3. Musik Subkultur sebagai Gerakan Sosial Baru Pattern of Resistance

menyatakan sebuah “realitas yang permanen” karena dampaknya atas hubungan- hubungan sosial yang tidak mudah dipahami Huesca, 2001. c. Gerakan sosial baru ini tidak terlalu berorientasi pada tujuan instrumen material namun lebih kepada konstruksi identitas serta makna-makna yang mengarah kepada perilaku kolektif Huesca, 2001. Namun, orientasi identitas gerakan- gerakan sosial baru telah dikonseptualisasikan dengan sangat beragam oleh para ahli. Satu kelompok menganggap identitas formasi sebagai kategori statis yang secara teoritis beroperasi menggantikan ideologi. Sedangkan yang lainnya, memberi istilah “experienced conciousness,” “interactional accomplishment,” and “identity frames,” berbagai konseptualisasi identitas ini memfokuskan pada ekspresi simbolik diri, bersifat antagonis, bersekutu atau beraliansi, dan audiens- audiens sebagai sebagai basis dalam menginterpretasi aksi sosial. Meski terdapat suatu pernyataan akan pentingnya peran dari proses interaksional dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas, berbagai analisis dari orientasi ini cenderung memfokuskan pada “skema interpretif” atau produk-produk akhir, yang mendahului dan mengarahkan pada aksi-aksi berikutnya. 2. 2. 3. Musik Subkultur sebagai Gerakan Sosial Baru Pattern of Resistance Musik atau lagu dapat didefinisikan sebagai organisasi atau susunan suara atau bebunyian Irwin, 1982, dan merupakan sebuah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi Ensiklopedi, 1990. Diambil dari nama dewa Yunani yang memimpin seni dan ilmu, musik berasal dari kata mousike. Menurut James Lull 1989, musik merupakan suatu rangkaian pemikiran- pemikiran dan perasaan-perasaan yang mengekspresikan arti pada sebuah sikap yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia. Hal tersebut merupakan sintesis yang dikenal secara universal dari hakikat dan gaya eksistensi kita – suatu perpaduan antara pribadi, sosial, dan pemahaman budaya yang tidak dipusingkan oleh berbagai bentuk komunikasi lainnya. Selain itu, musik juga mempromosikan pengalaman- pengalaman ekstrem bagi para pencipta dan pendengarnya, membuat emosional, keberhasilan, mudah terluka, perayaan, dan hentakan irama antagonisme-antagonisme kehidupan yang menghipnotis, yang dapat dialami seseorang secara pribadi atau pun dengan orang lain. Sementara itu, Guevara 2005 mengemukakan bahwa musik lebih dari sekadar obyek hiburan semata, akan tetapi musik juga menjadi sebuah perangkat penting yang memengaruhi sikap kita dan juga sebagai referensi dasar dari konstruksi dan ekspresi dari pemikiran “siapa diri kita”. Lebih jauh, Redana 2007 menambahkan bahwa musik jelas seperti bahasa: suatu artikulasi rangkaian bunyi yang kemudian bermakna lebih dari bunyi. Musik mengungkapkan sesuatu, baik politis dan bisa juga manusiawi. Meski demikian, apa pun bunyi yang dihasilkan dan maknanya, musik berasal dan berada di dalam kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat. William dalam Lull 1989 menjelaskan if a culture is a particular way of life, then a subculture is an alternative particular way of life that contrasts with the mainstream culture. Oleh karena itu, Blacking dalam Lull 1989 berasumsi bahwa music is not a language that describes the way society seems to be, but a methaporical expression of feelings associated with the way society really is. Dengan demikian, kedua pendapat tersebut secara tegas menyatakan dikotomi pemikiran musik sebagai realitas obyektif dan subyektif, serta kategori musik mainstream dan subkultur. Menurut Lull 1989, musik subkultur dibedakan menjadi dua tipe utama. Kategori pertama adalah “aesthetic subculture” atau taste culture, yaitu kategori yang terdiri dari berbagai musisi dan audiens yang menciptakan serta mengapresiasi musik yang berbeda dari genre-genre musik populer dalam hal style-nya saja. Jazz, klasik, dan beragam musik etnik misalnya saja: salsa, polka, flamenco termasuk dalam kategori ini. Musik kategori ini tidak bersifat politis, namun lebih merayakan bentuk-bentuk alternatif atau irama-irama yang jarang diputar di radio karena limited commercial appeal. Oleh karena itu, musisi dan pendengarnya tidak memiliki ketertarikan akan isu-isu politis. Sebagian besar musik kategori ini berada di wilayah periphery budaya mainstream. Kategori yang kedua dari musik subkultur adalah “oppositional subculture”. Dari sisi sejarahnya, banyak musik subkultur yang bernuansa politis ini berasal dari kelompok-kelompok tertindas yang seringkali didefinisikan pada seluruh lapisan sosial-ekonomi. Musisi kadang kala menciptakan musik tidak sesuai dengan parameter budaya industri. Oleh karena itu, ideologi bisnis musik dalam beberapa manifestasinya tidak semata-mata mewakili pemikiran umum. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya ketegangan antara kekuatan konvensional dan kekuatan resistensi dalam produksi pop culture. Kekuatan konvensional ini dianggap sebagai pattern of control, dimana ideologi-ideologi dominan konservatif, keamanan, atau “status quo” cara berpikir mengenai politik, ekonomi, sosial, dan isu-isu budaya yang umum serta cara melakukan bisnis yang menunjukkan karakterisasi aktivitas dari industri-industri rekaman dan radio dinyatakan dalam manufaktur dan promosi musik populer Lull, 1989. Sebaliknya, berlawanan dengan apa yang disebut aktivitas pattern of control, adalah pattern of resistance. Pattern of resistance ini tidak terlalu mementingkan masalah finansial, para musisi memanfaatkan industri lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur, sesekali dengan implikasi mendalam. Dengan kata lain, musik sebagai aktivitas pattern of resistance, merupakan kategori kedua dari musik subkultur yaitu “oppositional subculture” Denisoff dan Peterson, 1972. Musik subkultur ini memiliki tujuan kesenangan yang lebih besar dengan mendengarkan suara-suara alternatif. Ini adalah musik subgroups yang menentang praktik-praktik dan institusi sosial tertentu. Terdapat konvergensi ideologi antara musisi dan audiensnya. Musik subkultur oposisi menegaskan posisi politik yang ada pada pencipta serta pendengarnya. Selain itu, musik subkultur ini melegitimasi ideologi-ideologi sosial-politik serta gerakan-gerakan dengan memperkuat nilai-nilai dan aksi-aksi alternatif yang dinyatakan dalam ruang publik sehingga secara tidak langsung juga menciptakan peluang difusi suatu ideologi alternatif. Informasi biasanya didistribusikan melalui musik hasil rekaman kaset atau compact disc serta pertunjukan langsung. Dua contoh yang jelas dalam masyarakat barat kontemporer adalah punk dan Rastafarians Lull, 1989. Oleh karena itu, dari perspektif ini, musik mencoba untuk: 1. Mendapatkan atau membangun dukungan untuk gerakannya. 2. Menguatkan struktur nilai individu yang mendukung gerakan ini. 3. Menciptakan kohesi, solidaritas, dan moril untuk anggota gerakan ini. 4. Merekrut individu ke dalam suatu gerakan tertentu. 5. Membuat solusi bagi suatu masalah sosial dengan aksinya. 6. Menggambarkan masalah sosial, di dalam terminologi emosional. 7. Membagi para pendukungnya dari dunia di sekitar mereka fungsi esoteric- eksoteric. 8. Menetralkan keputusasaan dalam pembaharuan sosial, ketika harapan untuk berubah tidak dapat diwujudkan. Berdasarkan hal tersebut, Lull 1989 menyimpulkan bahwa musik memberi kontribusi pada konstruksi personal, sosial, dan kehidupan kultural pendengarnya pada lokasi yang variatif rumah, tempat kerja, lokasi konser, dengan kelompok orang yang berbeda teman dan jutaan orang lainnya, melalui berbagai macam teknis merekam, melalui radio, penampilan langsung serta pada berbagai level volume. Sehingga, dapat dikatakan bahwa musik merupakan suatu bentuk manjur dari ekspresi manusia yang dapat memobilisasi hati dan pikiran. Musik hasil rekaman adalah sebagai kekuatan sosial, yang berarti musik mampu mengumpulkan kekuatan, menghasilkan perubahan, dan juga sebagai refleksi dari perubahan nilai-nilai Vivian, 1999. Dengan demikian, hal ini juga menunjukkan bahwa musik oppositional subculture pattern of resistance sebagai ekspresi simbolik diri dapat dikatakan sebagai manifestasi dari gerakan sosial baru ketika “kode-kode informasi atau simbol-simbol signifikan” yang ada di dalamnya mampu mempengaruhi serta memobilisasi pikiran dan perilaku audiensnya. Sebab, selain merupakan lokus aksi, pikiran individu adalah letak kekuatan gerakan sosial baru.

2. 3. Simbol sebagai Bentuk Pesan