BAB DUA PULUH EMPAT LEO

BAB DUA PULUH EMPAT LEO

APHROS MIRIP SAUDARANYA, HANYA SAJA dia berkulit biru alih-alih hijau serta bertubuh jauh lebih besar. Otot dada serta lengannya sekekar Arnold di film Terminator, sedangkan kepalanya berbentuk kotak dan tampak buas. Pedang mahabesar yang pasti cocok untuk dibawa-bawa Conan the Barbarian tersandang di punggungnya. Rambutnya juga terlihat lebih tebal —kribo bulat berwarna biru kehijauan yang tebal sekali sampai-sampai tanduk capitnya seperti timbul-tenggelam. "Itukah sebabnya kau dinamai Aphros?" tanya Leo selagi mereka meluncur keluar dari gua, "karena rambut Afromu?" Aphros merengut. "Apa maksudmu?" "Bukan apa-apa," timpal Leo cepat-cepat. Paling tidak dia takkan kesulitan mengingat nama masing-masing manusia ikan. "Jadi, kalian ini apa, sebenarnya?" "Ichthyocentaurus," kata Aphros, seolah sudah bosan menjawab pertanyaan itu. "Maaf, iki apa?" "Centaurus ikan. Kami ini saudara tiri Chiron." "Oh, dia itu temanku!" Aphros menyipitkan mata. "Itulah yang dikatakan si Hazel kepada kami, tapi akan kami korek kebenaran sesungguhnya. Ayo." Leo tidak suka mendengar ungkapan korek kebenaran sesungguhnya. Dia jadi membayangkan mesin penyiksaan dan pengorek api merah membara. Diikutinya sang centaurus ikan, menembus hutan ganggang. Leo bisa saja melesat ke samping dan menghilangkan diri ke tengah-tengah tumbuhan tersebut, tapi dia tidak coba-coba. Salah satu alasannya, Leo menduga Aphros bisa melaju lebih cepat di air, dan siapa tahu dia bisa membatalkan sihir yang memungkinkan Leo bergerak serta bernapas. Di dalam ataupun di luar gua, Leo tetap saja tertawan. Selain itu, Leo tidak punya gambaran di mana dia berada. Mereka membelah deretan ganggang setinggi gedung apartemen. Tumbuhan kuning kehijauan terayun-ayun lemas, seperti balon helium. Jauh di atas, Leo melihat selarik warna putih yang mungkin merupakan cahaya matahari. Dia memperkirakan mereka sudah di sini APHROS MIRIP SAUDARANYA, HANYA SAJA dia berkulit biru alih-alih hijau serta bertubuh jauh lebih besar. Otot dada serta lengannya sekekar Arnold di film Terminator, sedangkan kepalanya berbentuk kotak dan tampak buas. Pedang mahabesar yang pasti cocok untuk dibawa-bawa Conan the Barbarian tersandang di punggungnya. Rambutnya juga terlihat lebih tebal —kribo bulat berwarna biru kehijauan yang tebal sekali sampai-sampai tanduk capitnya seperti timbul-tenggelam. "Itukah sebabnya kau dinamai Aphros?" tanya Leo selagi mereka meluncur keluar dari gua, "karena rambut Afromu?" Aphros merengut. "Apa maksudmu?" "Bukan apa-apa," timpal Leo cepat-cepat. Paling tidak dia takkan kesulitan mengingat nama masing-masing manusia ikan. "Jadi, kalian ini apa, sebenarnya?" "Ichthyocentaurus," kata Aphros, seolah sudah bosan menjawab pertanyaan itu. "Maaf, iki apa?" "Centaurus ikan. Kami ini saudara tiri Chiron." "Oh, dia itu temanku!" Aphros menyipitkan mata. "Itulah yang dikatakan si Hazel kepada kami, tapi akan kami korek kebenaran sesungguhnya. Ayo." Leo tidak suka mendengar ungkapan korek kebenaran sesungguhnya. Dia jadi membayangkan mesin penyiksaan dan pengorek api merah membara. Diikutinya sang centaurus ikan, menembus hutan ganggang. Leo bisa saja melesat ke samping dan menghilangkan diri ke tengah-tengah tumbuhan tersebut, tapi dia tidak coba-coba. Salah satu alasannya, Leo menduga Aphros bisa melaju lebih cepat di air, dan siapa tahu dia bisa membatalkan sihir yang memungkinkan Leo bergerak serta bernapas. Di dalam ataupun di luar gua, Leo tetap saja tertawan. Selain itu, Leo tidak punya gambaran di mana dia berada. Mereka membelah deretan ganggang setinggi gedung apartemen. Tumbuhan kuning kehijauan terayun-ayun lemas, seperti balon helium. Jauh di atas, Leo melihat selarik warna putih yang mungkin merupakan cahaya matahari. Dia memperkirakan mereka sudah di sini

membawanya, tapi pedang besar yang tersandang di punggung centaurus itu membuatnya mengurungkan niatnya. Akhirnya hutan ganggang terkuak. Leo terkesiap. Mereka berdiri (berenang, apalah) di puncak bukit bawah laut nan tinggi. Di bawah mereka terbentang sebuah kota. Di dasar laut, berdirilah bangunan-bangunan bergaya Yunani. Atap bergenting indung mutiara. Taman dipenuhi koral dan anemon laut. Hippocampus memamah biak di padang rumput laut. Seregu cyclops sedang memasang atap berkubah ke kuil baru, menggunakan paus biru sebagai derek. Di mana-mana, berenang-renang di jalanan, bersantai di pekarangan, berlatih tempur menggunakan trisula dan pedang di arena, terdapat lusinan putri dan putra duyung —manusia ikan tulen. Leo sudah menyaksikan banyak hal janggal, tapi dia kira manusia duyung adalah makhluk khayalan konyol belaka, seperti Smurf atau Muppet. Walau begitu, manusia duyung sama sekali tidak konyol ataupun imut. Dari kejauhan pun, mereka kelihatan galak dan tak manusiawi. Mata mereka berpendar kuning. Mereka bergigi tajam seperti hiu dan berkulit kasar aneka warna mulai dari .merah koral hingga hitam pekat. "Ini tempat pelatihan." Leo menyadari. Dipandangnya Aphros dengan takjub. "Kalian melatih pahlawan, sama seperti Chiron?" Aphros mengangguk, matanya berkilat-kilat bangga. "Kamilah yang melatih semua pahlawan duyung tersohor! Sebutkan saja salah satu nama pahlawan duyung, dan sudah pasti kamilah yang melatihnya!" "Oh, baiklah," kata Leo, "misalnya ..., Little Mermaid?" Aphros mengerutkan kening. "Siapa? Bukan! Misalnya Triton, Glaucus, Weismuller, dan Bill!" "Oh." Leo sama sekali tak tabu siapa orang-orang itu. "Kalian yang melatih Bill? Mengagumkan." "Betul!" Aphros menepuk dada. "Aku sendiri yang melatih Bill. Putra duyung hebat." "Coba kutebak. Kau mengajar seni bertempur." Aphros mengangkat tangan dengan jengkel. "Kenapa semua orang berasumsi begitu?" Leo melirik pedang mahabesar di punggung sang manusia ikan. "Eh, entahlah." "Aku mengajar musik dan puisi!" kata Aphros, "keterampilan! Tata boga! Semuanya penting untuk pahlawan." "Tentu saja." Leo berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap datar. "Menjahit? Membuat kue?" "Ya. Aku senang kau mengerti. Barangkali nanti, kalau aku tidak harus membunuhmu, aku bisa membagi resep brownies-ku." Aphros melambai ke belakang dengan muak. "Saudaraku Bythos —dia mengajar seni bertempur." Leo tidak yakin apakah harus merasa lega atau tersinggung karena instruktur seni bertempur yang menginterogasi Frank, sedangkan Leo mendapat guru PKK. "Oke, bagus. Ini Perkemahan apa namanya? Perkemahan Blasteran Ikan?" Aphros mengernyitkan dahi. "Kuharap itu coma lelucon. Ini Perkemahan ." Dia mengeluarkan serangkaian bunyi sonar melengking dan mendesis. "Tololnya aku," kata Leo, "omong-omong, aku mau sekali mencicipi brownies itu! Jadi, kita harus melakukan apa supaya kalian tidak membunuhku?" "Sampaikan ceritamu," kata Aphros. Leo ragu-ragu, tapi tidak lama. Entah bagaimana dia merasakan bahwa dia harus menceritakan yang sebenarnya. Dia mulai dari awal —tentang Hera yang jadi pengasuhnya sewaktu bayi dan

meletakkannya di dalam api; tentang ibunya yang meninggal gara-gara Gaea, sebab sang dewi telah mengidentifikasi Leo sebagai musuhnya di masa mendatang. Leo membicarakan masa kecilnya yang dihabiskan berpindah-pindah dari satu rumah asuh ke rumah lain, sampai dia, Jason, dan Piper dibawa ke Perkemahan Blasteran. Dia menjabarkan Ramalan Tujuh, pembuatan Argo II, dan misi mereka untuk mencapai Yunani serta mengalahkan para raksasa sebelum Gaea terbangun. Sementara Leo berbicara, Aphros mencabut pasak logam yang kelihatannya scram dari sabuknya. Leo takut kalau-kalau perkataannya salah, tapi Aphros malah mengambil benang rumput laut dari kantong serutnya dan mulai merajut. "Lanjutkan," desaknya, "jangan berhenti." Pada saat Leo usai memberi penjelasan tentang eidolon, bentrokan dengan bangsa Romawi, dan semua masalah yang dihadapi Argo II dalam perjalanan lintas Amerika Serikat, lalu selagi meninggalkan Charleston, Aphros telah merampungkan rajutan berbentuk topi bayi. Leo menunggu sampai sang centaurus ikan menyimpan alat-alatnya. Tanduk capit Aphros terus bergerak-gerak dalam rambut tebalnya, dan Leo harus menahan desakan hati untuk menyelamatkan keduanya. "Baiklah," kata Aphros, "aku percaya padarnu." "Begitu saja?" "Aku cukup pandai mendeteksi kebohongan. Aku tidak men-dengar dusta darimu. Ceritamu juga cocok dengan yang disam-paikan Hazel Levesque kepada kami." "Apa dia —?" "Tentu saja," ujar Aphros, "dia baik-baik saja." Sang cen-taurus ikan menempelkan jemari ke mulut dan bersiul, yang kedengarannya aneh di bawah air —seperti jeritan lumba-lumba. "Kaumku akan membawanya ke sini sebentar lagi. Kau mesti maklum lokasi kami harus dirahasiakan baik-baik. Kau dan teman-temanmu muncul naik kapal perang, dikejar oleh salah satu monster laut Keto. Kami tidak tahu kalian berpihak kepada siapa." "Apa kapal kami baik-baik saja?" "Rusak," kata Aphros, "tetapi tidak parah. Skolopendra mundur setelah ia menelan api. Sentuhan bagus." "Terima kasih. Skolopendra? Tidak pernah dengar." "Kahan mujur. Skolopendra makhluk yang buas. Keto pasti sangat membenci kalian. Yang jelas, kami menyelamatkan kau dan dua orang lainnya dari belitan tentakel makhluk itu selagi ia mundur ke kedalaman. Teman-temanmu masih di atas, mencari-cari kalian; tapi kami harus mengaburkan penglihatan mereka. Kami harus memastikan kalian bukan ancaman. Jika ternyata demikian, kami harus mengambil tindakan." Leo menelan ludah. Dia lumayan yakin tindakan yang dimaksud tidak ada hubungannya dengan kue brownies. Dan jika kemampuan mereka sedemikian mumpuni sampai-sampai bisa menyembunyikan perkemahan dari Percy —yang sebagai anak Poseidon memiliki serba-serbi kekuatan tirtawi —para manusia ikan ini tak bisa dianggap remeh. "Jadi, kami boleh pergi?" "Tidak lama lagi." Aphros berjanji. "Aku harus berunding dulu dengan Bythos. Seusai dia bicara dengan temanmu Gank —" "Frank." "Frank. Seusai mereka bicara, akan kami kembalikan kalian ke kapal. Dan kami mungkin punya peringatan untuk kalian." "Peringatan?" "Ah." Aphros menunjuk. Hazel keluar dari hutan ganggang, dikawal oleh dua putri duyung bertampang sangar, yang me-mamerkan taring mereka dan mendesis. Leo berpikir Hazel mungkin sedang dalam bahaya. Kemudian, dia melihat bahwa

Hazel justru santai-santai saja, cengar-cengir dan mengobrol dengan pengawalnya. Sadarlah Leo bahwa kedua putri duyung sedang tertawa. "Leo!" Hazel mengayunkan langkah ke arah Leo. "Tempat ini hebat, ya?" Mereka ditinggal berdua saja di bubungan. Tampaknya ini berarti Aphros benar-benar memercayai mereka. Selagi sang centaurus dan kedua putri duyung pergi menjemput Frank, Leo dan Hazel mengapung-apung di atas bukit dan memandangi perkemahan bawah laut. Hazel memberi tahu Leo bahwa para putri duyung langsung akrab dengannya. Aphros dan Bythos terpukau mendengar cerita

Hazel, sebab mereka belum pernah bertemu anak Pluto sebelumnya. Selain itu, mereka sudah mendengar banyak legenda mengenai Arion si kuda, dan mereka kagum bahwa Hazel berteman dengannya. Hazel berjanji akan berkunjung ke sana lagi bersama Anon. Para putri duyung bahkan menuliskan nomor telepon mereka menggunakan tinta kedap air di lengan Hazel supaya dia bisa menghubungi mereka. Leo tidak ingin bertanya bagaimana ceritanya sampai putri duyung bisa mendapat sambungan telepon di tengah-tengah Samudra Atlantik. Sementara Hazel berbicara, rambutnya mengapung-apung di sekitar wajahnya seperti kepulan debu cokelat keemasan di dulang penambang. Dia terlihat sangat percaya diri dan sangat cantik-- sama sekali tak seperti anak perempuan pemalu dan penggugup di halaman sekolah New Orleans yang kantong bekalnya diinjak-injak. "Kita tidak sempat bicara," kata Leo. Dia enggan mengungkit-ungkit topik tersebut, tapi dia tahu mungkin hanya ini kesempatan mereka berduaan saja. "Maksudku soal Sammy." Senyum Hazel memudar. "Aku tahu aku cuma butuh waktu untuk mencernanya. Aneh rasanya, membayangkan bahwa kau dan dia ...." Hazel tidak perlu merampungkan komentarnya. Leo tahu persis seaneh apa hal itu. "Aku tidak yakin bisa menjelaskan ini kepada Frank," imbuh Hazel, "tentang kau dan aku yang bergandengan." Hazel tidak mau bertemu pandang dengan Leo. Di lembah di bawah sana, para cyclops pekerja bersorak saat atap kuil diletakkan pada tempatnya. "Aku sudah bicara padanya," kata Leo, "aku memberitahunya aku tidak bermaksud kau tahu. Menimbulkan masalah di antara kalian berdua." "Oh. Bagus." Apa Hazel kedengarannya kecewa? Leo tidak yakin, dan dia tidak yakin ingin tahu. "Frank, mmm, sepertinya lumayan panik waktu aku mendatangkan api." Leo menjelaskan kejadian di gua. Hazel tampak tercengang. "Oh, tidak. Dia pasti ketakutan." Tangan Hazel meraba-raba jaket denimnya, seolah sedang mengecek sesuatu di saku dalam. Dia selalu memakai jaket itu, atau semacam baju luar, meskipun di luar sedang panas. Leo mengasumsikan bahwa Hazel berbuat begitu demi menjaga kesopanan, atau karena bagi penunggang kuda, pakaian semacam itu lebih pas untuk menangkal angin, seperti jaket yang dipakai pengendara motor. Sekarang dia jadi bertanya-tanya. Otaknya kontan pindah gigi. Leo teringat perkataan Frank mengenai kelemahannya kayu bakar. Dia memikirkan kira-kira

apa sebabnya anak itu takut api, dan apa sebabnya Hazel berempati sekali terhadap perasaan itu. Leo memikirkan cerita-cerita yang pernah dia dengar di Perkemahan Blasteran. Karena alasan yang sudah jelas, Leo cenderung menaruh perhatian terhadap legenda tentang api. Kini Leo teringat salah satunya, yang sudah berbulan-bulan tidak dia pikirkan. "Ada legenda lama tentang seorang pahlawan." Leo mengingat-ingat. "Garis hidupnya terikat dengan sepotong kayu di perapian, dan ketika sepotong kayu itu habis terbakar ...." Ekspresi Hazel jadi suram. Tahulah Leo bahwa tebakannya tepat sasaran. "Itulah masalah Frank," terka Leo, "dan kayu bakar itu ...." Dia menunjuk jaket Hazel. "Dia menitipkannya padamu?" "Leo, tolong jangan aku tak bisa membicarakannya." Insting Leo sebagai mekanik langsung mengambil alih. Dia mulai memikirkan karakteristik kayu dan sifat korosif air laut. "Apa kayu bakar itu baik-baik saja di dalam laut seperti ini? Apa lapisan udara di sekelilingmu juga melindunginya?" "Tidak apa-apa," kata Hazel, "kayu itu bahkan tidak basah. Lagi pula, kayu tersebut dibungkus beberapa lapis kain dan plastik serta —" Dia menggigit bibir karena frustrasi. "Dan aku semestinya tidak membicarakan itu! Leo, intinya adalah, jika Frank tampak takut padamu, atau tidak nyaman, kau harus mengerti ....” Leo lega dirinya sedang melayang dalam air, sebab dia barangkali terlalu pusing sehingga tak sanggup berdiri. Leo memosisikan diri sebagai Frank, nyawanya demikian rapuh sampai-sampai praktis bisa terbakar habis kapan saja. Dia membayangkan sebesar apa rasa percaya yang dibutuhkan untuk apa sebabnya anak itu takut api, dan apa sebabnya Hazel berempati sekali terhadap perasaan itu. Leo memikirkan cerita-cerita yang pernah dia dengar di Perkemahan Blasteran. Karena alasan yang sudah jelas, Leo cenderung menaruh perhatian terhadap legenda tentang api. Kini Leo teringat salah satunya, yang sudah berbulan-bulan tidak dia pikirkan. "Ada legenda lama tentang seorang pahlawan." Leo mengingat-ingat. "Garis hidupnya terikat dengan sepotong kayu di perapian, dan ketika sepotong kayu itu habis terbakar ...." Ekspresi Hazel jadi suram. Tahulah Leo bahwa tebakannya tepat sasaran. "Itulah masalah Frank," terka Leo, "dan kayu bakar itu ...." Dia menunjuk jaket Hazel. "Dia menitipkannya padamu?" "Leo, tolong jangan aku tak bisa membicarakannya." Insting Leo sebagai mekanik langsung mengambil alih. Dia mulai memikirkan karakteristik kayu dan sifat korosif air laut. "Apa kayu bakar itu baik-baik saja di dalam laut seperti ini? Apa lapisan udara di sekelilingmu juga melindunginya?" "Tidak apa-apa," kata Hazel, "kayu itu bahkan tidak basah. Lagi pula, kayu tersebut dibungkus beberapa lapis kain dan plastik serta —" Dia menggigit bibir karena frustrasi. "Dan aku semestinya tidak membicarakan itu! Leo, intinya adalah, jika Frank tampak takut padamu, atau tidak nyaman, kau harus mengerti ....” Leo lega dirinya sedang melayang dalam air, sebab dia barangkali terlalu pusing sehingga tak sanggup berdiri. Leo memosisikan diri sebagai Frank, nyawanya demikian rapuh sampai-sampai praktis bisa terbakar habis kapan saja. Dia membayangkan sebesar apa rasa percaya yang dibutuhkan untuk

"Atau Bill," usul Bythos. "Ya! Bill cocok sekali." Aphros sepakat. "Yang jelas, kami ber-terima kasih. Berkat informasi dan Percy, kami jadi tahu tentang masalah tersebut." "Kahan sebaiknya bicara secara langsung pada Percy." Leo menyarankan. "Maksudku dia, kan, putra Poseidon dan sebagainya." Kedua centaurus ikan menggeleng khidmat. "Terkadang lebih baik tak berinteraksi dengan keturunan Poseidon," kata Aphros, "kami rukun dengan sang Dewa Laut, tentu saja; tapi politik dewa-dewi bawah laut sangat kompleks. Dan kami menjunjung tinggi independensi kami. Walau begitu, sampaikan terima kasih kami kepada Percy. Kami akan berbuat sebisanya untuk mempercepat perjalanan kalian, supaya bisa menyeberangi Samudra Atlantik dengan selamat tanpa gangguan dari monster-monster Keto lagi, tapi camkan baik-baik: di Taut kuno, Mare Nostrum, semakin banyak bahaya yang menanti." Frank mendesah. "Tentu saja." Bythos menepuk bahu cowok besar itu. "Kau pasti baik-baik saja, Frank Zhang. Teruslah latih transformasimu sebagai makhluk laut. Ikan koi memang bagus, tapi cobalah juga ubur- ubur Portugis penyengat. Ingat yang kutunjukkan kepadamu. Kuncinya adalah pernapasan. Frank kelihatan malu setengah mati. Leo menggigit bibir, bertekad takkan tersenyum. "Dan kau, Hazel," ujar Aphros, "kunjungi.lah kami lagi, dan bawalah serta kudamu itu! Aku tahu kau meresahkan waktu yang kalian habiskan, bermalam di negeri kami. Kau mengkhawatirkan saudaramu, Nico ...." Hazel mencengkeram pedang kavalerinya kian erat. "Apa dia —apa kalian tahu di mana dia berada?" Aphros menggeleng. "Letak persisnya tidak. Tetapi semakin dia dekat, kau semestinya dapat merasakan kehadirannya. Jangan takut! Lusa kalian sudah harus sampai di Roma jika ingin menyelamatkannya, tapi masih ada waktu. Dan kalian harus menyelamatkannya." "Ya." Bythos sepakat. "Dia esensial dalam perjalanan kalian. Aku tidak yakin seperti apa tepatnya, tapi aku merasakan bahwa dia akan berperan penting." Aphros meletakkan tangannya di pundak Leo. "Sedangkan kau, Leo Valdez, dekat-dekatlah selalu dengan Hazel dan Frank ketika kalian tiba di Roma. Aku punya firasat mereka akan menghadapi ah, "Atau Bill," usul Bythos. "Ya! Bill cocok sekali." Aphros sepakat. "Yang jelas, kami ber-terima kasih. Berkat informasi dan Percy, kami jadi tahu tentang masalah tersebut." "Kahan sebaiknya bicara secara langsung pada Percy." Leo menyarankan. "Maksudku dia, kan, putra Poseidon dan sebagainya." Kedua centaurus ikan menggeleng khidmat. "Terkadang lebih baik tak berinteraksi dengan keturunan Poseidon," kata Aphros, "kami rukun dengan sang Dewa Laut, tentu saja; tapi politik dewa-dewi bawah laut sangat kompleks. Dan kami menjunjung tinggi independensi kami. Walau begitu, sampaikan terima kasih kami kepada Percy. Kami akan berbuat sebisanya untuk mempercepat perjalanan kalian, supaya bisa menyeberangi Samudra Atlantik dengan selamat tanpa gangguan dari monster-monster Keto lagi, tapi camkan baik-baik: di Taut kuno, Mare Nostrum, semakin banyak bahaya yang menanti." Frank mendesah. "Tentu saja." Bythos menepuk bahu cowok besar itu. "Kau pasti baik-baik saja, Frank Zhang. Teruslah latih transformasimu sebagai makhluk laut. Ikan koi memang bagus, tapi cobalah juga ubur- ubur Portugis penyengat. Ingat yang kutunjukkan kepadamu. Kuncinya adalah pernapasan. Frank kelihatan malu setengah mati. Leo menggigit bibir, bertekad takkan tersenyum. "Dan kau, Hazel," ujar Aphros, "kunjungi.lah kami lagi, dan bawalah serta kudamu itu! Aku tahu kau meresahkan waktu yang kalian habiskan, bermalam di negeri kami. Kau mengkhawatirkan saudaramu, Nico ...." Hazel mencengkeram pedang kavalerinya kian erat. "Apa dia —apa kalian tahu di mana dia berada?" Aphros menggeleng. "Letak persisnya tidak. Tetapi semakin dia dekat, kau semestinya dapat merasakan kehadirannya. Jangan takut! Lusa kalian sudah harus sampai di Roma jika ingin menyelamatkannya, tapi masih ada waktu. Dan kalian harus menyelamatkannya." "Ya." Bythos sepakat. "Dia esensial dalam perjalanan kalian. Aku tidak yakin seperti apa tepatnya, tapi aku merasakan bahwa dia akan berperan penting." Aphros meletakkan tangannya di pundak Leo. "Sedangkan kau, Leo Valdez, dekat-dekatlah selalu dengan Hazel dan Frank ketika kalian tiba di Roma. Aku punya firasat mereka akan menghadapi ah,

roh Romawi. Surat tersebut akan meyakinkan Tiberinus agar menolong teman kalian itu. Mudah- mudahan." "Mudah-mudahan," ulang Leo. Bythos mengeluarkan tiga butir mutiara merah muda mungil dari tasnya. "Sekarang pergilah, Demigod! Selamat berlayar!" Dia melemparkan mutiara kepada mereka, masing-masing sebutir. Terbentuklah tiga gelembung merah muda yang berdenyar di sekeliling mutiara- mutiara tersebut. Mereka mulai naik ke permukaan air. Leo hanya sempat berpikir: Lift roda hamster? Kemudian, dia melaju makin cepat dan melejit ke pendar sinar mentari jauh di atas.[]