BAB TIGA PULUH TUJUH LEO

BAB TIGA PULUH TUJUH LEO

LEO BERHARAP ANDAI DIA TIDAK jago-jago amat. Sungguh, terkadang memalukan rasanya. Andai matanya tidak cermat dalam mengenali tetek-bengek mekanis, mereka mungkin. takkan menemukan lorong rahasia, tersesat di bawah tanah, dan diserang oleh makhluk logam. Namun, mau bagaimana lagi? Hazel bersalah juga. Untuk ukuran cewek yang punya indra super di bawah tanah, dia tidak terlalu lihai di Roma. Dia ter us saja membimbing mereka berputar-putar di kota sampai pusing, dan berbalik lagi. "Maaf," kata Hazel, "masalahnya ... di bawah tanah sini ada macam-macam, lapisannya banyak sekali, aku jadi kewalahan karenanya. Rasanya seperti berdiri di tengah-tengah orkestra dan berusaha berkonsentrasi pada satu instrumen saja. Aku jadi tui i." Mereka pun menjalani tur keliling Roma. Frank sepertinya senang-senang saja ikut jalan-jalan seperti anjing gembala besar (hmm, Leo bertanya-tanya apakah Frank bisa berubah jadi anjing gembala, atau lebih bagus lagi: kuda yang bisa Leo tunggang' Namun, Leo mulai merasa tidak sabar. Kakinya pegal, hari itu terik serta panas, dan jalanan disesaki LEO BERHARAP ANDAI DIA TIDAK jago-jago amat. Sungguh, terkadang memalukan rasanya. Andai matanya tidak cermat dalam mengenali tetek-bengek mekanis, mereka mungkin. takkan menemukan lorong rahasia, tersesat di bawah tanah, dan diserang oleh makhluk logam. Namun, mau bagaimana lagi? Hazel bersalah juga. Untuk ukuran cewek yang punya indra super di bawah tanah, dia tidak terlalu lihai di Roma. Dia ter us saja membimbing mereka berputar-putar di kota sampai pusing, dan berbalik lagi. "Maaf," kata Hazel, "masalahnya ... di bawah tanah sini ada macam-macam, lapisannya banyak sekali, aku jadi kewalahan karenanya. Rasanya seperti berdiri di tengah-tengah orkestra dan berusaha berkonsentrasi pada satu instrumen saja. Aku jadi tui i." Mereka pun menjalani tur keliling Roma. Frank sepertinya senang-senang saja ikut jalan-jalan seperti anjing gembala besar (hmm, Leo bertanya-tanya apakah Frank bisa berubah jadi anjing gembala, atau lebih bagus lagi: kuda yang bisa Leo tunggang' Namun, Leo mulai merasa tidak sabar. Kakinya pegal, hari itu terik serta panas, dan jalanan disesaki

Hazel menoleh kepada Frank dan menggamit tangannya, seolah Leo tidak ada. "Ayo. Menurutku kita harus ke sini." Frank melempar senyum bingung kepada Leo —seakan dia tak bisa memutuskan harus menyombong atau berterima kasih kepada Leo karena sudah bertingkah tolol —tapi dia dengan senang hati membiarkan Hazel menyeretnya. Setelah berjalan lama sekali, Hazel berhenti di depan sebuah gereja. Paling tidak, Leo mengasumsikan itu gereja. Bagian utama-nya berkubah besar. Jalan masuknya beratap segitiga, berpilar khas Romawi, dan bertuliskan M. AGRIPPA atau sejenisnya di bagian atasnya. "Bahasa Latin untuk slat tulis?" Leo berspekulasi. "Ini dia. Ayo kita coba masuk saja." Hazel kedengarannya lebih yakin daripada seharian ini. "Semestinya di dalam sana ada lorong rahasia." Rombongan tur berkeliaran di sekitar tangga. Para pemandu wisata membawa papan nama warna- warni yang bertuliskan angka-angka berlainan dan berceramah dalam lusinan bahasa seperti sedang main bingo internasional. Leo menyimak pemandu wisata berbahasa Spanyol beberapa detik, kemudian dia melaporkan kepada teman-temannya, "Ini Pantheon. Bangunan ini asal mulanya dibangun oleh Marcus Agrippa untuk kuil pemujaan dewa-dewi. Sesudah mengalami kebakaran, Kaisar Hadrianus merenovasinya dan, sejak saat itu, bangunan ini telah berdiri selama dua ribu tahun. Pantheon merupakan salah satu bangunan Romawi yang paling utuh di dunia. Frank dan Hazel menatap Leo sambil melongo. "Kok kau tabu?" tanya Hazel. "Aku ini aslinya brilian." Leo "Tahi centaurus," kata Frank, "dia menguping rombongan Leo nyengir. "Mungkin. Ayo. Mari kita can lorong rahasia itu. Kuharap di tempat ini ada AC." Tentu saja, tidak ada AC. Sisi positifnya, tidak ada antrean dan tidak perlu bayar tiket masuk. Jadi, mereka langsung saja menerobos rombongan tur dan berjalan masuk. Interior Pantheon cukup mengesankan, mengingat bahwa bangunan itu didirikan dua ribu tahun lalu. Lantai marmer berpola bujur sangkar dan lingkaran seperti kolom tic-tac-toe Romawi. Bagian utamanya berupa satu ruangan besar bundar beratap kubah, mirip Gedung Capitol di Amerika Serikat. Di dinding terdapat berbagai altar pemujaan, patung, makam, dan sebagainya. Namun, yang paling menarik perhatian adalah kubah di atas. Seluruh cahaya dalam bangunan berasal dari satu celah bundar di atas. Berkas sinar matahari menyorot masuk ke ruangan dan berkilauan di lantai, seolah-olah Zeus sedang di .atas sana sambil membawa kaca Hazel menoleh kepada Frank dan menggamit tangannya, seolah Leo tidak ada. "Ayo. Menurutku kita harus ke sini." Frank melempar senyum bingung kepada Leo —seakan dia tak bisa memutuskan harus menyombong atau berterima kasih kepada Leo karena sudah bertingkah tolol —tapi dia dengan senang hati membiarkan Hazel menyeretnya. Setelah berjalan lama sekali, Hazel berhenti di depan sebuah gereja. Paling tidak, Leo mengasumsikan itu gereja. Bagian utama-nya berkubah besar. Jalan masuknya beratap segitiga, berpilar khas Romawi, dan bertuliskan M. AGRIPPA atau sejenisnya di bagian atasnya. "Bahasa Latin untuk slat tulis?" Leo berspekulasi. "Ini dia. Ayo kita coba masuk saja." Hazel kedengarannya lebih yakin daripada seharian ini. "Semestinya di dalam sana ada lorong rahasia." Rombongan tur berkeliaran di sekitar tangga. Para pemandu wisata membawa papan nama warna- warni yang bertuliskan angka-angka berlainan dan berceramah dalam lusinan bahasa seperti sedang main bingo internasional. Leo menyimak pemandu wisata berbahasa Spanyol beberapa detik, kemudian dia melaporkan kepada teman-temannya, "Ini Pantheon. Bangunan ini asal mulanya dibangun oleh Marcus Agrippa untuk kuil pemujaan dewa-dewi. Sesudah mengalami kebakaran, Kaisar Hadrianus merenovasinya dan, sejak saat itu, bangunan ini telah berdiri selama dua ribu tahun. Pantheon merupakan salah satu bangunan Romawi yang paling utuh di dunia. Frank dan Hazel menatap Leo sambil melongo. "Kok kau tabu?" tanya Hazel. "Aku ini aslinya brilian." Leo "Tahi centaurus," kata Frank, "dia menguping rombongan Leo nyengir. "Mungkin. Ayo. Mari kita can lorong rahasia itu. Kuharap di tempat ini ada AC." Tentu saja, tidak ada AC. Sisi positifnya, tidak ada antrean dan tidak perlu bayar tiket masuk. Jadi, mereka langsung saja menerobos rombongan tur dan berjalan masuk. Interior Pantheon cukup mengesankan, mengingat bahwa bangunan itu didirikan dua ribu tahun lalu. Lantai marmer berpola bujur sangkar dan lingkaran seperti kolom tic-tac-toe Romawi. Bagian utamanya berupa satu ruangan besar bundar beratap kubah, mirip Gedung Capitol di Amerika Serikat. Di dinding terdapat berbagai altar pemujaan, patung, makam, dan sebagainya. Namun, yang paling menarik perhatian adalah kubah di atas. Seluruh cahaya dalam bangunan berasal dari satu celah bundar di atas. Berkas sinar matahari menyorot masuk ke ruangan dan berkilauan di lantai, seolah-olah Zeus sedang di .atas sana sambil membawa kaca

Leo jadi bertanya-tanya bagaimana perkembangan cewek itu dalam misi Tanda Athena-nya. Leo tak pernah mengira bakal merasa seperti ini, tapi dia mencemaskan si pirang galak itu. Hazel berhenti di tengah-tengah ruangan dan berputar. "Ini luar biasa. Pada zaman dahulu, anak-anak Vulcan datang ke sini diam-diam untuk menyucikan senjata demigod. Di sinilah emas imperial dimantrai." Leo bertanya- tanya bagaimana mereka beraksi. Dia mem-bayangkan sekelompok demigod berjubah warna gelap yang ber-usaha menggelindingkan ketapel kalajengking pelan-pelan lewat pintu depan. "Tetapi kita di sini bukan karena itu," tebak Leo. "Bukan," timpal Hazel, "ada jalan masuk —terowongan yang akan membawa kita ke tempat Nico. Aku bisa merasakannya di dekat sini. Aku tidak tahu pasti lokasi tepatnya." Frank mendengus. "Kalau bangunan ini sudah berusia duo ribu tahun, wajar saja jika ada lorong rahasia peninggalan Romawi Itulah kesalahan Leo, menunjukkan kejagoannya. Dia mengamati interior kuil sambil berpikir: Kalau aku mendesain lorong rahasia, di manakah aku akan meletakkannya? Dia terkadang bisa membaca cara kerja mesin hanya dengan menempelkan tangan pada mesin tersebut. Dia belajar menerbangkan helikopter dengan cara itu. Dia memperbaiki Festus sang naga dengan cara itu (sebelum Festus jatuh dan terbakar). Suatu kali, dia malah pernah memprogram ulang baliho elektronik di Times Square sehingga bertuliskan: CEWEK-CEWEK NAKSI R LEO ... tidak sengaja, tentu saja. Sekarang dia berusaha menerka tatanan gedung kuno ini. Dia berputar menghadap altar pualam merah yang memuat patun Perawan Maria. "Di sana," katanya. Leo berderap dengan penuh percaya diri ke altar. Altar tersebut berbentuk seperti perapian, dengan relung beratap lengkung di dasarnya. Di bagian atasnya tertera sebuah nama, seperti di makam. "Lorong itu ada di sekitar sini," kata Leo, "tempat peristirahatan terakhir orang ini menghalangi. Raphael siapa gitu?" "Pelukis terkenal, setahuku," kata Hazel. Leo mengangkat bahu. Dia punya sepupu bernama Raphael dan tidak tahu ada orang terkenal bernama sama. Leo bertanya-tanya apakah dia bisa mendapatkan sebatang dinamit dari sabuk perkakas dan diam-diam meledakkan makam itu; tapi menurut perkiraannya, para pengurus tempat ini kemungkinan besar takkan setuj u. "Tunggu sebentar ...." Leo menoleh ke sana-ke mari untuk memastikan mereka tidak sedang diawasi. Sebagian besar peserta tur tengah memandangi kubah sambil melongo, tapi ada tiga orang yang membuat Leo resah. Kira-kira lima belas meter dari sana, tiga laki-laki paruh baya bertubuh gemuk berlogat Amerika sedang mengobrol keras-keras, mengeluhkan hawa panas kepada satu sama lain. Mereka mirip pesut yang dijejalkan ke dalam baju pantai —sandal, celana pendek, kaus turis, dan topi bertepi lebar. Tungkai mereka besar, montok, dan menampakkan urat-urat keunguan. Pria-pria itu berlagak bosan setengah mati, dan Leo bertanya-tanya kenapa juga mereka masih bertahan di sana. Mereka tidak memerhatikannya. Leo tidak yakin apa sebabnya mereka membuatnya resah. Mungkin Leo semata-mata tidak suka pesut. Lupakan mereka, kata Leo kepada diri sendiri. Dia menyelinap ke samping makam. Ditelusurkannya tangan ke bagian belakang pilar Romawi, terus sampai ke pangkal. Tepat di dasar pilar, Leo jadi bertanya-tanya bagaimana perkembangan cewek itu dalam misi Tanda Athena-nya. Leo tak pernah mengira bakal merasa seperti ini, tapi dia mencemaskan si pirang galak itu. Hazel berhenti di tengah-tengah ruangan dan berputar. "Ini luar biasa. Pada zaman dahulu, anak-anak Vulcan datang ke sini diam-diam untuk menyucikan senjata demigod. Di sinilah emas imperial dimantrai." Leo bertanya- tanya bagaimana mereka beraksi. Dia mem-bayangkan sekelompok demigod berjubah warna gelap yang ber-usaha menggelindingkan ketapel kalajengking pelan-pelan lewat pintu depan. "Tetapi kita di sini bukan karena itu," tebak Leo. "Bukan," timpal Hazel, "ada jalan masuk —terowongan yang akan membawa kita ke tempat Nico. Aku bisa merasakannya di dekat sini. Aku tidak tahu pasti lokasi tepatnya." Frank mendengus. "Kalau bangunan ini sudah berusia duo ribu tahun, wajar saja jika ada lorong rahasia peninggalan Romawi Itulah kesalahan Leo, menunjukkan kejagoannya. Dia mengamati interior kuil sambil berpikir: Kalau aku mendesain lorong rahasia, di manakah aku akan meletakkannya? Dia terkadang bisa membaca cara kerja mesin hanya dengan menempelkan tangan pada mesin tersebut. Dia belajar menerbangkan helikopter dengan cara itu. Dia memperbaiki Festus sang naga dengan cara itu (sebelum Festus jatuh dan terbakar). Suatu kali, dia malah pernah memprogram ulang baliho elektronik di Times Square sehingga bertuliskan: CEWEK-CEWEK NAKSI R LEO ... tidak sengaja, tentu saja. Sekarang dia berusaha menerka tatanan gedung kuno ini. Dia berputar menghadap altar pualam merah yang memuat patun Perawan Maria. "Di sana," katanya. Leo berderap dengan penuh percaya diri ke altar. Altar tersebut berbentuk seperti perapian, dengan relung beratap lengkung di dasarnya. Di bagian atasnya tertera sebuah nama, seperti di makam. "Lorong itu ada di sekitar sini," kata Leo, "tempat peristirahatan terakhir orang ini menghalangi. Raphael siapa gitu?" "Pelukis terkenal, setahuku," kata Hazel. Leo mengangkat bahu. Dia punya sepupu bernama Raphael dan tidak tahu ada orang terkenal bernama sama. Leo bertanya-tanya apakah dia bisa mendapatkan sebatang dinamit dari sabuk perkakas dan diam-diam meledakkan makam itu; tapi menurut perkiraannya, para pengurus tempat ini kemungkinan besar takkan setuj u. "Tunggu sebentar ...." Leo menoleh ke sana-ke mari untuk memastikan mereka tidak sedang diawasi. Sebagian besar peserta tur tengah memandangi kubah sambil melongo, tapi ada tiga orang yang membuat Leo resah. Kira-kira lima belas meter dari sana, tiga laki-laki paruh baya bertubuh gemuk berlogat Amerika sedang mengobrol keras-keras, mengeluhkan hawa panas kepada satu sama lain. Mereka mirip pesut yang dijejalkan ke dalam baju pantai —sandal, celana pendek, kaus turis, dan topi bertepi lebar. Tungkai mereka besar, montok, dan menampakkan urat-urat keunguan. Pria-pria itu berlagak bosan setengah mati, dan Leo bertanya-tanya kenapa juga mereka masih bertahan di sana. Mereka tidak memerhatikannya. Leo tidak yakin apa sebabnya mereka membuatnya resah. Mungkin Leo semata-mata tidak suka pesut. Lupakan mereka, kata Leo kepada diri sendiri. Dia menyelinap ke samping makam. Ditelusurkannya tangan ke bagian belakang pilar Romawi, terus sampai ke pangkal. Tepat di dasar pilar,

"Heh," kata Leo, "kurang elegan, tapi efektif." "Apa?" tanya Frank. "Kunci kombinasi." Leo meraba-raba bagian belakang pilar lagi dan menemukan lubang segiempat seukuran colokan listrik. "Permukaan gemboknya sudah dicopot —barangkali korban vandalisme beberapa abad berselang. Tetapi aku seharusnya mampu mengontrol mekanisme pengunci di dalamnya, kalau aku bisa ...." Leo menempelkan tangan ke lantai marmer. Dia bisa merasa-kan gigi roda-gigi roda perunggu tua di bawah permukaan batu. Perunggu biasa pasti sudah lama karatan dan tak berfungsi, tapi yang ini adalah perunggu langit —hasil karya demigod. Dengan kekuatan tekadnya, Leo mendesak gigi roda agar bergerak, menggunakan angka Romawi untuk memandunya. Gir pun berputar —klik, klik, klik. Kemudian, klik, klik. Pada lantai di depan dinding, ubin marmer bergeser sehingga menampakkan bukaan gelap segiempat yang pas-pasan sekali untuk dilewati. "Orang-orang Romawi pasti kecil." Leo memandang Frank sambil menimbang-nimbang. "Kau harus berubah wujud jadi sesuatu yang lebih kurus supaya bisa lewat sini." "Jangan kasar begitu!" omel Hazel. "Apa? Aku cuma bilang —" "Jangan khawatir," gumam Frank, "kita harus menyusul yang lain sebelum menjelajah ke dalam. Begitu kata Piper." "Mereka ada di seberang kota." Leo mengingatkan Frank. "Lagi pula, aku tidak yakin bisa menutup tingkap ini lagi. Roda giginya sudah tua, sih." "Hebat," kata Frank, "bagaimana kita tahu di bawah sana aman?" Hazel berlutut. Dia menjulurkan tangan ke atas bukaan seperti sedang mengecek suhu. "Di bawah sana tidak ada makhluk hidup setidaknya sampai jarak beberapa ratus kaki. Terowongan menurun, kemudian mendatar dan mengarah ke selatan, kurang-lebih. Aku tidak merasakan ada jebakan ...." "Bagaimana kau bisa tahu semua itu?" tanya Leo. Hazel mengangkat bahu. "Sama seperti kau bisa mengutak-atik gembok di pilar marmer, kurasa. Aku lega kau tidak tertarik untuk merampok bank." "Oh, brankas bank," kata Leo, "tidak pernah terpikir, tuh." "Lupakan perkataanku," desah Hazel, "dengar, sekarang belum lagi jam tiga sore. Paling tidak kita bisa menjelajah sebentar, berusaha mengira-ngira lokasi Nico sebelum menghubungi yang lain. Kalian berdua diam di sini saja, sampai aku memanggil kalian. Aku ingin memeriksa keadaan, memastikan bahwa struktur terowongan memang kukuh. Aku bisa tahu lebih banyak kalau ke bawah." Frank merengut. "Kami tak bisa membiarkanmu pergi sen-dirian. Bisa-bisa kau terluka." "Frank, aku bisa menjaga diri," ajar Hazel, "lokasi bawah tanah adalah keahlianku. Lebih aman bagi kita semua jika aku turun terlebih dahulu." "Kecuali Frank berubah jadi tikus mondok." Leo mengusulkan. "Atau tikus sawah. Keren tuh." "Tutup mulut," gerutu Frank. "Atau luak." Frank mengacungkan jari ke muka Leo. "Valdez, aku ber-sumpah —" "Kalian berdua, diam," tegur Hazel, "aku akan segera kembali. Beni aku waktu sepuluh menit saja. Kalau kalian belum mendengar

panggilanku sampai saat itu Tidak apa-apa. Aku pasti baik-baik saja. Usahakan jangan saling bunuh selagi aku di bawah sana." Hazel menurunkan diri ke lubang. Leo dan Frank meng-halanginya dari pandangan sebisa mungkin. Mereka berdiri berdampingan, berusaha tampak santai, seolah-olah wajar saja dua remaja laki-laki berkeliaran di dekat makam Raphael. Rombongan tur datang dan pergi. Sebagian besar mengabaikan Leo dan Frank. Segelintir orang melirik mereka dengan curiga dan terus berjalan. Mungkin para turis mengira mereka bakal minta tip. Entah karena alasan apa, Leo bisa membuat orang-orang waswas dengan cengirannya. Ketiga pesut Amerika masih nongkrong di tengah-tengah ruangan. Salah satu mengenakan kaus bertuliskan ROMA, seolah dia bakal lupa ini kota apa jika tidak mengenakan kaus itu. Sesekali dia melirik Leo dan Frank, seakan tidak senang dengan kehadiran mereka. Leo merasa ada

yang tidak beres pada diri lelaki itu. Dia berharap semoga Hazel cepat naik. "Dia tadi mengobrol denganku," kata Frank tiba-tiba, "Hazel bilang kau tahu tentang tambatan hidupku." Leo tersadar. Dia hampir lupa Frank berdiri di sampingnya. "Tambatan hidupmu ... oh, kayu bakar. Benar." Leo menahan desakan hati untuk mengobarkan api di tangannya dan berteriak: Hwa ha ha! Ide tersebut lucu juga, tapi dia tidak sejahat itu. "Dengar, Bung," kata Leo, "tidak apa-apa, kok. Aku takkan pernah melakukan apa pun yang bisa membahayakanmu. Kita, kan, satu tim." Frank memain-mainkan pin centurion-nya. "Aku taint api bisa membunuhku, tapi sejak griya nenekku di Vancouver terbakar barulah rasanya sungguhan." Leo mengangguk. Dia bersimpati pada Frank, tapi kenapa, sih, cowok itu harus menyebut-nyebut soal griya? Kesannya seperti mengatakan, Mobil mewahku tabrakan dan menunggu orang-orang berkomentar, Aduh, kasihan kau! Tentu saja Leo tak mengatakan itu kepada Frank. "Nenekmu —apa dia meninggal dalam kebakaran? Kau tidak pernah bilang." "Aku —entahlah. Nenekku sakit dan sudah lanjut usia. Dia bilang dia akan meninggal kalau sudah waktunya, dengan caranya sendiri. Tetapi kurasa nenekku berhasil lolos dari kebakaran. Aku melihat seekor burung yang terbang dari tengah-tengah api." Leo memikirkan hal itu. "Jadi, seluruh keluargamu punya kemampuan mengubah wujud?" "Kuduga begitu," kata Frank, "ibuku punya. Nenek mem-perkirakan itulah yang menyebabkan ibuku tewas di Afghanistan, dalam peperangan. Ibu berusaha menolong rekan-rekannya, kemudian Aku tidak tahu persis kejadiannya bagaimana. Ada kebakaran karena ledakan born." Leo berjengit karena simpati. "Jadi, ibu kita sama-sarna meninggal dalam kebakaran." Leo tidak berencana untuk itu, tapi dia memberi tahu Frank kejadian malam itu di bengkel, ketika Gaea muncul di hadapan Leo dan ibunya meninggal. Mata Frank berkaca-kaca. "Aku tidak pernah suka ketika ada yang bilang padaku, Aku ikut prihatin soal ibumu." "Rasanya tidak Lulus." Leo sepakat. "Tetapi aku ikut prihatin soal ibumu." "Makasih." Hazel belum muncul-muncul juga. Para wisatawan Amerika masih berkeliling Pantheon. Mereka sepertinya beringsut semakin dekat, seolah hendak mengendap-endap ke makam Raphael tanpa ketahuan.

"Waktu di Perkemahan Jupiter," kata Frank, "Lar Barak kami, Reticulus, memberitahuku bahwa kekuatanku melebihi kebanyakan demigod, soalnya aku ini putra Mars, juga memiliki kemampuan mengubah wujud warisan keluarga ibuku. Dia bilang itulah sebabnya nyawaku berkelindan dengan sebatang kayu bakar. Kelemahan besar menyeimbangkan kekuatan besar." Leo teringat percakapannya dengan Nemeis sang Dewi Pembalasan di Great Salt Lake. Dia mengucapkan sesuatu yang mirip, tentang neraca keadilan yang kembali setimbang. Nasib mujur cuma bualan. Kesuksesan sejati menuntut pengorbanan. Kue keberuntungan Nemesis masih ada di dalam sabuk perkakas Leo, menunggu dibuka. Tidak lama lagi, kau akan menghadapi masalah yang tidak dapat kau pecahkan, meskipun aku bisa membantumu dengan imbalan tertentu. Leo berharap dia bisa mencabut memori tersebut dari kepalanya dan menjejalkan ingatan itu ke dalam sabuk perkakasnya. Menghabiskan ruang saja. "Kita semua punya kelemahan," kata Leo, "aku, contohnya. Aku luar biasa lucu dan cakep." Frank mendengus. "Kau mungkin memang punya kelemahan. Tetapi nyawamu tidak bergantung pada sepotong kayu bakar." "Memang tidak." Leo mengakui. Dia mulai berpikir: jika masalah Frank adalah masalah Leo, bagaimanakah dia akan memecahkannya? Hampir semua cacat desain dapat diperbaiki. "Aku jadi penasaran ...." Dia memandang ke seberang ruangan dan terdiam. Ketiga turis Amerika tengah menghampiri mereka, tak lagi berkeliling-keliling dan mengendap-endap. Mereka bergerak lurus ke makam Raphael, dan ketiganya memelototi Leo. "Eh, Frank?" tanya Frank, "sudah sepuluh menit, "Waktu di Perkemahan Jupiter," kata Frank, "Lar Barak kami, Reticulus, memberitahuku bahwa kekuatanku melebihi kebanyakan demigod, soalnya aku ini putra Mars, juga memiliki kemampuan mengubah wujud warisan keluarga ibuku. Dia bilang itulah sebabnya nyawaku berkelindan dengan sebatang kayu bakar. Kelemahan besar menyeimbangkan kekuatan besar." Leo teringat percakapannya dengan Nemeis sang Dewi Pembalasan di Great Salt Lake. Dia mengucapkan sesuatu yang mirip, tentang neraca keadilan yang kembali setimbang. Nasib mujur cuma bualan. Kesuksesan sejati menuntut pengorbanan. Kue keberuntungan Nemesis masih ada di dalam sabuk perkakas Leo, menunggu dibuka. Tidak lama lagi, kau akan menghadapi masalah yang tidak dapat kau pecahkan, meskipun aku bisa membantumu dengan imbalan tertentu. Leo berharap dia bisa mencabut memori tersebut dari kepalanya dan menjejalkan ingatan itu ke dalam sabuk perkakasnya. Menghabiskan ruang saja. "Kita semua punya kelemahan," kata Leo, "aku, contohnya. Aku luar biasa lucu dan cakep." Frank mendengus. "Kau mungkin memang punya kelemahan. Tetapi nyawamu tidak bergantung pada sepotong kayu bakar." "Memang tidak." Leo mengakui. Dia mulai berpikir: jika masalah Frank adalah masalah Leo, bagaimanakah dia akan memecahkannya? Hampir semua cacat desain dapat diperbaiki. "Aku jadi penasaran ...." Dia memandang ke seberang ruangan dan terdiam. Ketiga turis Amerika tengah menghampiri mereka, tak lagi berkeliling-keliling dan mengendap-endap. Mereka bergerak lurus ke makam Raphael, dan ketiganya memelototi Leo. "Eh, Frank?" tanya Frank, "sudah sepuluh menit,