BAB TIGA PULUH DUA PERCY
BAB TIGA PULUH DUA PERCY
KONDISINYA LAIN, JALAN-JALAN DI Roma bersama Annabeth pastilah menyenangkan. Mereka menelusuri jalan yang berliku-liku sambil bergandengan, menghindari mobil dan pengemudi Vespa nekat, menembus kerumunan turis, dan mengarungi lautan merpati. Hawa makin lama makin hangat. Begitu mereka terbebas dari asap knalpot di jalan utama, udara jadi beraroma roti yang dipanggang dan bunga segar yang baru dipotong. Mereka menuju ke Koloseum karena bangunan itu mudah ditemukan, tapi mencapai tempat tersebut ternyata lebih susah daripada yang Percy perkirakan. Dari atas, kota itu kelihatan besar dan membingungkan. Dari bawah, Roma malah lebih ruwet lagi. Beberapa kali mereka tersesat di jalan buntu. Mereka menemukan air mancur indah dan monumen besar secara tak sengaja. Annabeth mengomentari arsitektur kota, tapi Percy membuka mata untuk hal-hal lain. Saw kali dia melihat hantu ungu yang berdenyar —Lar—sedang memelototi mereka dari jendela gedung apartemen. Kali lain dia melihat wanita berjubah putih —mungkin peri atau dewi —yang memegang pisau seram, menyelap-nyelip antara puing-puing pilar di taman kota. Tak ada yang menyero ng mereka, tapi Percy merasa mereka sedang diawasi, dan para pengamat tersebut tidaklah ramah. Akhirnya mereka tiba di Koloseum. Di sana, selusin laki-laki berkostum gladiator murahan sedang beradu dengan polisi pedang plastik versus pentungan. Percy tidak paham apa maksud-nya, tapi dia dan Annabeth memutuskan terus berjalan. Kadang-kadang manusia biasa malah lebih aneh daripada monster. Mereka berjalan ke barat, berhenti sesekali untuk menanyakan arah ke sungai. Tidak terpikir oleh Percy —dasar bego bahwa orang-orang di Itali berbicara dalam bahasa Itali, sedangkan dia tidak bisa bahasa Itali. Namun demikian, perbedaan bahasa ternyata tak jadi kendala. Tiap kali ada yang menghampiri mereka di ja an dan mengajukan pertanyaan, Percy semata-mata memandangi mereka dengan ekspresi bingung, dan mereka kontan beralih ke bahasa Inggris. Penemuan berikutnya: Itali menggunakan Euro, sedangkan Percy tidak membawa mata uang itu. Percy menyesali hal ini begitu dia menemukan toko yang menjual soda. Pada saat itu, sudah hampir tengah hari,
hawanya teramat panas, dan Percy mt... lai berharap kalau saja dia punya trireme yang berisi Diet Coke. Annabeth memecahkan masalah itu. Dia merogoh tas punggung, mengeluarkan laptop Daedalus, dan mengetikkan perintah. Keluarlah selembar kartu plastik dari celah di samping. Annabeth melambai- lambaikan kartu dengan penuh kemenangan. "Kartu kredit internasional. Untuk keadaan darurat." Percy menatap Annabeth dengan kagum. "Kok kau bisa-Tidak. Lupakan saja. Aku tidak mau tabu. Yang penting, tetapi ah keren seperti itu." Soda membantu mengusir dahaga, tapi mereka tetap saja kepanasan dan kecapekan sesampainya di Sungai Tiberis. Bantaran-nya dibatasi pematang batu. Gudang, apartemen, toko, dan kafe menyesaki tepian sungai. Sungai Tiberis sendiri lebar, alirannya lambat, dan berair ,,ewarna karamel. Segelintir pohon cemara tinggi terjulur di hantaran. Jembatan terdekat kelihatannya lumayan baru, terbuat dari tiang-tiang besi, tapi di sebelahnya terdapat reruntuhan lcngkungan dari batu yang hanya terentang sampai di tengah sungai —puing-puing yang mungkin saja merupakan peninggalan zaman Kaisar. "Ini dia." Annabeth menunjuk jembatan batu tua. "Aku mengenalinya dari peta. Tetapi apa yang harus kita lakukan se-karang?" Percy lega Annabeth mengatakan kita. Dia belum mau me-ninggalkan Annabeth. Malahan, dia tak yakin sanggup mening-galkan Annabeth ketika saatnya tiba. Kata-kata Gaea terngiang- ngiang kembali di benaknya: Akankah kau tumbang sendirian? Percy menatap sungai, bertanya-tanya bagaimana caranya menghubungi Tiberinus sang Dewa Sungai. Dia sungguh-sungguh tidak mau terjun ke sungai. Sungai Tiberis kelihatannya tidak lebih bersih daripada Sungai East di New York, padahal di sana Percy sudah terlalu sexing menjumpai roh-roh sungai yang suka menggerutu. Percy menunj uk kafe dekat sana yang meja-mejanya menghadap ke perairan. "Sudah waktunya makan slang. Bagaimana kalau kita coba kartu kreditmu lagi?" Meskipun saat itu sudah tengah hari, tempat tersebut kosong. Mereka menempati meja di luar yang menghadap ke sungai, dan seorang pelayan pun langsung menghampiri. Dia kelihatan agak
kaget melihat mereka terutama ketika mereka rnengatakan ingin memesan makan siang. "Orang Amerika?" tanyanya sambil tersenyum kecut. "Ya," ujar Annabeth. "Aku pesan piza," kata Percy. Raut muka si pelayan berubah, seperti orang yang sedang mencoba menelan koin euro. "Tentu saja, Signor. Kalau boleh saya tebak pesanan minuman Anda: Coca-Cola? Dengan es?" "Sempurna," ujar Percy. Dia tidak paham apa sebabnya si pelayan memandangnya dengan wajah masam. Percy, kan, tidak minta Coke biru. Annabeth memesan panini dan air bersoda. Setelah sang pelayan pergi, Annabeth tersenyum kepada Percy. "Kurasa orang-orang Itali makan siang lebih belakangan daripada kita. Mereka tidak memasukkan es ke minuman. Dan mereka hanya membuatkan piza untuk turis." "Oh." Percy mengangkat bahu. "Padahal itu adalah makanan Itali terbaik. Masa mereka tidak pernah menyantapnya?" "Aku takkan mengatakan itu di depan pelayan." Mereka bergandengan tangan sambil duduk berseberangan di meja. Percy sudah puas hanya memandangi Annabeth di bawah sinar matahari. Rambut Annabeth tampak begitu terang dan hangat. Matanya jadi sewarna langit dan ubin, kadang cokelat kadang biru. Percy bertanya-tanya, haruskah dia memberitahukan mimpinya kepada Annabeth, tentang Gaea yang menghancurkan Perkemahan Blasteran. Dia memutuskan tak berkata apa-apa. Tidak perlu menambah kekhawatiran Annabeth —yang harus dia hadapi saja sudah sangat berat. Narnun, Percy jadi bertanya-tanya apakah yang akan terjadi jika mereka tak berhasil menghalau bajak laut Chrysaor? Percy dan Annabeth akan dirantai dan dibawa ke anak buah Gaea. Darah mereka akan ditumpahkan ke bebatuan kaget melihat mereka terutama ketika mereka rnengatakan ingin memesan makan siang. "Orang Amerika?" tanyanya sambil tersenyum kecut. "Ya," ujar Annabeth. "Aku pesan piza," kata Percy. Raut muka si pelayan berubah, seperti orang yang sedang mencoba menelan koin euro. "Tentu saja, Signor. Kalau boleh saya tebak pesanan minuman Anda: Coca-Cola? Dengan es?" "Sempurna," ujar Percy. Dia tidak paham apa sebabnya si pelayan memandangnya dengan wajah masam. Percy, kan, tidak minta Coke biru. Annabeth memesan panini dan air bersoda. Setelah sang pelayan pergi, Annabeth tersenyum kepada Percy. "Kurasa orang-orang Itali makan siang lebih belakangan daripada kita. Mereka tidak memasukkan es ke minuman. Dan mereka hanya membuatkan piza untuk turis." "Oh." Percy mengangkat bahu. "Padahal itu adalah makanan Itali terbaik. Masa mereka tidak pernah menyantapnya?" "Aku takkan mengatakan itu di depan pelayan." Mereka bergandengan tangan sambil duduk berseberangan di meja. Percy sudah puas hanya memandangi Annabeth di bawah sinar matahari. Rambut Annabeth tampak begitu terang dan hangat. Matanya jadi sewarna langit dan ubin, kadang cokelat kadang biru. Percy bertanya-tanya, haruskah dia memberitahukan mimpinya kepada Annabeth, tentang Gaea yang menghancurkan Perkemahan Blasteran. Dia memutuskan tak berkata apa-apa. Tidak perlu menambah kekhawatiran Annabeth —yang harus dia hadapi saja sudah sangat berat. Narnun, Percy jadi bertanya-tanya apakah yang akan terjadi jika mereka tak berhasil menghalau bajak laut Chrysaor? Percy dan Annabeth akan dirantai dan dibawa ke anak buah Gaea. Darah mereka akan ditumpahkan ke bebatuan
"Pemandangannya indah," kata sang pelayan sambil meng-angguk ke sungai, "selamat menikmati." Begitu dia pergi, mereka makan sambil membisu. Pizanya berupa adonan hambar segiempat yang tidak banyak diberi keju. Mungkin, pikir Percy, itulah sebabnya orang-orang Roma tidak makan piza. Kasihan orang-orang Roma. "Kau harus percaya padaku," kata Annabeth. Percy hampir mengira Annabeth sedang berbicara kepada roti isinya, sebab dia tidak bertemu pandang dengan Percy. "Kau harus percaya aku pasti kembali." Percy menelan pizanya. "Aku percaya padamu. Buka masalahnya. Tetapi kembali dari mana?" Suara Vespa mengusik mereka. Percy menoleh ke jalan depan sungai dan tercengang saking kagetnya. Skuter tersebut model lama: besar dan berwarna biru muda. Pengemudinya seorang laki laki yang memakai setelan abu-abu sehalus sutra. Di belakangnya, duduklah seorang perempuan berusia lebih muda yang memakai syal penutup kepala, tangannya memeluk pinggang si Mereka meliuk-liuk di antara meja-meja kafe dan berhenti di samping Percy serta Annabeth. "Halo," kata sang pria. Suaranya dalam, hampir serak-serak basah, seperti suara aktor film. Rambutnya yang pendek diminyaki serta disisir ke belakang, sedangkan wajahnya tegas berkarakter. Dia tampan seperti bapak-bapak di film TV '50-an. Bahka n pakaiannya tampak ketinggalan zaman. Ketika dia turun cla ri motor, garis pinggang celananya lebih tinggi daripada normal, tapi entah bagaimana dia tetap tampak jantan serta modis dan sama sekali tidak konyol. Percy kesulitan menerka usianya —barangka I i tiga puluhan, meskipun gaya busana dan tindak tanduk pria ittt seperti kakek-kakek. Sang wanita meluncur turun dari motor. "Kami senang sekali pagi ini," kata perempuan itu, terengah- engah. Dia berumur kira-kira dua puluh satu, juga mengenakan busana gaya lama. Rok kuning cerahnya yang sepanjang pergelangan kaki dan blus putihnya disatukan oleh sabuk kulit besar, menampakkan pinggang paling ramping yang pernah Percy lihat. Ketika dia melepas syal, rambut pendeknya yang berombak terurai rapi. Matanya yang berwarna gelap berbinar-binar, sedangkan senyumnya cerah. Naiad saja tidak bertampang sejail perempuan ini. Roti isi Annabeth jatuh dari tangannya. "Oh, demi dewa-dewi. Kok —bagaimana Annabeth sepertinya terperanjat sekali sehingga Percy merasa dia seharusnya kenal kedua orang itu. "Anda berdua memang tampak tidak acing." Dia menyimpulkan. Percy kira dia mungkin pernah melihat wajah mereka di televisi. Sepertinya mereka dari acara zaman "Pemandangannya indah," kata sang pelayan sambil meng-angguk ke sungai, "selamat menikmati." Begitu dia pergi, mereka makan sambil membisu. Pizanya berupa adonan hambar segiempat yang tidak banyak diberi keju. Mungkin, pikir Percy, itulah sebabnya orang-orang Roma tidak makan piza. Kasihan orang-orang Roma. "Kau harus percaya padaku," kata Annabeth. Percy hampir mengira Annabeth sedang berbicara kepada roti isinya, sebab dia tidak bertemu pandang dengan Percy. "Kau harus percaya aku pasti kembali." Percy menelan pizanya. "Aku percaya padamu. Buka masalahnya. Tetapi kembali dari mana?" Suara Vespa mengusik mereka. Percy menoleh ke jalan depan sungai dan tercengang saking kagetnya. Skuter tersebut model lama: besar dan berwarna biru muda. Pengemudinya seorang laki laki yang memakai setelan abu-abu sehalus sutra. Di belakangnya, duduklah seorang perempuan berusia lebih muda yang memakai syal penutup kepala, tangannya memeluk pinggang si Mereka meliuk-liuk di antara meja-meja kafe dan berhenti di samping Percy serta Annabeth. "Halo," kata sang pria. Suaranya dalam, hampir serak-serak basah, seperti suara aktor film. Rambutnya yang pendek diminyaki serta disisir ke belakang, sedangkan wajahnya tegas berkarakter. Dia tampan seperti bapak-bapak di film TV '50-an. Bahka n pakaiannya tampak ketinggalan zaman. Ketika dia turun cla ri motor, garis pinggang celananya lebih tinggi daripada normal, tapi entah bagaimana dia tetap tampak jantan serta modis dan sama sekali tidak konyol. Percy kesulitan menerka usianya —barangka I i tiga puluhan, meskipun gaya busana dan tindak tanduk pria ittt seperti kakek-kakek. Sang wanita meluncur turun dari motor. "Kami senang sekali pagi ini," kata perempuan itu, terengah- engah. Dia berumur kira-kira dua puluh satu, juga mengenakan busana gaya lama. Rok kuning cerahnya yang sepanjang pergelangan kaki dan blus putihnya disatukan oleh sabuk kulit besar, menampakkan pinggang paling ramping yang pernah Percy lihat. Ketika dia melepas syal, rambut pendeknya yang berombak terurai rapi. Matanya yang berwarna gelap berbinar-binar, sedangkan senyumnya cerah. Naiad saja tidak bertampang sejail perempuan ini. Roti isi Annabeth jatuh dari tangannya. "Oh, demi dewa-dewi. Kok —bagaimana Annabeth sepertinya terperanjat sekali sehingga Percy merasa dia seharusnya kenal kedua orang itu. "Anda berdua memang tampak tidak acing." Dia menyimpulkan. Percy kira dia mungkin pernah melihat wajah mereka di televisi. Sepertinya mereka dari acara zaman
"Tiberinus," kata Gregory Peck sambil mengulurkan tangan kepada Percy dengan sikap jantan, "Dewa Sungai Tiberis." Percy menjabat tangannya. Lelaki tersebut menguarkan aroma aftershave. Tentu saja, andai Percy adalah Sungai Tiberis, dia barangkali ingin menyamarkan baunya dengan kolonye juga. "Eh, hai," kata Percy, "apakah dari dulu Anda berdua memang berpenampilan seperti bintang film Amerika?" "Masa?" Tiberinus mengerutkan kening dan mengamat-amati pakaiannya. "Aku tidak yakin, sebenarnya. Kebudayaan Barat bermigrasi ke dua arah. Roma memengaruhi dunia, tapi dunia juga memengaruhi Roma. Sepertinya memang banyak pengaruh Amerika belakangan ini. Aku tidak pernah memerhatikan selama berabad-abad ini." "Oke," kata Percy, "tetapi Anda ke sini untuk membantu?" "Naiad-naiad memberitahuku kalian berdua ada di sini." Tiberinus memalingkan matanya yang berwarna gelap kepada Annabeth. "Kau bawa petanya, Sayang? Surat pengantarmu mana?" "Eh, ...." Annabeth menyerahkan surat dan piringan perunggu kepada Tiberinus. Dia menatap sang Dewa Sungai lekat-lekat sehingga Percy mulai merasa cemburu. "J-jadi, ...." Annabeth terbata, "Anda pernah membantu anak- anak Athena yang lain dalam misi ini?" "Aduh, Sayang!" Sang wanita cantik, Rhea Silvia, merangkul pundak Annabeth. "Tiberinus selalu suka menolong. Kau tahu, dia menyelamatkan anak-anakku Romulus dan Remus, dan membawa mereka ke Lupa sang Dewi Serigala. Belakangan, ketika Numen si raja tua mencoba membunuhku, Tiberinus menaru It kasihan padaku dan menjadikanku istrinya. Sejak saat itu, aku ik tit memimpin kerajaan sungai di sisinya. Dia memang manis sekal i!" "Terima kasih, Sayang," kata Tiberinus sambil tersenyum tipis "betul, Annabeth Chase, aku sudah menolong banyak saudaramu setidaknya untuk memulai perjalanan mereka dengan selamat. Sayang mereka semua mati mengenaskan pada akhirnya. Nah, dokumenmu sepertinya lengkap. Kita sebaiknya cepat-cepat. Tanda Athena menantir Percy mencengkeram lengan Annabeth —barangkali agak ter-lalu kencang. "Tiberinus, izinkan aku ikut dengannya. Sedikit lagi saja." Rhea Silvia tertawa renyah. "Tetapi kau tidak bisa ikut, Pemuda Konyol. Kau harus kembali ke kapalmu dan mengumpulkan teman-temanmu yang lain. Hadapi para raksasa! Jalannya akan terlihat di pisau temanmu Piper. Annabeth harus menempuh jalan yang lain. Dia harus berjalan sendirian." "Benar," kata Tiberinus, "Annabeth harus menghadapi penjaga kuil seorang diri. Itulah satu-satunya cara. Dan Percy Jackson, waktu yang tersisa untuk menyelamatkan temanmu dalam jambangan lebih sedikit daripada yang kau sadari. Kau harus bergegas." Piza Percy serasa bagaikan bongkahan semen dalam perutnya. "Tetapi —" "Tidak apa-apa, Percy," ujar Annabeth sambil meremas tangannya, "aku harus melakukan ini." Percy hendak proses. Ekspresi Annabeth menghentikannya. Annabeth sangat ketakutan tapi berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya —demi Percy. Jika Percy mencoba berdebat, dia hanya akan membuat Annabeth semakin berat hati. Atau lebih parah lagi, Percy mungkin bakal berhasil meyakinkan Annabeth agar tidak "Tiberinus," kata Gregory Peck sambil mengulurkan tangan kepada Percy dengan sikap jantan, "Dewa Sungai Tiberis." Percy menjabat tangannya. Lelaki tersebut menguarkan aroma aftershave. Tentu saja, andai Percy adalah Sungai Tiberis, dia barangkali ingin menyamarkan baunya dengan kolonye juga. "Eh, hai," kata Percy, "apakah dari dulu Anda berdua memang berpenampilan seperti bintang film Amerika?" "Masa?" Tiberinus mengerutkan kening dan mengamat-amati pakaiannya. "Aku tidak yakin, sebenarnya. Kebudayaan Barat bermigrasi ke dua arah. Roma memengaruhi dunia, tapi dunia juga memengaruhi Roma. Sepertinya memang banyak pengaruh Amerika belakangan ini. Aku tidak pernah memerhatikan selama berabad-abad ini." "Oke," kata Percy, "tetapi Anda ke sini untuk membantu?" "Naiad-naiad memberitahuku kalian berdua ada di sini." Tiberinus memalingkan matanya yang berwarna gelap kepada Annabeth. "Kau bawa petanya, Sayang? Surat pengantarmu mana?" "Eh, ...." Annabeth menyerahkan surat dan piringan perunggu kepada Tiberinus. Dia menatap sang Dewa Sungai lekat-lekat sehingga Percy mulai merasa cemburu. "J-jadi, ...." Annabeth terbata, "Anda pernah membantu anak- anak Athena yang lain dalam misi ini?" "Aduh, Sayang!" Sang wanita cantik, Rhea Silvia, merangkul pundak Annabeth. "Tiberinus selalu suka menolong. Kau tahu, dia menyelamatkan anak-anakku Romulus dan Remus, dan membawa mereka ke Lupa sang Dewi Serigala. Belakangan, ketika Numen si raja tua mencoba membunuhku, Tiberinus menaru It kasihan padaku dan menjadikanku istrinya. Sejak saat itu, aku ik tit memimpin kerajaan sungai di sisinya. Dia memang manis sekal i!" "Terima kasih, Sayang," kata Tiberinus sambil tersenyum tipis "betul, Annabeth Chase, aku sudah menolong banyak saudaramu setidaknya untuk memulai perjalanan mereka dengan selamat. Sayang mereka semua mati mengenaskan pada akhirnya. Nah, dokumenmu sepertinya lengkap. Kita sebaiknya cepat-cepat. Tanda Athena menantir Percy mencengkeram lengan Annabeth —barangkali agak ter-lalu kencang. "Tiberinus, izinkan aku ikut dengannya. Sedikit lagi saja." Rhea Silvia tertawa renyah. "Tetapi kau tidak bisa ikut, Pemuda Konyol. Kau harus kembali ke kapalmu dan mengumpulkan teman-temanmu yang lain. Hadapi para raksasa! Jalannya akan terlihat di pisau temanmu Piper. Annabeth harus menempuh jalan yang lain. Dia harus berjalan sendirian." "Benar," kata Tiberinus, "Annabeth harus menghadapi penjaga kuil seorang diri. Itulah satu-satunya cara. Dan Percy Jackson, waktu yang tersisa untuk menyelamatkan temanmu dalam jambangan lebih sedikit daripada yang kau sadari. Kau harus bergegas." Piza Percy serasa bagaikan bongkahan semen dalam perutnya. "Tetapi —" "Tidak apa-apa, Percy," ujar Annabeth sambil meremas tangannya, "aku harus melakukan ini." Percy hendak proses. Ekspresi Annabeth menghentikannya. Annabeth sangat ketakutan tapi berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya —demi Percy. Jika Percy mencoba berdebat, dia hanya akan membuat Annabeth semakin berat hati. Atau lebih parah lagi, Percy mungkin bakal berhasil meyakinkan Annabeth agar tidak
menyimpan kunci untuk mengalahkan raksasa. Percy tidak tah apa sebabnya atau bagaimana caranya, tapi hanya Annabet seorang yang dapat menemukan kunci itu. "Kau benar," ujar Percy, memaksakan din untuk mengeluarka kata-kata itu, "hati-hati." Rhea Silvia cekikikan seolah komentar itu konyol. "Hat hati? Memang perlu, tapi percuma saja. Ayo, Annabeth Sayang. Akan kami tunjuki kau di mana misimu bermula. Setelah itu, kau sendirian." Annabeth mengecup Percy. Dia ragu-ragu, seperti sedang bertanya-tanya harus mengatakan apa lagi. Lalu Annabeth menyandang tas punggungnya dan naik ke belakang skuter. Percy membenci perpisahan mereka. Lebih baik dia bertarung melawan monster, monster mana saja di dunia ini. Lebih baik dia tanding ulang dengan Chrysaor. Namun, dia memaksa di untuk untuk tetap di kursinya dan menonton sementara Annabeth bermotor di jalanan Roma bersama Gregory Peck dan Audrey.[]