Agroforestry Community Based Forest Management (CBFM) Contribution to Farmer’s Household Income. A Case Study In Sukasari Village, Pulosari Sub District, Pandeglang Regency, Banten Province (RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten)

Model pengembangan lingkungan yang diusulkan oleh Cruz dan Vergara 1987 dalam Khairida 2002 menunjukkan peran agroforestry dalam perlindungan dan rehabilitasi lahan – lahan kritis di pegunungan. Pada model ini agroforestry dikembangkan melalui pemberdayaan faktor sumberdaya alam dengan lingkungan unruk mendapatkan manfaat langsung berupa perlindungan dan rehabilitasi lahan dan manfaat jangka panjang berupa peningkatan produksi dan perbaikan gizi atau kesehatan. Model usahatani disarankan oleh Sugianto 1991 dalam Khairida 2002 bahwa sistem agroforestry dikembangkan melalui pendekatan usahatani, dimana petani menentukan atau memilih teknologi agroforestry yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Model bisnis agroforestry menurut Sugianto 1991 dalam Khairida 2002 dikembangkan dengan pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam pemasaran hasil –hasil kegiatan agroforestry. Dalam model ini agroforestry hanya merupakan bagiansubsistem dari sistem keseluruhan yang meliputi pemberian input, proses, pasca panen, dan pemasaran.

2.6. Kemitraan

Menurut Hudyastuti 1994 kemitraan merupakan prinsip kerjasama yang perlu ditumbuhkembangkan sehingga tercipta interaksi dinamis serta partisipasi yang proporsional dari ketiga pelaku pembangunan lingkungan hidup yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota-anggotanya melalui komunikasi. Kemitraan akan terwujud apabila berbagai orientasi dari semua sub sistem dapat dikoordinasikan, disalurkan dan difokuskan. Kondisi ini akan mempertajam identifikasi permasalahan yang dihadapi, serta mendukung pilihan terhadap jawaban permasalahan diikuti strategi yang akan ditempuh. Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktivitas dari usahanya atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan maximum social benefit, terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka panjang.

2.7. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM

Menurut Verhagen 1976 dalam Kartasubrata 1986 , LSM merupakan pihak yang membantu masyarakat desa untuk menemukan cara dan alat dalam rangka menyatukan sumberdaya mereka. Selain itu, LSM juga bisa mengidentifikasi kegiatan – kegiatan ekonomi yang bermanfaat, berguna dan memiliki masa depan untuk mengembangkan sistem manajemen dan kepemimpinan yang bertanggungjawab dan juga membantu mengelola dana – dana bantuan yang diperoleh masyarakat dengan cara melakukan pencatatan – pencatatan terhadap penerimaan dan pengeluaran dana tersebut. Hal ini memungkinkan LSM bisa berada di posisi yang lebih baik dibandingkan dengan badan – badan pemerintah untuk membangkitkan peranserta masyarakat dan mendukung inisiatif pada tatanan masyarakat. Masing – masing LSM memiliki komitmen yang berbeda terhadap pembangunan jangka panjang dan pengembangan organisasi-organisasi swadaya, khususnya di antara kelompok – kelompok masyarakat yang secara ekonomis lebih lemah. Tujuan utama LSM adalah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi penduduk sasaran dengan cara memberikan dukungan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat.

2.8. Kelompok Tani Hutan KTH

Definisi KTH menurut Perhutani 1991 adalah perkumpulan orang yang tinggal di sekitar hutan yang menyatukan diri dalam usaha – usaha di bidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya dan ikut serta melestarikan hutan dengan prinsip kerja dari, oleh dan untuk anggota. Suharjito 1994 menyatakan bahwa pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Tujuan pembentukan KTH adalah untuk melancarkan komunikasi dua arah antara pihak penggarap dan pihak Perhutani. Kedua, karena sasaran program adalah anggota masyarakat yang berlahan sempit dan petani tidak berlahan, maka adanya kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar penggarap : modal, tenaga kerja, informasi dan pemasaran hasil. Penggarap berlahan luas dapat mengelola lahannya secara efisien. Mereka mampu meningkatkan produktivitasnya melalui input – input teknologi yang membutuhkan modal seperti pengolahan tanah, pupuk, pengairan, sedangkan petani berlahan sempit tidak mampu menanggung biaya sendiri untuk masukan teknologi tersebut. Dengan cara berkelompok petani sempit dapat meningkatkan efisiensi dalam hal modal, tenaga kerja, dan informasi, serta lebih efektif melakukan kontrol sosial Wong, 1979 dalam Suharjito, 1994 . Mulyana 2001 menyatakan kriteria pemilihan petani sebagai KTH adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan dan pengetahuan lokal. Keempat dimensi tersebut sangat erat kaitannya dengan sumberdaya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya ia menyatakan pembentukan KTH adalah sebagai berikut : 1. Pembentukan kelompok 2. Penguatan kelembagaan 3. Penyuluhan 4. Insentif Perhutani 1991 menjelaskan bahwa KTH sebagai perkumpulan orang di sekitar hutan mempunyai tujuan : 1. Membina dan mengembangkan usaha di bidang proses produksi, pengelolaan dan pemasaran hasil usaha. 2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota. 3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perum Perhutani. 4. Memberikan pelayanan atau menyalurkan kepada anggota yang menyangkut kebutuhan usaha produktif, misalnya dalam hal usahatani, yaitu pupuk, insektisida dan alat-alat pertanian.