BAB TUJUH LEO
BAB TUJUH LEO
"BIBI ROSA ITU SIAPA?" TANYA Hazel. Leo tidak mau membicarakan Bibi Rosa. Kata-kata Nemesis masih berdengung di telinganya. Sabuk perkakas terasa semakin ,brat sejak Leo menyimpan kue keberuntungan di sana —padahal ni mustahil. Sabuk perkakas dapat memuat apa saja tanpa bertambah berat. Benda yang paling mudah pecah sekali pun takkan rusak di dalamnya. Namun demikian, Leo membayangkan dia bisa merasakan kue itu di dalam sana, membebaninya, menanti patahkan. "Ceritanya panjang," kata Leo, "dia menelantarkanku sesudah ibuku meninggal, menyerahkanku ke dinas sosial." "Aku ikut prihatin." "Ya, mau bagaimana lagi ...." Leo tidak sabar, ingin buru-buru mengubah topik pembicaraan. "Bagaimana denganmu? Yang dikatakan Nemesis soal adikmu?" Hazel berkedip, seakan matanya kemasukan garam. "Nico dia menemukanku di Dunia Bawah. Dia membawaku kembali dunia fana dan meyakinkan bangsa Romawi di Perkemahan Jupiter agar menerimaku. Aku berutang budi padanya karena - sudah memberiku kesempatan kedua untuk hidup. Jika Nemesis benar, dan Nico sedang dalam bahaya ... aku harus menolongnya." "Tentu saja," kata Leo, meskipun hal itu membuatnya was was. Leo ragu Dewi Pembalasan pernah memberi saran semata-mata karena kebaikan hatinya. "Yang dikatakan Nemesis tentang adikmu yang hidupnya tinggal enam hari lagi, dan Roma yang bakal binasa ... ada gambaran tentang maksud Nemesis sebenarnya?" "Entahlah." Hazel mengakui. "Tetapi aku khawatir ...." Apa pun yang dipikirkan Hazel, dia memutuskan tak membagi pendapatnya. Hazel menaiki salah satu batu yang paling besar supaya bisa melihat lebih jelas. Leo mencoba mengikuti dan kehilangan keseimbangan. Hazel menangkap tangan Leo dan menariknya ke atas. Kini keduanya mendapati diri mereka tengah berdiri di atas batu sambil bergandengan dan bertatapan. Mata Hazel berkilauan seperti emas. Mendapatkan emas mudah saja bagiku, katanya tadi. Menurut Leo, kelihatannya tidak seperti itu —tidak ketika dia memandang Hazel. Dia bertanya-tanya siapa Sammy itu. Leo curiga dia seharusnya tahu, tapi dia tidak ingat itu nama siapa. Siapa pun Sammy itu, dia beruntung Hazel menyayanginya. "Eh, makasih." Leo melepaskan tangan Hazel, tapi mereka masih berdiri berimpitan sampai-sampai dia bisa merasakan hangatnya napas Hazel. Cewek ini jelas-jelas tidak seperti orang mati. "Waktu kita bicara dengan Nemesis tadi," kata Hazel ragu-ragu, "tanganmu ... aku melihat api." "Iya," ujar Leo, "itu kekuatan Hephaestus. Biasanya aku bisa
mengendalikan kemampuan itu." "Oh." Hazel menempelkan tangan ke baju denimnya, seolah-olah melindungi diri. Leo punya firasat bahwa Hazel ingin bergerak menjauhinya, tapi batu itu terlalu kecil. Hebat, pikir Leo. Satu orang lagi yang menganggapku makhluk ane h menakutkan. Leo menatap ke seberang pulau. Pantai sebelah sana tinggal berapa ratus meter lagi. Di antara pantai sebelah sini dan sebelah sana terdapat gundukan kapur dan batu-batu besar, tapi tidak ada ada apa pun yang menyerupai kolam cermin. Kau akan selalu jadi orang luar, Nemesis memberitahunya. Noda ketujuh. Kau takkan menemukan tempat di antara saudara-sodara seperjuanganmu. Tuang asam saja sekalian ke telinganya. Leo tidak butuh diberi tahu bahwa dia adalah orang luar. Dia menghabiskan berbulan-bulan seorang diri dalam Bunker Sembilan di Perkemahan iflasteran, menggarap kapal sementara teman- temannya berlatih hersama, makan bareng, main tangkap bendera untuk bersenang-senang serta merebutkan hadiah. Bahkan kedua sahabatnya, Piper dan Jason, acap kali memperlakukannya seperti kambing congek. Sejak mereka jadian, Leo tidak masuk hitungan. Satu-satunya teman Leo yang lain, Festus sang naga, hanya berupa kepala semata ketika disket pengendalinya rusak berat pada petualangan mereka yang terakhir. Leo tidak memiliki keahlian teknis untuk memperbaikinya. Roda ketujuh. Leo pernah mendengar istilah "roda kelima" — artinya orang yang keberadaannya tidak berguna dan malah mengganggu saja. Leo duga jadi roda ketujuh lebih parah daripada jadi roda kelima. Leo menyangka misi ini akan jadi awal baru baginya. Semua kerja keras yang dia curahkan untuk menggarap Argo II akan terbayar. Dia akan memperoleh enam kawan baru yang mengagumi serta menghargainya, dan mereka bakal berlayar menyongsong matahari terbit untuk memerangi raksasa. Barangkali, Leo berharap diam-diam, dia akhirnya akan mendapat pacar. Hitung jumlah orangnya ada berapa, deh, Leo mengomeil dirinya sendiri. Nemesis benar. Leo mungkin memang merupakan bagian dari ketujuh orang itu, tapi dia tetap saja terisolasi. Dia telail menembaki bangsa Romawi dan menjerumuskan teman-temannya dalam kesulitan. Kau takkan menemukan tempat di antara saudara saudara seperjuanganmu. "Leo?" tanya Hazel lembut, "ucapan Nemesis jangan kau ambil hati." Leo mengerutkan kening. "Bagaimana kalau kata-katanya benar?" "Dia Dewi Pembalasan." Hazel mengingatkan Leo. "Mungkin dia di pihak kita, mungkin juga tidak; tapi Nemesis eksis untuk mengobarkan kebencian." Leo berharap dia bisa mengesampingkan perasaannya begitu saja. Dia tak bisa. Walau demikian, itu bukan salah Hazel. "Kita sebaiknya terus," kata Lea, "aku bertanya-tanya apa maksud Nemesis tadi, waktu dia bilang kita sebaiknya selesai sebelum gelap." Hazel melirik matahari, yang telah bersentuhan dengan cakrawala. "Dan siapa pula pemuda kena kutuk yang dia sebut-sebut?" Di bawah mereka, sebuah suara berkata, "Pemuda kena kutuk yang dia sebut-sebut." Pada mulanya, Leo tak melihat siapa-siapa. Kemudian, mata-nya menyesuaikan diri terhadap suasana gelap. Dia menyadari keberadaan seorang cewek yang berdiri hanya tiga meter dari kaki batu. Sang cewek mengenakan tunik gaya Yunani yang sewarna bebatuan. Rambut lurusnya yang tipis berwarna agak , agak pirang, dan agak kelabu sehingga melebur dengan kering. Dia sebetulnya tidak tak-kasat-mata, tapi dia warkan hampir sepenuhnya, sampai dia bergerak. Saat itu pun, Leo kesulitan memfokuskan pandangan padanya. nya cantik, tapi tidak meninggalkan kesan. Malahan, tiap berkedip, dia tidak ingat seperti apa rupa cewek itu, dan dia harus berkonsentrasi untuk menemukan cewek itu lagi. Halo," kata Hazel, "siapa kau?" "Sjapa kau?" jawab cewek itu. Suaranya terdengar letih, seolah dia bosan menjawab pertanyaan itu. Hazel dan Leo bertukar pandang. Dalam misi demigod, kita tak pernah tahu bakal menjumpai apa. Sembilan dari sepuluh , , kesempatan, terjadi hal buruk. Cewek ninja yang berkamuflase dengan nuansa tanah bukanlah mengendalikan kemampuan itu." "Oh." Hazel menempelkan tangan ke baju denimnya, seolah-olah melindungi diri. Leo punya firasat bahwa Hazel ingin bergerak menjauhinya, tapi batu itu terlalu kecil. Hebat, pikir Leo. Satu orang lagi yang menganggapku makhluk ane h menakutkan. Leo menatap ke seberang pulau. Pantai sebelah sana tinggal berapa ratus meter lagi. Di antara pantai sebelah sini dan sebelah sana terdapat gundukan kapur dan batu-batu besar, tapi tidak ada ada apa pun yang menyerupai kolam cermin. Kau akan selalu jadi orang luar, Nemesis memberitahunya. Noda ketujuh. Kau takkan menemukan tempat di antara saudara-sodara seperjuanganmu. Tuang asam saja sekalian ke telinganya. Leo tidak butuh diberi tahu bahwa dia adalah orang luar. Dia menghabiskan berbulan-bulan seorang diri dalam Bunker Sembilan di Perkemahan iflasteran, menggarap kapal sementara teman- temannya berlatih hersama, makan bareng, main tangkap bendera untuk bersenang-senang serta merebutkan hadiah. Bahkan kedua sahabatnya, Piper dan Jason, acap kali memperlakukannya seperti kambing congek. Sejak mereka jadian, Leo tidak masuk hitungan. Satu-satunya teman Leo yang lain, Festus sang naga, hanya berupa kepala semata ketika disket pengendalinya rusak berat pada petualangan mereka yang terakhir. Leo tidak memiliki keahlian teknis untuk memperbaikinya. Roda ketujuh. Leo pernah mendengar istilah "roda kelima" — artinya orang yang keberadaannya tidak berguna dan malah mengganggu saja. Leo duga jadi roda ketujuh lebih parah daripada jadi roda kelima. Leo menyangka misi ini akan jadi awal baru baginya. Semua kerja keras yang dia curahkan untuk menggarap Argo II akan terbayar. Dia akan memperoleh enam kawan baru yang mengagumi serta menghargainya, dan mereka bakal berlayar menyongsong matahari terbit untuk memerangi raksasa. Barangkali, Leo berharap diam-diam, dia akhirnya akan mendapat pacar. Hitung jumlah orangnya ada berapa, deh, Leo mengomeil dirinya sendiri. Nemesis benar. Leo mungkin memang merupakan bagian dari ketujuh orang itu, tapi dia tetap saja terisolasi. Dia telail menembaki bangsa Romawi dan menjerumuskan teman-temannya dalam kesulitan. Kau takkan menemukan tempat di antara saudara saudara seperjuanganmu. "Leo?" tanya Hazel lembut, "ucapan Nemesis jangan kau ambil hati." Leo mengerutkan kening. "Bagaimana kalau kata-katanya benar?" "Dia Dewi Pembalasan." Hazel mengingatkan Leo. "Mungkin dia di pihak kita, mungkin juga tidak; tapi Nemesis eksis untuk mengobarkan kebencian." Leo berharap dia bisa mengesampingkan perasaannya begitu saja. Dia tak bisa. Walau demikian, itu bukan salah Hazel. "Kita sebaiknya terus," kata Lea, "aku bertanya-tanya apa maksud Nemesis tadi, waktu dia bilang kita sebaiknya selesai sebelum gelap." Hazel melirik matahari, yang telah bersentuhan dengan cakrawala. "Dan siapa pula pemuda kena kutuk yang dia sebut-sebut?" Di bawah mereka, sebuah suara berkata, "Pemuda kena kutuk yang dia sebut-sebut." Pada mulanya, Leo tak melihat siapa-siapa. Kemudian, mata-nya menyesuaikan diri terhadap suasana gelap. Dia menyadari keberadaan seorang cewek yang berdiri hanya tiga meter dari kaki batu. Sang cewek mengenakan tunik gaya Yunani yang sewarna bebatuan. Rambut lurusnya yang tipis berwarna agak , agak pirang, dan agak kelabu sehingga melebur dengan kering. Dia sebetulnya tidak tak-kasat-mata, tapi dia warkan hampir sepenuhnya, sampai dia bergerak. Saat itu pun, Leo kesulitan memfokuskan pandangan padanya. nya cantik, tapi tidak meninggalkan kesan. Malahan, tiap berkedip, dia tidak ingat seperti apa rupa cewek itu, dan dia harus berkonsentrasi untuk menemukan cewek itu lagi. Halo," kata Hazel, "siapa kau?" "Sjapa kau?" jawab cewek itu. Suaranya terdengar letih, seolah dia bosan menjawab pertanyaan itu. Hazel dan Leo bertukar pandang. Dalam misi demigod, kita tak pernah tahu bakal menjumpai apa. Sembilan dari sepuluh , , kesempatan, terjadi hal buruk. Cewek ninja yang berkamuflase dengan nuansa tanah bukanlah
"Kasihan," kata Hazel, "kalau tidak salah, seorang dewi yang melakukan ini?" "Seorang dewi yang melakukan ini." Echo mengonfirmasi. Leo garuk-garuk kepala. "Tetapi bukankah kejadiannya sudah ribuan tahun oh. Kau salah satu manusia fana yang kembali lewat Pintu Ajal. Aku sungguh berharap tak bakal berpapasan lagi dengan orang yang sudah mati." "Orang yang sudah mati," kata Echo. Nada bicaranya sekerti memarahi Leo. Leo menyadari bahwa Hazel menunduk, menatap kakinya. "Eh, sori," gumam Leo, "maksudku bukan begitu." "Begitu." Echo menunjuk pantai di sisi jauh pulau. "Kau ingin menunjukkan sesuatu pada kami?" tanya Hazel. Dia menuruni batu, Leo mengikuti. Dari dekat sekali pun, Echo susah dilihat. Malahan, semakin lama Leo memandanginya, Echo justru semakin tak kasat mata. "Kau yakin kau sungguhan?" tanya Leo, "maksudku terbuat dari darah dan daging?" "Darah dan daging." Echo menyentuh wajah Leo membuatnya berjengit. Jemari Echo hangat. "Jadi, kau harus mengulangi semuanya?" tanya Leo. "Semuanya." Leo mau tak mau tersenyum. "Asyik, nih." "Nih," kata Echo tidak senang. "Gajah biru." "Gajah biru." "Cium aku, Bodoh." "Bodoh." "Hei!" "Hei!" "Leo," pinta Hazel, "jangan goda dia." jangan goda dia." Echo sepakat. "oke, oke," ujar Leo, meskipun dia harus melawan hasratnya. setiap hari dia bertemu seseorang yang dilengkapi fitur "Jadi, apa yang kau tunjuk? Apa kau butuh bantuan?" "Bantuan." Echo mengiyakan. Dia memberi mereka isyarat mengikuti, kemudian berlari menyusuri turunan. Leo hanya mengikuti jejak Echo dengan cara mengamati pergerakan rumput serta denyar gaunnya yang berubah-ubah senuansa batu. Kita sebaiknya bergegas," kata Hazel, "atau kita bakal kehilangan dia." mereka menemukan masalah tersebut —jika segerombolan cewek cantik bisa disebut masalah. Echo menuntun mereka menyeberangi padang rumput yang berbentuk seperti kawah bekas ledakan, telaga di tengah-tengahnya. Di tepi air, berkumpullah beberapa lusin peri hutan. Setidaknya menurut tebakan Leo lereka adalah peri hutan. Seperti peri hutan di Perkemahan blasteran, mereka mengenakan rok terusan berbahan tipis halus bertelanjang kaki. Raut wajah mereka mirip bidadari imut, .,sedangkan kulit mereka kehijauan. Leo tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, tapi mereka semua berkerumun di satu tempat, menghadap telaga dan saling sikut supaya bisa melihat lebih jelas. Sebagian menodongkan ponsel berkamera, berusaha memotret dari atas kepala yang lain. Leo tak pernah melihat peri pohon berponsel. Leo bertanya-tanya apakah mereka sedang menonton jasad tak bernyawa. Jika memang demikian, kenapa mereka berjingkrak-jingkrak dan cekikikan penuh semangat? "Mereka sedang melihat apa?" Leo bertanya. "Melihat apa," desah Echo.
"Hanya satu cara untuk mencari tahu." Hazel berderap maju dan mulai main sikut untuk menembus kerumunan. "Maaf. Per. misi." "Hei!" protes salah satu peri, "kami di sini duluan!" "Iya," dengus yang lain, "dia tak bakal tertarik padamu." Pipi peri hutan yang kedua dicoreng gambar hati besar dart tinta
merah. Di atas gaunnya, dia mengenakan kaus bertuliskam OMG, AKU N!!!! "Hmm, ada urusan demigod," kata Leo, berusaha terksan formal, "tolong beri jalan. Makasih." Para peri hutan menggerutu, tapi mereka membukakan jalan sehingga tampaklah seorang pemuda yang sedang berlutut di tepi telaga sambil menatap air lekat-lekat. Leo biasanya tidak memerhatikan tampang cowok-cowok lain. Leo duga penyebabnya karena dia sering bareng Jason — tinggi, pirang, macho, dan pada dasarnya merupakan tipe cowok sempurna yang jauh sekali dari Leo. Paling tidak, Leo tahu dia takkan pernah memikat cewek dengan tampangnya. Leo harap kepribadian dan selera humornya bakal menarik hati seorang cewek suatu hari kelak, meskipun sampai saat ini taktik tersebut belum berhasil. Pokoknya, Leo tidak mungkin melewatkan fakta bahwa cowok di telaga ini luar biasa rupawan. Garis-garis wajahnya tegas, sedangkan bibir dan matanya memberi kesan setengah cantik feminin, setengah tampan maskulin. Rambut berwarna gelap tersibak di atas alisnya. Dia barangkali berumur tujuh belas atau dua puluh tahun, susah menebaknya dengan pasti, tapi dia berperawakan seperti penari —mempunyai lengan yang panjang dan anggun, bertungkai kekar, berpostur sempurna, dan bel - pembawaan penuh wibawa. Dia mengenakan kaus putih polos dan celana jin, dilengkapi busur dan wadah berisi anak panah yang disandangkan ke punggung. Senjata tersebut kentara sekali sudah lama tidak digunakan. Anak panahnya tertutup debu. Seekor laba-labaa telah membuat sarang di atas busurnya. Semakin dekat, Leo menyadari bahwa wajah cowok itu berpendar keemasan. Cahaya matahari terbenam —terpantul dari besar perunggu langit yang terhampar di dasar telaga —nenyorotkan pendar hangat ke muka si Tuan Tampan. Pemuda itu tampaknya terpukau pada pantulannya di logam tersebut. Hazel terkesiap. "Dia ganteng sekali." Di sekelilingnya, para peri hutan menjerit dan bertepuk tangan setuju. "Memang," gumam sang pemuda, suaranya seperti melamun. Matanya masih terpaku ke air. "Aku memang amat sangat ganteng." Salah satu peri pohon menunjuki Hazel layar iPhone-nya. "ih, tahu nggak, sih, video YouTube-nya yang paling baru ditonton ,sejuta kali dalam waktu satu jam! Kurasa setengahnya aku yang tonton!" Para peri hutan yang lain cekikikan. "Video YouTube?" tanya Leo, "apa yang dilakukannya dalam video itu, menyanyi?" "Bukan, Bodoh!" omel si peri pohon, "dia dulunya pangeran, pemburu jago, dan lain-lain. Tetapi itu tak jadi soal. Sekarang dia cuma lihat saja sendiri deh!" Dia menunjukkan video itu kepada Leo. Gambarnya persis seperti yang mereka saksikan secara langsung —si pemuda yang sedang memandangi dirinya di telaga. "Dia cakep bangeeeeeet!" kata cewek yang lainnya. Kausnya bertuliskan: Ny. NARCISSUS. "Narcissus?" tanya Leo. "Narcissus." Echo mengiyakan dengan sedih. Leo lupa Echo ada di sana. Rupanya para peri tidak menyadari kehadirannya juga. "Aduh, lagi-lagi kau!" Ny. Narcissus mencoba mendorong Echo agar menjauh, tapi dia salah memperkirakan letak si cewek kamuflase dan akhirnya malah menyodok beberapa peri hutan lain. "Kau sudah dapat kesempatan, Echor kata peri hutan yang membawa iPhone, "dia mencampakkanmu empat ribu tahun lalu! Kau tidak ada bagus-bagusnya buat dia." "Buat dia," kata Echo getir. "Tunggu." Hazel kentara sekali kesulitan memalingkan mata dari Narcissus, tapi dia berhasil. "Ada apa ini? Kenapa Echo mengajak kita ke sini?" Salah satu peri hutan memutar-mutar bola matanya. Dia memegang pulpen dan poster renyuk Narcissus. "Echo adalah peri hutan, sania seperti kami, dulu sekali, tapi dia banyak omong! Bergosip melulu, bla, bla, bla." "Iya banget!'' Peri hutan lainnya memekik. "Maksudku, siapa juga yang tahan mendengarnya? Tempo hari, aku bilang pada Cleopeia —kalian tahu dia tinggal di batu di sebelahku?—kataku: Berhentilah bergosip atau nasibmu bakal seperti si Echo. Cleopeia memang besar mulut! Apa kalian sudah dengar apa katanya tentang ' peri awan dan si satir?" "Sudah dong!" kata peri hutan yang membawa poster, "jadi, intinya, sebagai hukuman karena mengoceh, Hera mengutuk Echo sehingga dia merah. Di atas gaunnya, dia mengenakan kaus bertuliskam OMG, AKU N!!!! "Hmm, ada urusan demigod," kata Leo, berusaha terksan formal, "tolong beri jalan. Makasih." Para peri hutan menggerutu, tapi mereka membukakan jalan sehingga tampaklah seorang pemuda yang sedang berlutut di tepi telaga sambil menatap air lekat-lekat. Leo biasanya tidak memerhatikan tampang cowok-cowok lain. Leo duga penyebabnya karena dia sering bareng Jason — tinggi, pirang, macho, dan pada dasarnya merupakan tipe cowok sempurna yang jauh sekali dari Leo. Paling tidak, Leo tahu dia takkan pernah memikat cewek dengan tampangnya. Leo harap kepribadian dan selera humornya bakal menarik hati seorang cewek suatu hari kelak, meskipun sampai saat ini taktik tersebut belum berhasil. Pokoknya, Leo tidak mungkin melewatkan fakta bahwa cowok di telaga ini luar biasa rupawan. Garis-garis wajahnya tegas, sedangkan bibir dan matanya memberi kesan setengah cantik feminin, setengah tampan maskulin. Rambut berwarna gelap tersibak di atas alisnya. Dia barangkali berumur tujuh belas atau dua puluh tahun, susah menebaknya dengan pasti, tapi dia berperawakan seperti penari —mempunyai lengan yang panjang dan anggun, bertungkai kekar, berpostur sempurna, dan bel - pembawaan penuh wibawa. Dia mengenakan kaus putih polos dan celana jin, dilengkapi busur dan wadah berisi anak panah yang disandangkan ke punggung. Senjata tersebut kentara sekali sudah lama tidak digunakan. Anak panahnya tertutup debu. Seekor laba-labaa telah membuat sarang di atas busurnya. Semakin dekat, Leo menyadari bahwa wajah cowok itu berpendar keemasan. Cahaya matahari terbenam —terpantul dari besar perunggu langit yang terhampar di dasar telaga —nenyorotkan pendar hangat ke muka si Tuan Tampan. Pemuda itu tampaknya terpukau pada pantulannya di logam tersebut. Hazel terkesiap. "Dia ganteng sekali." Di sekelilingnya, para peri hutan menjerit dan bertepuk tangan setuju. "Memang," gumam sang pemuda, suaranya seperti melamun. Matanya masih terpaku ke air. "Aku memang amat sangat ganteng." Salah satu peri pohon menunjuki Hazel layar iPhone-nya. "ih, tahu nggak, sih, video YouTube-nya yang paling baru ditonton ,sejuta kali dalam waktu satu jam! Kurasa setengahnya aku yang tonton!" Para peri hutan yang lain cekikikan. "Video YouTube?" tanya Leo, "apa yang dilakukannya dalam video itu, menyanyi?" "Bukan, Bodoh!" omel si peri pohon, "dia dulunya pangeran, pemburu jago, dan lain-lain. Tetapi itu tak jadi soal. Sekarang dia cuma lihat saja sendiri deh!" Dia menunjukkan video itu kepada Leo. Gambarnya persis seperti yang mereka saksikan secara langsung —si pemuda yang sedang memandangi dirinya di telaga. "Dia cakep bangeeeeeet!" kata cewek yang lainnya. Kausnya bertuliskan: Ny. NARCISSUS. "Narcissus?" tanya Leo. "Narcissus." Echo mengiyakan dengan sedih. Leo lupa Echo ada di sana. Rupanya para peri tidak menyadari kehadirannya juga. "Aduh, lagi-lagi kau!" Ny. Narcissus mencoba mendorong Echo agar menjauh, tapi dia salah memperkirakan letak si cewek kamuflase dan akhirnya malah menyodok beberapa peri hutan lain. "Kau sudah dapat kesempatan, Echor kata peri hutan yang membawa iPhone, "dia mencampakkanmu empat ribu tahun lalu! Kau tidak ada bagus-bagusnya buat dia." "Buat dia," kata Echo getir. "Tunggu." Hazel kentara sekali kesulitan memalingkan mata dari Narcissus, tapi dia berhasil. "Ada apa ini? Kenapa Echo mengajak kita ke sini?" Salah satu peri hutan memutar-mutar bola matanya. Dia memegang pulpen dan poster renyuk Narcissus. "Echo adalah peri hutan, sania seperti kami, dulu sekali, tapi dia banyak omong! Bergosip melulu, bla, bla, bla." "Iya banget!'' Peri hutan lainnya memekik. "Maksudku, siapa juga yang tahan mendengarnya? Tempo hari, aku bilang pada Cleopeia —kalian tahu dia tinggal di batu di sebelahku?—kataku: Berhentilah bergosip atau nasibmu bakal seperti si Echo. Cleopeia memang besar mulut! Apa kalian sudah dengar apa katanya tentang ' peri awan dan si satir?" "Sudah dong!" kata peri hutan yang membawa poster, "jadi, intinya, sebagai hukuman karena mengoceh, Hera mengutuk Echo sehingga dia
Dia pernah mendengar bahwa sebagian besar perunggu langit merupakan buangan dari bengkel- bengkel ayahnya. Hephaestus acap kali kehilangan kesabaran ketika proyeknya tidak berhasi , kemudian dia bakal melemparkan logam bekasnya ke dunia fana, Lembaran yang ini mungkin saja dimaksudkan untuk jadi perisai dewa, tapi rupanya tidak cocok. Jika Leo bisa membawanya pulang, perunggu tersebut cukup untuk memperbaiki kapal. "Benar, pemandangan yang bagus," kata Leo, "aku akan bergeser dengan senang hati, tapi kalau kau tidak menggunakannya, bolehkah kuambil saja lembaran perunggu itu?" Jangan," kata Narcissus, "aku cinta dia. Dia amat sangat ganteng." Leo menoleh ke sana-kemari untuk melihat apakah para peri tertawa. Ini pasti cuma lelucon besar. Namun, mereka maiall berlagak semaput dan mengangguk-angguk setuju. Hanya Hazel yang tampak muak. Dia mengernyitkan hidung seolah-olah Narcissus bau, tidak sesuai dengan tampangnya. "Bung," kata Leo kepada Narcissus, "kau sadar sedang memandangi dirimu sendiri di air, kan?" "Aku amat sangat hebat," desah Narcissus. Dia mengulurkan tangan penuh damba untuk menyentuh air, tapi menahan diri. "Tidak, aku tak boleh menimbulkan riak. Riak akan merusak citra. Wow aku amat sangat hebat." "Iya deh," gerutu Leo, "tetapi kalau kuambil perunggu itu, kau masih bisa melihat dirimu di air. Atau ini ...." Dia merogoh sabuk perkakas dan mengeluarkan cermin sederhana seukuran lensa kacamata. "Kutukar dengan ini." Narcissus mengambil cermin dengan enggan, kemudian mengagumi dirinya sendiri. "Kau juga membawa-bawa gambar diriku? Aku tak menyalahkanmu. Aku memang ganteng. Makasih." Dia meletakkan cermin dan kembali mengarahkan perhatian ke telaga "Tetapi aku sudah memiliki gambar yang jauh lebih bagus. perunggu itu cocok sekali untukku, bukan begitu?" Ya, ampun, demi dewa-dewi, iyaaaa!" jerit seorang peri , , "nikahi aku, Narcissus!" jangan, aku saja!" seru yang lain, "bersediakah kau menanda-, ni posterku?" " Jangan, tandatangani bajuku saja!" "Jangan, keningku saja!" "Jangan, mending —" "Hentikan!" bentak Hazel. "Hentikan." Echo sepakat. Leo luput melihat Echo lagi, tapi kini dia menyadari bahwa wek itu berlutut di sebelah Narcissus juga, Dia pernah mendengar bahwa sebagian besar perunggu langit merupakan buangan dari bengkel- bengkel ayahnya. Hephaestus acap kali kehilangan kesabaran ketika proyeknya tidak berhasi , kemudian dia bakal melemparkan logam bekasnya ke dunia fana, Lembaran yang ini mungkin saja dimaksudkan untuk jadi perisai dewa, tapi rupanya tidak cocok. Jika Leo bisa membawanya pulang, perunggu tersebut cukup untuk memperbaiki kapal. "Benar, pemandangan yang bagus," kata Leo, "aku akan bergeser dengan senang hati, tapi kalau kau tidak menggunakannya, bolehkah kuambil saja lembaran perunggu itu?" Jangan," kata Narcissus, "aku cinta dia. Dia amat sangat ganteng." Leo menoleh ke sana-kemari untuk melihat apakah para peri tertawa. Ini pasti cuma lelucon besar. Namun, mereka maiall berlagak semaput dan mengangguk-angguk setuju. Hanya Hazel yang tampak muak. Dia mengernyitkan hidung seolah-olah Narcissus bau, tidak sesuai dengan tampangnya. "Bung," kata Leo kepada Narcissus, "kau sadar sedang memandangi dirimu sendiri di air, kan?" "Aku amat sangat hebat," desah Narcissus. Dia mengulurkan tangan penuh damba untuk menyentuh air, tapi menahan diri. "Tidak, aku tak boleh menimbulkan riak. Riak akan merusak citra. Wow aku amat sangat hebat." "Iya deh," gerutu Leo, "tetapi kalau kuambil perunggu itu, kau masih bisa melihat dirimu di air. Atau ini ...." Dia merogoh sabuk perkakas dan mengeluarkan cermin sederhana seukuran lensa kacamata. "Kutukar dengan ini." Narcissus mengambil cermin dengan enggan, kemudian mengagumi dirinya sendiri. "Kau juga membawa-bawa gambar diriku? Aku tak menyalahkanmu. Aku memang ganteng. Makasih." Dia meletakkan cermin dan kembali mengarahkan perhatian ke telaga "Tetapi aku sudah memiliki gambar yang jauh lebih bagus. perunggu itu cocok sekali untukku, bukan begitu?" Ya, ampun, demi dewa-dewi, iyaaaa!" jerit seorang peri , , "nikahi aku, Narcissus!" jangan, aku saja!" seru yang lain, "bersediakah kau menanda-, ni posterku?" " Jangan, tandatangani bajuku saja!" "Jangan, keningku saja!" "Jangan, mending —" "Hentikan!" bentak Hazel. "Hentikan." Echo sepakat. Leo luput melihat Echo lagi, tapi kini dia menyadari bahwa wek itu berlutut di sebelah Narcissus juga,
"Echo," ujar Echo. "Siapa?" kata Narcissus. "Satu-satunya cewek yang peduli padamu, rupanya," Hazel, "apa kau ingat pernah mati?" Narcissus mengerutkan dahi. "Aku tidak. Itu mustahil. terlalu penting. Tak mungkin aku mati." "Kau mati selagi memandangi dirimu sendiri." bersikeras. "Aku ingat cerita itu sekarang. Nemesis-lah dewi yang mengutukmu, sebab kau membuat banyak sekali orang patah hati. Hukumanmu adalah jatuh cinta pada bayanganmu sendiri." "Aku amat sangat mencintai diriku sendiri." Narcissus setu "Kau akhirnya meninggal," lanjut Hazel, "aku tidak tahu mana yang benar. Entah kau tenggelam atau berubah jadi bur yang tumbuh menjulur ke air atau —Echo, yang mana?" "Yang mana?" kata Echo tanpa daya. Leo berdiri. "Tidak jadi soal. Intinya adalah, kau hidup la Bung. Kau mendapat kesempatan kedua. Itulah yang Nemt coba sampaikan pada kami. Kau bisa bangun dan melanjutk hidup. Echo berusaha menyelamatkanmu. Atau kau bisa diam sini dan menatap dirimu sendiri sampai kau mati lagi." "Diam di sini saja!" Semua peri hutan berteriak. "Nikahi aku sebelum kau meninggar Salah satu peri hut memekik. Narcissus menggelengkan kepala. "Kau hanya mengingi nk bayanganku. Aku tak menyalahkanmu, tapi kau tidak bol memilikinya. Aku adalah milikku." Hazel mendesah jengkel. Dia melirik matahari, yang mak rendah saja di kaki langit. Lalu dia mengedikkan pedangnya tepi kawah. "Leo, bisa kita bicara sebentar?" "Permisi," kata Leo kepada Narcissus, "Echo, mau ikut?" "Mau ikut." Para peri berkumpul mengelilingi Narcissus lagi dan mulai wrekam video baru serta mengambil lebih banyak foto. Hazel berjalan sampai mereka sudah di luar jangkauan irndengaran. "Nemesis bena.r," katanya, "sebagian demigod tak I. pat mengubah fitrah mereka. Narcissus akan tinggal di sini .1 inpai dia meninggal lagi." "Tidak," kata Leo. "Tidak." Echo sepakat. "Kita butuh perunggu itu," ujar Leo, "kalau kita mengambilnya, mungkin Narcissus bakal sadar. Echo bisa saja mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan dia." "Kesempatan untuk menyelamatkan dia," kata Echo penuh makasih. Hazel menghunjamkan pedangnya ke tanah. "Bisa juga membuat beberapa lusin peri hutan marah besar pada kita," katanya, siapa tahu Narcissus masih tahu caranya menembakkan panah." Leo menimbang- nimbang hal tersebut. Matahari sudah hampir terbenam sepenuhnya. Nemesis menyebutkan bahwa Nlarcissus jadi rewel sesudah gelap, barangkali karena dia tak dapat melihat pantulannya lagi. Leo tidak mau tinggal di sini untuk mencari tahu apa yang dimaksud sang dewi dengan rewel. Lagi pula, dia pernah punya pengalaman menghadapi gerombolan peri hutan yang mengamuk. Dia tidak sudi mengulangi pengalaman itu lagi. "Hazel," kata Leo, "kekuatanmu yang berhubungan dengan logam mulia — Apa kau cuma bisa mendeteksinya, atau bisakah memanggilnya juga sesuai perintahmu?" Hazel mengerutkan kening. "Kadang-kadang aku bisa me-manggilnya. Aku tak pernah coba-coba dengan perunggu langit sebesar itu sebelumnya. Aku barangkali bisa menariknya dari bumi, "Echo," ujar Echo. "Siapa?" kata Narcissus. "Satu-satunya cewek yang peduli padamu, rupanya," Hazel, "apa kau ingat pernah mati?" Narcissus mengerutkan dahi. "Aku tidak. Itu mustahil. terlalu penting. Tak mungkin aku mati." "Kau mati selagi memandangi dirimu sendiri." bersikeras. "Aku ingat cerita itu sekarang. Nemesis-lah dewi yang mengutukmu, sebab kau membuat banyak sekali orang patah hati. Hukumanmu adalah jatuh cinta pada bayanganmu sendiri." "Aku amat sangat mencintai diriku sendiri." Narcissus setu "Kau akhirnya meninggal," lanjut Hazel, "aku tidak tahu mana yang benar. Entah kau tenggelam atau berubah jadi bur yang tumbuh menjulur ke air atau —Echo, yang mana?" "Yang mana?" kata Echo tanpa daya. Leo berdiri. "Tidak jadi soal. Intinya adalah, kau hidup la Bung. Kau mendapat kesempatan kedua. Itulah yang Nemt coba sampaikan pada kami. Kau bisa bangun dan melanjutk hidup. Echo berusaha menyelamatkanmu. Atau kau bisa diam sini dan menatap dirimu sendiri sampai kau mati lagi." "Diam di sini saja!" Semua peri hutan berteriak. "Nikahi aku sebelum kau meninggar Salah satu peri hut memekik. Narcissus menggelengkan kepala. "Kau hanya mengingi nk bayanganku. Aku tak menyalahkanmu, tapi kau tidak bol memilikinya. Aku adalah milikku." Hazel mendesah jengkel. Dia melirik matahari, yang mak rendah saja di kaki langit. Lalu dia mengedikkan pedangnya tepi kawah. "Leo, bisa kita bicara sebentar?" "Permisi," kata Leo kepada Narcissus, "Echo, mau ikut?" "Mau ikut." Para peri berkumpul mengelilingi Narcissus lagi dan mulai wrekam video baru serta mengambil lebih banyak foto. Hazel berjalan sampai mereka sudah di luar jangkauan irndengaran. "Nemesis bena.r," katanya, "sebagian demigod tak I. pat mengubah fitrah mereka. Narcissus akan tinggal di sini .1 inpai dia meninggal lagi." "Tidak," kata Leo. "Tidak." Echo sepakat. "Kita butuh perunggu itu," ujar Leo, "kalau kita mengambilnya, mungkin Narcissus bakal sadar. Echo bisa saja mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan dia." "Kesempatan untuk menyelamatkan dia," kata Echo penuh makasih. Hazel menghunjamkan pedangnya ke tanah. "Bisa juga membuat beberapa lusin peri hutan marah besar pada kita," katanya, siapa tahu Narcissus masih tahu caranya menembakkan panah." Leo menimbang- nimbang hal tersebut. Matahari sudah hampir terbenam sepenuhnya. Nemesis menyebutkan bahwa Nlarcissus jadi rewel sesudah gelap, barangkali karena dia tak dapat melihat pantulannya lagi. Leo tidak mau tinggal di sini untuk mencari tahu apa yang dimaksud sang dewi dengan rewel. Lagi pula, dia pernah punya pengalaman menghadapi gerombolan peri hutan yang mengamuk. Dia tidak sudi mengulangi pengalaman itu lagi. "Hazel," kata Leo, "kekuatanmu yang berhubungan dengan logam mulia — Apa kau cuma bisa mendeteksinya, atau bisakah memanggilnya juga sesuai perintahmu?" Hazel mengerutkan kening. "Kadang-kadang aku bisa me-manggilnya. Aku tak pernah coba-coba dengan perunggu langit sebesar itu sebelumnya. Aku barangkali bisa menariknya dari bumi,
bersedia?" "Bersedia," kata Echo. "Bagus," ujar Leo, "nah, mari berharap semoga kita tidak mati.”[]