BAB TIGA PULUH EMPAT ANNABETH
BAB TIGA PULUH EMPAT ANNABETH
SELAGI ANNABETH MENGGELAYUT DI UDARA, menurunkan tangan satu demi satu di tangga yang terayun-ayun liar, dia berterima kasih kepada Chiron atas pelajaran memanjat selama bertahun-tahun ini di Perkemahan Blasteran. Annabeth sering mengeluh keras-keras bahwa kemampuan panjat tali takkan membantunya mengalahkan monster. Chiron hanya tersenyum,4 seolah dia tahu hari ini akan tiba. Akhirnya Annabeth tiba di dasar. Annabeth melewatkan pagar bata dan mendarat di kanal, tapi dalamnya ternyata hanya beberapa inci. Air dingin membekukan merembes ke dalam sepani olahraganya. Annabeth mengangkat belatinya yang berpendar. Kanal dangkal mengalir di tengah-tengah terowongan bata. beberapa meter, pipa keramik mencuat dari dinding. Annabeth menebak bahwa pipa- pipa tersebut adalah pipa pembuangai'i, bagian dari saluran air kuno Romawi. Menurut Annabeth, hebat bahwa terowongan seperti ini masih awet, tertimbun di bawali tanah beserta pipa-pipa, ruang-ruang bawah tanah, dan gorong-gorong lainnya selama berabad-abad ini. Sebuah pemikiran yang muncul tiba-tiba membuat Annabeth merinding, lebih daripada air dingin. Beberapa tahun lalu, Percy dan dirinya menjalani misi di labirin Daedalus —jejaring rahasia yang terdiri dari banyak terowongan dan ruangan, dijaga oleh mantra dan jebakan di mana-mana. Labirin tersebut terbentang di bawah semua kota di Amerika. Ketika Daedalus meninggal dalam Pertempuran di Labirin, runtuhlah seisi labirin itu —atau begitulah yang diyakini Annabeth. Namun, bagaimana kalau yang runtuh hanya labirin di Amerika? Bagaimana kalau tempat ini adalah labirin Daedalus juga, hanya saja lebih ma? Daedalus pernah memberi tahu Annabeth bahwa labirin ciptaannya punya kehidupan sendiri. Labirin tersebut terus-menerus bertumbuh dan berubah. Mungkin labirin bisa beregenerasi, seperti monster. Asumsi itu masuk akal. Begitulah fitrah kekuatan asali —kalau menurut istilah Chiron—sesuatu yang tidak bisa mati seutuhnya. Kalau ini adalah bagian dari labirin Annabeth memutuskan tak mau memikirkan perkara itu lebih lanjut, tapi dia juga memutuskan untuk tak berasumsi bahwa arah yang ditempuhnya akurat. Labirin menjadikan jarak tak hermakna. Kalau Annabeth tidak hati-hati, dia bisa saja salah jalan sejauh enam meter dan ujung-ujungnya malah sampai di Polandia. Untuk berjaga-jaga, Annabeth mengikatkan seutas tali baru ke ujung tangga-tanggaannya. Dia bisa menjelajah sambil mengurai tali tersebut. Trik kuno, tapi bagus. Annabeth menimbang-nimbang harus menuju ke mana. Tero-wongan tersebut sepertinya sama saja di kedua arah. Kemudian, sekitar lima belas meter di kiri Annabeth, Tanda Athena menyala-nyala di dinding. Annabeth bersumpah burung hantu itu memelototinya dengan mata merah besar yang menyala-nyala, seolah hendak mengatakan, Apa yang kau tunggu? Cepat!
Annabeth mulai benci pada burung hantu itu. Pada saat dia tiba di lokasi tersebut, gambar burung han tu telah memudar, sedangkan gulungan tali pertama sudah terurai sepenuhnya. Sambil mengikat tali baru, Annabeth melirik ke seberang. Struktur batanya runtuh sebagian, seolah dindingnya dihantam martil sampai bolong. Annabeth menyeberang untuk melihat. Sambil menyembulkan belatinya ke bukaan untuk penerangan, Annabeth bisa melihat bahwa di dalam sana ada ruangan panjang sempit, yang letaknya lebih rendah, lantainya berupa mosaik dindingnya bercat. Di sisi-sisi ruangan terdapat bangku panjang. Ruangan itu berbentuk seperti gerbong kereta bawah tanah. Annabeth menyembulkan kepala ke lubang, berharap semoga takkan ada yang menggigit kepalanya sampai putus. Di sisi dekatnya terdapat ambang pintu yang ditembok. Di sisi jauhnya ada meja kayu, atau mungkin sebuah altar. Hmm Terowongan air masih lurus terus, tapi Annabeth yakin inilah jalannya. Dia teringat perkataan Tiberinus: Temulza altar sang dews rising. Tampaknya tidak ada jalan keluar dari rua lig altar, tapi Annabeth bisa menurunkan diri ke bangku di bawa . Letaknya tidak jauh. Dia semestinya bisa naik lagi tanpa kesulitan. Sambil memegangi tali, Annabeth menurunkan diri Ice ruangan itu. Langit-langit ruangan itu berbentuk kubah dengan rusuk dari bata, tapi Annabeth tidak suka melihat kasaunya. Tepat di al as kepala Annabeth, pada rusuk yang paling dekat dengan pintu buntu, terdapat batu yang retak jadi dua. Tempat itu barangkali sudah dua ribu tahun tetap utuh, tapi Annabeth memutuskd ti lebih baik tak berlama- lama di sini, bisa-bisa tempat itu runt till dua menit lagi. Lantai panjang sempit berupa mosaik yang menampilkan tujuh gambar berurutan, seperti lini waktu. Di kaki Annabeth ada seekor gagak. Berikutnya ada singa. Sejumlah gambar lain sepertinya berupa kesatria Romawi yang memegang berbagai senjata. Sisanya sudah rusak berat atau tertutup debu sehingga An nabeth tidak bisa melihat detailnya. Tembikar pecah berserakan di bangku-bangku. Dinding menggambarkan adegan sebuah jarnuan: pria yang berjubah dan bertopi separuh lingkaran seperti entong es krim, duduk di sebelah lelaki bertubuh lebih besar yang memancarkan berkas sinar mentari. Di sekeliling mereka berdirilah pembawa obor serta pelayan, sedangkan aneka hewan ,seperti gagak dan singa berkeliaran di latar belakang. Annabeth idak tahu apa tepatnya yang direpresentasikan gambar itu, tapi ,,seingatnya tidak ada legenda Yunani yang seperti itu. Di seberang ruangan, lis berukir pada altar menggambarkan pria bertopi centong sedang menodongkan pisau ke leher banteng. di altar terdapat patung batu pria yang tengah berlutut di batu, mgannya yang terangkat memegang sebilah belati dan sebuah Tor. Annabeth lagi-lagi tidak tahu apa makna gambar itu. Dia maju selangkah ke altar. Kakinya menginjak sesuatu yang wrbunyi keriut. Annabeth menunduk dan menyadari sepatunya saja menginjak tulang iga manusia. Annabeth menahan jeritan. Dari mana asalnya itu? Dia baru saja melirik ke bawah sesaat lalu dan tidak melihat ada tulang. sekarang tulang belulang berserakan di lantai. Tulang iga itu kentara sekali sudah tua. Tulang itu remuk jadi debu begitu ,Annabeth memindahkan kaki. Di dekat sana, tergolek belati icrunggu karatan yang sangat mirip belati miliknya. Entah orang wad ini dulunya membawa senjata itu, atau belati itulah yang menewaskannya.
Annabeth mengulurkan bilah belatinya untuk melihat ke depan. Di lantai mosaik di hadapannya, terseraklah kerangka manusia yang lebih komplit, dibalut sisa-sisa kemeja merah berbordir, seperti pakaian pria dari zaman Renaisans. Kerala bajunya mengerut dan tengkoraknya terbakar parah, seolah laki-lald tersebut telah memutuskan untuk mencuci rambut dengan las. Hebat, pikir Annabeth. Dia menengadahkan mata ke patung di altar, yang memegang belati dan obor. Semacam tes, Annabeth menyimpulkan. Kedua orang ini telah gagal. Ralat: bukan cuma dua orang. Sernakin dekat dengan altar,
semakin banyak tulang dan sisa-sisa pakaian yang berserakan. Annabeth tidak bisa menerka tulang belulang itu milik berapa orang, tapi dia bersedia bertaruh bahwa mereka semua adalah demigod dari masa lalu, anak-anak Athena yang menjalani misi yang sama. "Aku takkan jadi tulang di lantai ini," serunya kepada patting, berharap dirinya kedengaran berani. Anak perempuan, ujar sebuah suara mendayu, menggema di ruangan tersebut. Anak perempuan tidak diperbolehkan. Demigod perempuan, kata suara kedua. Tidak bisa diterima. Ruangan berguncang. Debu berjatuhan dari yang retak. Annabeth lari ke lubang yang tadi dilewatinya, lubang itu telah lenyap. Talinya putus. Annabeth naik ke bangl,ti dan menggedor-gedor dinding yang semula berlubang, berha semoga ketiadaan lubang hanyalah ilusi, tapi dinding itu terasa padat. Dia terperangkap. Di sepanjang bangku, muncullah selusin hantu —pria- pria ungu berpendar yang mengenakan toga Romawi, persis sepci para Lar yang Annabeth lihat di Perkemahan Jupiter. mereka memelototi Annabeth seakan dia telah mengganggu rapat mereka Annabeth melakukan satu-satunya hal yang dia bisa. Dia rurun dari bangku dan menempelkan punggung ke ambang pintu yang ditembok. Dia berusaha tampak percaya diri, kendati muka inerengut hantu- hantu ungu dan tulang belulang demigod di kakinya membuat Annabeth ingin bergelung ke dalam kausnya dan menjerit. "Aku anak Athena," katanya, selugas yang dia bisa. "Orang Yunani." Salah satu hantu berkata dengan muak. "Lebih parah lagi." Di ujung ruangan, hantu bertampang tua bangun dengan susah payah (apa hantu bisa kena rematik?) dan berdiri di dekat altar, matanya yang berwarna gelap terpaku pada Annabeth. Yang pertama terpikir oleh Annabeth adalah, hantu itu mirip sang paus. Dia memakai jubah kemilau, topi lancip, dan membawa tongkat ruj ung bengkok. "Ini gua Mithras," kata si hantu tua, "kau telah mengusik ritual suci kami. Kau tidak boleh tetap hidup sesudah menyaksikan rahasia kami." "Aku tidak ingin melihat rahasia kalian." Annabeth meyakin-kannya. "Aku sedang mengikuti Tanda Athena. Tunjukkan padaku )clan keluarnya, dan aku akan segera pergi." Suaranya terdengar tenang. Annabeth sendiri kaget mendengarnya. Dia tidak punya gambaran bagaimana caranya I cluar dari sini, tapi dia tahu dia harus berhasil menuntaskan misi yang gagal ditunaikan saudara-saudaranya. Jalannya masih ih —lebih dalam lagi ke lapis-lapis bawah tanah kota Roma. Kegagalan pendahulumu akan memandumu, kata Tiberinus. itu aku tidak tahu. Para hantu berkasak- kusuk dalam bahasa Latin. Annabeth icuangkap segelintir kata kasar tentang demigod perempuan dan athena Akhirnya hantu bertopi paus mengetukkan tongkat beng-koknya ke lantai. Pam Lar lain terdiam. "Dewi Yunani-mu tak punya kuasa di sini," kata sang paus, "Mithras-lah dewa para pendekar Romawi! Dia adalah Dewa Legiun, Dewa Kekaisaran!" "Asalnya bahkan bukan dari Roma," proses Annabeth, "bukankah dia berasal dari Persia atau dari manalah?" "Penistaan!" pekik sang pria tua sambil menggedorb an tongkatnya ke lantai beberapa kali lagi, "Mithras melindungi kami! Aku adalah pater persekutuan "Bapa." Annabeth menerjemahkan. "Jangan memotong! Sebagai pater, aku harus melindungi rahasia kami." "Rahasia apa?" tanya Annabeth, "selusin orang mati bertoga yang duduk- duduk di dalam gua?" Para hantu menggerutu dan memprotes, sampai sang pater berhasil mengendalikan mereka dengan siulan nyaring. Paru-parts lelaki tua itu ternyata kuat juga. "Kau jelas orang kafir. Sebagaimana yang lain, kau harus mati." Yang lain. Annabeth berusaha keras supaya tak melirik tul.an belulang. Annabeth memutar otak gila-gilaan, mencari apa saja ya ng dia ketahui mengenai Mithras. Dewa itu punya sekte rahasia untuk kesatria. Dia populer di kalangan anggota legiun. ini merupakan salah saw dewa yang menggantikan Athena sebagai Dewa Perang. Aphrodite
menyinggung-nyinggung Mithras sci mereka mengobrol sambil minum teh di Charleston. Selain iiit semua, Annabeth tidak tahu apa-apa. Mithras semata-mata I termasuk dewa yang mereka bicarakan di Perkemahan Blast-cum. Annabeth ragu hantu-hantu itu bersedia menunggu selagi dia mengeluarkan laptop Daedalus dan melakukan pencarian. Annabeth melempar pandang ke mosaik di lantai —tujuh gambar berurutan. Dia mengamati hantu- hantu dan menyadari bahwa semuanya mengenakan semacam pin di toga mereka —pin gagak, atau obor, atau busur. "Kalian punya ritual penerimaan," tukas Annabeth, "tujuh t ingkat keanggotaan. Pater adalah tingkatan tertinggi." Para hantu terkesiap serempak. Kemudian, mereka semua mulai berteriak berbarengan. "Bagaimana dia bisa tahu?" Salah satu menuntut penjelasan. "Anak perempuan itu telah menguak rahasia kita!" "Diam!" perintah sang pater. "Tetapi bisa-bisa dia tahu tentang ujian!" seru seorang lagi. "Ujian!" kata Annabeth, "aku tahu tentang ujian itu!" Semua lagi-lagi terkesiap tak percaya. "Konyol!" bentak sang pater, "gadis ini berdusta! Putri Athena, pilih caramu mati. Jika kau tak memilih, dewa yang akan memilihkannya untukmu!" "Api atau belati," tebak Annabeth. Bahkan sang pater pun tampak tercengang. Rupanya dia tidak ingat korban-korban hukuman terdahulu masih tergolek di lantai. "Bagaimana —bagaimana sampai kau ...?" Dia menelan ludah. "Kau ini siapa?" "Anak Athena," kata Annabeth lagi, "tetapi bukan sembarang anak Athena. Aku ini ... eh, ... mater persekutuanku. Magna mater, tnalah. Bagiku tidak ada rahasia. Mithras tak dapat menyem-bunyikan apa-apa dari penglihatanku." "Magna mater!" Salah satu hantu meratap putus asa. "Ibu besar!" "Bunuh dia!" Salah satu hantu menerjang, tangannya terulur untuk mencekik Annabeth, tapi tangannya hanya menembus tubuh gadis itu.
"Kau sudah mati." Annabeth mengingatkannya. "Duduk." Si hantu terlihat malu dan langsung duduk. "Kami tidak perlu membunuhmu dengan tangan kami diri," geram sang pater, "Mithras yang akan melakukan itu unt u kami!" Patung di altar mulai berpendar. Annabeth menempelkan tangan ke pintu buntu di pu gungnya. Ini pasti jalan keluarnya. Mortar di dinding sudah menyerpih, tapi tidak cukup lemah untuk dibobol dengan Le kuatan otot. Annabeth memandangi sepenjuru ruangan dengan putus asa —langit-langit retak, lantai mosaik, dinding bercat, dan altar berukir. Dia mulai berbicara, membuat deduksi berdasarkan pengamatannya. "Tidak ada gunanya," kata Annabeth, "aku tahu segalanya Kalian menguji calon anggota dengan api karena obor merupakail simbol Mithras. Simbolnya yang satu lagi adalah belati. Itu lah sebabnya kalian juga bisa melaksanakan ujian dengan benda tajam Kalian ingin membunuhku, sebagaimana ... eh, sebagaima Mithras membunuh banteng keramat." Dia sebenarnya asal tebak, tapi altar menggambarkan IVlith ray yang sedang membunuh banteng. Jadi, Annabeth menduga kejadian. itu pasti penting. Para hantu meratap dan menutupi kuping mereka. Sebagian menampar-nampar wajah seolah ingin membangunkan diri dari mimpi buruk. "Ibu besar tahu!" kata salah satu hantu, "mustahil!" Kecuali kita mengamati sepenjuru ruangan, pikir Anna Rasa percaya dirinya bertambah. Dia memelototi hantu yang baru saja berbicara. Si hantu mengenakan pin gagak di toganya —simbol yang sama se gambar di kakinya. "Kau cuma gagak," omel Annabeth, "tingkatanmu paling rendah. Tutup mulutmu dan biarkan aku bicara kepadapater-mu." Si hantu berjengit. "Ampun! Ampun!" Di bagian depan ruangan, sang pater gemetaran —entah karena murka atau takut, Annabeth tidak tahu yang mana. Topi paus miring di kepalanya seperti meteran gas yang hampir kosong. "Memang, kau benar-benar tahu banyak, Ibu Besar. Kebijaksanaanmu tak terkira, tapi justru itulah sebabnya kau tidak boleh pergi. Sang penenun "Kau sudah mati." Annabeth mengingatkannya. "Duduk." Si hantu terlihat malu dan langsung duduk. "Kami tidak perlu membunuhmu dengan tangan kami diri," geram sang pater, "Mithras yang akan melakukan itu unt u kami!" Patung di altar mulai berpendar. Annabeth menempelkan tangan ke pintu buntu di pu gungnya. Ini pasti jalan keluarnya. Mortar di dinding sudah menyerpih, tapi tidak cukup lemah untuk dibobol dengan Le kuatan otot. Annabeth memandangi sepenjuru ruangan dengan putus asa —langit-langit retak, lantai mosaik, dinding bercat, dan altar berukir. Dia mulai berbicara, membuat deduksi berdasarkan pengamatannya. "Tidak ada gunanya," kata Annabeth, "aku tahu segalanya Kalian menguji calon anggota dengan api karena obor merupakail simbol Mithras. Simbolnya yang satu lagi adalah belati. Itu lah sebabnya kalian juga bisa melaksanakan ujian dengan benda tajam Kalian ingin membunuhku, sebagaimana ... eh, sebagaima Mithras membunuh banteng keramat." Dia sebenarnya asal tebak, tapi altar menggambarkan IVlith ray yang sedang membunuh banteng. Jadi, Annabeth menduga kejadian. itu pasti penting. Para hantu meratap dan menutupi kuping mereka. Sebagian menampar-nampar wajah seolah ingin membangunkan diri dari mimpi buruk. "Ibu besar tahu!" kata salah satu hantu, "mustahil!" Kecuali kita mengamati sepenjuru ruangan, pikir Anna Rasa percaya dirinya bertambah. Dia memelototi hantu yang baru saja berbicara. Si hantu mengenakan pin gagak di toganya —simbol yang sama se gambar di kakinya. "Kau cuma gagak," omel Annabeth, "tingkatanmu paling rendah. Tutup mulutmu dan biarkan aku bicara kepadapater-mu." Si hantu berjengit. "Ampun! Ampun!" Di bagian depan ruangan, sang pater gemetaran —entah karena murka atau takut, Annabeth tidak tahu yang mana. Topi paus miring di kepalanya seperti meteran gas yang hampir kosong. "Memang, kau benar-benar tahu banyak, Ibu Besar. Kebijaksanaanmu tak terkira, tapi justru itulah sebabnya kau tidak boleh pergi. Sang penenun
Kemudian, tebersit di benaknya: barangkali patung kecil Mithras tidak menempel di batu. Mungkin dia sedang keluar dari batu. "Bukan obor ataupun belati," kata Annabeth tegas, "ada ujian ketiga. Aku memilih yang itu." "Ujian ketiga?" Sang pater menuntut penjelasan. "Mithras lahir dari batu," kata Annabeth, berharap semoga dia benar, "dia keluar dari batu dalam wujud dewasa seutuhnya sambil memegang belati dan obor." Jeritan dan ratapan memberi tahu Annabeth bahwa dugaannya tepat. "Ibu besar tahu segalanya!" jerit salah satu hantu, "itulah rahasia terbesar kita!" Kalau begitu, mungkin seharusnya kalian tidak memajang patungyang itu di altar, pikir Annabeth. Namun, dia bersyukur atas kebodohan hantu-hantu lelaki tersebut. Jika pendekar perempuan diizinkan memasuki sekte mereka, barangkali mereka bisa diajari menggunakan akal sehat. Annabeth melambai dengan dramatis ke dinding tempatnya masuk. "Aku lahir dari batu, sama seperti Mithras! Oleh sebab itu, aku sudah lulus ujian kalian!" "Bah!" sergah sang pater, "kau keluar dari lubang di dinding! Itu tidak sama." Oke. Ternyata sang pater tidak bego-bego amat, tapi Annabeth tetap percaya diri. Dia melirik langit-langit, dan terbetiklah sebuah gagasan di benaknya —semua perincian sepele terhimpun jadi satu. "Aku punya kendali atas bebatuan." Annabeth mengangkat lengannya. "Akan kubuktikan bahwa kekuatanku lebih dahsyat daripada Mithras. Dengan satu pukulan, aku akan meruntuhkan ruangan ini." Para hantu meratap dan gemetaran serta menengok langit-langit, tapi Annabeth tahu mereka tak melihat apa yang dilihatnya. Hantu-hantu ini adalah kesatria, bukan insinyur. Anak-anak Athena memiliki banyak keahlian, dan bukan cuma dalam bidang militer. Annabeth sudah bertahun-tahun mempelajari arsitektur. Dia tahu ruangan kuno ini sudah hampir ambruk. Dia mafhum retakan di langit-langit menandakan apa, semuanya bersumber dari satu titik —puncak rusuk batu tepat di atasnya. Batu tersebut sudah hampir remuk, dan ketika itu terjadi, jika Annabeth bisa mengatur waktunya dengan tepat "Mustahil!" teriak sang pater, "sang penenun telah membayar imbalan besar supaya kami membinasakan anak Athena yang berani- berani memasuki kuil kami. Kami tidak boleh mengecewakannya. Kami tak bisa membiarkanmu melintas." "Kalau begitu, rasakan kekuatanku!" kata Annabeth, "kau mengakui bahwa aku bisa menghancurkan ruangan suci kalian!" Sang pater merengut. Dia meluruskan topi dengan gelisah. Annabeth tahu dia telah menempatkan sang pater pada posisi sulit. Pria itu tidak mungkin mengalah tanpa terkesan pengecut. "Lakukan saja yang terburuk, Anak Athena." Sang pater memutuskan. "Tak seorang pun sanggup meruntuhkan gua Mithras, terutama hanya dengan satu pukulan. Apalagi anak Kemudian, tebersit di benaknya: barangkali patung kecil Mithras tidak menempel di batu. Mungkin dia sedang keluar dari batu. "Bukan obor ataupun belati," kata Annabeth tegas, "ada ujian ketiga. Aku memilih yang itu." "Ujian ketiga?" Sang pater menuntut penjelasan. "Mithras lahir dari batu," kata Annabeth, berharap semoga dia benar, "dia keluar dari batu dalam wujud dewasa seutuhnya sambil memegang belati dan obor." Jeritan dan ratapan memberi tahu Annabeth bahwa dugaannya tepat. "Ibu besar tahu segalanya!" jerit salah satu hantu, "itulah rahasia terbesar kita!" Kalau begitu, mungkin seharusnya kalian tidak memajang patungyang itu di altar, pikir Annabeth. Namun, dia bersyukur atas kebodohan hantu-hantu lelaki tersebut. Jika pendekar perempuan diizinkan memasuki sekte mereka, barangkali mereka bisa diajari menggunakan akal sehat. Annabeth melambai dengan dramatis ke dinding tempatnya masuk. "Aku lahir dari batu, sama seperti Mithras! Oleh sebab itu, aku sudah lulus ujian kalian!" "Bah!" sergah sang pater, "kau keluar dari lubang di dinding! Itu tidak sama." Oke. Ternyata sang pater tidak bego-bego amat, tapi Annabeth tetap percaya diri. Dia melirik langit-langit, dan terbetiklah sebuah gagasan di benaknya —semua perincian sepele terhimpun jadi satu. "Aku punya kendali atas bebatuan." Annabeth mengangkat lengannya. "Akan kubuktikan bahwa kekuatanku lebih dahsyat daripada Mithras. Dengan satu pukulan, aku akan meruntuhkan ruangan ini." Para hantu meratap dan gemetaran serta menengok langit-langit, tapi Annabeth tahu mereka tak melihat apa yang dilihatnya. Hantu-hantu ini adalah kesatria, bukan insinyur. Anak-anak Athena memiliki banyak keahlian, dan bukan cuma dalam bidang militer. Annabeth sudah bertahun-tahun mempelajari arsitektur. Dia tahu ruangan kuno ini sudah hampir ambruk. Dia mafhum retakan di langit-langit menandakan apa, semuanya bersumber dari satu titik —puncak rusuk batu tepat di atasnya. Batu tersebut sudah hampir remuk, dan ketika itu terjadi, jika Annabeth bisa mengatur waktunya dengan tepat "Mustahil!" teriak sang pater, "sang penenun telah membayar imbalan besar supaya kami membinasakan anak Athena yang berani- berani memasuki kuil kami. Kami tidak boleh mengecewakannya. Kami tak bisa membiarkanmu melintas." "Kalau begitu, rasakan kekuatanku!" kata Annabeth, "kau mengakui bahwa aku bisa menghancurkan ruangan suci kalian!" Sang pater merengut. Dia meluruskan topi dengan gelisah. Annabeth tahu dia telah menempatkan sang pater pada posisi sulit. Pria itu tidak mungkin mengalah tanpa terkesan pengecut. "Lakukan saja yang terburuk, Anak Athena." Sang pater memutuskan. "Tak seorang pun sanggup meruntuhkan gua Mithras, terutama hanya dengan satu pukulan. Apalagi anak
cukup kuat, dan cukup mujur. Jika tidak, dia bakal jadi panekuk demigod. "Mau bagaimana lagi, Saudara- saudara," kata Annabeth "sepertinya kalian keliru memilih Dewa Perang." Annabeth menghantam batu di atasnya. Bilah perunggu langit meremukkan batu bagaikan gula-gula. Selama sesaat, tak ada yang terjadi. "Ha!" kata sang pater pongah, "kau lihat? Athena tidak punya kekuatan di sini!" Ruangan berguncang. Retakan memanjang di langit-langit dan ujung gua pun ambruk, mengubur altar dan sang pater. Retakan melebar ke sana-sini. Bata berjatuhan dari rusuk gua. Para hantu menjerit dan berlarian, tapi mereka tampaknya tidak bisa menembus dinding. Rupanya mereka terikat dengan ruangan ini, dalam kematian sekali pun. Annabeth membalikkan badan. Dia menerjang pintu buntu dengan seluruh tenaga, dan bata itu pun bobol. Sementara gua Mithras runtuh di belakangnya, Annabeth menerjang masuk ke kegelapan dan terjun bebas.[]