Umur ekonomi proyek ditetapkan selama 20 tahun. Harga-harga yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan pada hasil Nilai sisa mesin pada masa akhir proyek 25 persen dari nilai awal. Biaya pemeliharaan sebesar 1 persen dari investasi awal. Bunga pinjaman

berukuran 1,6 m x 1,6 m x 2,8 m untuk mengurangi bahan pencemar yang ada di air limbah tersebut. Air yang telah disaring tersebut selanjutnya ditampung ke dalam bak yang berukuran sama dengan bak pengendapan, sebelum air tersebut digunakan kembali oleh mesin mesin creper I dan creper II. Air yang berasal dari mesin hammer mills dan tirisan box mesin pengering mengalami tahapan yang sama seperti air limbah yang berasal dari creper I dan creper II. Proses daur ulang air pada mesin hammer mills dan tirisan box mesin pengering dilakukan dengan menggunakan bak pengendapan berukuran 4,5 m x 4,5 m x 3,5 m dan bak penyaringan berukuran 1,9 m x 1,9 m x 2,5 m. Perhitungan volume bak pengandapan dan bak penyaringan dapat dilihat pada Lampiran 7.

E. ANALISIS FINANSIAL

1. Penggantian Mesin Pengering

Perhitungan analisis finansial terhadap penggantian mesin pengering diberlakukan beberapa asumsi sebagai berikut :

a. Umur ekonomi proyek ditetapkan selama 20 tahun.

b. Harga-harga yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan pada hasil

survey bulan April 2006 sampai Juni 2006.

c. Nilai sisa mesin pada masa akhir proyek 25 persen dari nilai awal.

d. Biaya pemeliharaan sebesar 1 persen dari investasi awal.

e. Bunga pinjaman pada Bank Niaga sebesar 16 persen per tahun.

f. Kapasitas Produksi 12,17 ton per hari

g. Jumlah hari kerja 360 hari per tahun dengan jumlah jam kerja 8,1 jam

per hari.

h. Angsuran kredit dan bunga modal dibayar setiap tahun dengan

angsuran yang sama setiap tahunnya. Gambar 9. Rancangan proses pendistribusian air hasil daur ulang Biaya investasi yang dikeluarkan untuk proyek ini digunakan untuk membeli dua unit mesin pengering berkapasitas 900 kg karet per jam, masing-masing bernilai Rp. 901.600.000 dengan rincian yang dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada tahun ke-0, biaya operasional berasal dari modal yang digunakan untuk pembelian alat-alat. Perincian modal kerja tersebut dapat dilihat pada 8. Biaya operasional sebesar Rp. 87.168.800 yang terdapat pada analisis finansial ini terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap yang dibutuhkan untuk operasional mesin pengering. Biaya tetap yang terdiri dari biaya penyusutan mesin dan biaya pemeliharaan, merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tanpa dipengaruhi oleh tingkat produksi. Sedangkan biaya tidak tetap, yang terdiri dari biaya pelumas mesin merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan memperhatikan tingkat produksi. Perincian kebutuhan biaya tetap dan tidak tetap ini setiap tahunnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Penghematan yang diperoleh oleh perusahaan dari penggantian mesin pengering ini, berasal dari perbandingan konsumsi bahan bakar solar mesin pengering baru dengan mesin pengering lama. Konsumsi bahan bakar yang hanya 30 liter solar per ton karet pada mesin pengering baru, memberikan penghematan penggunaan bahan bakar solar sebanyak 26,8 liter solar per ton karet dari mesin pengering lama. Dengan menggunakan harga solar industri sebesar Rp. 5.400 per liter, maka perhitungan keuntungannya sebagai berikut : 26,8 Lton karet x 12,17 ton karethari x Rp. 5.400L = Rp. 1.761.242hari Dalam satu tahun, maka penghematan yang diperoleh perusahaan adalah : Rp. 1.761.242hari x 360 haritahun = Rp. 634.047.264tahun. Setelah dipotong oleh biaya tetap dan biaya tidak tetap, proyek penggantian mesin pengering ini akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 546.878.464 per tahun. Menurut UU RI No. 17 tahun 2000, keuntungan lebih dari Rp. 200.000.000 akan dikenakan pajak sebesar 35 persen . Hal ini menyebabkan proyek penggantian mesin pengering ini dikenakan pajak sebesar : Beban Pajak = 35 x Rp. 546.878.464 tahun = Rp. 191.407.462tahun Potongan pajak keuntungan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, menyebabkan tindakan penggantian mesin pengering akan mendapatkan keuntungan dengan perhitungan sebagai berikut : Keuntungan = Penghematan – Beban Pajak = Rp. 546.878.464 tahun - Rp. 191.407.462tahun = Rp. 355.471.002tahun Nilai penghematan yang didapat dari proyek dalam analisis finansial ini dimasukkan sebagai penerimaan pada arus kas penerimaan dan pengeluaran proyek. Selain nilai penghematan, dalam kas penerimaan juga dimasukkan modal sendiri yang terdiri dari biaya investasi dan modal kerja, serta terdapat nilai sisa dari mesin pada tahun ke-20. Arus kas penerimaan dan pengeluaran ini dapat dilihat pada Lampiran 11.

2. Good Housekeeping

Dokumen yang terkait

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

2 54 106

Kajian Strategi Bisnis dalam Pelaksanaan Pengembangan Areal (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero))

3 64 114

Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) Untuk Peningkatan Efisiensi Produksi Pada Pabrik RSS PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Batang Serangan.

1 52 148

Analisis Pengukuran Kinerja Dengan Menggunakan Metode Performance Prism (Studi Kasus : PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Adolina)

15 132 248

Pengaruh Efisiensi Biaya Produksi Terhadap Laba Bersih Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Medan)

27 212 111

PELAKSANAAN KEPENGURUSAN OLEH PENGURUS KOPERASI (Studi Pada Koperasi Kantor Direksi PTP Nusantara VII Bandar Lampung)

0 34 40

PERBANDINGAN PENDEKATAN TEORITIS INTERNATIONAL ACCOUNTING STANDARD (IAS) 41 PADA BIAYA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN KARET (Studi Kasus Pada PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Way Berulu di Pesawaran)

1 27 85

Analisis Nilai Tambah dan Kapasitas Produksi Agroindustri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO) pada PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

17 51 72

Potensi Penerapan Konsep Produksi Bersih pada Industri Keramik di Probolinggo Potensial Implementation of Cleaner Production Concept for Ceramic Industries in Probolinggo

0 0 8

Penerapan Metode Goal Programming Untuk Mengoptimalkan Produksi Teh (Studi Kasus: PT Perkebunan Nusantara IV - Pabrik Teh Bah Butong)

0 0 11