Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan

yang melegitimasi ideologi politik Tengkorak band akan tetapi belum mengikuti perubahan pola salam satu jari. Munculnya audiens dengan identitas “abu-abu” ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam proses sosialisasi. Sementara itu, satu audiens wanita masuk dalam kategori identitas audiens yang apolitis karena ia belum melegitimasi makna simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang berimplikasi politis dan juga belum mengikuti pola salam satu jari. Dengan demikian, pemaknaan yang telah dilakukan keempat audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi yang melibatkan Tengkorak band sebagai agen sosialisasi membentuk identitas mereka yang beragam. Belum adanya keseragaman identitas audiens yang diharapkan Tengkorak band melalui sosialisasi ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata serta adanya pertentangan nilai-nilai yang sudah diinternalisasi sebelumnya dengan nilai-nilai baru yang dipenetrasi melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. 4. 4. Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa untuk mengatasi titik kritis yang dialami bidang komunikasi pembangunan akibat perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam skala global, maka bidang komunikasi pembangunan dianjurkan untuk mengalihkan perhatian pada bidang gerakan sosial baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manifestasi gerakan sosial baru yang dilakukan Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan mereka dalam proses konstruksi identitas atau sosialisasi keempat audiens telah menghasilkan identitas audiens yang beragam. Terkait dengan komunikasi partisipatif, keberagaman identitas audiens yang dihasilkan ini merupakan sebuah konsep yang akan mendorong pemberdayaan disebut oleh Rahim 2004 dengan istilah heteroglasia. Heteroglasia merupakan konsep yang menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda- beda dengan berbagai variasi ekonomi sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di tingkat nasional-lokal, makro-mikro, publik-privat, teknis-ideologis,dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut, terdapat pula berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan beragam peserta. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama akan tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan heteroglasia. Bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi, dan kelompok yang berbeda- beda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari komunikasi partisipasif. Artinya, hal ini juga menjadi problema bagi Tengkorak band bagaimana memanfaatkan keberagaman identitas audiensnya dalam menghadapi hegemoni budaya musik rock barat. Menghadapai situasi yang demikian, seperti halnya sebuah negara yang memiliki berbagai perbedaan budaya, Tengkorak band tidak memaksakan ideologi kesadaran kritis yang terdapat dalam simbol-simbol signifikan mereka. Keberagaman identitas audiens ini dipandang sebagai kekayaan budaya. Audiens dibiarkan bebas mengkonstruksi makna simbol-simbol signifikan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam konteks pendewasaan bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Dervin dan Huesca 1997 bahwa komunikasi partisipatoris sebagai “kata kerja” untuk menegaskan bahwa tidak ada teori yang final. Begitu pula dengan identitas audiens yang tidak bersifat statis, proses sosialisasi audiens atau konstruksi identitas terus berjalan mulai individu lahir sampai akhir hayat. Ia tidak berhenti dalam satu kurun waktu. Sehingga, proses pembentukan kesadaran kritis memerlukan waktu yang dialog pengetahuan yang berkelanjutan, tidak dapat tercapai dalam waktu singkat. Apa yang dilakukan Tengkorak band di dalam penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Servaes dalam White 2004 bahwa pembangunan harus berdasarkan pada inisiatif lokal dan mengandalkan pada diri sendiri, dimana setiap unit dari pembangunan akan memiliki modelnya masing-masing dan terdapat banyak jalan untuk melakukan pembangunan. Semua ini berimplikasi pada penolakan terhadap tesis modernisasi yang mengartikan pembangunan dengan implantasi rasionalitas dan nilai-nilai bisnis budaya barat. Berikut perbandingan budaya musik rock underground barat dengan budaya Tengkorak band: Matriks 11. Budaya Rock underground Barat vs Tengkorak band Rock underground Barat Tengkorak band Penggunaan minuman keras Menghindari minuman keras Memberontak dari orang tua Hormat kepada orang tua Seks bebas Menghindari seks bebas Menuntut ilmu bukan prioritas Menuntut ilmu adalah prioritas Penggunaan salam dua dan tiga jari Penggunaan salam satu jari Untuk itu, komunikasi pembangunan perlu mempertimbangkan bahwa memiliki sebuah kesadaran kritis akan keunikan nilai-nilai kultural sebagai sebuah tujuan utama dari pembangunan sama pentingnya dengan produktivitas ekonomi. Semakin kuatnya rasa identitas budaya lokal dan regional akan menyediakan sebuah basis untuk mendekonstruksi hegemoni ideologi. Bricolage simbol signifikan salam satu jari Tengkorak band yang dilegitimasi oleh dua audiensnya dalam penelitian ini merupakan bukti otentik dari kekuatan pemberdayaan dalam mendekonstruksi hegemoni nilai-nilai bisnis budaya barat serta menolak homogenisasi budaya. Servaes dalam White 2004 menambahkan bahwa model pembangunan seperti ini merupakan multiplicity model, yaitu pembangunan harus diterjemahkan terutama dalam terminologi budaya daripada terminologi ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan karena budaya merupakan arena dari perjuangan memperoleh pemberdayaan serta gerakan-gerakan pemberdayaan itu sendiri menegaskan bahwa identitas budaya yang independen merupakan inti permasalahan. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan