INDUSTRI CRUMB RUBBER TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Goutara, et al 1985 umumnya kadar karet di dalam lateks berkisar 20-35 persen dan bentuknya berupa butir yang sangat halus. Masing- masing butir karet diselubungi oleh protein dan lipid serta tersebar dalam serum. Butir-butir karet tersebut bermuatan negatif sehingga saling tolak menolak dan tidak menggumpal. Muatan listrik negatif pada butir karet tersebut dapat ditingkatkan dengan menambahkan suatu basa seperti amoniak. Tetapi apabila lateks ditambahkan suatu asam akan mengurangi muatan listrik negatif yang akan menyebabkan lateks menggumpal. Penggumpalan lateks sangat dipengaruhi oleh kandungan protein di dalam lateks. Protein di dalam lateks dapat menstabilkan larutan koloid lateks, karena muatan listrik dalam partikel dapat dipertahankan. Apabila protein dihilangkan maka keseimbangan muatan akan terganggu sehingga partikel karet dalam lateks akan menggumpal. Untuk mencegah penggumpalan sebelum lateks tersebut diolah di pabrik maka pada lateks perlu ditambahkan anti koagulan. Anti koagulan yang banyak digunakan pada industri crumb rubber antara lain berupa amoniak, soda, formaldehida, natrium sulfat, boraks dan asam borat. Jumlah antikoagulan yang digunakan tergantung dari keadaan lateks. Pada umumnya harus dimulai dengan jumlah serendah mungkin dan bila ternyata belum mencukupi, maka jumlahnya diperbesar.

D. INDUSTRI CRUMB RUBBER

Crumb Rubber atau sering disebut sebagai Standard Indonesia Rubber SIR merupakan salah satu jenis karet alam selain Ribbed Smoked Sheet RSS, lateks pekat, block rubber, tyre rubber, reclaimed rubber yang diproduksi di Indonesia. Menurut Nazaruddin dan Paimin 2004, pada prinsipnya pengolahan SIR merupakan usaha menghasilkan karet yang dapat diketahui dan terjamin mutu teknisnya, disajikan beserta sertifikat uji coba laboratorium, pengepakan dalam bongkah kecil, mempunyai berat dan ukuran yang seragam, serta ditutup dengan lembaran plastik polyethylene. Sedangkan menurut Solichin 1991, SIR adalah karet alam produksi Indonesia yang dijual dalam bentuk bongkah dan mutunya dinilai secara spesifikasi teknis. Penilaian mutu secara spesifikasi teknis tersebut didasarkan pada hasil analisis dari beberapa syarat uji yang ditetapkan oleh SNI 06-1903- 1990 , antara lain : kadar kotoran, kadar abu, kadar zat menguap, Platisitas awal Po dan Plasticity Retention Index PRI. Kadar kotoran sebagai salah satu uji mutu SIR ditentukan dari jumlah kotoran yang tertampung diatas saringan ASTM 325 mesh ukuran celah 44 mikron dan berasal dari sejumlah tertentu sampel karet yang dilarutkan dalam terpentin mineral. Tingginya kadar kotoran dalam karet yang menyebabkan menurunnya mutu karet, sangat dipengaruhi oleh jenis bokar dan penjagaan serta pemeliharaan kebersihan pabrik. Penjagaan dan pemeliharaan kebersihan peralatan dan pabrik yang baik akan menolong mengurangi kontaminasi karet serta menjaga kadar kotoran tetap rendah dan konsisten Solichin dan Setiadi, 1992. Menurut Solichin 1991, kadar abu pada produk karet sangat dipengaruhi oleh jumlah kontaminasi bahan-bahan asing dan jenis bahan pembeku yang digunakan. Kadar abu yang tinggi pada karet jarang terjadi, tetapi tingginya kadar abu dalam karet akan terjadi apabila kedalam lateks ditambahkan bahan-bahan asing seperti lumpur dan pasir halus. Selain itu tingginya kadar abu juga disebabkan kurang bersihnya pencucian bekuan selama proses produksi dari bahan-bahan kimia yang terdapat didalam bekuan. Menurut Goutara, et al 1985, kadar abu ditentukan dari hasil pengabuan karet dengan suhu 550 o C selama 2 jam. Pengukuran ini dapat dilihat adanya jumlah natrium bisulfit, natrium karbonat, tawas dan bahan kimia lainnya. Menurut Solichin 1991, pengukuran kadar zat menguap dilakukan untuk memastikan bahwa karet mentah yang dijual telah dikeringkan secara sempurna. Pengukuran yang dipengaruhi oleh kondisi pengeringan karet dan jenis karet ini, menyatakan ukuran tingkat pengering yang dipengaruhi oleh kondisi dimana karet tersebut dikeringkan. Biasanya karet yang kurang kering akan menghasilkan kadar zat menguap yang tinggi, tetapi karet terlalu kering juga akan mempengaruhi sifat fisik karet. Untuk menghasilkan karet dengan kadar zat menguap yang baik atau masih sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan, maka diperlukan pengaturan suhu yang tepat pada proses pematangan karet di mesin pengering. Plastisitas awal Po merupakan jumlah dari zat-zat yang mengandung nitrogen dan terdiri dari protein dan turunannya. Nilai Po yang beragam pada setiap sampel, menurut Suwardin 1990 disebabkan oleh faktor teknik pengeringan yang menyangkut aspek waktu, besarnya temperatur pengeringan serta kondisi koagulum. SIR dengan nilai Po yang rendah, disebabkan karena karet mengalami proses produksi yang tidak tepat, seperti penggunaan bahan kimia berupa formalin untuk membekukan karet dan proses pematangan karet dalam mesin pengering yang tidak sempurna. Plasticity Retention Index PRI sebagai salah satu uji mutu terhadap SIR, merupakan suatu ukuran ketahanan karet terhadap pengusangan oksidasi pada suhu tinggi. Nilai PRI yang ditentukan dengan alat Wallace Plastimeter adalah presentase keliatan karet sesudah dipanaskan yang dibandingkan dengan keliatan karet sebelum dipanaskan. Nilai PRI yang tinggi memperlihatkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya pada suhu tinggi, sedangkan karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap oksidasi yang menyebabkan karet menjadi lunak bila dipanaskan dengan suhu tinggi Solichin, 1991. Menurut Tim Bapedal dan Tim BPTK Bogor Pusat Penelitian Karet 1999, dalam SNI 06-1903-1990 telah ditetapkan bahwa jenis mutu crumb rubber yang boleh diproduksi yaitu SIR 3L, SIR 3CV, dan SIR 3WF dari bahan olah lateks, SIR 5 dari koaglum lateks tipis, serta SIR 10 dan SIR 20 dari koagulum lapangan. Perbedaan masing-masing jenis mutu tersebut diperlihatkan pada Lampiran 1. Tahap-tahap pengolahan SIR 3L, SIR 3CV, maupun SIR 3WF dapat dikatakan hampir sama, yang membedakan ketiga jenis SIR tersebut hanyalah perlakuan penambahan bahan kimia yang disesuaikan dengan jenis mutu yang diinginkan. Pada pengolahan SIR 3L, saat proses homogenisasi lateks kebun dan air di bak bulking tank ditambahkan larutan sodium metabisulfit SMBS untuk menghasilkan karet dengan penampilan cerah L= light, sedangkan pada pengolahan SIR 3CV ditambahkan larutan hidroksilamin normal sulfat HNS untuk menghasilkan karet yang memiliki viskositas konstan CV= constan viscosity. Pengolahan yang khusus memproduksi SIR 3WF tidak digunakan bahan kimia sebagai bahan pencampur latek kebun. Selain itu jika pengolahan yang semula ditunjukkan untuk membuat SIR 3L atau SIR 3CV ternyata tidak mengahasilkan mutu yang diinginkan, maka produk karetnya dapat diklasifikasikan sebagai SIR 3WF Tim Bapedal dan Tim BPTK Bogor Pusat Penelitian Karet, 1999. Selain menggunakan bahan tambahan berupa bahan kimia, air juga berperan sangat penting dan dibutuhkan dalam jumlah besar selama proses pengolahan crumb rubber. Air yang digunakan sebagai bahan pengencer lateks, pelarut dan bahan kimia haruslah jernih dan tidak berwarna. Selain itu air tersebut juga tidak boleh mengandung garam-garam terutama garam kapur, karena sangat mempermudah terjadinya prakoagulasi dan menimbulkan bintik-bintik oksidasi. Sedangkan air yang digunakan untuk pengolahan pabrik persyaratannya tidak terlalu ketat, akan tetapi tidak boleh mengandung kotoran. Air yang bersih dapat diperoleh dari sumbernya atau dari sungai dengan cara disaring dan diendapkan dalam bak-bak, atau dengan penambahan tawas Setyamidjaja, 1993. Menurut Sudibyo 1996, mengingat keterbatasan sumber air, baik air permukaan sungai maupun air tanah sumur arteris, maka pabrik karet remah sudah saatnya untuk melakukan penghematan penggunaan air dengan cara melakukan kalkulasi menyeluruh kebutuhan air untuk setiap tahapan proses, dan mempertimbangkan kemungkinan penggabungan proses atau menghilangkan proses pencucian yang kurang perlu, serta memanfaatkan air buangan proses daur ulang air proses dengan tanpa mengurangi mutu produk yang dihasilkan. Selain keterbatasan sumber air, langkah penghematan air tersebut juga akan mengurangi debit air limbah yang dihasilkan, sehingga secara langsung akan mengurangi beban pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari proses pengolahan.

E. LIMBAH INDUSTRI KARET

Dokumen yang terkait

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

2 54 106

Kajian Strategi Bisnis dalam Pelaksanaan Pengembangan Areal (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero))

3 64 114

Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) Untuk Peningkatan Efisiensi Produksi Pada Pabrik RSS PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Batang Serangan.

1 52 148

Analisis Pengukuran Kinerja Dengan Menggunakan Metode Performance Prism (Studi Kasus : PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Adolina)

15 132 248

Pengaruh Efisiensi Biaya Produksi Terhadap Laba Bersih Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Medan)

27 212 111

PELAKSANAAN KEPENGURUSAN OLEH PENGURUS KOPERASI (Studi Pada Koperasi Kantor Direksi PTP Nusantara VII Bandar Lampung)

0 34 40

PERBANDINGAN PENDEKATAN TEORITIS INTERNATIONAL ACCOUNTING STANDARD (IAS) 41 PADA BIAYA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN KARET (Studi Kasus Pada PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Way Berulu di Pesawaran)

1 27 85

Analisis Nilai Tambah dan Kapasitas Produksi Agroindustri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO) pada PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

17 51 72

Potensi Penerapan Konsep Produksi Bersih pada Industri Keramik di Probolinggo Potensial Implementation of Cleaner Production Concept for Ceramic Industries in Probolinggo

0 0 8

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

0 0 11