LIMBAH INDUSTRI KARET TINJAUAN PUSTAKA

E. LIMBAH INDUSTRI KARET

Menurut Suwardin 1989, sehubungan dengan perkembangan industri karet, maka pengendalian limbah pabrik karet perlu mendapatkan perhatian serius agar dapat dicapai optimasi daya dukung lingkungan tanpa menimbulkan pencemaran. Limbah cair merupakan limbah terbanyak yang dihasilkan selama proses pengolahan karet, hal ini disebabkan karena selama proses berlangsung, air banyak digunakan untuk pencucian, pembersihan dan pengenceran. Menurut Suparto dan Alfa 1996 bahan olah berupa lateks dibersihkan dari satu stasiun proses ke stasiun proses berikutnya sehingga bahan olahan tersebut akan semakin bersih. Dengan demikian air buangan dari suatu stasiun proses relatif lebih bersih dibandingkan dengan air buangan dari stasiun proses sebelumnya. Buangan dari pabrik karet umumnya terdiri dari air sisa proses produksi, sedikit lateks yang tidak menggumpal, dan serum yang mengandung bahan-bahan organik dan anorganik. Sifat limbah cair yang dihasilkan berbeda-beda, tergantung proses yang digunakan dalam pabrik. Pada umumnya limbah yang dihasilkan bersifat asam dengan pH antara 4,2 dan 6,3. Sifat asam yang dimiliki limbah tersebut, disebabkan karena di dalam air limbah tercampur asam semut yang digunakan pada tahap pembekuan lateks. Pengolahan air limbah pabrik karet termasuk air limbah pabrik crumb rubber dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satu diantaranya adalah pengolahan dengan sistem anaerob-aerob. Sistem ini merupakan suatu sistem pengolahan yang sederhana, mudah dioperasikan, murah, dan kualitas hasil olahannya dapat memenuhi kriteria baku mutu yang berlaku. Kelemahan sistem tersebut adalah kebutuhan lahan yang cukup luas untuk pembangunan kolam. Karena itu pengolahan dengan sistem kolam sesuai untuk pabrik- pabrik crumb rubber yang terletak jauh dari pemukiman dan mempunyai persediaan lahan yang cukup luas. Pengolahan yang membutuhkan lahan yang luas ini pada prinsipnya merupakan proses biologis, yaitu penguraian bahan- bahan organik yang terkandung dalam air limbah tersebut dengan bantuan mikroorganisme, baik dalam kondisi aerob maupun dalam kondisi anaerob Tampubolon, 1993. Menurut Taricska, et al 1999, penanganan limbah dengan pembuatan kolam anaerob-aerob selain memiliki kekurangan kebutuhan lahan yang luas, juga memiliki kendala kurang optimalnya sistem tersebut dalam menurunkan kadar zat pencemar agar tidak memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Perusahaan yang menerapkan sistem kolam anaerob-aerob juga harus memperhatikan kapasitas kolam dan waktu tinggal limbah cair dalam kolam tersebut. Kedalaman kolam anaerob minimum adalah 1,8 meter, sedangkan waktu tinggal ditentukan oleh tingkat zat pencemar yang ada di limbah cair.

III. METODOLOGI

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Sejalan dengan upaya memacu laju pembangunan, maka pelestarian kemampuan daya dukung lingkungan secara menyeluruh dan terpadu perlu mendapat perhatian. Strategi pembangunan berkelanjutan haruslah dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan pembangunan. Hal ini harus diupayakan untuk melindungi dan mengembangkan lingkungan hidup yang mencakup perhitungan generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Industri crumb rubber haruslah menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan, karena setiap stasiun proses pengolahan pada industri crumb rubber berpotensi menghasilkan limbah yang dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan melalui strategi produksi bersih lebih sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena pada dasarnya produksi bersih merupakan upaya mencegah timbulnya limbah dari suatu proses produksi. Produksi bersih sebagai upaya pelestarian lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu diawali dengan perhitungan jumlah limbah pada setiap stasiun proses produksi, dengan memperhitungkan neraca massa. Pengetahuan mengenai jumlah limbah tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan penerapan produksi bersih yang dapat dilakukan melalui tindakan Reduce, Reuse, Recycle, dan Recovery 4R pada setiap stasiun proses. Tindakan 4R tersebut dapat diterapkan apabila tindakan tersebut memiliki kelayakan, baik secara teknis maupun layak secara finansial. Penerapan produksi bersih dapat dikatakan layak secara teknis apabila penerapan produksi bersih tersebut tidak berdampak negatif terhadap proses produksi dan mutu produk yang dihasilkan. Sedangkan penerapan produksi bersih dapat dikatakan layak secara finansial apabila penerapan produksi

Dokumen yang terkait

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

2 54 106

Kajian Strategi Bisnis dalam Pelaksanaan Pengembangan Areal (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero))

3 64 114

Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) Untuk Peningkatan Efisiensi Produksi Pada Pabrik RSS PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Batang Serangan.

1 52 148

Analisis Pengukuran Kinerja Dengan Menggunakan Metode Performance Prism (Studi Kasus : PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Adolina)

15 132 248

Pengaruh Efisiensi Biaya Produksi Terhadap Laba Bersih Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Medan)

27 212 111

PELAKSANAAN KEPENGURUSAN OLEH PENGURUS KOPERASI (Studi Pada Koperasi Kantor Direksi PTP Nusantara VII Bandar Lampung)

0 34 40

PERBANDINGAN PENDEKATAN TEORITIS INTERNATIONAL ACCOUNTING STANDARD (IAS) 41 PADA BIAYA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN KARET (Studi Kasus Pada PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Way Berulu di Pesawaran)

1 27 85

Analisis Nilai Tambah dan Kapasitas Produksi Agroindustri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO) pada PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

17 51 72

Potensi Penerapan Konsep Produksi Bersih pada Industri Keramik di Probolinggo Potensial Implementation of Cleaner Production Concept for Ceramic Industries in Probolinggo

0 0 8

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

0 0 11