan ceritanya. Dia membagi kegetiran serta dukanya, dan ceritanya pasti terkesan tulus. Si laba-laba tidak menerkam. "Begitulah fitrah Athena," desis Arachne, "dia bahkan mengesampingkan putrinya sendiri. Sang dewi takkan pernah mengizinkan tapestriku dipertontonkan di istana dewa-dewi. Dari dulu dia ini padaku." "Tetapi bayangkan kalau kau pada akhirnya bisa membalas dendam.,, "Dengan cara membunuhmu!" "Begitu juga bisa." Annabeth menggaruk-garuk kepala. "Atau dengan cara menjadikanku kaki tanganmu. Aku bisa membawakan karyamu ke Gunung Olympus. Aku bisa mengatur supaya karya-karyamu dipamerkan di hadapan dewa-dewi lainnya. Pada saat ibuku tahu, bakalan sudah terlambat. Bangsa Olympia akan melihat sendiri bahwa kreasimu lebih bagus." "Kalau begitu, kau mengakuinya!" seru Arachne, "Putri Athena mengakui aku ini lebih lihai! Oh, merdunya di telingaku." "Tetapi pujianku tak ada gunanya buatmu." Annabeth mengingatkan. "Kalau aku mati di bawah sini, kau akan terus hidup dalam kegelapan. Gaea membinasakan dewa-dewi, dan mereka takkan pernah menyadari bahwa kaulah penenun yang lebih lihai." Sang laba-laba mendesis. Annabeth takut kalau-kalau ibunya mendadak muncul dan mengutuknya dengan penyakit gangs. Hal pertama yang dipelajari setiap anak Athena: Ibu adalah yang paling ahli dalam segalanya, dan kita tidak boleh berkata

"Kau tidak punya garnbaran betapa dahsyat kebencian yang bergolak di bawah kita," kata si laba-laba, "kegeraman sedemikian banyak monster yang berusaha menggapai Athena Parthenos dan menghancurkannya. Keutuhan ruangan ini semata-mata dipertahankan oleh jejaring benangku, Gadis Kecil! Satu langkah keliru, dan kau akan langsung terperosok ke Tartarus —dan percayalah padaku, tak seperti Pintu Ajal, takkan ada jalan bagimu untuk kembali. Kau akan jatuh secara sangat menyakitkan! Aku tidak akan membiarkanmu mati sebelum kau memberitah uku rencanamu untuk karya seniku." Mulut Annabeth jadi kering. Langsung terperosok ke Tartarus? Dia mencoba untuk tetap fokus, tapi tidak mudah, sebab Annabeth tak henti-henti mendengar bunyi lantai yang berderit dan retak, menumpahkan puing-puing ke kehampaan di bawah. "Betul, rencanaku," kata Annabeth, "... seperti yang kukata-kan tadi, aku ingin sekali membawa tapestrirnu ke Olympus dan menggantungnya di mana- mana. Kau bisa membangga-banggakan keterampilanmu ke hadapan Athena selama-lamanya. Tetapi satu-satunya cara agar aku bisa melakukan itu Tidak, ah. Terlalu sulit. Lebih baik kau bunuh saja aku." "Tidak!" pekik Arachne, "tak bisa diterima. Aku tak lagi merasa puas karena membayangkan akan membunuhmu. Kreasiku harus dibawa ke Gunung Olympus! Apa yang harus kulakukan?" Annabeth menggeleng. "Maaf, aku seharusnya tidak bilang apa-apa. Dorong saja aku ke Tartarus atau apalah." "Aku menolak!" "Jangan konyol, ah. Bunuhlah aku." "Aku tidak sudi diperintah-perintah olehmu! Beni tahu aku harus berbuat apa! Atau atau —" "Atau kau akan membunuhku?" "Ya! Tidak!" Si laba-laba memegangi kepala dengan kaki depannya. "Aku harus mempertontonkan karyaku di Gunung Olympus." Annabeth berusaha mengekang antusiasmenya. Rencananya mungkin memang bisa berhasil tapi dia masih harus meyakinkan Arachne agar melakukan sesuatu yang mustahil. Dia teringat nasihat bagus yang disampaikan Frank Zhang kepadanya: Tidak usah berbelit-belit. "Bisa kuusahakan untuk menjalin kontak dengan pihak-pihak tertentu di Gunung Olympus." Annabeth mengalah. "Aku jago membuat jalinan!" kata Arachne, "aku ini laba-laba!" "Ya, tapi untuk memamerkan karyamu di Gunung Olympus, perlu audisi terlebih dahulu. Aku harus mengajukan ide, menyampaikan proposal, menunjukkan contoh-contoh karyamu. Hmm apa kau punya pasfoto?" "Pasfoto?" "Potret hitam-putih .... Oh, sudahlah. Yang paling penting adalah persiapan untuk audisi. Semua tapestri ini luar biasa. Tetapi dewa-dewi bakal meminta sesuatu yang benar-benar istimewa —sesuatu yang memamerkan superioritas bakatmu." Arachne menggeram. "Apa kau menyiratkan bahwa yang di sini ini bukanlah kreasi terbaikku? Apa kau menantangku berlomba?" "Oh, bukan!" Annabeth tertawa. "Melawanku? Ya ampun, tidak. Kau terlalu jago. Kau hanya perlu berlomba melawan dirimu sendiri, untuk melihat apakah kau memang punya bakat yang memadai untuk mempertunjukkan karyamu di Gunung Olympus." "Tentu saja aku punya!"

"Nah, aku juga berpendapat begitu. Tetapi masalahnya disyaratkan harus ada audisi. Aku khawatir bakal

susah sekali. Apa kau yakin tak ingin membunuhku saja?" "Hentikan berkata begitu!" jerit Arachne, "apa yang harus kubuat?" "Akan kutunjukkan padamu." Annabeth melepas tas punggungnya. Annabeth mengeluarkan laptop Daedalus dan membukanya. Logo delta berpendar di kegelapan. "Apa itu?" tanya Arachne, "semacam alat tenun?" "Bisa dibilang begitu," ujar Annabeth, "gunanya untuk merangkai ide. Di sini ada diagram karya seni yang peril kau ciptakan." Jemarinya gemetaran di papan ketik. Arachne turun untuk mengintip langsung dari balik pundak Annabeth. Annabeth mau tak mau berpikir, betapa mudahnya gigi-gigi setajam jarum itu menusuk lehernya. Annabeth membuka program pencitraan 3-D. Desain terakhir yang dimasukkannya masih ada —kunci rencana Annabeth, diilhami oleh sumber inspirasi yang paling tak terduga-duga: Frank Zhang. Annabeth membuat kalkulasi cepat-cepat. Dia memperbesar dimensi model, lalu menunjuki Arachne bagaimana benda tersebut dapat diciptakan — benang-benang yang dianyam jadi pita, kemudian dijalin jadi saw hingga membentuk silinder panjang. Cahaya keemasan dari layar menerangi wajah si laba-laba. "Kau ingin aku membuat itu? Sepele sekali! Begitu kecil dan sederhana!" "Ukuran aslinya jauh lebih besar." Annabeth memperingatkan. "Kau lihat ukurannya? Tentu saja ukurannya harus cukup besar, supaya bisa membuat dewa-dewi terkesan. Mungkin kelihatannya sederhana, tapi bangun ruang tersebut memiliki sifat-sifat yang luar biasa. Benangmu merupakan bahan baku yang sempurna —lembut dan fleksibel, tapi sekuat baja." "Begitu ....” Arachne mengerutkan kening. "Tetapi itu bahkan bukan tapestri." "Namanya juga tantangan. Kau mesti berkreasi di luar zona nyamanmu. Karya semacam ini —patung abstrak—inilah yang dicari para dewa. Patung tersebut akan dipajang di lobi ruang singgasana bangsa Olympia sehingga dapat disaksikan para tamu. Kau akan tersohor selama-lamanya!" Arachne berdeham tidak puas. Annabeth bisa tahu bahwa dia tidak menyukai ide tersebut. Tangan Annabeth mulai terasa dingin dan berkeringat. "Akan membutuhkan banyak sekali jaring untuk membuatnya,,> keluh si laba-laba, "melebihi yang bisa kubuat dalam waktu setahun." Itulah yang diharapkan Annabeth. Dia telah memperhitungkan massa dan ukuran sesuai dengan asumsi tersebut. "Kau harus melepas jejaring yang menutupi patung," kata Annabeth, "gunakan benangnya." Arachne sepertinya keberatan, tapi Annabeth melambai ke Athena Parthenon seolah benda itu tidaklah berarti. "Mana yang lebih penting —menutupi patung tua itu atau membuktikan bahwa karya senimulah yang terbaik? Tentu saja, kau harus sangat berhati-hati. Kau harus menyisakan jejaring yang memadai untuk menahan ruangan ini. Kalau menurutmu itu terlalu susah —" "Aku tidak berkata begitu!" "Oke. Hanya saja ... Athena bilang anyaman bangun ruang ini mustahil diciptakan penenun mana pun, bahkan dirinya. Jadi, kalau menurutmu kau tidak bisa —" "Athena bilang begitu?" "Iya.” "Konyol! Aku bisa melakukannya!" "Hebat! Tetapi kau harus mulai sekarang juga, sebelum bangsa Olympia memilih pajangan karya seniman lain." Arachne menggeram. "Kalau kau menipuku, Gadis Kecil —" "Kau bisa menawanku di sini." Annabeth mengingatkannya. "Lagi pula, aku toh tidak bisa ke mana-mana. Begitu patung tersebut rampung, kau pasti setuju bahwa inilah karya terbaik yang pernali kau buat. Jika tidak, aku bersedia mati." Arachne ragu-ragu. Kakinya yang berduri teramat dekat. Dia bisa saja menyula Annabeth dengan sekali tebas. "Baildah," kata si laba-laba, susah sekali. Apa kau yakin tak ingin membunuhku saja?" "Hentikan berkata begitu!" jerit Arachne, "apa yang harus kubuat?" "Akan kutunjukkan padamu." Annabeth melepas tas punggungnya. Annabeth mengeluarkan laptop Daedalus dan membukanya. Logo delta berpendar di kegelapan. "Apa itu?" tanya Arachne, "semacam alat tenun?" "Bisa dibilang begitu," ujar Annabeth, "gunanya untuk merangkai ide. Di sini ada diagram karya seni yang peril kau ciptakan." Jemarinya gemetaran di papan ketik. Arachne turun untuk mengintip langsung dari balik pundak Annabeth. Annabeth mau tak mau berpikir, betapa mudahnya gigi-gigi setajam jarum itu menusuk lehernya. Annabeth membuka program pencitraan 3-D. Desain terakhir yang dimasukkannya masih ada —kunci rencana Annabeth, diilhami oleh sumber inspirasi yang paling tak terduga-duga: Frank Zhang. Annabeth membuat kalkulasi cepat-cepat. Dia memperbesar dimensi model, lalu menunjuki Arachne bagaimana benda tersebut dapat diciptakan — benang-benang yang dianyam jadi pita, kemudian dijalin jadi saw hingga membentuk silinder panjang. Cahaya keemasan dari layar menerangi wajah si laba-laba. "Kau ingin aku membuat itu? Sepele sekali! Begitu kecil dan sederhana!" "Ukuran aslinya jauh lebih besar." Annabeth memperingatkan. "Kau lihat ukurannya? Tentu saja ukurannya harus cukup besar, supaya bisa membuat dewa-dewi terkesan. Mungkin kelihatannya sederhana, tapi bangun ruang tersebut memiliki sifat-sifat yang luar biasa. Benangmu merupakan bahan baku yang sempurna —lembut dan fleksibel, tapi sekuat baja." "Begitu ....” Arachne mengerutkan kening. "Tetapi itu bahkan bukan tapestri." "Namanya juga tantangan. Kau mesti berkreasi di luar zona nyamanmu. Karya semacam ini —patung abstrak—inilah yang dicari para dewa. Patung tersebut akan dipajang di lobi ruang singgasana bangsa Olympia sehingga dapat disaksikan para tamu. Kau akan tersohor selama-lamanya!" Arachne berdeham tidak puas. Annabeth bisa tahu bahwa dia tidak menyukai ide tersebut. Tangan Annabeth mulai terasa dingin dan berkeringat. "Akan membutuhkan banyak sekali jaring untuk membuatnya,,> keluh si laba-laba, "melebihi yang bisa kubuat dalam waktu setahun." Itulah yang diharapkan Annabeth. Dia telah memperhitungkan massa dan ukuran sesuai dengan asumsi tersebut. "Kau harus melepas jejaring yang menutupi patung," kata Annabeth, "gunakan benangnya." Arachne sepertinya keberatan, tapi Annabeth melambai ke Athena Parthenon seolah benda itu tidaklah berarti. "Mana yang lebih penting —menutupi patung tua itu atau membuktikan bahwa karya senimulah yang terbaik? Tentu saja, kau harus sangat berhati-hati. Kau harus menyisakan jejaring yang memadai untuk menahan ruangan ini. Kalau menurutmu itu terlalu susah —" "Aku tidak berkata begitu!" "Oke. Hanya saja ... Athena bilang anyaman bangun ruang ini mustahil diciptakan penenun mana pun, bahkan dirinya. Jadi, kalau menurutmu kau tidak bisa —" "Athena bilang begitu?" "Iya.” "Konyol! Aku bisa melakukannya!" "Hebat! Tetapi kau harus mulai sekarang juga, sebelum bangsa Olympia memilih pajangan karya seniman lain." Arachne menggeram. "Kalau kau menipuku, Gadis Kecil —" "Kau bisa menawanku di sini." Annabeth mengingatkannya. "Lagi pula, aku toh tidak bisa ke mana-mana. Begitu patung tersebut rampung, kau pasti setuju bahwa inilah karya terbaik yang pernali kau buat. Jika tidak, aku bersedia mati." Arachne ragu-ragu. Kakinya yang berduri teramat dekat. Dia bisa saja menyula Annabeth dengan sekali tebas. "Baildah," kata si laba-laba,