BAB DELAPAN BELAS ANNABETH
BAB DELAPAN BELAS ANNABETH
MALAM ITU ANNABETH TIDUR TANPA bermimpi buruk Alhasil, dia justru gelisah ketika terbangun — seperti kedamaia sebelum badai besar. Leo melabuhkan kapal di dermaga Charleston, tepat di sebelah tanggul. Di pesisir terletak distrik historis yang terdiri dari griya tinggi, pohon palem, dan pagar besi tempa. Meriam antik dibidikkan ke perairan. Pada saat Annabeth naik ke geladak, Jason, Frank, dan Leo sudah berangkat ke museum. Menurut Pak Pelatih Hedge, mereka janji bakal sudah kembali saat matahari terbenam. Piper dan Hazel sudah siap untuk pergi, tapi pertama-tama Annabeth berpalin kepada Percy, yang bersandar ke langkan kanan kapal sambil memandangi teluk. Annabeth menggamit tangan Percy. "Apa yang akan kau kerjakan selagi aku pergi?" "Terjun ke pelabuhan," kata Percy sambil lalu, sesantai anak yang mengucapkan, Aku mau ambil camilan, "aku ingin mencoba berkomunikasi dengan Nereid lokal. Mungkin mereka bisa memberiku saran tentang cara membebaskan tawanan di Atlanta. hula, kurasa laut bagus buatku.
Dikurung dalam akuarium membuatku merasa cemar." kambut Percy berwarna gelap acak-acakan seperti biasa, Annabeth teringat helaian uban yang dulu ada di samping. aktu keduanya berumur empat belas, mereka bergantian (tidak secara sukarela) memanggul langit. Beban tersebut menjadikan rambut mereka beruban sebagian. Setahun terakhir ini, selagi percy hilang, helai-helai kelabu tersebut akhirnya menghilang dari rambut mereka berdua, alhasil membuat Annabeth sedih dan agak cemas. Annabeth merasa kehilangan ikatan simbolis dengan Percy. Annabeth mengecupnya. "Semoga berhasil, Otak Ganggang. Yang penting kembalilah padaku, oke?" "Pasti," janji Percy, "kau juga." Annabeth berusaha menekan kekhawatirannya yang kian mbuncah. Dia menoleh ke arah Piper dan Hazel. "Oke, Nona-Nona. kita cari hantu Battery." sesudahnya, Annabeth berharap kalau saja dia ikut terjun ke labuhan bersama Percy. Museum penuh hantu bahkan masih lebih baik. Bukan berarti Annabeth keberatan menghabiskan waktu bersama Hazel dan Piper. Pada mulanya, mereka lumayan menikmati acara jalan-jalan di Battery. Menurut plangnya, taman tepi pantai bernama White Point Gardens. Angin laut menyapu Iwa panas dan gerah siang itu. Di bawah keteduhan pohon palem, Lira sejuk terasa nyaman. Jalanan diapit oleh meriam tua Perang udara serta patung perunggu pelaku sejarah. Annabeth jadi bergidik karenanya. Dia teringat patung-patung di New York saat Perang Titan, yang jadi hidup berkat rangkaian perintah Daedalus no nomor dua-tiga. Annabeth bertanya-tanya berapa banyak patung lain di seluruh negeri yang ternyata adalah automaton, menunggu diaktifkan. Pelabuhan Charleston berkilau diterpa sinar matahari. di utara dan selatan, lahan yang menjorok terjulur bagaikan lengan, melingkupi teluk; sedangkan di mulut pelabuhan, kira-kira dua seperempat kilometer dari dermaga, terdapat sebuah pulan berbenteng batu. Annabeth samar-samar ingat bahwa benteng itu berperan penting pada Perang Saudara, tapi dia tidak mengha biska banyak waktu untuk memikirkannya. Annabeth menghirup udara Taut banyak-banyak dan memikirkan Percy. Semoga dia tidak akan pernah putus dengan Percy. Jika demikian, Annabeth takkan bisa lagi mengunjungi laut tanpa merasa patah hati. Annabeth bersyukur ketika merek berbelok menjauhi tanggul dan masuk ke taman. Taman itu tidak ramai. Annabeth memperkirakan sebagian besar penduduk lokal tengah berlibur musim panas, atau sedang tidur siang di rumah. Mereka berjalan-jalan santai di sep njang South Battery Street, yang dibatasi griya-griya kolonial berlantai empat. Tembok bata bangunan-bangunan tersebut dise imuti tanaman rambat. Pada tembok luarnya terdapat pilar putih tinggi menjulang, seperti di kuil Romawi. Halaman depannya ditumbuh mawar, kamperfuli, dan bugenvil nan melimpah. Kesannya seolah Demeter telah mengatur seluruh tumbuhan agar tumbuh beberapa dasawarsa lalu, kemudian lupa kembali lagi dan mengeceknya. "Mengingatkanku pada Roma Baru," kata Hazel, "griya besar dan taman-taman. Pilar dan lengkungan." Annabeth mengangguk. Dia teringat pernah membaca bahwa sebelum Perang Saudara, negara-negara bagian Selatan acap kali membandingkan diri dengan Roma. Pada masa itu, masyrakat mereka amat peduli pada arsitektur megah, kehormatan, dan etika kcsatriaan. Sisi negatifnya, mereka juga menjunjung perbudakan. Roma punya budak, sebagian warga Selatan berujar, jadi, kenapa kami tidak boleh? Annabeth bergidik. Dia suka sekali arsitektur di sini. Rumah-rumah dan taman-tamannya sangat elok, sangat Romawi. Namun, dia bertanya-tanya apa sebabnya hal-hal indah harus berbalutkan scjarah kelam. Ataukah justru sebaliknya? Mungkin hal-hal indah justru dibangun demi menyamarkan aspek kelam tersebut. Annabeth menggelengkan kepala. Percy tidak suka Annabeth bersikap filosofis. Jika Annabeth berusaha bicara padanya tentang perkara semacam itu, mata Percy jadi kosong. Kedua anak perempuan yang lain tidak banyak bicara. Piper terus saja menoleh ke sana-kemari seperti takut
disergap. Katanya dia telah melihat taman ini di bilah pisaunya, tapi dia tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Annabeth menduga Piper takut bercerita. Bagaimanapun juga, terakhir kali Piper berusaha menginterpretasikan visi yang tampak di pisaunya, Percy dan Jason nyaris saling bunuh di Kansas. Hazel juga tampaknya sibuk sendiri. Mungkin dia sedang memerhatikan pemandangan, atau mungkin dia mengkhawatirkan adiknya. Dalam waktu kurang dari empat hari, jika mereka tidak menemukan dan membebaskannya, Nico bakal mati. Annabeth juga merasa dibebani oleh tenggat waktu itu. Perasaannya pada Nico di Angelo campur aduk sedari dulu. Annabeth curiga Nico naksir padanya sejak mereka menyelamatkan anak itu dan kakaknya Bianca dari akademi militer di Maine; tapi Annabeth tak pernah merasa tertarik pada Nico. Usianya terlalu muda dan sifatnya begitu angin-anginan. Dalam diri Nico ada kegelapan yang membuat Annabeth waswas. Walau begitu, Annabeth merasa bertanggung jawab terhadap Nico. Sewaktu mereka pertama kali bertemu, tak seorang pun tahu tentang saudari tiri Nico, Hazel. Pada saat itu, Bianca-lah satu-satunya keluarga Nico yang masih hidup. Ketika Bianca meninggal, Nico jadi sebatang kara, luntang-lantung sendirian di dunia. Annabeth bisa berempati padanya. Annabeth demikian larut dalam pemikirannya sendiri sehingga dia bisa saja berjalan keliling taman tanpa henti, tapi Piper memegangi tangannya. "Itu." Piper menunjuk ke pelabuhan. Kurang dari seratus meter, sosok putih berdenyar melayang-layang di atas air. Pada awalnya, Annabeth kira itu cuma pelampung atau perahu kecil yang memantulkan sinar matahari, tapi sosok tersebut jelas-jelas berpendar. Lagi Pula, gerakannya lebih mulus daripada perahu, lintasannya lurus ke arah mereka. Saat is semakin dekat, Annabeth bisa melihat bahwa sosok itu berwujud seorang perempuan. "Si hantu," kata Annabeth. "Itu bukan hantu," ujar Hazel, "tidak ada roh yang berpend seterang itu." Annabeth memutuskan untuk memercayai ucapan Hazel. Dia tak bisa membayangkan pengalaman Hazel, mad pada usia begitu muda dan kembali dari Dunia Bawah, lebih tahu tentang orang mati daripada orang hidup. Seperti sedang trans, Piper menyeberangi jalan, menuju ke tanggul, hampir saja tertabrak kereta kuda. "Piper!" seru Annabeth. "Sebaiknya kita ikuti dia," kata Hazel. Pada saat Annabeth dan Hazel berhasil menyusul Pipe penampakan perempuan tersebut tinggal beberapa meter lagi. Piper memelototinya seolah penampakan tersebut mem-buatnya tersinggung. "Memang dia," gerutu Piper. Annabeth menatap si hantu sambil memicingkan mata, tapi pendarnya terlalu terang sehingga sulit melihatnya secara saksama. Kemudian, penampakan tersebut melayang ke atas tanggul dan berhenti di hadapan mereka. Pendarnya meredup. Annabeth terkesiap. Perempuan itu luar biasa cantik dan anehnya tampak tidak asing. Wajahnya susah digambarkan. Raut mukanya seolah berubah dari satu bintang film jelita ke bintang film lainnya. Matanya berbinar-binar jail —kadang- kadang hijau atau biru atau cokelat madu. Rambutnya berubah-ubah dari panjang lurus pirang jadi cokelat tua ikal. Annabeth serta-merta merasa in. Dari dulu dia ingin punya rambut berwarna gelap. Dia merasa orang tidak menganggapnya serius karena dia berambut pirang. Dia harus bekerja keras dua kali lipat supaya diakui sebagai ahli strategi, arsitek, konselor senior —seseorang yang memang pandai. Perempuan itu seperti primadona zaman dulu, persis seperti yang diutarakan Jason. Gaunnya berbahan sutra merah muda dengan atasan berpotongan rendah dan rok mengembang tumpuk tiga yang berenda-renda. Dia memakai sarung tangan sutra putih panjang dan memegangi kipas putih-merah muda berbulu yang dirapatkan ke dada. Keseluruhan dirinya seakan diperhitungkan sedemikian rupa demi membuat Annabeth rendah diri: pembawaannya yang anggun dalam balutan gaun semewah itu, rias wajah yang tidak berlebihan, tapi sempurna, daya pikat feminin yang tak mungkin ditolak pria mana pun. Annabeth sadar rasa irinya tidak rasional. Perempuan itu sengaja membuatnya merasa begini. Dia disergap. Katanya dia telah melihat taman ini di bilah pisaunya, tapi dia tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Annabeth menduga Piper takut bercerita. Bagaimanapun juga, terakhir kali Piper berusaha menginterpretasikan visi yang tampak di pisaunya, Percy dan Jason nyaris saling bunuh di Kansas. Hazel juga tampaknya sibuk sendiri. Mungkin dia sedang memerhatikan pemandangan, atau mungkin dia mengkhawatirkan adiknya. Dalam waktu kurang dari empat hari, jika mereka tidak menemukan dan membebaskannya, Nico bakal mati. Annabeth juga merasa dibebani oleh tenggat waktu itu. Perasaannya pada Nico di Angelo campur aduk sedari dulu. Annabeth curiga Nico naksir padanya sejak mereka menyelamatkan anak itu dan kakaknya Bianca dari akademi militer di Maine; tapi Annabeth tak pernah merasa tertarik pada Nico. Usianya terlalu muda dan sifatnya begitu angin-anginan. Dalam diri Nico ada kegelapan yang membuat Annabeth waswas. Walau begitu, Annabeth merasa bertanggung jawab terhadap Nico. Sewaktu mereka pertama kali bertemu, tak seorang pun tahu tentang saudari tiri Nico, Hazel. Pada saat itu, Bianca-lah satu-satunya keluarga Nico yang masih hidup. Ketika Bianca meninggal, Nico jadi sebatang kara, luntang-lantung sendirian di dunia. Annabeth bisa berempati padanya. Annabeth demikian larut dalam pemikirannya sendiri sehingga dia bisa saja berjalan keliling taman tanpa henti, tapi Piper memegangi tangannya. "Itu." Piper menunjuk ke pelabuhan. Kurang dari seratus meter, sosok putih berdenyar melayang-layang di atas air. Pada awalnya, Annabeth kira itu cuma pelampung atau perahu kecil yang memantulkan sinar matahari, tapi sosok tersebut jelas-jelas berpendar. Lagi Pula, gerakannya lebih mulus daripada perahu, lintasannya lurus ke arah mereka. Saat is semakin dekat, Annabeth bisa melihat bahwa sosok itu berwujud seorang perempuan. "Si hantu," kata Annabeth. "Itu bukan hantu," ujar Hazel, "tidak ada roh yang berpend seterang itu." Annabeth memutuskan untuk memercayai ucapan Hazel. Dia tak bisa membayangkan pengalaman Hazel, mad pada usia begitu muda dan kembali dari Dunia Bawah, lebih tahu tentang orang mati daripada orang hidup. Seperti sedang trans, Piper menyeberangi jalan, menuju ke tanggul, hampir saja tertabrak kereta kuda. "Piper!" seru Annabeth. "Sebaiknya kita ikuti dia," kata Hazel. Pada saat Annabeth dan Hazel berhasil menyusul Pipe penampakan perempuan tersebut tinggal beberapa meter lagi. Piper memelototinya seolah penampakan tersebut mem-buatnya tersinggung. "Memang dia," gerutu Piper. Annabeth menatap si hantu sambil memicingkan mata, tapi pendarnya terlalu terang sehingga sulit melihatnya secara saksama. Kemudian, penampakan tersebut melayang ke atas tanggul dan berhenti di hadapan mereka. Pendarnya meredup. Annabeth terkesiap. Perempuan itu luar biasa cantik dan anehnya tampak tidak asing. Wajahnya susah digambarkan. Raut mukanya seolah berubah dari satu bintang film jelita ke bintang film lainnya. Matanya berbinar-binar jail —kadang- kadang hijau atau biru atau cokelat madu. Rambutnya berubah-ubah dari panjang lurus pirang jadi cokelat tua ikal. Annabeth serta-merta merasa in. Dari dulu dia ingin punya rambut berwarna gelap. Dia merasa orang tidak menganggapnya serius karena dia berambut pirang. Dia harus bekerja keras dua kali lipat supaya diakui sebagai ahli strategi, arsitek, konselor senior —seseorang yang memang pandai. Perempuan itu seperti primadona zaman dulu, persis seperti yang diutarakan Jason. Gaunnya berbahan sutra merah muda dengan atasan berpotongan rendah dan rok mengembang tumpuk tiga yang berenda-renda. Dia memakai sarung tangan sutra putih panjang dan memegangi kipas putih-merah muda berbulu yang dirapatkan ke dada. Keseluruhan dirinya seakan diperhitungkan sedemikian rupa demi membuat Annabeth rendah diri: pembawaannya yang anggun dalam balutan gaun semewah itu, rias wajah yang tidak berlebihan, tapi sempurna, daya pikat feminin yang tak mungkin ditolak pria mana pun. Annabeth sadar rasa irinya tidak rasional. Perempuan itu sengaja membuatnya merasa begini. Dia
"Aphrodite," ucap Annabeth. "Venus?" tanya Hazel tercengang. "Ibu," kata Piper tanpa antusiasme. "Anak-anak!" Sang dewi merentangkan lengan seperti ingin dipeluk ramai-ramai. Ketiga demigod tidak menanggapi. Hazel justru mundur ke balik sebatang palem. "Aku senang sekali kalian di sini," kata Aphrodite, "perang sudah di ambang pinto. Pertumpahan darah tidak terelakkan. Jadi, hanya saw hal yang harus dilakukan." "Eh, ... apa?" Annabeth memberanikan diri bertanya. "Apa lagi kalau bukan minum teh dan mengobrol? Ikut aku! Aphrodite tahu caranya menyeduh teh yang enak. Dia menuntun mereka ke paviliun sentral di taman tersebut —gazebo berpilar putih, yang salah satu mejanya memuat tatanan perangkat makan perak, cangkir keramik, dan tentu saja sepoc teh panas. Aroma teh tersebut berubah-ubah terus —sama seperti penampilan Aphrodite —terkadang wangi kayu manis, melati, atau mint. Ada pinggan berisi kue sus, kue kering, dan muffin; juga mangkuk berisi mentega dan selai segar —semuanya makanan yang menggemukkan, menurut Annabeth, kecuali bagi Dewi Cinta yang hidupnya kekal. Aphrodite duduk — atau memimpin arisan, lebih tepatnya —di kursi rotan bersandaran lebar. Dia menuangkan teh dan menyajikan kue-kue tanpa kejatuhan remah-remah di baju posturnya senantiasa sempurna, senyumnya cemerlang. Semakin lama mereka duduk, semakin Annabeth bend padanya. "Aduh, Nona-Nona Manis," kata sang dewi, "aku suka sekali Charleston! Pernikahan yang pernah kuhadiri di gazebo ini —aku jadi berkaca-kaca dibuatnya. Belum lagi pesta dansa meriah sebelum Perang Saudara dulu. Alangkah indahnya! Banyak griya di sini yang masih memajang patungku di tamannya, tapi mereka memanggilku Venus." "Anda yang mana?" tanya Annabeth, "Venus atau Aphrodite?" Sang dewi menyesap tehnya. Matanya berkilat-kilat iseng. "Annabeth Chase, kau sudah tumbuh jadi wanita muda yang rupawan. Tetapi rambutmu perlu diurus. Dan Hazel Levesque, pakaianmu —" "Pakaian saya?" Hazel menunduk untuk memandangi baju denimnya yang kusut, bingung alih-alih rikuh, seolah dia tidak mengerti apa yang salah dengan pakaiannya. "Bu!" kata Piper, "Ibu membuatku malu saja." "Lho, kenapa?" ujar sang dewi, "cuma karena kau tidak mengapresiasi tips berbusana dariku, Piper, bukan berarti yang lain juga tidak. Aku bisa merombak total penampilan Annabeth dan Hazel, barangkali pakai gaun pesta sutra seperti punyaku —" "Thu!" "Ya, sudah," desah Aphrodite, "untuk menjawab pertanyaan-mu, Annabeth, aku ini Aphrodite sekaligus Venus. Tak seperti kebanyakan dewa Olympia, aku nyaris tak berubah dari zaman ke zaman. Malahan, kurasa aku tidak menua sama sekali!" Sang dewi menggerakkan jemari ke seputar wajahnya, demi menegaskan maksudnya. "Cinta .ya cinta, bagaimanapun juga, tak peduli kita orang Yunani atau Romawi. Perang Saudara ini takkan memengaruhiku sebagaimana is memengaruhi yang lain." Hebat, pikir Annabeth. Ibunya sendiri, dewi Olympia paling arif, terpuruk jadi tukang melantur yang linglung dan kejam di stasiun kereta api bawah tanah. Di antara semua dewa yang barangkali bisa menolong mereka, justru Aphrodite, Nemesis, da Dionysus yang tidak terpengaruh oleh keretakan Yunani-Romaw Cinta, dendam, anggur. Membantu sekali. Hazel menggigiti kue kering lapis gula. "Kami belum la berperang, Dewi." "Oh, Hazel sayang." Aphrodite melipat kipasnya. "Sungguh optimis. Walau begitu, hari-hari yang memilukan tengah menantimu. Tentu saja perang sudah di ambang pintu. Cinta dan perang selalu berjalan beriringan. Cinta dan perang merupakan puncak dari emosi manusia! Kejahatan dan kebaikan, keindahan dan keburukan." Aphrodite tersenyum kepada Annabeth seolah dia tahu apa yang Annabeth pikirkan tadi
mengenai masa lalu negeri Selatan. Hazel meletakkan kue gulanya. Ada remah-remah di dagunya, dan Annabeth senang bahwa Hazel tidak tahu atau tidak peduli. "Apa maksud Anda," kata Hazel, "hari-hari yang memilukan?" Sang dewi tertawa, sekan Hazel adalah anak anjing imut. "Ya, Annabeth bisa memberimu gambaran. Aku pernah berjanji akan membuat kehidupan cintanya menarik. Aku sudah menepati janjiku, kan?" Annabeth hampir mematahkan pegangan cangkirnya. Selama bertahun-tahun, hati Annabeth tercabik-cabik. Pertama-tama ada Luke Castellan, cowok pertama yang ditaksirnya, yang hanya menganggap Annabeth sebagai adik; kemudian Luke berubah jadi jahat dan memutuskan bahwa dia memang menyukai Annabeth —tepat sebelum meninggal. Berikutnya ada Percy, yang manis walau menyebalkan, tapi dia sepertinya naksir cewek lain yang bernama Rachel, dan Percy juga nyaris meninggal, beberapa kali. Akhirnya Annabeth berhasil mendapatkan Percy, tapi dia malah menghilang selama enam bulan dan kehilangan ingatan. "Menarik." Annabeth berkata. "Kurang tepat untuk meng-gambarkannya." "Lho, kan, bukan aku seorang yang bertanggung jawab atas seluruh masalahmu," kata sang dewi, "tetapi aku memang menyukai onak dan duri dalam kisah cinta. Aduh, kalian ini memang bahan cerita yang bagus. Kahan membuatku bangga, Anak-anak!" "Bu," kata Piper, "apa Ibu punya alasan sehingga datang ke sini?" "Hmm? Oh, maksudmu selain minum teh? Aku sering datang ke sini. Aku suka pemandangannya, makanannya, suasananya —romansa dan kepedihan hati bisa tercium di udara, ya, kan? Sudah begitu selama berabad- abad." Dia menunjuk sebuah griya di dekat sana. "Kahan lihat balkon di atas atap itu? Kami mengadakan pesta di sana pada malam pecahnya Perang Saudara. Penyerangan Benteng Sumter." "Itu dia." Annabeth teringat. "Pulau di teluk. Pertempuran pertama pada Perang Saudara terjadi di sana. Pihak Selatan membombardir pasukan Utara dan merebut benteng." "Oh, sungguh pesta yang megah!" kata Aphrodite, "ada kuartet alat musik gesek, sedangkan semua pria mengenakan seragam baru tentara nan gagah. Gaun para wanita —coba kalau kalian melihatnya! Aku berdansa dengan Ares—ataukah Mars? Aku khawatir aku agak linglung saking girangnya. Belum lagi kilatan cahaya nan indah yang melintas di atas pelabuhan, juga gemuruh meriam yang memberi para pria dalih untuk merangkul kekasih mereka yang ketakutan." Teh Annabeth sudah dingin. Dia belum makan apa-apa, tapi rasanya dia mau muntah. "Anda membicarakan awal mula perang paling berdarah dalam sejarah Amerika Serikat. Lebih dari enam ratus ribu orang meninggal —lebih banyak daripada gabungan jumlah orang Amerika yang meninggal dalam Perang Dun is Kesatu dan Kedua." "Dan hidangannya!" lanjut Aphrodite, "ah, rasanya sungguli lezat. Bahkan Jenderal Beauregard juga Nadir. Dasar mata keranjang. Saat itu dia sudah menikahi istri keduanya, tapi coba kalian lihat caranya memandangi Lisbeth Cooper —" "Ibu!" Piper melemparkan kue sus kepada burung-burun merpati. "Ya, maaf," ujar sang dewi, "singkat cerita, aku ke sini untuk menolong kalian, Anak-anak. Aku ragu kalian bakal sering bertemu Hera. Misi kecil kalian membuatnya disambut dengan dingin di ruang singgasana. Dan dewa-dewi lain kebetulan sedang tidak prima, kalian tahu, terombang-ambing di antara sisi Romawi dan Yunani mereka. Sebagian lebih daripada yang lain." Aphrodite melekatkan pandang pada Annabeth. "Kurasa kau sudah memberi tahu teman-temanmu tentang perselisihanmu dengan ibumu?" Wajah Annabeth jadi panas. Hazel dan Piper meliriknya penasaran. "Perselisihan?" tanda Hazel. "Kami bertengkar," kata Annabeth, "bukan apa-apa, kok." "Bukan apa-apa!" kata sang dewi, "aku tidak yakin. Athena-lah yang bersifat paling Yunani di antara semua dewi. Bagaimanapun juga, dia adalah pelindung Athena. Ketika bangsa Romawi mengambil alih ... oh, memang, mereka memuja Athena juga. Dia jadi Minerva, Dewi Kerajinan dan Kepandaian. Tetapi bangsa Romawi memiliki Dewa Perang lain yang lebih sesuai dengan mereka, lebih Romawi —misalnya
Bellona —" "Ibu Reyna," gumam Piper. "Ya, betul." Sang dewi mengiyakan. "Aku sempat bercakap-cakap dengan Reyna beberapa waktu berselang, tepat di taman ini. Bangsa Romawi juga punya Mars, tentu saja. Belakangan, ada juga Mithras —sebenarnya dia bukan Yunani ataupun Romawi, para legiunari fanatik sekali terhadap ritual sektenya. Secara pi hadi, menurutku Mithras itu kampungan dan sangat tidak eradab. Yang jelas, bangsa Romawi mengesampingkan Athena malang. Mereka merampas arti penting Athena dalam bidang m iliter. Bangsa Yunani tak pernah memaafkan bangsa Romawi i is penghinaan itu. Begitu pula Athena." Telinga Annabeth berdenging. "Tanda Athena," katanya, "tanda itu mengarah pada sebuah patung, ya, kan? Patung yang itu." Aphrodite tersenyum. "Kau cerdas, sama seperti ibumu. tetapi pahamilah, saudara-saudarimu, anak-anak Athena, telah mencarinya selama berabad-abad. Tak seorang pun berhasil mengambil kembali patung tersebut. Sementara itu, mereka terus melestarikan permusuhan di antara bangsa Yunani dan Romawi. Semua Perang Saudara sedemikian banyak pertempuran darah dan kepedihan terutama didalangi oleh anak-anak Athena." "Itu ...." Annabeth ingin mengatakan mustahil, tapi dia teringat perkataan getir Athena di Stasiun Grand Central, kebencian yang berkobar-kobar di matanya. "Romantis?" tukas Aphrodite, "ya, kurasa memang begitu." "Tetapi Annabeth berusaha menjernihkan pikirannya yang kusut. "Tanda Athena, apa sebenarnya itu? Apakah berupa scrangkaian petunjuk, atau jejak yang ditinggalkan oleh Athena —" "Hmm." Aphrodite menutup-nutupi kebosanannya dengan bersikap sopan. "Entahlah. Menurutku Athena tidak secara sadar menciptakan Tanda itu. Jika dia tahu di mana patung itu berada, dia akan memberitahukan saja letaknya kepada kalian. Tidak kurasa Tanda itu lebih seperti jejak spiritual. Tanda Athena merupakan garis penghubung antara patung tersebut dengan anak-anak sang dewi. Patung itu ingin ditemukan, kau tabu, tapi is hanya dapat dibebaskan oleh orang yang paling layak." "Dan setelah beribu-ribu tahun," kata Annabeth, "belum ada yang berhasil." "Tunggu dulu," kata Piper, "patungapa yang kita bicarakar ?" Sang dewi tertawa. "Oh, aku yakin Annabeth b sa memberitahumu. Pokoknya, petunjuk yang kalian perlukan ada di dekat sini: semacam peta, ditinggalkan oleh anak-anak Athena pada tahun 1861 —pengingat yang akan memandu jalanmu, setibanya kalian di Roma. Tetapi sebagaimana yang kau katakan, Annabeth Chase, belum ada yang berhasil mengikuti Tanda Athena sampai ke akar-akarnya. Di sana kau akan menghadapi ketakutanmu yang terbesar —rasa takut yang dimiliki semua anak Athena. Dan sekali pun kau selamat, bagaimana kau akan menggunakan imbalanmu? Untuk peperangan atau perdamaian?" Annabeth bersyukur ada taplak, sebab di bawah meja, tungkai-nya gemetaran. "Peta itu," kata Annabeth, "disimpannya di mam ?,, "Teman-teman!" Hazel menunjuk langit. Di atas pohon-pohon palem, dua elang besar tengah berputar-putar. Lebih jauh lagi di atas, kereta perang terbang yang dihela pegasus sedang menukik dengan cepat. Rupanya Buford si meja utusan Leo gagal mengalihkan perhatian —kalaupun berhasil, setidaknya masih kurang lama. Aphrodite mengoleskan mentega ke muffin dengan santai. "Oh, peta itu ada di Benteng Sumter, tentu saja." Dia menggunakan pisau mentega untuk menunjuk ke pulau di seberang pelabuhan. "Kelihatannya bangsa Romawi telah datang untuk mencegat kalian. Kalau aku jadi kalian, aku akan buru-buru kembali ke kapal. Apa kalian mau membawa kue untuk bekal?"[]