Kelembagaan Pengelolaan 1. Analisis Kelembagaan

Gambar 13. Diagram model Kebutuhan Program dalam pengelolaan TNKpS Ket. B1.Infrastruktur listrik, jalan , telekomunikasi, transportasi, Instalasi pengelolahan air; B2.Kompetensi SDM; B3.Penetapan B4.Perencanaan; B5.Keamanan kawasan; B6.Pendanaan; B7.Pro- Mosi; B8.Monitoring dan evaluasi pengelolaan; B9.Pemberdaya - an; B10.Kepastian hukum; B11.Dukungan Stakeholder; B12.Ke - pemimpinan; B13.Kerjasama lintas sektoral. pada level 2. Sub elemen Kompetensi SDM yang terletak pada level 2 merupakan sub elemen penting untuk pelaksanakan program-program sub elemen kunci, maka diperlukan upaya untuk peningkatan kualitas sub elemen ini. Suparno 2001 mengemukakan kompe- tensi adalah kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki ke- trampilan kecakapan yang diisyaratkan. Terkait sub elemen kompetensi SDM di Kepu- lauan Seribu perlu di tingkatkan kualitasnya agar dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan. Terbatasnya kualitas SDM masyarakat lokal berarti kebutuhan tenaga yang berkualitas harus didatangkan dari luar kawasan, contoh yang terlihat dalam bidang usaha perikanan budidaya oleh perusahaan swasta masyarakat lokal hanya menjadi pekerja atau buruh, sulit untuk sampai pada level manajerial. Hasil analisis ISM menempatkan sub elemen Promosi dan Publikasi pada level 1, dan masih dipengaruhi oleh sub elemen kom- petensi SDM yang dalam hubungannya dengan pengelolaan kawasan konservasi tentunya di butuhkan kemampuan untuk dapat melaksanakan program pendidikan dan penyuluhan konservasi. Matriks Power Driver-Dependence menunjukkan pada sektor IV atau sektor independent Gambar 14 tidak terdapat sub elemen kunci, sebaliknya sub elemen kunci masuk dalam sektor linkage sektor III sehingga harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar sub elemen pada sektor ini tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen dalam sektor linkage memberikan pengaruh atau memperbesar keberhasilan program pengelolaan di kawasan taman nasional. Gambar 14. Matriks Driver Power-Dependence Kebutuhan Program Transivity 72.1 Ket. 1.Infrastruktur listrik, jalan , telekomunikasi, transportasi, Instalasi pengelolahan air; 2.Kompetensi SDM; 3.Penetapan 4.Perencanaan; 5.Keamanan kawasan; 6.Pendanaan; 7.Promosi 8.Monitoring dan evaluasi pengelolaan; 9.Pemberdayaan; 10. Kepastian hukum; 11.Dukungan Stakeholder; 12.Kepemimpin- an; 13.Kerjasama lintas sektoral. Sub elemen kunci sangat berkaitan erat dengan sub elemen Kementerian Kehu- tanan dan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu elemen kelembagaan dalam melaksanakan program-programnya untuk mencapai sub elemen Kelestarian Sum- berdaya Taman Nasional pada elemen tujuan. Pada sektor II dependent terdapat sub elemen Kompetensi SDM B2 dan Promosi dan Publikasi B7 yang walaupun dapat memberikan konstribusi yang signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan kawasan kon- servasi, namun mempunyai ketergantungan terhadap sub elemen kunci. Hasil analisis me- nunjukkan tidak ada sub elemen yang masuk dalam sektor autonomous, hal ini menanda- kan bahwa semua peubah termasuk dalam sistem. Elemen Kendala Program Gambar 15 menunjukkan sub elemen Masih Terdapatnya Perbedaan Persepsi Da- lam Pengelolaan Taman Nasional K1 menjadi pilihan pakar sebagai sub elemen kunci. Adanya perbedaan persepsi terkait dengan lembaga yang terlibat yaitu Kementerian Kehu- tanan yang membawahi Balai Taman Nasional dan Pemerintah Kabupaten Propinsi Admi- nistrasi Kepulauan Seribu yang mendapat kewenangan dari Propinsi DKI Jakarta untuk mengelola wilayah. Berdasarkan hasil wawancara dengan pakar yang dilibatkan, mengin- dikasikan bahwa perbedaaan tersebut berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar bagi lembaga yang terlibat dalam pengelolaan. Kementerian Kehutanan dalam mengelola Ka- wasan Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan kewenangan seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 bahwa pengelolaan kawasan pelestarian alam yang meliputi taman nasional merupakan kewajiban pemerintah. Sementara Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menjadikan dasar pengelolaan kawasan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 18 yang menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Posisi K1 pada matriks Driver Power-Dependence terdapat dalam sektor indepen- dent Gambar 16, yang memberikan pengaruh yang besar terhadap program pengelolaan sumberdaya kawasan. Kendala perbedaaan persepsi harus mendapat prioritas utama untuk ditangani karena mempunyai kekuatan penggerak besar dan tidak terlalu tergantung pada sistem. Pada level 2 terdapat sub elemen Belum Optimal Implementasi Program K3, Partisipasi Aktif Masyarakat K4, Belum Terbinanya Kemitraan yang Menguntungkan Semua Pihak K5, Kerjasama Lintas Sektoral K6, Penyuluhan Terhadap Masyarakat K7, Penegakan Hukum K8, Belum Jelas Strategi Keberlanjutan K9, Inkonsistensi Implementasi Program K10, Kurangnya Kesadaran Nelayan Akan Keberadaan Zona Inti K12, Rendahnya Pendidikan dan Pengetahuan K13, dan Kurangnya Pembinaan Terha- dap Nelayan K14. Sub elemen pada level 2 ini berada pada sektor linkage, mengindika- sikan bahwa kurangnya perhatian dalam penanganan kendala-kendala tersebut dapat bera- kibat kegagalan mencapai tujuan program pengelolaan, yakni kelestarian sumberdaya ta- man nasional. Gambar 15. Diagram model Kendala Program dalam Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Ket. K1. Masih terdapat perbedaan persepsi dalam penge- lolaan TN; K2. Lokasi dan batas zona inti belum dipahami masyarakat; K3. Belum optimal implementasi program; K4. Partisipasi aktif masyarakat; K5.Belum terbinanya kemitraan menguntungkan semua pihak; K6.Belum terbinanya kemitra- an; K7.Penyuluhan terhadap masyarakat; K8.Penegakan Hu- kum; K9.Belum jelas pengembangan strategi berkelanjutan; K10.Inkonsistensi implementasi program; K11.Lemahnya sistem kelembagaan; K12.Kurangnya kesadaran nelayan akan keberadaan zona inti; K13.Rendahnya pendidikan dan pengetahuan; K14.Kurangnya pembinaan terhadap nelayan Level 1 terdapat sub elemen Lokasi dan Batas Zona Inti Belum Dipahami Masya- rakat K2 dan Lemahnya Sistem Kelembagaan K11, masuk dalam sektor dependent Gambar 16. Kedua kendala tersebut akan dapat teratasi dengan baik jika kendala-kendala pada level 2 ditangani dengan baik. Sub elemen K2 juga terkait dengan sub elemen Pene- tapan Zonasi Kawasan pada elemen Kebutuhan Program, dan jika batas zona inti belum dipahami dengan baik akan berdampak pada banyaknya pelanggaran yang terjadi. Sub elemen K11 jika diatasi akan berdampak terhadap sub elemen Terciptanya Kelembagaan yang Kuat pada elemen tujuan program dan Mewujudkan Kelembagaan yang Kuat pada elemen tolok ukur program pengelolaan. Gambar 16. Matriks Driver Power Kendala Program Transivity 70.0 Ket. 1. Masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan TN; 2. Lokasi dan batas zona inti belum dipahami masyarakat; 3.Belum optimal implementasi program; 4.Partisipasi aktif masyarakat; 5.Belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak; 6.Belum terbinanya kemitraan; 7.Penyuluhan terhadap masyarakat; 8.Penegakan Hukum; 9.Belum jelas pengembangan strategi berkelanjutan; 10.Inkonsistensi implementasi program; 11. Le- mahnya sistem kelembagaan; 12.Kurangnya kesadaran nelayan akan keberadaan zona inti; 13.Rendahnya pendidikan dan penge- tahuan; 14.Kurangnya pembinaan terhadap nelayan. Elemen Tolok Ukur Sub elemen pada level 2 berdasarkan hasil analisis adalah Terciptanya Kelemba- gaan yang Kuat U1, Meningkatnya Kesadaran Masyarakat U2, Meningkatnya Pendapa- tan Masyarakat U3, Ekosistem Stabil 6, Tidak Ada Lagi Kegiatan yang Merusak Eko- sistem U7, dan Spesis Kunci Lestari U8 Gambar 17. Namun sub elemen tersebut da- lam matriks driver power-dependence terdapat pada sektor III linkage, maka harus dikaji dengan hati-hati ketika akan memasukkan dalam sub elemen kunci dalam sistem karena masih akan dapat dipengaruhi oleh sub elemen lainnya Gambar 18. Sementara pada sektor independent pada matriks driver power-dependence tidak terdapat sub elemen, ma- ka sub elemen pada level 1 dimasukan sebagai sub elemen kunci yang merupakan faktor penggerak atau pendorong utama tercapainya tolok ukur sub elemen lainnya. Gambar 17. Diagram model Tolok Ukur dalam pengelolaan TNKpS Ket. U1.Terciptanya kelembagaan yang kuat; U2.Meningkatnya kesadaran masyarakat; U3.Meningkatnya pendapatan masyarakat; U4. Peluang Usaha; U5.Meningkatnya produksi perikanan; U6. Ekosistem stabil; U7.Tidak ada lagi kegiatan yang merusak eko- Sistem; U8.Spesis kunci lestari Penyu, Terumbu karang dll Sub elemen pada posisi level 1, yaitu Peluang Usaha U4 dan Meningkatnya Pro- duksi Perikanan U5 merupakan sub elemen yang terpengaruh oleh sub elemen kunci. Peluang keberhasilan sub elemen di sektor dependent akan berhasil jika sub elemen kunci diimplementasikan dengan baik. Gambar 18. Matriks Driver Power-Dependence Tolok Ukur Transivity 87.5 Ket. 1.Terciptanya kelembagaan yang kuat; 2.Meningkatnya kesadaran masyarakat; 3.Meningkatnya pendapatan masyarakat; 4.Peluang Usaha;5.Meningkatnya produksi perikanan; 6. Ekosistem stabil;7.Tidak ada lagi kegiatan yang merusak ekosistem; 8.Spesis kunci lestari Penyu, Terumbu karang dll. Secara keseluruhan hasil analisis ISM mendapatkan sub elemen kunci dari setiap elemen Tabel 20. Sub elemen kunci yang menjadi penggerak utama dalam sistem yang menjadi faktor penentu keberhasilan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepu- lauan Seribu. Secara kelembagaan, jika Kementerian Kehutanan melalui Balai Taman Na- sional dapat bersinergi dengan baik dengan Pemerintah Propinsi DKI melalui Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dengan upaya untuk menyamakan persepsi dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan taman nasional, maka akan tercipta suatu kelembagaan yang kuat. Pendanaan memadai dibutuhkan untuk menunjang program yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat agar tidak ada lagi kegiatan yang me- rusak ekosistem. Sub elemen kunci tersebut akan mempengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem karena secara hirarki terletak pada level yang sama Gambar 19, dimana sub elemen ekosistem kawasan stabil sehingga sub elemen spesis kunci lestari yang men- gindikasikan bahwa kelestarian sumberdaya taman nasional yang menjadi tujuan bersama tercapai dan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat khususnya nelayan. Hasil analisis ISM semua elemen sistem ditunjukan dengan nilai Reachability Matrix RM berdasarkan pendapat pakar gabungan terdapat pada lampiran 12. Tabel 20. Elemen Sistem dan Sub elemen Kunci No. Elemen Sub elemen Kunci 1. Kelembagaan • Kementerian Kehutanan • Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2. Tujuan Program • Kelestarian Sumberdaya Taman Nasional 3. Kebutuhan Program • Infrastruktur • Penetapan Zonasi Kawasan • Perencanaan • Keamanan Kawasan • Pendanaan • Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan • Pembedayaan Masyarakat • Kepastian Hukum • Dukungan Stakeholder • Kepemimpinan • Kerjasama Lintas Sektoral 4. Kendala • Masih Terdapatnya Perbedaan Persepsi Dalam Pengelolaan Taman Nasional 5. Tolok Ukur • Terciptanya Kelembagaan yang Kuat • Meningkatnya Kesadaran Masyarakat • Meningkatnya Pendapatan Masyarakat • Ekosistem Stabil • Tidak Ada Lagi Kegiatan yang Merusak Ekosistem • Spesis Kunci Lestari Penyu, Terumbu Karang, dsb Terkait dengan kegiatan masyarakat yang bersifat merusak di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan untuk menghambat serta mendapatkan solusi bagi perma- salahan, maka integrasi dari lembaga yang terlibat secara langsung dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya sangat di butuhkan. Hasil analisis kelembagaan dengan metode ISM menunjukkan empat lembaga dalam sektor independent mempunyai penga- ruh kuat, yang untuk mencapai efektifitas dalam perannya menurut Sholahuddin 2001 lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan harus memperhatikan tiga aspek, yaitu 1 aspek struktur organisasi yang fleksibel dalam menghadapi kondisi tertentu dan mampu untuk menyesuikan terhadap lingkungan yang di hadapi, 2 aspek kejelasan fungsi dari setiap lembaga berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing, 3 aspek tata nilai atau norma, dalam setiap organisasi harus mempunyai tata nilai yang di patuhi oleh elemen-elemen dalam organisasi. Secara garis besar untuk memanfaatan yang lestari diperlukan kelemba- gaan yang kuat serta efektif dan efisien. Pengelolaan kawasan taman nasional akan tercapai jika perbedaan perspektif dalam pengelolaan kawasan dapat di atasi dalam rangka untuk mempertahan jasa ekosistem. Diperlukan pemahaman yang mendalam dan pengelolaan yang bijak dalam mencapai tujuan bersama untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Gambar 19. Hubungan antar sub elemen kunci keberhasilan pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu Pemanfaatan jasa ekosistem yang berlebihan dan bersifat merusak ten- tunya akan berdampak dalam jangka panjang dengan berkurangnya ketersediaan jasa tersebut untuk masa mendatang. Institusi yang efektif dan efisien dapat men- gatur akses terhadap sumberdaya melalui mekanisme kesetaraan, keadilan dan keselarasan. Memahami perbedaan persepsi dalam pengelolaan sumberdaya antara kelembagaan yang terlibat, serta faktor yang dapat menyebabkan peruba- han dalam ekosistem dan jasa ekosistem merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat merumuskan intervensi yang memiliki dampak positif dan sekaligus meminimalisir dampak negatif.

5.3.2. Kebijakan Pengelolaan

Kebijakan penataan dan pengelolaan kepulauan seribu selama ini dituang- kan dalam beberapa kebijakan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mau- pun pemerintah daerah. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada dasarnya untuk memberi landasan bagi daerah dalam membuat kebijakan dalam pengelolaan daerah masing-masing. 5.3.2.1. Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati UU No. 5 1990 Dasar kebijakan pengelolaan taman nasional oleh Balai TNKpS adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang dijabarkan melalui Rencana Pengelo- laan Taman Nasional RPTN yang dalam strategi pengelolaan kawasan konserva- si di implementasikan melalui upaya, 1 perencanaan pengelolaan kawasan taman nasional, 2 pengelolaan kawasan taman nasional, 3 pengembangan pendidikan dan pelatihan, 4 pengawasan dan pengendalian. Sebagaimana yang yang ter- tuang dalam UU nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1990, pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan sistem zonasi. Demikian pula berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, pasal 1 ayat 73 menyatakan bahwa Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang di kelola berdasarkan zonasi. Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati pasal 34 secara jelas menyatakan bahwa pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peratu- ran Pemerintah nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam KSA dan Kawasan Pelestarian Alam KPA, dimana pada pasal 12 ayat 3 me- nyatakan bahwa penyelenggaraan KSA dan KPA oleh pemerintah melalui unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri. Pemerintah yang dimaksud dalam undang- undang dan peraturan pemerintah tersebut diatas, adalah Kementerian Kehutanan yang melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mem- bawahi unit pengelola taman nasional yaitu, Balai Taman Nasional. Berdasarkan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang, maka pengelolaan Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu berada pada BTNKpS dimana kebijakan untuk pengelolaan kawasan berpedoman pada Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN. Kelemahan UU Nomor 5 Tahun 1990 lebih terfokus pada konservasi ber- basis daratan atau perlindungan terhadap kawasan hutan dan belum mengatur wi- layah perairan atau perikanan. Hal inilah yang menjadi masalah dalam pengelo- laan TNKpS oleh pengelola taman nasional yang dalam operasionalnya berpedo- man pada undang-undang tersebut dalam mengatur kegiatan di zona pemanfaatan wisata dalam kawasan TNKpS, terutama kegiatan nelayan dan stakeholder yang bergerak dalam bidang perikanan serta pemerintah daerah yang berkepentingan dalam mengelola wilayah perairan.

5.3.2.2. Undang-Undang Pemerintahan Daerah UU No. 322004

Taman Nasional Kepulauan Seribu secara yuridiksi merupakan wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta. Kebijakan pe- merintah pusat yang berupa undang-undang dan peraturan pemerintah pada dasarnya adalah sebagai landasan pijakan bagi pemerintah DKI Jakarta dalam me- rumuskan dan menetapkan pengelolaan kebijakan daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam serta jasa lingkungan yang terdapat dalam kawa- san kepulauan seribu. Kebijakan pengelolaan wilayah oleh pemerintah daerah berdasarkan pada amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pas- al 18 ayat 1 menyatakan daerah yang memiliki wilayah laut diberikan wewenang untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dan ayat 3 kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meli- puti : huruf a. eksplorasi, eksploitas, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi dimana daerah diberikan kewenangan un- tuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom un- tuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masya- rakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah diberi ke- wenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dalam penyelenggaraannya mengutamakan kepentingan dan as- pirasi dari masyarakat. Berkaitan dengan pasal 1 angka 19 yang menyatakan kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi danatau kabupatenkota yang ditetapkan pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional. Kawasan khusus yang dimaksud salah satunya adalah taman nasional dan pemerintah wajib melibatkan pemerintah daerah dalam pembentukannya. Kelemahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berkaitan dengan pengaturan sektor perairan bagi nelayan secara khusus belum tercantum, melain- kan hanya lebih fokus pada kewenangan mengelola sumberdaya di wilayah laut yang masuk dalam wilayah administrasi daerah yaitu pada pasal 17 dan pasal 18.

5.3.2.3. Undang-Undang Penataan Ruang UU No. 262007

Kebijakan penataan ruang yang terkait langsung dengan pengelolaan ta- man nasional adalah mempertahankan Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis satwa, bagi kepen- tingan ilmu pengetahuan dan pembangunan. Pasal 6 ayat 5 huruf a menyatakan bahwa untuk mewujudkan keterpaduan pemanfaatan dan pengedalian ruang, maka ditetapkan kebijakan sebagai berikut: pelaksanaan konservasi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan lindung, sumberdaya air, dan pengem- bangan ruang terbuka hijau untuk keseimbangan ekologi. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara sangat ber- kaitan dengan kegiatan manusia, untuk itu perlu adanya penataan dalam peman- faatannya. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa penataan ruang adalah suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tujuan dari penataan tersebut adalah untuk mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, serta dapat memberikan perlindunga ter- hadap fungsinya dan pencegahan dari kerusakan. Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Penjabaran dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 yaitu Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2012 Pasal 65 menyatakan bahwa peruntukan ruang untuk fungsi lindung diarahkan untuk peningkatan fungsi perlindungan suatu kawasan, baik setempat atau pada obyek atau kawasan yang lebih luas dan mempertahankan serta memulihkan kondisi kawasan atau obyek yang harus dilindungi. Fungsi lin- dung meliputi kawasan terumbu karang dan padang lamun, perlindungan terhadap biota yang dilindungi oleh peraturan perundangan, pencegahan kegiatan yang da- pat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan pencegahan ter- jadinya kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan ekositem. Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2012 Pasal 65 menyatakan bahwa perun- tukan ruang untuk fungsi lindung diarahkan untuk peningkatan fungsi perlin- dungan suatu kawasan, baik setempat atau pada obyek atau kawasan yang lebih luas dan mempertahankan serta memulihkan kondisi kawasan atau obyek yang harus dilindungi. Fungsi lindung meliputi kawasan terumbu karang dan padang lamun, perlindungan terhadap biota yang dilindungi oleh peraturan perundangan, pencegahan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan pencegahan terjadinya kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan ekositem. Kelemahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tidak mengakomodir kegiatan di perairan secara spesifik, hal ini tertera pada pasal 6 ayat 5 yang me- nyatakan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang- undang tersendiri.

5.3.2.4. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil UU No. 272007

Dalam rangka untuk mewujudkan penataan ruang wilayah pesisir dan pu- lau-pulau kecil yang berkelanjutan, maka pemerintah daerah menetapkan kebija- kan pengelolaan dan pengendalian pembangunan kawasan pesisir dan pulau kecil dengan mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Pengem- bangan sistem Rencana Zonasi Wilayah juga akan dilakukan dengan berdasarkan pengelompokan letak pulau, zonasi Taman Nasional, potensi pengembangan sum- berdaya alam darat dan perairan laut, dan keterkaitan kegiatan sosial-ekonomi. Wilayah Kepulauan Seribu yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan menga- lami kerusakan akibat dari beragam aktivitas masyarakat dalam memanfaatakan sumberdaya, untuk itu masyarakat memerlukan suatu bentuk perundang-undangan untuk mendorong agar dalam mengelola wilayahnya dengan baik. Pasal 1 angka 14 rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber- daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan setelah memperoleh izin; angka 15 rencana pengelo- laan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prodsedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengkoordinasikan pengambilan keputusan di anta- ra berbagai lembagainstansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sum- berdaya atau kegiatan pembagunan di zona yang ditetapkan; angka 19 konserva- si wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman. Salah satu fokus dari undang-undang ini adalah dalam pengelolaan wi- layah pesisir dan pulau-pulau kecil berasaskan a. keberlanjutan, b. konsistensi, c. keterpaduan, d. kepastian hukum, e. kemitraan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dipertegas pada pasal 4 huruf a yang me- nyatakan bahwa tujuannya adalah : a. melindungi, mengkonservasi, merehabilita- si, memanfaatkan dan memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil ser- ta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. menciptakan keharmonisan dan si- nergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuan tersebut dalam pasal 4 diatur dalam pasal 6 bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 wajib dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan: a, antar peme- rintah dan pemerintah daerah; b. antar sektor, d. antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; c. antar sektor; d. antara pemerintah, dunia usaha, dan masyara- kat; e. antara ekosistem darat dan ekosistem laut; f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Secara keseluruhan Undang-undang ini secara kom- prehensif telah dapat mengakomodir berbagai kepentingan stakeholder yang ber- kepentingan terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kelemahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, terletak pada pasal 1 angka 18 yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir HP-3 yang telah direvisi menjadi Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir IP-3 dimana secara prinsip merubah pendekatan hak menjadi perizinan, namun hal tersebut belumlah menjamin bahwa hak nelayan tradisional yang merupakan pengguna utama per- airan laut dapat terlindungi. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip bahwa laut adalah open acces dan common property, dimana setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam pemanfaatannya. 5.3.2.5. Peraturan Pemerintah Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam PP No. 282011 Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah merupakan rangkaian kegiatan yang terpadu dalam pemanfaatan potensi sumber- daya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan dengan memberdayakan ma- syarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Pasal 12 ayat 1 penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam KSA dan Kawasan Pelestarian Alam KPA kecuali hutan raya dilakukan oleh pemerintah, hal ini menyatakan bahwa peran pemerintah se- bagai fasilitator dalam pengelolaan sumberdaya. Dalam rangka pengelolan kawa- san khusus tersebut ditegaskan dalam pasal 16 ayat 1 penataan kawasan melipu- ti: a. penyusunan zonasi atau blok pengelolaan; b. penataan wilayah kerja dan Pasal 17 penyusunan zonasi atau blok pengelolaan dilakukan oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA atau KPA serta pemerintah provinsi danatau pemerintah kabupatenkota. Perlindungan terhadap kawasan KSA dan KPA mutlak diperlukan meng- ingat pentingnya kawasan ini sebagai penunjang kehidupan, yang di tegaskan pa- da pasal 24 ayat 2 perlindungan sebagaimana dilakukan melalui: a. pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ter- nak, alam, spesis invasive, hama, dan penyakit; b. melakukan penjagaan kawasan secara efektif. Perlindungan dari kegiatan pemanfaatan dan aktivitas masyarakat kemudian diatur dalam pasal 32 ayat 2 kegiatan pemanfaatan KSA dan KPA di- lakukan dengan tidak merusak bentang alam dan mengubah fungsi KSA dan KPA, adapun kegiatan masyarakat setempat terbatas pada pemanfaatan tradisional pasal 35 ayat 1. Sementara kegiatan pemanfaatan yang bersifat khusus diatur dalam pasal 38 ayat 1 pemanfaatan KSA dan KPA hanya dapat dilakukan sete- lah memperoleh izin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Kelemahan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 belum secara je- las mengatur pemanfaatan perairan ataupun perikanan terutama di kawasan kon- servasi. Pasal 35 ayat 1 huruf f menyatakan tentang pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat namun, untuk pemanfaatan hutan seperti yang dite- gaskan dalam ayat 2. Secara umum undang-undang ini lebih difokuskan pada pengelolaan daratan atau kehutanan.

5.3.2.6. Sinkronisasi Peraturan dan Perundangan

Secara keseluruhan undang-undang dan peraturan yang menjadi dasar hu- kum dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, baik oleh pemerintah dalam hal ini BTNKpS dan pemerintah daerah lebih terfokus pada upaya pengelolaan kawasan konservasi hutan. Dalam rangka untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hu- kum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efek- tif maka dipandang perlu mensinkronkan beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai pijakan dalam pengelolaan suatu bidang tertentu agar tidak saling bertentangan. Beberapa pasal dalam peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi pengelolaan wilayah dan kawasan Taman Nasional Ke- pulauan Seribu dapat disinkronkan sehingga diharapkan dalam pelaksanaannya dapat dijadikan pijakan bagi seluruh stakeholder. Sinkronisasi pengelolaan kawasan konservasi atau TNKpS berdasarkan peraturan dan perundangan yang menjadi dasar hukum pemerintah daerah dan ba- lai pengelola TNKpS berlandaskan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 4 menjelaskan bahwa konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya me- rupakan tangggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pada Undang-undang No- mor 32 Tahun 2004, pasal 17 ayat 1 dinyatakan hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Demi- kian pula Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 8 bahwa kewenangan pe- merintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupa- tenkota. Pasal 17 ayat 4 peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 1 angka 1 dinyatakan bah- wa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi perencanaan, pe- manfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi ekosistem darat dan laut melibatkan antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah. Selanjutnya pada pasal 1 angka 14 menjelaskan rencana zonasi adalah rencana penggunaan sumberdaya dan memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah memperoleh izin. Pasal 1 angka 15 menje- laskan rencana pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebi- jakan, prodsedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasikan pengambi- lan keputusan di antara berbagai lembagainstansi pemerintah mengenai kesepaka- tan penggunaan sumberdaya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan; dan angka 19 konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya per- lindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ser- ta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan mening- katkan kualitas nilai dan keanekaragaman. Selanjutanya dijelaskan pada Peratu- ran Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 pasal 12 ayat 1 penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali hutan raya dilakukan oleh pemerintah dan selanjutnya pasal 16 ayat 1 dijelaskan penataan kawasan meliputi: a. penyusunan zonasi atau blok pengelolaan; b. penataan wilayah kerja. Demikian pula dalam peraturan daerah provinsi DKI Nomor 1 Tahun 2012 pasal 1 angka 73 dan 74 yang menjelaskan bahwa Taman Nasional Kepulauan seribu adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola secara sistem zonasi untuk perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya dan ekosistemnya. Berdasarkan peraturan dan perundangan tersebut diatas yang menjelaskan bahwa pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasilindung atau taman nasional, namun dengan melibatkan selu- ruh stakeholder yang berkepentingan dengan kawasan konservasi tersebut, meli- puti pemerintah daerah setempat, pihak swasta dan masyarakat yang merupakan pengguna utama dalam kawasan. Hal ini menandakan bahwa dengan melibatkan seluruh elemen yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan merupakan sua- tu mekanisme yang dapat diterapkan sejak tahap perencanaan sehingga diha- rapkan semua pihak dapat terakomodir kepentingannya, dengan mengedepankan pengelolaan secara berkesinambungan terhadap keberlangsungan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Tata cara kerjasama sebelumnya telah diatur pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P-19 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390Kpts-II2004 tentang Tata Cara Kerjasama di Kawasan Konservasi yang berbunyi: “Kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektifitas pengelolaan KSA dan KPA secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perun- dang-undangan yang berlaku. Kolaborasi dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan manfaat”. 5.4. Harmonisasi 5.4.1. Mekanisme Harmonisasi Pembangunan daerah maupun pengembangan kawasan konservasi perlu diupayakan sehingga tidak saling menghambat, tetapi saling mendukung. Kawa- san konservasi diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perekonomian dae- rah melalui pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Pada dasarnya pemba- ngunan daerah adalah upaya memanfaatkan sumberdaya yang ada di daerah bagi kemajuan perekonomian daerah khususnya dan negara pada umumnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mekanisme harmonisasi berkaitan dengan pengelolaan wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan ka- wasan TNKpS dapat melalui 3 tiga pilar, yaitu: 1 Kerjasama, berupa pengembangan kerjasama antar instansi terkait dalam pe- ngelolaan wilayah Kepulauan Seribu, dengan melibatkan juga berbagai stake- holder yang berkepentingan, seperti Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya terutama untuk data penelitian ber- kaitan dengan sumberdaya dalam wilayah dan kawasan TNKpS. Pengemba- ngan kerjasama dengan pihak swasta merupakan salah satu solusi untuk pelak- sanaan program-program yang berkaitan dengan pembangunan sektor usaha dan merupakan sumber dana untuk menunjang pembangunan di berbagai bidang. Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan bentuk kerjasama ini dengan berperan aktif untuk menfasilitasi terwujudnya kerjasama antara pe- merintah dan swasta dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dalam kawasan TNKpS, sehingga dapat pembangunan berkelanjutan dapat terwujud. 2 Koordinasi, dibutuhkan dalam rangka untuk memadukan tujuan dan kegiatan dari setiap unit-unit kerja. Hal tersebut dapat dilakukan melalui tataran struk- tural dan fungsional. Pada tataran struktural yang dibagi atas struktur vertikal yaitu dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian pada Dinas Provinsi dan Suku dinas pada tingkat Kabupaten Administrasi. Struktur horizontal yaitu pada tingkat kementerian yang terkait dengan pengelolaan suatu kawasan kon- servasi atau taman nasional seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Perikanan dan Kementerian Pariwisata, atau pada tingkat daerah administrasi yaitu Suku Dinas dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA adapun mekanismenya dimulai dari tahap perencanaan, rencana, implementasi, penga- wasan dan evaluasi terhadap kawasan yang akan dikelola. Mekanisme har- monisasi pada tataran fungsional meliputi bidang perencanaan yaitu pada 1. perencana yang akan menyusun perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan; 2 pengelolaan, yaitu pemberian Izin Pengelolaan Perairan Pe- sisir IP-3 kepada perseorangan, badan hukum dan masyarakat adat UU No. 272007 pasal 18 yang menurut pasal 21 ayat 1 memenuhi persyaratan tek- nis, administratif dan operasional, dan ayat 2 persyaratan yang meliputi, a. kesesuaian dengan rencana zona danatau rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, b. hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatan, c. pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil, 3 pengawasanpengendalian, yaitu pada pengendalian dampak lingkungan, penyuluh kehutanan, pengawas perikanan dan lainnya. 3 Konsultasi, merupakan bagian penting yang menjadi sumber masukan bagi pengelola dalam merumuskan rangkaian program yang akan direncanakan me- lalui rangkaian berupa tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Hal yang utama dalam konsultasi bagi pemba- gunan adalah: a Konsultasi dengan pakar dalam perencanaan, dimana salah satu contoh adalah konsultasi dengan pakar pemetaaan dari Badan Informasi Geospasial dalam kaitannya dengan rencana tata ruang wilayah, dimana peta merupakan suatu model yang baik dalam menjelaskan Rencana Tata Ruang Wilayah secara spasial yang fungsinya sebagai dasar dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang dalam wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, b Konsultasi publik, merupakan proses yang dilakukan oleh eksekutif atau oleh pemerintah dengan melibatkan warga masyarakat dalam merumuskan kebijakan-kebijakan maupun peraturan yang akan berdampak terhadap masyarakat. Peran serta masyarakat dan stake- holder lainnya dalam memberikan masukan kepada pemerintah akan memba- ngun hubungan dua arah antara semua pihak yang berkepentingan dalam me- wujudkan pembangunan suatu wilayah, Hal ini telah diatur sesuai Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan pasal 53 yang menjamin hak masyarakat untuk memberikan masu- kan baik secara lisan maupun tulisan. Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2011 pasal 17 dijelaskan bahwa dalam penyusunan zonasi atau blok pengelo- laan dilakukan oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA atau KPA serta pemerintah provinsi danatau pemerintah kabupatenkota, dan c Konsultasi dengan legislatif, di- mana salah satu fungsinya adalah fungsi penetapan anggaran bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD. Adapun konsultasi ini berupa penjabaran materi program-program kerja operasional di bidang pembangunan dengan berdasarkan pada analisis kebutuhan akan pro- gram sesuai kondisi di lapangan.

5.4.2. Harmonisasi dalam pengelolaan

Permasalahan yang diselaraskan melalui program yang dicanangkan oleh BTNKpS melalui RPTN 1999-2030 adalah Daerah Pelindungan LautArea Per- lindungan Laut DPLAPL yang diinisiasi oleh pemerintah daerah. Keseluruhan DPLAPL berjumlah 5 yang diinisiasi oleh pemerintah daerah dan 3 diantaranya terletak dalam kawasan taman nasional, hal ini terjadi karena tumpang tindih kebi- jakan antar instansi yang berujung pada konflik kepentingan antara pihak pengel- ola dan pemerintah setempat. Harmonisasi antara kepentingan kedua belah pihak dapat dilakukan dengan berpedoman pada target yang ingin dicapai oleh pengel- ola TNKpS yaitu kegiatan pengembangan konservasi spesis dan genetik, yang salah satunya adalah peningkatan tutupan terumbu karang sebesar 10 dari tahun 2009, yang diselaraskan dengan kebijakan pemerintah daerah berkaitan dengan pengaturan pola ruang perairanpesisir, yaitu Kawasan Daerah Pelindungan Laut yang bertujuan untuk mempertahankan populasi ikan dan menjaga keanekaraga- man sumberdaya hayati dari eksploitasi manusia, sehingga tetap lestari. Dilain sisi DPLAPL dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari, sehingga wisata- wan tidak perlu untuk memasuki kawasan ataupun zonasi peruntukan lainnya dan kegiatan rehabilitasi serta program transplantasi karang terus dilaksanakan untuk saling mendukung kepentingan bersama. Pengelolaan secara terpadu dari kawasan konservasi pada dasarnya meru- pakan keterpaduan pengelolaan ekologi kawasan pelestarian alam, sosial, eko- nomi dan kelembagaan. Dengan demikian, pengelolaan terpadu pada hakikatnya merupakan pengelolaan berbagai komponen yang berpengaruh, baik di dalam maupun di luar kawasan. Hal ini didasari dengan memperhatikan keterkaitan antar komponen tersebut, sehingga terwujud suatu kesatuan yang terpadu, serasi,dan harmonis, yang mengarah kepada tercapainya tujuan pembangunan bagi kese- jahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Walaupun di tengah keterba- tasan sumberdaya alam maupun manusia dan pendanaan, strategi manajemen diu- tamakan pada pemenuhan kepentingan dan tujuan masyarakat di TNKpS agar da- pat tercapai, dengan demikian tujuan konservasi juga berhasil. Harmonisasi pengelolaan terumbu karang aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan dapat dilakukan dengan penyusunan rencana secara bersama dalam rangka pemanfaatan sumberdaya di kawasan taman nasional dengan tujuan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam kawasan agar berkelanjutan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam rencana bersama ada- lah pemanfaatan berdasarkan zonasi yang telah ditetapkan yang kemudian disela- raskan dengan rencana tata ruang pemerintah daerah. Pemanfaatan tersebut me- liputi, pengembangan wisata bahari, perikanan dan budidaya dengan harapan agar dapat meningkatkan pendapatan dan lebih menggerakan roda ekonomi dalam ka- wasan. Harmonisasi idealnya dimulai semenjak masih dalam tahap perencanaan akan tetapi dalam permasalahan di wilayah kawasan TNKpS harmonisasi dapat dilakukan pada taraf kebijakan sektoral pemerintah daerah dan RPTN pengelola TNKpS dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu utara dan kawasan taman nasional. Berkaitan dengan kebijakan terhadap kegiatan budidaya ikan di zona pemanfaatan wisata dapat merujuk pada pasal 178 ayat 1 Perda Nomor 1 Tahun 2012 yang berbunyi” Pemanfaatan ruang perairan atau pesisir sebagai kawasan pariwisata laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat 2 huruf a, keseluruhan areal pesisirperairan laut di seluruh wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, kecuali di Zona Inti dan Zona Perlin- dungan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut” dan diselaraskan dengan Program Evaluasi Pengelo- laan Zonasi dalam RPTN BTNKpS yaitu “…..Petak peruntukan pemanfaatan akan diutamakan di zona pemukiman, dan sebagian di zona pemanfaatan. Luas kawa- san yang dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana pariwisata alam maksimum 10 sepuluh perseratus dari luas zona pemanfaatan taman nasio- nal…...”. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan oleh investorstakeholder dengan mengajukan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam IPPA kepada pihak Balai TNKpS. Adapun pemberian IPPA ini tujuannya agar pemanfaatan ruang di zona pemukiman dan pemanfaatan dapat sesuai dengan kepentingan konservasi tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah dan sesuai dengan pasal 50 ayat 1 PP No. 68 Tahun 1998 yang menyatakan : Zona Pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. pariwisata alam dan rekreasi; b. peneli- tian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; c. pendidikan; dan atau d. kegiatan penunjang budidaya. Pada tataran kebijakan antara pemerintah daerah dan pihak pengelola ta- man nasional dapat dilakukan melalui penyamaan persepsi berkaitan dengan pe- manfaatan kawasan taman nasional dengan berpedoman pada tujuan bersama dalam pemanfaatan wilayah yang sama. Pemerintah daerah menekankan pada pembangunan kawasan untuk masyarakat, dilain sisi pengelola kawasan mene- kankan pada konservasi terhadap sumberdaya yang ada untuk kepentingan masyarakat juga secara umum. Berdasarkan kesamaan tujuan tersebut dapat dikembangkan dalam bentuk kerjasama yang lebih komprehensif dan konstruktif. Demikian dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang pada dasarnya atas dasar pertimbangan ekologis dan jangka panjang. Disebabkan secara ekonomis, dapat menimbulkan pertentangan dengan kebutuhan ekonomi jangka pendek masyarakat, maka melalui pengaturan kebijakan anggaran oleh pemerintah dalam bentuk subsidi didasarkan pada pasal 34 UU No. 5 Tahun 1990 dan pasal 35 PP No. 68 tahun 1998, yang menyatakan bahwa tanggung jawab un- tuk mengelola adalah pemerintah, untuk itu melihat perkembangan yang terakhir, tampaknya harus ada kemauan politik atau inisiatif dari pemerintah ataupun pe- merintah daerah untuk memberikan subsidi dalam situasi sulitnya mendapatkan material selain dari batu karang. Alternatif lain adalah Pemerintah Daerah dan pihak Balai TNKpS bekerja sama dengan perusahaan yang beroperasi diwilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu melalui program Corporate Social Re- sponsibility CSR untuk mengalokasikan dana bagi pengadaan material batu.

5.5. Analisis Keberlanjutan

Keberlanjutan pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu di lakukan dengan pendekatan Multidimensional Scaling MDS dengan menggunakan 4 di- mensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan. Susilo 2003 menyimpulkan bahwa secara umum 4 dimensi sudah dapat digunakan untuk memprediksi dimensi keberlanjutan. Ditambahkan juga bahwa dimensi ekologi adalah dimensi kunci karena arahan pembangunan berke- lanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk generasi yang akan datang. Adapun dimensi teknologi dalam penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana penggunaan teknologi diterapkan oleh nelayan di Kepulauan Seribu, berkaitan dengan hasil wawancara dengan ne- layan bahwa lokasi penangkapan ikan yang semakin jauh. Semua dimensi yang digunakan dalam analisis ini menjadi faktor utama yang berkaitan secara langsung dengan keberlanjutan pengelolaan kawasan kon- servasi atau kawasan taman nasional. Penentuan nilai skor setiap atribut mengacu pada data sekunder dan data primer yang tersedia atau kondisi dilapangan berkai- tan dengan pemanfaatan sumberdaya di kawasan konservasi Kepulauan Seribu, sehingga dapat menggambarkan keberlanjutan dari dimensi tersebut. Mengacu pada penentuan skor yang dikembangkan oleh Susilo 2003 yang menggunakan terminologi “buruk” terhadap situasi yang kurang menguntungkan dari sudut ke- berlanjutan pengelolaan dan “baik” berkaitan dengan keadaan yang menguntung- kan bagi keberlanjutan. Selanjutanya di antara dua nilai ekstrem terdapat satu adat lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat setiap atribut. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi adalah berkisar 0-100 , untuk nilai indeks terletak antara 0-25 adalah tidak berkelanjutan, 25.01-50 adalah kurang berkelanjutan, 50.01-75 adalah cukup berkelanjutan dan 75.01-100 adalah berkelanjutan. Berdasarkan studi literatur, pengamatan lapangan dan konsultasi dengan pakar maka atribut-atribut setiap dimensi dapat ditentukan. Atribut dalam setiap dimensi di ukur secara kualitatif dan kuantitatif, dan di analisis menggunakan software Rapfish yang disebut Rap-CSM Rapid Assessment for Coral and Sand Mining . Di dasarkan pada hasil pengamatan di lapangan maka dimensi dan atribut-atribut ditentukan sesuai kondisi yang terjadi saat ini dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu di sajikan pada lampiran 15. Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis menggunakan RAP-CSM pada enam atribut dimensi ekologi yang di tunjukkan pada gambar 20, diperoleh nilai indeks keberlanjutan 43.21 , maka berdasarkan nilai skoring indeks berkelanjutan berada pada posisi kurang berkelanjutan untuk pengelolaan saat ini. Namun, atribut-atribut yang mempenga- ruhi nilai indeks keberlanjutan harus di pertahankan untuk kemudian ditingkatkan lagi melalui program pengelolaan, sementara atribut yang mengidentifikasi dapat menurunkan nilai indeks keberlanjutan harus di upayakan solusi yang tepat dalam menanganinya. Adapun keenam atribut ekologi yang mempunyai dampak terhadap keber- lanjutan pengelolaan di kawasan TNKpS terdiri dari: 1 Persentase penutupan karang; 2 Persentase penutupan mangrove; 3 Persentase penutupan lamun; 4 Tingkat eksploitasi karang masif; 5 Tingkat eksploitasi pasir, dan 6 Ket- ersediaan air. Selanjutnya untuk mengetahui atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan konstribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi, maka diteruskan dengan melakukan analisis leverage. 43.21 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Keberlanjutan Ekologi Gambar 20. Status keberlanjutan dimensi ekologi Hasil analisis leverage menunjukan bahwa dari enam atribut ekologi yang di nilai Gambar 21, terdapat empat atribut yang berpengaruh yaitu : 2 Persen- tase penutupan mangrove; 3 Persentase penutupan lamun dan 5 Tingkat ek-