BAB DUA PULUH TIGA LEO
BAB DUA PULUH TIGA LEO
LEO PANTAS MENGENAKAN TOPI DUNGU. Kalau pikirannya beres, Leo pasti sudah mengalihkan sistem deteksi kapal dari radar jadi sonar begitu mereka Pelabuhan Charleston. Itulah yang dia lupakan. Leo telah merancang lambung kapal agar beresonansi tiap beberapa detik, mengirimkan gelombang suara yang menembus kabut supaya Festus dapat mendeteksi apabila ada monster di dekat mereka, tapi hanya satu mode yang dapat difungsikan sekali waktu: mode air atau mode udara. Saking kalutnya gara- gara serangan bangsa Romawi, serbuan badai, lalu perbincangan dengan Hazel, Leo jadi lupa. Kini, seekor monster berada tepat di bawah mereka. Kapal doyong ke kanan. Hazel menggenggam tali-temali kapal Hedge berteriak, "Valdez, yang mana tombol untuk meledakan monster? Ambil kendali!" Leo memanjati geladak yang miring dan berhasil mencengkram langkan kiri kapal. Dia bergegas berjalan menyamping
menuju ke kemudi, tapi ketika dia melihat si monster muncul ke permukaan, Leo lupa caranya bergerak. Makhluk itu sepanjang kapal mereka. Di tengah pancaran sinar bulan, wujudnya menyerupai persilangan udang raksasa dan kecoa —bercangkang keras merah muda, berekor gepeng mirip lobster, dan berkaki seribu yang menggeliat-geliut tiap kali menyenggol lambung Argo II. Kepalanya menyembul paling akhir —wajah merah muda berlendir seperti lele raksasa. Matanya buram dengan pandangan kosong, rahangnya ompong menganga, sedangkan dari lubang hidungnya tersembullah tentakel tebal —bulu
hidung paling lebat dan menjijikkan yang pernah Leo Iihat seumur hidupnya. Leo teringat acara makan malam spesial hari Jumat bersama ibunya di restoran makanan laut lokal di Houston. Mereka acap kali makan udang dan lele. Kalau membayangkannya sekarang, Leo jadi ingin muntah. "Ayo, Valdez!" teriak Hedge, "pegang kemudi supaya aku bisa mengambil tongkat bisbolku!" "Tongkat bisbol takkan berguna," kata Leo, tapi dia tetap saja naik hingga ke kemudi. Di belakang Leo, teman-temannya yang lain menaiki tangga dengan terburu-buru. Percy berteriak, "Ada a — Aaaah! Ada udangsaurus!" Frank lari ke samping Hazel. Anak perempuan itu menceng-keram tali-temali erat-erat, masih linglung sehabis kilas balik, tapi dia memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Si monster menabrak kapal lagi. Lambung kapal berderit. Annabeth, Piper, dan Jason terjungkal ke sisi kanan dan hampir jatuh dari kapal. Leo sampai juga di depan kemudi. Tangannya melesat cepat di panel kendali. Lewat interkom, Festus berkelotak untuk menyampaikan kebocoran di dek bawah, tapi kapal tersebut sepertinya tidak hendak tenggelam —paling tidak belum. Leo menggerakkan tuas dayung. Dayung dapat berubah jadi tombak, yang semestinya cukup untuk mengusir makhluk itu. Sayangnya, dayung tersebut macet. Si udangsaurus pasti sudah menyenggol dayung sampai selip. Selain itu, karena jarak si monster dekat, peluncur misil tidak bisa dipakai tanpa membuat Argo II terbakar gara-gara amunisi yang terpental. "Kok dia bisa sedekat itu?" teriak Annabeth sambil bertopang pada salah satu perisai di langkan. "Aku tidak tahu!" bentak Hedge. Dia rnenoleh ke sana-kemari untuk mencari pemukulnya, yang telah menggelinding ke seberang a nj ungan. "Aku bodoh!" Leo mengomeli diri sendiri. "Bodoh, bodoh! Aku lupa menyalakan sonar!" Kapal miring semakin jauh ke kanan. Entah monster itu sedang mencoba memeluk mereka, atau dia hendak menjungkirbalikkan mereka. "Sonar?" sergah Hedge, "demi pipa Pan, Valdez! Mungkin kalau kau tidak terlalu sibuk menatap mata Hazel, bergandengan Langan lama sekali —" "Apa?" pekik Frank. "Bukan begitu!" prates Hazel. "Sudahlah!" kata Piper, "Jason, bisa kau panggil petir?" Jason bangkit dengan susah payah. "Aku " Dia hanya sanggup menggelengkan kepala. Saat memanggil badai tadi energinya telah terkuras terlalu banyak. Dalam kondisinya sekarang, Leo bahkan ragu cowok malang itu bisa menyulut busi. "Percy!" kata Annabeth, "bisakah kau bicara pada makhluk itu? Apa kau tahu dia itu apa?"
Putra Dewa Laut menggelengkan kepala, kentara sekali kebingungan. "Mungkin dia cuma penasaran pada kapal ini. Mungkin —" Tentakel-tentakel monster mencambuki dek cepat sekali sampai-sampai Leo tidak sempat berteriak, Awas! Salah satunya menghantam dada Percy dan menjatuhkannya ke tangga. Satu lagi membelit tungkai Piper dan menyeretnya, yang menjerit-jerit, ke arah langkan. Lusinan lainnya mencengkeram tiang layar, melilit busur silang, dan memutuskan tali-temali pengikat layar. "Serangan bulu hidung!" Hedge menyambar tongkat bisbol dan melompat untuk beraksi; tapi pukulannya mental di tentakel-tentakel itu tanpa berdampak apa-apa. Jason menghunus pedangnya. Dia mencoba membebaskan Piper, tapi dia masih lemas. Bilah emas pedangnya tidak kesulitan memotong tentakel itu, tapi tentakel-tentakel lain muncul menggantikan yang putus, lebih cepat daripada kemampuan Jason memotong yang lama. Annabeth mencabut belatinya. Dia lari ke antara sulur-sulur tentakel, menghindar dan menikam target mana pun yang dapat diincarnya. Frank menyiagakan busurnya. Pemuda itu membidik sisi tubuh makhluk itu, menancapkan panah di sela-sela cangkang; tapi si monster tampaknya tidak kesakitan, malah jadi kesal dibuatnya. Ia menggerung, dan menggoyang-goyangkan kapal. Tiang layar berderit seperti mau panah. Mereka butuh senjata api yang lebih kuat, tapi mereka
tak bisa menggunakan ketapel. Mereka harus meluncurkan ledakan yang takkan menghancurkan kapal. Namun, bagaimana ...? Mata Leo tertumbuk pada peti perbekalan di samping kaki Hazel. "Hazel!" teriaknya, "kotak itu! Buka!" Hazel ragu-ragu, kemudian melihat kotak yang Leo maksud. Labelnya berbunyi PERINGATAN. JANGAN DIBUKA. "Buka!" teriak Leo lagi, "Pak Pelatih! Ambil kemudi! Arahkan kapal ke badan monster itu. Kalau tidak, bisa-bisa kita terbalik." Kaki kambing Hedge yang gesit berjingkat di antara tentakel-tentakel. Sementara itu, tangannya main getok sepenuh hati. Dia melompat ke depan kemudi dan mengambil alih kendali. "Moga-moga kau punya rencana!" teriak sang satir. "Rencana jelek." Leo melaju ke tiang layar. Si monster membenturkan diri ke Argo II. Geladak miring hingga empat puluh lima derajat. Meskipun semua orang berusaha keras, terlalu banyak tentakel yang harus dilawan. Tentakel-tentakel itu tampaknya bisa memanjang sesukanya. Tidak lama lagi Argo II bakal terbelit. Percy belum muncul-muncul dari bawah. Yang lain berjuang mempertahankan nyawa dari serangan bulu hidung. "Frank!" panggil Leo sambil lari menghampiri Hazel, "ulur-ulurlah waktu! Bisakah kau berubah jadi hiu atau semacamnya?" Frank melirik ke samping sambil memberengut; dan tepat saat itu, sebuah tentakel menghantamnya dan menjungkalkannya dari kapal. Hazel menjerit. Dia membuka kotak perbekalan dan hampir menjatuhkan dua labu kaca yang dipegangnya. Leo menangkap kedua labu tersebut. Masing-masing berukuran sebesar apel, sedangkan cairan di dalamnya berpendar hijau seram mirip racun. Kacanya terasa hangat saat disentuh. Dada Leo serasa mau meledak karena rasa bersalah. Dia Baru saja mengalihkan perhatian Frank dan barangkali membuat pemuda itu tewas, tapi dia tidak boleh memikirkan itu. Dia harus menyelamatkan kapal ini. "Ayo!" Dia menyerahkan salah satu labu kepada Hazel. "Kita pasti bisa membunuh monster itu —dan menyelamatkan Frank!" Leo harap dirinya tidak bohong. Untuk mencapai langkan kiri, mereka harus mendaki alih-alih berjalan, tapi akhirnya mereka sampai. "Apa ini?" kata Hazel terengah-engah sambil membuai labu kaca. "Api Yunani!" Mata Hazel membelalak. "Apa kau gila? Jika ini pecah, seisi kapal bakal terbakar!" "Mulut labu!" kata Leo, "tuangkan saja isi —" Tiba-tiba Leo menabrak Hazel, dan dunia jadi miring. Sementara mereka terangkat ke udara, Leo menyadari bahwa mereka dibelit tentakel. Lengan Leo bebas, tapi dia harus berusaha sekuat tenaga supaya labu api Yunani tidak lepas dari genggamannya. Hazel meronta. Lengan Hazel terjepit, artinya labu yang terjebak di antara mereka bisa pecah kapan saja dan andai itu terjadi, dampaknya bakal buruk untuk kesehatan mereka. Mereka naik tiga meter, enam meter, sembilan meter ke atas si monster. Sekilas Leo melihat teman-temannya yang kewalahan, berteriak-teriak dan menebas bulu hidung sang monster. Dia menyaksikan Pak Pelatih Hedge berjuang supaya kapal tidak terbalik. Lautan gelap, tapi di bawah sinar rembulan Leo seperti melihat benda mengilap terapung di dekat si monster —mungkin tubuh Frank Zhang yang sedang tak sadarkan diri. "Leo," sengal Hazel, "aku tak bisa —lenganku "Hazel," kata Leo, "apa kau percaya padaku?" "Tidak!" "Aku juga." Leo mengakui. "Waktu makhluk ini menjatuhkan kita, tahan napasmu. Apa pun yang kau lakukan, cobalah lempar labumu sejauh-jauhnya dari kapal." "Kenapa —kenapa dia bakal menjatuhkan kita?" Leo menatap kepala monster. Meski susah, dia tak punya pilihan. Leo mengangkat labu di tangan kirinya. Dia merapatkan tangan kanan ke tentakel dan mendatangkan api ke telapak tangannya —api putih membara yang difokuskan di satu titik saja. Panasnya api menarik perhatian si monster. Sekujur tubuh makhluk itu menggeletar —hingga ke tentakel —saat kulitnya melepuh di bawah sentuhan Leo. Si monster mendongakkan rahangnya, meraung kesakitan, dan Leo pun melemparkan api Yunani langsung ke dalam tenggorokan makhluk tersebut. Di antara percikan air asin yang memedihkan, Leo seperti melihat siluet samar-samar lambung tak bisa menggunakan ketapel. Mereka harus meluncurkan ledakan yang takkan menghancurkan kapal. Namun, bagaimana ...? Mata Leo tertumbuk pada peti perbekalan di samping kaki Hazel. "Hazel!" teriaknya, "kotak itu! Buka!" Hazel ragu-ragu, kemudian melihat kotak yang Leo maksud. Labelnya berbunyi PERINGATAN. JANGAN DIBUKA. "Buka!" teriak Leo lagi, "Pak Pelatih! Ambil kemudi! Arahkan kapal ke badan monster itu. Kalau tidak, bisa-bisa kita terbalik." Kaki kambing Hedge yang gesit berjingkat di antara tentakel-tentakel. Sementara itu, tangannya main getok sepenuh hati. Dia melompat ke depan kemudi dan mengambil alih kendali. "Moga-moga kau punya rencana!" teriak sang satir. "Rencana jelek." Leo melaju ke tiang layar. Si monster membenturkan diri ke Argo II. Geladak miring hingga empat puluh lima derajat. Meskipun semua orang berusaha keras, terlalu banyak tentakel yang harus dilawan. Tentakel-tentakel itu tampaknya bisa memanjang sesukanya. Tidak lama lagi Argo II bakal terbelit. Percy belum muncul-muncul dari bawah. Yang lain berjuang mempertahankan nyawa dari serangan bulu hidung. "Frank!" panggil Leo sambil lari menghampiri Hazel, "ulur-ulurlah waktu! Bisakah kau berubah jadi hiu atau semacamnya?" Frank melirik ke samping sambil memberengut; dan tepat saat itu, sebuah tentakel menghantamnya dan menjungkalkannya dari kapal. Hazel menjerit. Dia membuka kotak perbekalan dan hampir menjatuhkan dua labu kaca yang dipegangnya. Leo menangkap kedua labu tersebut. Masing-masing berukuran sebesar apel, sedangkan cairan di dalamnya berpendar hijau seram mirip racun. Kacanya terasa hangat saat disentuh. Dada Leo serasa mau meledak karena rasa bersalah. Dia Baru saja mengalihkan perhatian Frank dan barangkali membuat pemuda itu tewas, tapi dia tidak boleh memikirkan itu. Dia harus menyelamatkan kapal ini. "Ayo!" Dia menyerahkan salah satu labu kepada Hazel. "Kita pasti bisa membunuh monster itu —dan menyelamatkan Frank!" Leo harap dirinya tidak bohong. Untuk mencapai langkan kiri, mereka harus mendaki alih-alih berjalan, tapi akhirnya mereka sampai. "Apa ini?" kata Hazel terengah-engah sambil membuai labu kaca. "Api Yunani!" Mata Hazel membelalak. "Apa kau gila? Jika ini pecah, seisi kapal bakal terbakar!" "Mulut labu!" kata Leo, "tuangkan saja isi —" Tiba-tiba Leo menabrak Hazel, dan dunia jadi miring. Sementara mereka terangkat ke udara, Leo menyadari bahwa mereka dibelit tentakel. Lengan Leo bebas, tapi dia harus berusaha sekuat tenaga supaya labu api Yunani tidak lepas dari genggamannya. Hazel meronta. Lengan Hazel terjepit, artinya labu yang terjebak di antara mereka bisa pecah kapan saja dan andai itu terjadi, dampaknya bakal buruk untuk kesehatan mereka. Mereka naik tiga meter, enam meter, sembilan meter ke atas si monster. Sekilas Leo melihat teman-temannya yang kewalahan, berteriak-teriak dan menebas bulu hidung sang monster. Dia menyaksikan Pak Pelatih Hedge berjuang supaya kapal tidak terbalik. Lautan gelap, tapi di bawah sinar rembulan Leo seperti melihat benda mengilap terapung di dekat si monster —mungkin tubuh Frank Zhang yang sedang tak sadarkan diri. "Leo," sengal Hazel, "aku tak bisa —lenganku "Hazel," kata Leo, "apa kau percaya padaku?" "Tidak!" "Aku juga." Leo mengakui. "Waktu makhluk ini menjatuhkan kita, tahan napasmu. Apa pun yang kau lakukan, cobalah lempar labumu sejauh-jauhnya dari kapal." "Kenapa —kenapa dia bakal menjatuhkan kita?" Leo menatap kepala monster. Meski susah, dia tak punya pilihan. Leo mengangkat labu di tangan kirinya. Dia merapatkan tangan kanan ke tentakel dan mendatangkan api ke telapak tangannya —api putih membara yang difokuskan di satu titik saja. Panasnya api menarik perhatian si monster. Sekujur tubuh makhluk itu menggeletar —hingga ke tentakel —saat kulitnya melepuh di bawah sentuhan Leo. Si monster mendongakkan rahangnya, meraung kesakitan, dan Leo pun melemparkan api Yunani langsung ke dalam tenggorokan makhluk tersebut. Di antara percikan air asin yang memedihkan, Leo seperti melihat siluet samar-samar lambung
bobot. Matanya pelan-pelan menyesuaikan diri terhadap cahaya redup. "Sudah waktunya." Suara Frank bergaung, seakan dia bicara dari balik beberapa lapis plastik. Leo duduk tegak atau lebih tepatnya mengapungkan diri sampai tegak. Dia berada di bawah air, dalam gua seukuran garasi berkapasitas dua mobil. Lumut berpendar menyelimuti langit-langit, membanjiri ruang tersebut dengan binar hijau kebiruan. Lantai dilapisi oleh hamparan bulu babi sehingga kurang nyaman untuk dipijak, alhasil Leo bersyukur dia mengapung. Dia tidak mengerti bagaimana sampai dia bisa bernapas tanpa udara. Frank melayang-layang di dekat sana sambil bersila. Berkat wajahnya yang tembam dan ekspresinya yang cemberut, dia jadi mirip Buddha yang telah mencapai pencerahan dan malah tidak puas. Satu-satunya pinto gua dihalangi cangkang abalon maha-besar —permukaannya dikilaukan warna-warni putih mutiara, merah muda, dan biru pirus. Jika gua ini adalah penjara, paling tidak pintunya keren. "Di mana kita?" tanya Leo, "di mana yang lain?" "Yang lain?" gerutu Frank, "aku tidak tahu. Setahuku hanya kau, aku, dan Hazel yang ada di sini. Manusia kuda-ikan membawa pergi Hazel kira-kira sejam lalu, meninggalkanku denganmu." Dari nada suara Frank, kentara sekali dia tidak menyetujui penempatan tersebut. Dia kelihatannya tidak terluka, tapi Leo menyadari pemuda itu tak lagi membawa busur atau wadah panahnya. Dengan panik, Leo menepuk-nepuk pinggangnya. Sabuk perkakasnya tidak ada. "Mereka menggeledah kita," ujar Frank, "membawa apa saja yang bisa dijadikan senjata." "Siapa?" tuntut Leo, "siapa itu kuda-ikan —?" "Manusia kuda-ikan." Frank mengklarifikasi. Klarifikasinya sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. "Mereka pasti menangkap kita ketika kita jatuh ke laut, kemudian menyeret kita entah ke mana." Leo teringat hal terakhir yang dia lihat sebelum pingsan —wajah hijau muda seorang pria berjanggut yang membawa belati. "Monster udang. Argo 2 —apa kapal baik-baik saja?" "Aku tidak tahu," kata Frank kecut, "yang lain mungkin sedang kesulitan atau terluka, atau —atau lebih parah lagi. Tetapi kurasa kau lebih peduli pada kapalmu daripada teman-teman kita." Leo merasa seakan-akan wajahnya baru menghantam air lagi. "Ucapan bodoh apa —?" Kemudian, Leo menyadari apa sebabnya Frank demikian marah: kilas balik. Serangan monster terjadi begitu cepat sampai-sampai Leo hampir lupa. Pak Pelatih Hedge melontarkan komentar tolol mengenai Leo dan Hazel yang bergandengan dan bertatapan. Apalagi tepat sesudah itu, Leo membuat Frank terjungkal dari kapal. Mendadak Leo jadi sulit memandang mata Frank. "Dengar, Bung ... maaf aku menjerumuskan kita ke dalam kekacauan ini. Aku benar-benar mengacau." Dia menarik napas dalam-dalam. Anehnya, rasanya normal, padahal dia berada di bawah air. "Aku dan Hazel bergandengan bukan seperti yang kau kira. Dia menunjukiku kilas balik dari bobot. Matanya pelan-pelan menyesuaikan diri terhadap cahaya redup. "Sudah waktunya." Suara Frank bergaung, seakan dia bicara dari balik beberapa lapis plastik. Leo duduk tegak atau lebih tepatnya mengapungkan diri sampai tegak. Dia berada di bawah air, dalam gua seukuran garasi berkapasitas dua mobil. Lumut berpendar menyelimuti langit-langit, membanjiri ruang tersebut dengan binar hijau kebiruan. Lantai dilapisi oleh hamparan bulu babi sehingga kurang nyaman untuk dipijak, alhasil Leo bersyukur dia mengapung. Dia tidak mengerti bagaimana sampai dia bisa bernapas tanpa udara. Frank melayang-layang di dekat sana sambil bersila. Berkat wajahnya yang tembam dan ekspresinya yang cemberut, dia jadi mirip Buddha yang telah mencapai pencerahan dan malah tidak puas. Satu-satunya pinto gua dihalangi cangkang abalon maha-besar —permukaannya dikilaukan warna-warni putih mutiara, merah muda, dan biru pirus. Jika gua ini adalah penjara, paling tidak pintunya keren. "Di mana kita?" tanya Leo, "di mana yang lain?" "Yang lain?" gerutu Frank, "aku tidak tahu. Setahuku hanya kau, aku, dan Hazel yang ada di sini. Manusia kuda-ikan membawa pergi Hazel kira-kira sejam lalu, meninggalkanku denganmu." Dari nada suara Frank, kentara sekali dia tidak menyetujui penempatan tersebut. Dia kelihatannya tidak terluka, tapi Leo menyadari pemuda itu tak lagi membawa busur atau wadah panahnya. Dengan panik, Leo menepuk-nepuk pinggangnya. Sabuk perkakasnya tidak ada. "Mereka menggeledah kita," ujar Frank, "membawa apa saja yang bisa dijadikan senjata." "Siapa?" tuntut Leo, "siapa itu kuda-ikan —?" "Manusia kuda-ikan." Frank mengklarifikasi. Klarifikasinya sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. "Mereka pasti menangkap kita ketika kita jatuh ke laut, kemudian menyeret kita entah ke mana." Leo teringat hal terakhir yang dia lihat sebelum pingsan —wajah hijau muda seorang pria berjanggut yang membawa belati. "Monster udang. Argo 2 —apa kapal baik-baik saja?" "Aku tidak tahu," kata Frank kecut, "yang lain mungkin sedang kesulitan atau terluka, atau —atau lebih parah lagi. Tetapi kurasa kau lebih peduli pada kapalmu daripada teman-teman kita." Leo merasa seakan-akan wajahnya baru menghantam air lagi. "Ucapan bodoh apa —?" Kemudian, Leo menyadari apa sebabnya Frank demikian marah: kilas balik. Serangan monster terjadi begitu cepat sampai-sampai Leo hampir lupa. Pak Pelatih Hedge melontarkan komentar tolol mengenai Leo dan Hazel yang bergandengan dan bertatapan. Apalagi tepat sesudah itu, Leo membuat Frank terjungkal dari kapal. Mendadak Leo jadi sulit memandang mata Frank. "Dengar, Bung ... maaf aku menjerumuskan kita ke dalam kekacauan ini. Aku benar-benar mengacau." Dia menarik napas dalam-dalam. Anehnya, rasanya normal, padahal dia berada di bawah air. "Aku dan Hazel bergandengan bukan seperti yang kau kira. Dia menunjukiku kilas balik dari
Dia memberi tahu Frank apa yang mereka lihat. Dia belu meresapi betapa ganjil pengalamannya tadi, tapi sekarang, selagi menerangkan keras-keras, Leo jadi terheran-heran sendiri. Hazel ternyata naksir bisabuelo-nya, lelaki yang sudah meninggal ketikaa Leo masih bayi. Leo tidak menduga macam-macam sebelumnya, tapi dia samar-samar teringat sejumlah kerabat yang sudah berumur memanggil kakeknya Sam Junior. Artinya Sam Senior adalah Sammy, bisabuelo Leo. Pada suatu saat, Tia Callida —De wi Hera sendiri —malah pernah bicara dengan Sammy, menghibur dan memperlihatkannya masa depan. Dengan kata lain, Hera telah membentuk kehidupan Leo bergenerasi-generasi sebelum dia dilahirkan. Kalau saja Hazel tetap tinggal di tahun 1940-an, kalau saja dia menikahi Sammy, Leo mungkin bakal jadi cicitnya. "Ya, ampun," kata Leo ketika selesai bercerita, "aku jadi mual. Tetapi aku bersumpah demi Sungai Styx, itulah yang kami liha Frank menampakkan raut muka persis seperti kepala lele si udang saurus —mata kosong membelalak dan mulut menganga. "Hazel ... Hazel suka pada kakek buyutmu? Itukah sebabnya dia suka padamu?" "Frank, aku tahu ceritaku aneh. Percayalah padaku. Tetapi aku tidak suka pada Hazel —bukan suka yang seperti itu. Aku tidal< mau merebut cewekmu." Frank mengerutkan alis. "Tidak?" Leo berharap dirinya tidak merona. Sejujurnya, dia tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap Hazel. Anak perempuan itu hebat dan manis, sedangkan Leo gampang terpikat pada cewek- cewek hebat nan manis. Namun, kilas balik tadi membuat perasaannya jadi sangat rumit. Lagi pula, kapalnya sedang dirundung bahaya. Kurasa kau lebih peduli pada kapalmu daripada terhad teman- teman kita, kata Frank barusan. Tidak benar, kan? Ayah Leo, Hephaestus, pernah mengakui bahwa dia tidak pintar menghadapi bentuk kehidupan organik. Selain itu, memang benar sedari dulu Leo lebih nyaman menghadapi mesin daripada orang. Namun, dia sungguh peduli pada teman-temannya. Piper dan Jason ... Leo mengenal mereka paling lama, tapi yang lain juga penting baginya. Bahkan Frank. Mereka seperti keluarganya sendiri. Masalahnya, sudah lama sekali sejak Leo punya keluarga sampai-sampai dia tak ingat bagaimana rasanya. Memang, sih, musim dingin lalu dia jadi konselor senior di pondok Hephaestus; tapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merakit kapal. Dia suka teman-teman sepondoknya. Dia tahu caranya bekerja sama dengan mereka —tapi apakah dia benar-benar mengenal mereka? Kalau benar Leo punya keluarga, maka keluarganya adalah para demigod di Argo 2 —dan barangkali Pak Pelatih Hedge juga, meskipun Leo tidak sudi mengakuinya keras-keras. Kau akan selalu jadi orang luar, suara Nemesis memperingatkan; tapi Leo berusaha mengesampingkan pemikiran itu. "Baiklah, kalau begitu ...." Leo menoleh ke sana-ke mari. "Kita hams menyusun rencana. Bagaimana kita bernapas? Kalau kita berada di bawah laut, bukankah kita semestinya diremukkan oleh tekanan air?" Frank mengangkat bahu. "Sihir kuda-ikan, kurasa. Aku ingat si manusia hijau menyentuh kepalaku dengan mata belati. Kemudian, aku bisa bernapas." Leo mengamat-amati pintu abalon. "Bisakah kau bobol pintu itu? Berubah jadi hiu martil atau apalah?" Frank menggeleng murung. "Kemampuanku berubah wujud tidak berfungsi. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin mereka mengutukku, atau mungkin aku kelewat terpukul sehingga tidak bisa fokus.
"Hazel bisa saja sedang kesulitan," kata Leo, "kita harus keluar dari sini." Dia berenang ke pintu dan menelusurkan jari ke abalon. Dia tidak mendeteksi adanya gerendel atau mekanisme lainnya. Entah pintu tersebut hanya dapat dibuka menggunakan sihir atau kekuatan otot —dua-duanya bukan keahlian Leo. "Aku sudah mencoba," ujar Frank, "meskipun kita bisa keluar, kita tidak punya senjata." "Hmm ...." Leo mengangkat tangannya. "Begitukah?!" Dia berkonsentrasi, dan api pun memercik di jemarinya. Selama sepersekian detik, Leo jadi antusias, sebab dia tidak menyangka kemampuan tersebut bisa berfungsi di bawah air. Namun demikian, rencananya lalu berjalan kelewat lancar. Api merambati lengan dan tubuhnya sampai Leo terbungkus tabir api tipis sepenuhnya. Dia berusaha bernapas, tapi hanya hawa panas yang dihirupnya. "Leo!" Frank cepat-cepat mundur seperti sedang terjatuh dari dingklik. Alih-alih lari mendekat guna menolong Leo, Frank malah memeluk dinding untuk menjauhkan diri dari Leo. Leo memaksa dirinya untuk tetap tenang. Dia memahami apa yang tengah terjadi. Api itu sendiri tidak bisa melukainya. Dia mengerahkan tekad untuk memadamkan api dan menghitung sampai lima. Dia bernapas pendek-pendek. Leo akhirnya meng-hirup oksigen lagi. Frank menghentikan upayanya untuk melebur dengan dinding gua. "Kau ... kau baik-baik saja?" "Iya," gerutu Leo, "makasih atas bantuanmu." "Aku —maafkan aku." Frank tampak amat ngeri dan male sehingga sulit bagi Leo untuk marah terus padanya. "Aku cuma apa yang terjadi?" "Sihir pintar," kata Leo, "ada lapisan tipis oksigen di sekeliling kita, seperti kulit luar. Pasti bisa beregenerasi sendiri. Itulah sebabnya kita bisa bernapas dan tetap kering. Oksigen mengompori api — hanya saja, api juga membuatku sesak napas." "Aku sama sekali tidak ...." Frank menelan ludah. "Aku tidak suka kau mendatangkan api." Dia menempel ke dinding lagi. Leo tidak bermaksud begitu, tapi mau tak mau dia tertawa. "Bung, aku takkan menyerangmu." "Api," ulang Frank, seolah satu kata itu menjelaskan segalanya. Leo teringat perkataan Hazel —bahwa api Leo membuat Frank waswas. Dia pernah melihat kegelisahan di wajah Frank sebelumnya, tapi Leo tak menyikapinya secara serius. Frank sepertinya jauh lebih kuat dan lebih menakutkan daripada Leo. Baru sekarang terbetik di benak Leo bahwa Frank mungkin punya pengalaman buruk dengan api. Ibu Leo sendiri meninggal dalam kebakaran di bengkel mesin. Leo disalahkan karenanya. Dia dijuluki orang aneh dan piromaniak saat tumbuh besar, sebab kapan pun dia marah, benda-benda terbakar. "Maafkan aku karena tertawa," kata Leo sungguh- sungguh, "ibuku meninggal dalam kebakaran. Aku memahami rasa takut terhadap api. Apa, mmm apa sesuatu semacam itu pernah menimpamu?" Frank tampaknya tengah menimbang-nimbang harus berkata apa. "Rumahku rumah nenekku. Rumah kami terbakar. Tetapi bukan cuma itu ...." Dia memandangi bulu babi di lantai. "Annabeth bilang aku bisa memercayai seluruh awak. Bahkan kau." "Bahkan aku, ya?" Leo bertanya-tanya bagaimana sampai topik itu diungkit-ungkit dalam percakapan. "Wow, sanjungan hebat." "Kelemahanku ...." Frank memulai pelan-pelan, seakan kata tersebut mengiris mulutnya, "ada kayu bakar —"
Pintu abalon bergeser hingga terbuka. Leo berbalik dan mendapati dirinya berhadap-hadapan dengan Manusia Kacang Panjang, yang sebenarnya bukan manusia. Sekarang setelah Leo bisa melihatnya dengan jelas, tak diragukan lagi inilah makhluk teraneh yang pernah Leo jumpai, padahal dia sudah banyak bertemu makhluk aneh. Dari pinggang ke atas, wujudnya kurang-lebih seperti manusia —lelaki kurus bertelanjang dada yang menyandang belati di pinggang dan selempang kerang di dada. Kulitnya hijau, janggutnya cokelat tak rata, dan rambutnya yang panjang dikucir menggunakan bandana rumput laut. Sepasang capit lobster mencuat dari kepalanya seperti tanduk, berputar dan terbuka-tutup Pintu abalon bergeser hingga terbuka. Leo berbalik dan mendapati dirinya berhadap-hadapan dengan Manusia Kacang Panjang, yang sebenarnya bukan manusia. Sekarang setelah Leo bisa melihatnya dengan jelas, tak diragukan lagi inilah makhluk teraneh yang pernah Leo jumpai, padahal dia sudah banyak bertemu makhluk aneh. Dari pinggang ke atas, wujudnya kurang-lebih seperti manusia —lelaki kurus bertelanjang dada yang menyandang belati di pinggang dan selempang kerang di dada. Kulitnya hijau, janggutnya cokelat tak rata, dan rambutnya yang panjang dikucir menggunakan bandana rumput laut. Sepasang capit lobster mencuat dari kepalanya seperti tanduk, berputar dan terbuka-tutup