3. Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol-simbol Signifikan Tengkorak band

materi dan tidak ada seorang audiens pun yang berinteraksi secara akurat dengan agen sosialisasi yang sama pula. Selain itu, perbedaan aspek sosiodemografik jenis kelamin, usia, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa, agama, pekerjaan, ideologi, dan kepemilikan media, aspek psikologis emosi dan kebutuhan, dan aspek karakteristik perilaku nilai dan norma serta mobilitas sosial di antara satu audiens dengan yang lainnya juga secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses sosialisasi yang menghasilkan keberagaman identitas audiens Tengkorak band. Artinya proses konstruksi identitas audiens yang berlangsung dalam masa sosialisasi sekunder ini tidak semudah pada masa sosialisasi primer. Dalam masa sosialisasi sekunder, konstruksi identitas audiens tidak berlangsung dalam kondisi yang nihil, namun di dalam audiens sudah terbentuk sebuah dunia beserta nilai-nilai yang dibawa pada masa sosialisasi primer. Sehingga, untuk menghasilkan audiens dengan identitas kesadaran kritis memerlukan strategi yang tepat dan waktu yang lama. 4. 3. 4. Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol-simbol Signifikan Tengkorak band Tengkorak band merupakan sebuah kelompok musik yang memainkan jenis musik rock underground. Menurut James Lull 1989, musik jenis ini termasuk dalam kategori musik oppositional subculture. Hal ini disebabkan karena ideologi bermusik Tengkorak band tidak mementingkan masalah finansial serta memanfaatkan industri lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur yang dinyatakan dalam ruang publik melalui simbol-simbol signifikan yang bersifat politis. Simbol-simbol signifikan yang dihasilkan oleh Tengkorak band disebut sebagai manifestasi dari gerakan sosial baru yang memiliki potensi terjadinya difusi ideologi di antara mereka dengan audiensnya. Musik Tengkorak band yang berirama cepat, lirik yang eksplisit dan kritis yang mengangkat tema kritik sosial dimana mayoritas anak muda tidak berani menyuarakannya serta sikap personil yang bersahabat menjadi daya tarik sebagian generasi muda yang memiliki kegelisahan terhadap situasi sosial sehingga membuat Tengkorak band memiliki audiens yang cukup banyak di Indonesia. Audiens Tengkorak band adalah individu-individu yang memperlihatkan selera musik mereka terhadap musik Tengkorak band. Keempat subyek penelitian menunjukkan keterlibatan mereka terhadap musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Berger 1990 mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses interaksi individu dengan lingkungannya dimulai dari momen eksternalisasi penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural, objektivasi interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi proses dimana individu mengindentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Menurut peneliti, empat audiens Tengkorak band yang menjadi subyek penelitian ini membentuk identitas dengan melakukan pemaknaan terhadap simbol- simbol signifikan yang terdapat pada budaya musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Pada awalnya, keempat audiens mulai mengenal Tengkorak band pada masa sosialisasi sekunder. Mereka mengalami eksposur dan menyukai musik Tengkorak band pada saat berinteraksi dengan peer group yang dekat dengan lingkungan sehari-hari. Kemudian, audiens mulai mengekspresikan kekaguman dengan mengumpulkan kaset, cd, t-shirt, menghadiri konser yang sesuai dengan selera mereka. Setelah itu, mereka mulai mengintegrasikan nilai-nilai yang ada ke dalam substansi kehidupan sehari-hari dan berusaha menjadi identik dengan Tengkorak band. Berbeda dengan apa yang teori Berger jelaskan sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band tidak hanya terbentuk oleh teman sebaya yang berfungsi sebagai significant others mereka, akan tetapi di dalam proses konstruksi identitas ini juga melibatkan media massa seperti yang dinyatakan oleh Bungin 2007. Audiens Tengkorak band melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang tersedia di media massa majalah underground serta cover kaset dan cd, media format kecil stiker dan pamflet serta media lini bawah t-shirt dan stiker. Menurut Laswell 1964, salah satu fungsi media massa adalah mentransmisikan nilai dan kultur dari satu generasi ke generasi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media massa, media format kecil dan media lini bawah, secara tidak langsung ikut memperkuat konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Salah satu temuan peneliti menunjukkan bahwa audiens Tengkorak band banyak melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan gaya berpakaian melalui media cover kaset, cd, dan majalah underground. Audiens Tengkorak memaknai gaya berpakaian Tengkorak band sebagai gaya berpakaian yang sederhana, apa adanya, namun kritis. Gaya ini kemudian menjadi identitas audiens Tengkorak band yang dapat dilihat secara kasat mata. Menurut Barnard 1996, di dalam gaya berbusana terdapat muatan budaya dan ideologi. Melalui gaya yang sederhana dan kritis, karena ilustrasi yang terdapat di dalamnya menunjukkan sikap politis Tengkorak band, audiens Tengkorak mengekspresikan ideologinya sebagai individu- individu yang berpikiran kritis. Individu-individu ini menampilkan gaya berpakaian tersebut dengan tujuan menunjukkan identitasnya kepada orang lain dan gaya yang demikian itu membuat mereka merasa sebagai bagian dari audiens Tengkorak band yang tersebar di berbagai wilayah meskipun tidak saling mengenal. Simbol signifikan Tengkorak band berikutnya yang berpotensi menimbulkan terjadinya difusi ideologi adalah ilustrasi yang terdapat pada cover kaset, cd, dan t- shirt produksi Tengkorak band. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens melakukan pemaknaan terhadap ilustrasi tersebut secara beragam. Pada satu sisi, Gomes dan Aja melakukan pemaknaan bahwa ilustrasi merupakan ekspresi pemikiran dari Tengkorak band, sehingga keduanya menjadikan ilustrasi sebagai bagian dari identitas diri mereka sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Di sisi lain, Andy dan Trias memberi makna bahwa ilustrasi tersebut tidak memiliki implikasi yang mendalam. Lagu-lagu Tengkorak band yang memiliki beat yang enerjik dan lirik yang kritis juga menjadi salah satu simbol signifikan yang dimaknai oleh audiens Tengkorak band dalam membentuk cara pandang terhadap dunia. Menurut Lull 1989 jelas bahwa lirik dan beat sebuah lagu tidak dapat dipisahkan, keduanya memiliki dampak yang mendalam. Beat lagu dipandang sebagai suatu media untuk mengirimkan lirik masuk jauh ke dalam pikiran audiensnya secara ritmik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens Tengkorak band memiliki lagu kesukaan yang beragam dan dimaknai secara beragam pula oleh mereka. Bagi ketiga subyek penelitian pria, lirik lagu-lagu Tengkorak band yang mereka sukai memberi kontribusi dalam membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, terutama dalam menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan Israel. Sehingga, tiga subyek penelitian berpotensi untuk menjadi audiens yang berpikiran kritis seperti yang diharapkan Tengkorak band. Akan tetapi, satu-satunya audiens wanita mengaku lebih menikmati beat lagu Tengkorak band daripada memperhatikan isi liriknya. Ia memaknai beat tersebut sebagai sebuah reduksi ketegangan atau hiburan semata yang mampu menaikkan situasi mood-nya. Baginya lirik-lirik politis yang ditulis Tengkorak band belum dapat mengkonstruksi identitas dirinya sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Dengan demikian, temuan peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua kategori audiens dalam Tengkorak band yaitu mereka yang memanfaatkan lirik dan beat dan mereka yang hanya lebih mengutamakan beat saja. Kategori audiens Tengkorak band yang pertama memiliki kecenderungan untuk menjadi identitas audiens yang berpikir kritis sedangkan kategori kedua lebih mengarah pada identitas audiens yang apolitis. Simbol signifikan Tengkorak band lainnya yang peneliti temukan selama pengamatan lapang adalah orasi vokalis Tengkorak band. Orasi yang menggambarkan isi lagu dilakukan pada saat berinteraksi dengan audiens ketika sedang konser. Komunikasi antara vokalis dengan audiensnya pada saat konser ini memperkuat pemaknaan yang dilakukan audiens terhadap pesan yang terkandung dalam isi lagu Tengkorak band. Sehingga, dapat dikatakan bahwa orasi vokalis tersebut juga berperan memberikan acuan di dalam proses konstruksi identitas audiens tengkorak band. Temuan peneliti menunjukkan bahwa tiga audiens pria memiliki pemaknaan yang sama sedangkan satu audiens wanita menyatakan keraguannya dalam melegitimasi makna yang terdapat dalam orasi vokalis Tengkorak band. Gejala ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara isi orasi vokalis Tengkorak band dengan nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya pada audiens tersebut. Aktivitas slamming merupakan sebuah simbol signifikan yang peneliti temukan sering terlihat pada saat Tengkorak band melakukan pertunjukan. Pada dasarnya simbol ini bukan hasil produksi Tengkorak band, melainkan produksi budaya musik rock underground pada umumnya. Menurut Lull 1989 aktifitas slamming merupakan simbolisasi kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan kelas di antara kedua pihak yang berinteraksi atau hilangnya jarak baik fisik maupun psikis antara musisi dan audiensnya. Berbeda dengan Lull, dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa tiga audiens pria memaknai aktifitas slamming ini sebagai bentuk pelepasan emosi mereka serta apresiasi mereka terhadap band idolanya. Melalui aktifitas ini audiens juga berusaha menunjukkan identitas mereka sebagai penggemar Tengkorak band. Sementara itu, satu orang audiens wanita tidak melakukan aktifitas tersebut karena aktifitas tersebut tidak sesuai jika dilakukan oleh seorang wanita. Simbol signifikan yang paling akhir muncul di dalam tubuh Tengkorak band adalah salam satu jari. Simbol ini muncul di awal tahun 2010, namun sangat membantu audiens Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas mereka sebagai audiens yang kritis. Simbol salam satu jari berpotensi menjadi refensi simbol yang membangkitkan kesadaran mereka agar tetap ingat kepada sang pencipta serta belajar memahami kontradiksi sosial dan berpikir kritis terhadap budaya musik rock underground yang lebih identik dengan nilai-nilai negatif seperti yang disebut dalam Lull 1989 yaitu memberontak dari orang tua, menggunakan narkoba, dan radikalisasi penampilan. Hadirnya simbol salam satu jari dengan nilai dan gaya yang meninggalkan budaya mapan musik rock underground membuktikan bahwa ideologi Tengkorak band menjadi kekuatan untuk menggeser posisi salam metal dua dan tiga jari dalam konteks yang tepat. Dari temuan peneliti, keempat audiens memaknai salam satu jari secara beragam. Dua audiens melegitimasi makna tersebut dengan mulai mengubah pola salam sebagai bentuk konvergensi ideologi mereka dengan Tengkorak band. Sedangkan dua audiens lainnya masih tetap bertahan dengan pola salam budaya musik rock underground lama. Satu audiens pria tidak mengubah pola salam lebih disebabkan oleh karena distribusi pengetahuan yang tidak merata seperti yang dikatakan oleh Berger 1990. Sementara itu, satu audiens wanita belum melegitimasi salam satu jari karena memiliki kecenderungan adanya konflik intrapersonal. Widgery dalam Hamidi 2007 menyebut konflik intrapersonal tersebut dengan istilah disonansi kognitif, yaitu suatu ketegangan keadaan psikologis yang terjadi, sehingga seseorang menjadi sadar akan adanya hubungan yang tidak serasi antara kognisi-kognisinya, perasaan-perasaannya, nilai-nilainya, dan perilaku- perilakunya. Sejumlah audiens yang tergabung dalam komunitas salam satu jari bekerja sama dengan personil Tengkorak band memanfaatkan media jejaring sosial di internet dengan membuka akun facebook untuk Tengkorak band yaitu “Tengkorak The Greatest Indonesian Metal Legend” untuk menyebarluaskan informasi terkini serta berinteraksi dengan audiens lainnya di berbagai wilayah. Melalui media ini, komunikasi antara Tengkorak band dan 33.176 audiensnya dapat tetap terjaga. Umumnya, para audiens mengakses facebook Tengkorak band ini untuk mengetahui karya-karya terbaru, jadwal pertunjukan, kehidupan personil, serta mengajukan berbagai pertanyaan mulai dari visi-misi Tengkorak band sampai dengan dukungan terhadap Tengkorak band. Pada dasarnya, Tengkorak band yang diharapkan identitas audiens adalah anak muda yang berpenampilan sederhana, sesuai dengan norma-norma budaya lokal dan berpikiran kritis. Ideologi ini berusaha ditularkan kepada audiens Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan yang diproduksi oleh para personil Tengkorak band seperti lagu-lagu beserta liriknya, ilustrasi pada cover kaset, cd, dan t-shirt, orasi vokalis pada saat pertunjukan serta salam satu jari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua audiens berusaha membangun identitasnya sesuai dengan ideologi Tengkorak band, namun hanya dua audiens pria yang telah melakukan identifikasi dirinya dengan Tengkorak band. Kedua audiens ini adalah individu- individu yang telah masuk dalam kategori audiens berpikiran kritis dengan mengikuti perubahan pola dari salam tiga dan dua jari menjadi salam satu jari yang diproduksi Tengkorak band setahun yang lalu. Sedangkan satu audiens pria masuk dalam kategori identitas audiens “abu-abu”. Kategori identitas “abu-abu” ini adalah individu yang melegitimasi ideologi politik Tengkorak band akan tetapi belum mengikuti perubahan pola salam satu jari. Munculnya audiens dengan identitas “abu-abu” ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam proses sosialisasi. Sementara itu, satu audiens wanita masuk dalam kategori identitas audiens yang apolitis karena ia belum melegitimasi makna simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang berimplikasi politis dan juga belum mengikuti pola salam satu jari. Dengan demikian, pemaknaan yang telah dilakukan keempat audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi yang melibatkan Tengkorak band sebagai agen sosialisasi membentuk identitas mereka yang beragam. Belum adanya keseragaman identitas audiens yang diharapkan Tengkorak band melalui sosialisasi ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata serta adanya pertentangan nilai-nilai yang sudah diinternalisasi sebelumnya dengan nilai-nilai baru yang dipenetrasi melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. 4. 4. Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan