I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Wilkins dalam Huesca 2001 mengemukakan bahwa bidang komunikasi pembangunan menghadapi titik kritis terkait teori dan relevansi pragmatis karena
debat internal dan kritik-kritik, serta restrukturisasi eksternal politik, ekonomi, dan sistem sosial pada skala global. Debat-debat internal dan kritik-kritik
mengindikasikan, di satu sisi, bahwa bidang ini sedang dalam kondisi yang ”kacau balau”, sebaliknya, mengganggu tujuan peningkatan kondisi manusia secara materi
dan simbolik. Sesuai dengan perubahan eksternal pada sistem sosial, merupakan satu konteks menakutkan yang mempertanyakan legitimasi serta dasar pemikiran dari
usaha-usaha pengembangan ketika menunjang bentuk-bentuk baru perubahan sosial. Oleh karena itu, Huesca 2001 berargumen bahwa bidang komunikasi
pembangunan harus mengalihkan perhatian dalam rangka merespon kondisi-kondisi persistensi kehidupan di bawah standar yang mendemonstrasikan relevansi
berkelanjutan dari usaha-usaha pembangunan secara umum, terutama dengan menggambarkan
penemuan ilmu
pengetahuan gerakan
sosial baru
dan mengkombinasikannya dengan area-area yang relevan dari komunikasi partisipatori
untuk riset pembangunan. Dalam konteks komunikasi pembangunan, pemanfaatan media rakyat citizen
media merupakan satu pendekatan strategi baru yang dapat digunakan dalam proses pembangunan. Sejak jatuhnya Orde Baru, dari sekian banyak media, satu yang
mengalami perkembangan cukup signifikan dan mendapat perhatian lebih di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, adalah musik. Namun, di era globalisasi ini,
posisi musik tradisional sebagai media rakyat, sedikit banyak mulai tersaingi oleh musik populer, salah satunya musik indie survey Litbang Kompas, 932008. Musik
indie menjadi suatu perekat sosial di kalangan generasi muda, bahkan dapat disebut sebagai bentuk subkultur generasi muda kita hari ini Kompas, 452007 atau
meminjam istilah James Lull, sebagai pattern of resistance. Tidak hanya di
perkotaan, diseminasi musik indie juga meluas ke berbagai wilayah negeri ini, urban dan sub-urban.
Generasi muda dan musik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Pemuda merupakan sumber perubahan dari ”bawah” atau kalangan grassroot yang seringkali
memelopori suatu gerakan sosial, sementara itu, musik belakangan ini merupakan media yang seringkali digunakan oleh banyak anak muda dalam mengekspresikan
diri, menunjukkan identitas atau konsep diri, serta menyampaikan pesan berupa kritik sosial atau ide-ide baru survey Litbang Kompas, 3182008. Artinya, di sini
generasi muda atau musisi muda tidak hanya berpotensi menjadi pionir gerakan sosial baru, namun juga memungkinkan mereka menjadi subyek pembangunan atau agen
perubahan dalam masyarakat, setidaknya di lingkungannya maupun audiensnya. Fenomena yang mengarah pada munculnya gerakan sosial baru yang menunjang
perubahan sosial semakin kuat terlihat di kalangan generasi muda kita pasca- reformasi.
Dari sini muncul satu pertanyaan, apakah musik memiliki suatu arti? Pertanyaan yang juga menjadi judul dari tulisan John Sloboda 1998 ini, merupakan
pertanyaan umum dan menjadi inspirasi studi masa kini. Jika dalam mencari jawabannya diuji cara masyarakat memanfaatkan musik, ternyata musik sangat
berarti bagi banyak orang. Oleh karena itu, James Lull 1989 mengatakan bahwa musik populer merupakan suatu bentuk komunikasi unik dan benar-benar
berpengaruh yang layak untuk dianalisa dengan sungguh-sungguh – bukan hanya di jalanan dan pers umum, akan tetapi juga dalam karya ilmiah maupun saat di dalam
kelas. Eksplorasi terhadap “musik sebagai komunikasi” mengundang untuk menganalisis di banyak area.
Jika kita melihat dari sejarah Amerika, atmosfer perubahan sosial melibatkan musik secara langsung. Musik memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan protes
sebagai satu kesatuan, melegitimasi, bahkan membuat glamour protes rakyat sipil. Musik yang dibuat oleh para musisi ini juga menjadi suatu media untuk memperluas
pengaruh gerakan subkultur terhadap pendengar yang baru mulai membentuk opini mereka atas berbagai kontroversi. Wyatt 2003 menjelaskan, ilustrasi dari pengaruh
kuat konteks sosial politik dalam musik yang menyuarakan protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil terlihat di awal 1960-an sampai
dengan pertengahan tahun itu. Sedangkan, konteks anti perang Vietnam terlihat pada pertengahan 1960-an sampai awal 1970-an.
Bagaimana dengan Indonesia? Globalisasi musik indie di Indonesia sebenarnya sudah terlihat pada awal tahun 1990-an. Hadirnya puluhan ribu anak
muda pada pertunjukan Sepultura band, salah satu kelompok musik rock underground dari Brasil, di Jakarta pada tahun 1992, menguatkan asumsi bahwa
globalisasi musik indie telah mencapai Indonesia. Jeremy Wallach, asisten profesor pada Departemen Popular Culture di
Bowling Green University, Amerika, dalam artikel ilmiahnya pada World Literature Today September-Desember 2005 yang berjudul Underground Rock Music and
Democratization in Indonesia menyatakan keterkejutannya ketika tiba di Jakarta untuk melakukan penelitian lapang tentang musik populer dan generasi muda.
Awalnya, berasumsi bahwa pengetatan musik rock di Indonesia hanya terbatas pada kelompok-kelompok yang dipromosikan oleh industri musik global. Di balik semua
itu, justru menemukan jaringan ekstensif skala nasional dari scene di Indonesia yang didedikasikan terhadap satu genre musik yang dikenal dengan istilah underground.
Lebih jauh, Wallach mengungkapkan bahwa komunitas ini tidak hanya dilengkapi dengan penjualan musik rock underground dari berbagai penjuru dunia,
namun juga memproduksi kaset-kaset, fanzines, bersusah payah dalam melakukan latihan atau merekam hasil karya serta mengorganisir konser-konser pertunjukan
yang menampilkan band-band lokal yang memainkan lagu-lagu band asing favoritnya atau sebaliknya memainkan lagu-lagu komposisi mereka sendiri baik dalam bahasa
Inggris maupun bahasa Indonesia. Jelas sekali hal ini tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui strategi konglomerat-konglomerat media multinasional.
Beberapa band Indonesia yang sukses antara lain: Tengkorak, Step Forward, Betrayer, Sucker Head, dan Trauma Jakarta; Burger Kill, Balcony, Koil, Puppen,
Pas Bandung; Slow Death Surabaya; Eternal Madness Bali serta Death Vomit Yogyakarta. Band-band ini telah mengalami tempaan khusus dengan cara masing-
masing dan menghasilkan lagu-lagu yang secara langsung menunjukkan rasa ketakutan, emosi-emosi, serta aspirasi-aspirasi generasi muda Indonesia masa kini
Wallach, 2005. Bentuk pengakuan lain dari eksistensi band-band indie di Indonesia adalah
dengan diikutsertakannya band indie Indonesia Tengkorak band, yang telah merilis piringan hitam dan compact disc cd produksi indie label Jepang, Bloodbath
Records, dalam sebuah film dokumenter produksi Universal Music Kanada “Global Metal” yang dilakukan oleh peneliti antropologi dari Kanada, Sam Dunn, pada 2006.
Selain itu, pembuatan film dokumenter serupa juga dilakukan terhadap band yang sama oleh Amkas dkk 2007, salah satu kelompok mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Program Studi Penyiaran D3 Departemen Ilmu Komunikasi, namun dengan tema berbeda, “Metal is Not a Crime”.
Film ini bertujuan untuk menghilangkan stereotipe negatif yang melekat pada musik ini dan memberikan penjelasan kepada masyarakat umum seperti apa sebenarnya visi
dan misi generasi muda pengguna musik indie tersebut. Adalah Urban Indie Festival X Over 24-26 Agustus 2007 dan 28-29 Juni 2008
lalu yang semakin mempertegas legitimasi pergerakan musik indie di tanah air. Acara yang merupakan rangkaian kegiatan festival masyarakat urban meliputi gaya hidup,
seni rupa, kuliner, fashion, musik, dan olah raga melibatkan empat pihak, Kelompok Kompas-Gramedia, bekerjasama dengan Institut Kesenian Jakarta, Masima Radio
Prambors dan PT Jaya Ancol, Jakarta. Salah satu tujuannya adalah mengangkat potret komunitas dan musik indie di
Indonesia. Bahkan, sejak pertengahan Maret sampai dengan Agustus 2007, Kompas sengaja menyediakan kolom khusus yang mengulas segala hal menyangkut budaya
dan problematik indie tersebut sebagai bentuk sosialisasi sekaligus transmisi budaya kepada masyarakat. Dalam tulisannya, Kompas mengakui bahwa musik masih
menjadi “perhatian utama” dan “ujung tombak” dari berbagai kegiatan yang berorientasi pada budaya indie tersebut.
1. 2. Masalah Penelitian