Karakteristik Biofisik KONDISI UMUM KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 angka 5 yang menyatakan bahwa Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indo- nesia NKRI dan angka 7, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang peme- rintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Sebagai daerah otonom Propinsi DKI Jakarta membuat dasar acuan rencana pengelolaan wilayah dan operasional den- gan menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW 2030 yang merupakan rencana tata ruang Propinsi DKI Jakarta yang terdiri dari rencana tata ruang propinsi, rencana tata ruang kabupaten administrasi dan kota administrasi. Dasar hukum RTRW 2030 adalah Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Ke- cil. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah da- lam yuridiksi Propinsi DKI Jakarta, dimana kawasan TNKpS termasuk dalam wi- layahnya. Pemerintah Propinsi DKI memberikan kewenangan terbatas pada Peme- rintah Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu yang dibentuk berdasarkan Pe- raturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001, untuk mengelola kawasan Kepulauan Seribu yang didalamnya terdapat kawasan TNKpS. Aspek kelestarian lingkun- gan seperti yang tercantum dalam undang-undang nomor 34 tahun 1999 tentang pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara republik Indonesia yang menyatakan bahwa peningkatan status Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administrasi dimaksudkan untuk meningkatkan pengelolaan kepulauan seribu dalam segala aspek antara lain kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam, ekonomi, kesejahteraan rakyat dan sosial budaya. Kebijakan pengelolaan wilayah didasarkan pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Peme- rintah Propinsi DKI yang dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sebe- lumnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Kewenan- gan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom pada pasal 3 ayat 5 2 dalam bidang kelautan meliputi: a Penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Propinsi, b Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan Propinsi, c Konservasi dan pen- gelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka perikanan di wilayah laut ke- wenangan Propinsi, d Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan Propinsi, e Pengawasan pe- manfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan Propinsi. Berdasarkan undang-undang tersebut maka kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah kemudian di jabarkan dalam bentuk rencana strategis tata ruang. Kemu- dian sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU nomor 32 tahun 2004 pasal 18 ayat 1 huruf a yang menyatakan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Di lain pihak, pengelola taman nasional yaitu Balai Taman Nasional Ke- pulauan Seribu berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Kon- servasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, pasal 4 menyatakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewa- jiban Pemerintah serta masyarakat. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 34 ayat 1 Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilak- sanakan oleh pemerintah, serta pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam pen- jelasannya dinyatakan bahwa pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam merupakan kewajiban dari pemerintah sebagai konsekuensi penguasaan oleh negara atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Un- dang-Undang Dasar 1945 . Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990 merupakan sa- lah satu bentuk pengejawantahan tugas dan tanggung jawab Kementerian Kehu- tanan dalam melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi. Selanjutnya penge- lolaan Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185Kpts-IV1997 membentuk Unit Pelaksana Teknis UPT Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu BTNKpS. Organisasi pengelo- la TNKpS diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03Menhut- II2007 tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis taman nasional. Dasar kebijakan pengelolaan taman nasional oleh Balai TNKpS adalah Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN 1999-2019 sebagai acuan penyusunan ren- cana pengelolaan jangka pendek 1 tahun, jangka menengah 5 tahun dan ren- cana operasional lainnya atau merupakan dasar dari kebijakan pengelolaan kawa- san konservasi. Perbedaan pendekatan ataupun kebijakan yang didasarkan pada undang- undang yang jadi pedoman antara Pemerintah PropinsiKabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan pengelola kawasan TNKpS justru tidak jarang saling ber- benturan, dengan adanya tuntutan dan perkembangan pembangunan di kawasan Kepulauan Seribu berimplikasi pada implementasi program dan capaian target pembangunan kawasan. Implementasi dari undang-undang yang menjadi dasar kebijakan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kawasan taman nasional yang kemudian menjadi konflik dalam pemanfaatan ruang di kawasan TNKpS sehu- bungan dengan kewenangan masing-masing. Pengelola kawasan TNKpS dalam mengantisipasi perkembangan dan penanganan permasalahan yang terjadi, telah melakukan review terhadap RPTN dengan mempertimbangkan aturan dan kebi- jakan pengelolaan kawasan konservasi, keberadaan dan aktifitas masyarakat, ke- butuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kepulauan Seribu, serta sinkro- nisasi tuntutan dan perkembangan pembangunan wilayah Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu. Salah satu yang menjadi konflik adalah masalah zonasi, pemerintah kabu- paten belum sepakat dengan batas zonasi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan melalui Surat Keputusan No. SK. 05IV-KK2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan wisata, dan zona pemukiman. Pemerintah kabupaten tidak mempermasalahkan penetapan batas pada ketiga zona inti dalam kawasan, namun batas zona lainnya yang masih belum disepakati sehingga hal ini berdampak terjadinya konflik pemanfaatan kawasan oleh stakeholder lain dengan pihak pengelola TNKpS seperti beroperasinya PT. Fega Marikultur di Pu- lau Jukung luas total keramba 21.600 m 2 dan PT. Phobia di Pulau Kayu Angin Genteng luas total keramba 5.916 m 2 yang bergerak dalam bidang usaha budi- daya ikan di zona pemanfaatan wisata Lampiran 2. Pihak pengelola kawasan TNKpS berargumentasi kedua perusahaan tersebut tidak mempunyai ijin berope- rasi dari pihaknya selaku pengelola dan kegiatan kedua perusahaan itu dianggap perambahan kawasan. PT. Fega Marikultura berpedoman pada rekomendasi dan ijin yang diberikan pemerintah daerah yang dalam pemberian rekomendasi dan ijin berpedoman pada UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 18 yang urutannya me- nyatakan bahwa 1 Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, 3 Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 me- liputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta da- lam pertahanan kedaulatan negara. 4 kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut adalah paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 13 se- pertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupatenkota. Pihak pengelola BTNKpS berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 26 yang menyatakan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian; b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pasal 27 yaitu pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilaku- kan dengan tetap menjaga kelestarianfungsi kawasan, dan pasal 33 ayat 3 setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Demikian juga Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang No- mor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 18 ayat 1 pemerintah menga- tur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, 2 penga- turan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, seba- gaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk kepentingan pembudidayaan ikan, 3 pelaksanaan tata peman- faatan air dan lahan pembudidayaan ikan dilakukan oleh pemerintah daerah. Pa- da prinsipnya kegiatan budidaya yang dilakukan dalam zona pemanfaatan wisata bertentangan dengan tujuan peruntukannya. Di lain sisi Pemerintah Kabupaten menghadapi dilema menghadapi kenyataan bahwa salah satu tugas dan fungsinya adalah membuka peluang dan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, karena dengan adanya investor dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal. Ber- dasarkan asas legalitas pengembangan usaha PT. Fega Marikultura seluas 2.370 Hektar dari permohonan 5.000 hektar untuk areal budidaya yang dilakukan mela- lui proses dan berdasarkan izin Gubernur atau Bupatiwalikota adalah legal, na- mun berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerin- tah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Peme- rintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota, ren- cana pengembangan tersebut adalah illegal. Pemanfaatan kawasan perairan oleh pemerintah daerah berbasis demogra- fi dan aktifitas ekonomi, yaitu jumlah penduduk yang cukup besar dalam kawa- san taman nasional dan sebagaian besar mata pencahariannya adalah nelayan, maka pemerintah daerah menerapkan kebijakan dengan penekanan pada peman- faatan kawasan perairan dalam wilayah kabupaten untuk kegiatan dan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan sektor perikanan dan pariwisata untuk mening- katkan pendapatan masyarakat. Hal ini bertolak belakang dengan pihak BTNKpS yang berbasis zonasi dalam pemanfaatan kawasan perairan dengan membagi ka- wasan dalam TNKpS dalam beberapa zonasi sesuai dengan fungsi dan peruntu- kannya, yaitu zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata, dan Zona Permukiman. Kebijakan pemanfaatan pulau kecil daratan dalam kawasan taman na- sional yang merupakan domain dari pemerintah daerah ditujukan untuk pengem- bangan bagi kepentingan ekonomi, yaitu untuk tempat peristirahatan dan resort untuk menunjang kegiatan pariwisata maupun kegiatan ekonomi. Demikian den- gan keberadaan pulau-pulau kecil dalam kawasan taman nasional sekalipun bu- kan merupakan kewenangan dari BTNKpS, namun dapat mempengaruhi pengelo- laan kawasan. Salah satu masalah yang terjadi sebelumnya adalah pengelola di Pulau Sepa Kecil melakukan perluasan dermaganya tanpa melalui prosedur peri- jinan kepada pihak BTNKpS, yang melihat kegiatan tersebut dapat mengubah bentang alam karena melakukan pengerukan pasir dan merusak terumbu karang di pulau tersebut. Perbedaan lainnya adalah dalam pengelolaan terumbu karang, pemerintah daerah melalui beberapa peraturan daerah Perda yang antara lain adalah, Perda Kotapraja Jakarta Raya nomor 7 tahun 1962, Perda nomor 11 tahun 1992, dan Perda nomor 8 tahun 2007 yang pada intinya melarang pengambilan atau penam- bangan batu karang di wilayah pesisir dan pulau-pulau dalam wilayah yuridiksi Propinsi DKI Jakarta. Perda Nomor 11 Tahun 1992 pasal 42 menyatakan: untuk perlindungan lingkungan Kepulauan Seribu dilarang melakukan kegiatan sebagai berikut: huruf a. mengambil pasir, batu karang dan kerikil dari Kepulauan Seribu; kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum, pasal 16 ayat 2 secara jelas menyatakan bahwa setiap orang atau badan dilarang mengambil pasir laut dan terumbu karang yang dapat merusak kelestarian lingkungan biota laut di perairan bebas. Namun, dalam implementasinya di lapangan seperti pengawasan dan tindakan hukum tidak efektif serta terkesan adanya pembiaran, hal ini bisa terjadi karena hanya instrumen peraturannya yang disediakan, akan tetapi pokok permasalahan tidak dikaji secara mendalam untuk mendapatkan solusinya. Peraturan daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang 2030 secara tersirat masalah penambangan karang belum menjadi masalah yang dianggap dapat merusak lingkungan. Pada pasal 6 ayat 7 di jelaskan bahwa un- tuk mewujudkan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ber- kelanjutan, ditetapkan kebijakan : huruf c penataan dan peningkatan kualitas lingkungan pada pulau-pulau permukiman yang ada, dan untuk melaksanakan penataan dan peningkatan tersebut dijelaskan dalam pasal 13 ayat 3 strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 7 hu- ruf c, meliputi: a menata dan mengembangkan pulau permukiman melalui rek- lamasi di pulau permukiman padat; sementara pada pasal 186 dijelaskan bahwa penambangan atau pengambilan pasir laut dilarang berdasarkan undang-undang. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang menjadi pedoman kebijakan dan implementasi program pemerintah daerah mengindikasikan bahwa penambangan batu karang belum menjadi salah satu prioritas untuk ditangani. Hubungan pasal 6, pasal 13 ayat 3, dan pasal 186 sudah menjelaskan bahwa reklamasi bisa dila- kukan di pulau pemukiman padat atas seijin Gubernur DKI Jakarta, sementara material untuk reklamasi tidak tersedia selain dari batu karang yang berada dalam kawasan. Sebaliknya dalam Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN, kebijakan dalam pengaturan Pola Ruang PerairanPesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu salah satu kategori peruntukan, yaitu Kawasan Pertambangan Pasir dinyatakan bahwa penambangan atau pengambilan pasir laut hanya diper- kenankan secara sangat terbatas untuk keperluan pembangunan rumah tinggal warga setempat, pengurugan pantai, perluasan dan atau pembentukan kembali pulau-pulau yang terabrasi dengan cara yang ramah lingkungan, tidak merusak ekosistem dan terumbu karang. Namun, masalah yang terus terjadi dalam penge- lolaan saat ini adalah masih terjadi pengambilan biota laut yang dilindungi dan karang alam, serta pengambilan pasir dan batu karang untuk bangunan. Pengaturan tata ruang wilayah Kepulauan Seribu pemerintah daerah ber- basis pada pemanfaatan, seperti pemanfaatan gugusan pulau untuk pengemban- gan pariwisata, pemanfaatan wilayah perairan untuk kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya biota laut, dan pemanfaatan ruang untuk memelihara dan pen- gawetan jenis flora maupun fauna serta kegiatan pemanfaatan lainnya. Sementara BTNKpS menerapkan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan taman nasional sesuai yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1990. Sistem zonasi terkadang berbenturan dengan pola pemanfaatan yang dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pendekatan terhadap masyarakat yang mendiami kawasan taman nasional oleh pemerintah daerah dilakukan seperti pada masyarakat yang mendiami luar kawasan, tidak dilakukan dengan pendekatan khusus berkaitan keberadaannya sebagai kawasan konservasi dengan membangun partisipasi publik yang lebih luas melalui penyuluhan dan pendidikan. Di sisi lain pihak BTNKpS dalam pen- gelolaan kawasan tidak mempunyai kewajiban mengakomodir masyarakat, na- mun memperhatikan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan Kehutanan, yang di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan KSA dan KPA, pengelolaan taman nasional harus didasarkan pada proses partisipasi pub-