3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens 3. 1. Biografi Tengkorak band

Pengaruh internasional melalui musik bukan fenomena saat ini saja, begitu pula dengan globalisasi musik rock undergound di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah Indonesia akan munculnya imperialisme budaya modern melalui musik tersebut pada dasarnya telah direfleksikan melalui pidato Presiden Sukarno tahun 1959 dan larangan terhadap pertunjukan musik rock underground dari pemerintah Orde Baru pada tahun 1993. Jika homogenisasi ini terjadi akibat globalisasi budaya musik rock underground, sebuah ”identitas anak muda rock underground internasional” akan muncul. Selain itu, homogenisasi budaya ini dikhawatirkan juga akan mengarah kepada erosi musik lokal secara gradual dan semakin melebarnya kesenjangan budaya serta sikap mereka terhadap generasi yang lebih tua. 4. 3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens 4. 3. 1. Biografi Tengkorak band Tengkorak merupakan sebuah kelompok musik band yang dibentuk pada akhir 1993 di wilayah Ciledug, Tangerang, Provinsi Banten. Lahirnya band ini berawal dari bertemunya empat anak muda yang memiliki hobi dan kesamaan visi dalam bermusik yaitu Muhammad Hariadi Nasution atau biasa dipanggil Ombat vocalist, Danang Budhiarto bassist, Haryo Radianto guitarist, dan Deni Julianto drummer. Saat itu, mereka baru saja menyelesaikan pendidikan menengah pada institusi pendidikannya masing-masing. Danang dan Haryo adalah lulusan SMAN 28 Jakarta, sedangkan Ombat dan Deny adalah keluaran SMA Islamic Village Tangerang. Hijrahnya domisili Danang dari wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ke wilayah Perumahan Taman Asri Larangan Selatan, Ciledug, Tangerang inilah yang akhirnya mempertemukan keempat anak muda tersebut. Pada awalnya mereka sepakat untuk memainkan lagu-lagu dari band asal Inggris, Napalm Death, sebagai ekspresi rasa suka keempat anak muda terhadap grup idolanya itu. Kemudian, nama Tengkorak sengaja dipilih dengan harapan agar dapat mengingatkan orang lain pada kematian, sehingga dengan mengingat kematian yang tidak dapat diprediksi kepastiannya, orang tersebut akan selalu melakukan kebaikan selama hidupnya. Band ini memiliki markas di Jalan Baru, Cipondoh Tangerang, kediaman Ombat Nasution beserta orang tuanya, H.M. Lian Nasution. Akan tetapi, krisis finansial yang terjadi di keluarga Nasution mengakibatkan mereka terpaksa menjual tempat tinggalnya. Sehingga, markas Tengkorak kemudian dialihkan ke Komplek Taman Asri Blok I3 No.14 yang merupakan kediaman orang tua Danang, yaitu F. Sunardi dan istrinya yang pensiunan seorang guru sekolah menengah pertama. Rumah ini terletak di jalan utama perumahan yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor yang melintas di depan tempat berkumpulnya para personil Tengkorak. Dengan pindahnya markas Tengkorak dari Cipondoh ke Ciledug tersebut, maka alamat korespondensi pun ditetapkan di alamat kediaman basist Tengkorak, Danang. Sejak didirikan, formasi Tengkorak telah mengalami beberapa kali pergantian. Awalnya formasi band underground ini terdiri dari empat orang, dengan formasi ini Tengkorak mengawali aksi panggung mereka lewat jalur festival di kampus Universitas Mercu Buana. Meski tidak berhasil memperoleh predikat apa pun, aksi panggung mereka cukup menarik perhatian audiens yang menyaksikan saat itu. Namun, di tahun 1994, seorang gitaris dari band Retaliator, Adam Mustofa yang akrab disapa Adhonx, ikut bergabung memperkuat posisi gitar sehingga formasi band ini pun menjadi lima orang. Dengan formasi ini, Tengkorak meneruskan perjalanannya dari satu panggung ke panggung lainnya. Selanjutnya, mereka pun mulai mencoba untuk menciptakan lagu-lagu karya mereka sendiri. Langkah awal ini dilakukan para personil Tengkorak dengan sedikit banyak meniru pola musik band asing favorit mereka yang pada masa itu sedang banyak diminati oleh anak muda akibat semakin derasnya arus globalisasi. Mulai dari suara vokal, chords gitar sampai dengan kecepatan drum lagu-lagu yang mereka ciptakan memang mengingatkan pendengarnya akan nuansa musik band grindcore asal Birmingham, Inggris, Napalm Death. Oleh karena itu, Tengkorak pun kerap dijuluki sebagai Napalm Death-nya Indonesia oleh para penggemar musik rock independen. Setahun kemudian, tepatnya 12 September 1995, personil Tengkorak band akhirnya menjejakkan kakinya ke dapur rekaman. Dengan materi lagu, bekal finansial dan pengetahuan akan dunia rekaman yang serba terbatas, mereka merekam lagu-lagu hasil karya sendiri dengan judul Primitive Jokes, Aggression, The Grave Torment, serta Bencana Moral di studio Triple M, Jakarta Pusat. Tidak lebih dari satu minggu mereka menyelesaikan proses rekaman. Selanjutnya, mereka berusaha menawarkan hasil rekaman kepada beberapa perusahaan rekaman lokal seperti Aquarius Records, Musica Records sampai Java Musikindo. Akan tetapi, setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, jawaban yang dikeluarkan pihak perusahaan rekaman tidak sesuai harapan. Artinya, untuk dapat memperoleh kontrak rekaman, Tengkorak harus menyesuaikan musiknya dengan arus bisnis mainstream industri musik. Mereka menolak untuk memproduksi lagu-lagu hasil karya Tengkorak karena dianggap tidak komersil. Perusahaan rekaman lokal lebih memberikan prioritas kepada band-band musik pop mainstream yang memenuhi selera pasar, yaitu vokal yang nyaman didengar, minimalisasi distorsi gitar, beat drum yang sudah umum serta isi lirik lagu yang berpihak pada status quo atau apolitis. Hal ini jelas tidak konvergen dengan karakter musik Tengkorak band yang merupakan representasi musik subkultur politis. Kondisi tersebut tidak mematahkan semangat personil Tengkorak band untuk coba memproduksi hasil karyanya. Tanpa melakukan kompromi dengan perusahaan rekaman, mereka justru memutuskan untuk menempuh jalur “indie label” dalam memproduksi mini album yang diberi judul It’s a Proud to Vomit Him di tahun 1995 tersebut. Tengkorak band memproduksi lagu-lagu hasil karya mereka tanpa keterlibatan perusahaan rekaman major sedikit pun. Mulai dari proses rekaman, penggandaan kaset, desain sampul album, pencetakan, promosi, distribusi sampai dengan proses penjualan, Tengkorak band melakukannya sendiri atau lebih dikenal dengan istilah do it yourself di bawah naungan label yang dibentuk oleh sang vokalis yaitu Sebelas April Record sebagai respon dari tekanan budaya dominan industri musik nasional yang mereka hadapi. Berikut penuturan vokalis Tengkorak, ON, ketika menyiasati hegemoni budaya mainstream industri musik nasional yang dihadapinya saat itu: “Gue bentuk Sebelas April Record gunanya untuk memproduksi dan mendistribusikan mini album Tengkorak. Sebab, kalo nggak begini, mana bisa gue bikin musik yang sesuai idealisme” Dengan membentuk Sebelas April Record, artinya Tengkorak band memilih strategi bermusik do it yourself atau indie label. Mereka tanggung bersama biaya rekaman atau swadana, sama halnya ketika mereka melakukan duplikasi kaset hasil rekaman. Pada awalnya, karena keterbatasan finansial, Tengkorak menggandakan mini album “It’s a Proud to Vomit Him” hanya seratus keping saja. Namun, di luar dugaan permintaan akan mini album tersebut semakin meningkat. Sehingga, sebagian kaset terpaksa diperbanyak dengan cara yang sangat tradisional, yaitu direkam dengan menggunakan tape recorder milik personilnya. Kaset kosong beserta boks- nya mereka dapatkan dengan membelinya di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Sementara itu, urusan desain dan mencetak cover kaset sang vokalis mendesainnya sendiri dibantu beberapa teman yang bersedia melakukan cetak sablon cover album tersebut secara manual tanpa menggunakan mesin cetak. Dengan demikian, predikat band independen semakin melekat di tubuh Tengkorak band. Dalam hal strategi promosi dan penjualan hasil karyanya, baik itu berupa kaset, t-shirt, sampai dengan stiker, personil Tengkorak band menciptakan sistem penjualan sendiri. Mereka tidak saja di dalam negeri, namun juga mendistribusikannya sampai ke luar negeri. Tengkorak menjualnya secara langsung direct selling pada saat mereka tampil di berbagai event atau sebaliknya melalui jalur pos mail order dan bekerja sama membentuk jaringan distribusi bersama rekan-rekan penggemar musik rock underground lain yang memiliki distribution outlet distro di berbagai kota besar dan kecil di negeri ini. Sistem jaringan distribusi ini bagi yang sudah kenal baik biasanya Tengkorak band menerapkan sistem kosinyasi atau titip jual. Sedangkan bagi yang belum dikenal baik atau yang berlokasi cukup jauh biasanya harus membayar kontan atau jual putus. Sistem jual putus ini juga berlaku pula untuk distro-distro yang ada di luar negeri sehingga distribusi hasil karya Tengkorak band juga tersebar ke berbagai negara di benua Amerika, Asia, dan Eropa. Mulai dari Malaysia, Jepang, Republik Ceko, Polandia, Spanyol sampai dengan Amerika. Namun, selain jual putus, untuk distribusi luar negeri personil Tengkorak juga melakukan sistem barter, yaitu saling bertukar merchandise seperti kaset, compact disc, atau t-shirt sebagai strategi alternatif dari sistem titip jual di luar negeri. Strategi yang dijalani ternyata berdampak positif. Secara perlahan, nama Tengkorak band mulai dikenal kalangan audiens musik rock independen tidak saja di dalam negeri namun juga di luar negeri berkat diseminasi mini album It’s a Proud to Vomit Him melalui aktivitas tukar-menukar kaset yang melibatkan penggemar musik rock independen antarnegara di dunia tape trader circuit. Di dalam negeri, Tengkorak band pun mulai sering diminta tampil dalam sebuah event, baik itu di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, sampai dengan kafe atau kelab-kelab kecil. Minimal dua kali dalam satu bulan mereka memiliki jadwal untuk tampil di venue- venue tersebut. Di luar negeri, Tengkorak ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi rock underground yang dirilis oleh label independen dari berbagai negara seperti kompilasi “Till Your Ears Bleed Compilation” yang dirilis oleh Hibernia Records Portugal, dan kompilasi “Grind the Faces of Rockstar” oleh Bloodbath Records Jepang. Akan tetapi, setelah beberapa kali tampil bersama Tengkorak di tahun 1995, Adam Mustofa terpaksa mengundurkan diri. Diterimanya gitaris Tengkorak tersebut sebagai calon pegawai negeri sipil pada Departemen Kehutanan membuatnya harus menetap di Denpasar, Bali. Sehingga, aktivitasnya sebagai gitaris Tengkorak band terpaksa ia tinggalkan. Meski demikian, dengan seorang gitaris tidak menjadi halangan bagi Tengkorak band untuk melanjutkan kiprahnya di dunia musik. Salah satu hasil yang cukup signifikan dari aktifitas tape trader adalah tertariknya Bloodbath Records, satu label independen asal Jepang, untuk merilis lagu- lagu Tengkorak band dalam format piringan hitam. Album yang dirilis pada akhir tahun 1996 itu diberi judul Dying Poor dimana Tengkorak bersanding dengan band rock underground asal Republik Ceko, Cerebral Turbulency. Dengan demikian, Tengkorak menjadi band rock underground pertama di tanah air yang merilis lagu dalam format piringan hitam dan semakin diakui eksistensinya di komunitas musik indie international. Munculnya Tengkorak, band rock underground asal Indonesia semakin membuka mata komunitas penggemar musik rock independen dan media massa independen luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Thailand, Belarusia, Spanyol, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Republik Ceko, Polandia, Belgia, Latvia, Perancis, dan Portugal. Banyak yang tidak menduga bahwa di Indonesia juga eksis sebuah band rock underground. Tengkorak pun mulai mengisi kolom interview serta review di media massa independen luar negeri tersebut. Sedangkan, munculnya profil Tengkorak band di Majalah Hai, salah satu majalah lokal yang seringkali menampilkan profil band pendatang baru, semakin meningkatkan popularitas band rock underground tersebut di dalam negeri. Publikasi media massa ini mau tidak mau pada akhirnya membuat beberapa produser major label lokal mulai memusatkan perhatiannya pada jenis musik rock underground. Salah satunya adalah produser dari Warner Musik Indonesia, Pak Handi. Dengan Anang Hermansyah dan Irfan Sembiring sebagai mediator, akhirnya keempat personil Tengkorak band dipertemukan dengan pemilik Warner Musik Indonesia di kantornya di wilayah Mangga Besar, Jakarta Utara. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa sebelum merilis album penuh, Tengkorak band akan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 terlebih dulu sebagai pilot project. Proyek ini sengaja dilakukan pihak perusahaan rekaman sebagai strategi untuk melihat sejauhmana tingkat penjualan genre musik rock underground di tanah air sebelum mereka merilis album Tengkorak band. Akhir Desember 1997, Album kompilasi yang berisikan 23 band underground dari dalam negeri dengan berbagai genre tersebut akhirnya dirilis oleh Rotorcorp, sublabel dari perusahaan rekaman Musica Records yang mengkhususkan diri pada genre musik indie mulai dari punk, hardcore sampai dengan ska. Hanya dalam waktu satu bulan angka penjualannya sudah melebihi angka 60.000 keping. Sebuah angka penjualan yang cukup mengejutkan untuk jenis musik baru yang mereka usung. Di album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu berdurasi sekitar tiga menit dengan judul “Konflik”. Lagu yang bercerita mengenai kegelisahan Tengkorak band akan menurunnya dedikasi para pelajar tanah air dalam berbakti kepada orang tuanya dimana mereka merasa lebih bangga dengan melibatkan diri dalam perkelahian antarpelajar ketimbang menuntut ilmu ini semakin mengangkat nama mereka di kalangan audiens musik rock underground. Dari angket yang dikeluarkan oleh pihak Musica Records, Tengkorak band menjadi band favorit para pembeli album kompilasi pertama musik underground tersebut. Gaya vokal menggeram yang seakan mewakili kegelisahan mereka, distorsi gitar yang meliuk- liuk serta beat drum super cepat yang memompa semangat menjadi pengantar lirik lagu “Konflik” yang ampuh untuk lebih dekat dengan audiensnya. Singkat kata, Tengkorak band sukses menembus hegemoni major label lewat warna musik grindcore dan berbagi kegelisahan bersama audiensnya. Meski berhasil merilis Metalik Klinik 1, Tengkorak band tidak lepas dari kritik sesama band rock underground lokal asal Malang, Bandung, dan Yogya. Mereka menganggap bahwa Tengkorak band telah melanggar dari norma-norma indie label yaitu dengan melakukan kerja sama merilis Metalik Klinik 1 di bawah perusahaan rekaman major atau major label sehingga band-band yang ikut berpartisipasi dalam kompilasi tersebut diboikot. Namun, para personil Tengkorak band tidak ambil pusing dengan ancaman boikot tersebut. Mereka berpendapat bahwa sebagai produk sosial, budaya indie label lokal tidak perlu mengikuti pola indie label luar negeri begitu saja, karena kondisi sosial yang dihadapi Tengkorak band berbeda dengan kondisi sosial band-band indie label asal luar negeri. Tengkorak band pun bergeming dan terus mempromosikan single “Konflik” ke berbagai stasiun radio serta media cetak di dalam negeri dengan donasi minim dari label mereka. Di saat masa promosi album kompilasi Metalik Klinik 1 bersama Rotorcop sedang berjalan, di tubuh Tengkorak band justru terjadi perubahan formasi. Mereka terpaksa menghentikan drummer lama Denny Julianto karena pola hidupnya tidak lagi sejalan dengan personil lainnya. Donnirimata, drummer band Suffering, rekan lama gitaris Tengkorak band, segera dihubungi untuk sementara waktu mengisi posisi drummer yang kosong. Setelah tampil dua kali bersama Tengkorak, Donni pun diangkat menjadi personil tetap dan tidak lagi berstatus drummer Suffering band. Selain memiliki drummer baru, Tengkorak band juga menambah seorang gitaris bernama Heilla Tanissan, mantan gitaris Trauma band, yang tinggal tidak jauh dari base camp Tengkorak band untuk mengisi posisi gitar yang sudah lama ditinggalkan oleh Adam Mustofa. Dengan demikian, setelah merilis single “Konflik” dalam album kompilasi Metalik Klinik 1, Tengkorak band memiliki formasi Ombat Nasution vocal, Danang Budhiarto bass, Haryo Radianto guitar 1, Heilla Tanissan guitar 2, dan Donnirimata drummer. Pada tahun 1998, dengan formasi tersebut Tengkorak kembali diikutsertakan oleh pihak Rotorcorp dalam lanjutan proyek album kompilasi musik indie Metalik Klinik 2. Ini dilakukan pihak Rotorcorp atas dasar hasil angket yang diedarkan sebelumnya oleh perusahaan rekaman yang menunjukkan tingginya animo audiens pembeli kaset tersebut akan lagu hasil karya Tengkorak band. Dalam album kompilasi Metalik Klinik 2 ini, Tengkorak band menyumbangkan satu single baru mereka yang diberi judul “Rusuh”. Lagu yang menggambarkan sikap represif Polri terhadap aksi unjuk rasa mahasiswa ini menuai sukses pula mengikuti jejak single terdahulu di Metalik Klinik 1. Di bulan Maret 1999, akhirnya Tengkorak band kembali masuk dapur rekaman untuk menggarap debut album mereka di Magenta Studio, Jakarta Selatan. Album yang diberi judul “Konsentrasi Massa” ini memuat 20 lagu dimana sebagian besar lagu-lagu tersebut memiliki tema kritik sosial yang merefleksikan kondisi sosial di Indonesia pada masa itu. seperti Oknum, Gawean Reget, Asap Tebal, Kemelut, Primitive Jokes, Prestasi Gila, Buruh, Propaganda, Spekulasi Bisnis, Bisnis Ejakulasi, Dosa Keluarga, Bencana Moral, dan Konsentrasi Massa. Album perdana ini dirilis dalam format kaset di bawah label Rotorcorps dan didistribusikan secara nasional melalui jaringan distribusi yag dimiliki Musica Records, sebagai label induk dari Rotorcorps. Akan tetapi, setahun lebih tampil bersama Tengkorak band mempromosikan lagu-lagu album perdana di berbagai kota mulai dari Medan, Surabaya, Jakarta sampai Lombok, Heilla Tanisan gitar 2, mengundurkan diri untuk kembali bergabung bersama band lamanya, Trauma. Musik Tengkorak band ternyata kurang sejalan dengan pola permainan yang dimiliki Heilla, sehingga ia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan rekan-rekan lamanya. Posisi Heilla sebagai gitaris 2 digantikan oleh Muhammad Taufik yang lebih akrab dipanggil dengan nama Opick, seorang mahasiswa Universitas Mercu Buana asal Palembang yang juga seorang penggemar Tengkorak band dan gitaris dari band rock underground bernama Sarcastic band. Sampai dengan Mei 1999, Tengkorak band, memiliki formasi M. Hariadi Nasution vokal, Haryo Radianto gitar 1, Muhammad Taufik gitar 2, Danang Budhiarto Bass, dan Donnirimata drum. Bersama formasi baru tersebut Tengkorak band melakukan berbagai pertunjukan di berbagai lokasi. Mereka juga kerap berlatih hampir setiap akhir pekan untuk memperbanyak materi lagu baru. Pada April 2001, Yutaka Kimura, rekan tape trader dari Bloodbath Records Jepang, menginformasikan bahwa album “Konsentrasi Massa” telah dirilis oleh label Jepang tersebut. Berbeda dengan rilisan Rotorcorp Records, album Tengkorak band versi Bloodbath Records ini dirilis dalam format compact disc dan memasukkan dua single Tengkorak dari album kompilasi Metalik Klinik 1 dan 2 sebagai bonus tracks. Oleh Bloodbath Records, album ini didistribusikan secara internasional mulai dari Jepang, Jerman, Belarusia, Republik Ceko sampai dengan Malaysia. Bulan Mei 2002, Tengkorak band kembali masuk Magenta studio bersama formasi terakhirnya untuk ikut berpartisipasi dalam proyek kompilasi yang berjudul “Tribute to Rotor”. Kompilasi ini diikuti oleh 12 band rock underground Indonesia serta 1 band asal Malaysia, Sil Khannaz. Proyek ini merupakan kerja sama antara Rotorcorps dengan Sebelas April Records untuk mengenang salah satu band pionir musik rock underground, Rotor. Di sini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu diambil dari album perdana Rotor yang berjudul “Pluit Phobia”. Di saat proses rekaman akan dimulai, Deni, drummer lama Tengkorak sempat mencoba mengisi permainan drum, namun tidak berjalan dengan baik. Sehingga, Donnirimata kembali dipercaya oleh para personil Tengkorak band untuk melakukan proses rekaman lagu “Pluit Phobia” sampai selesai. Proses rekaman lagu Pluit Phobia tersebut akhirnya berjalan lancar sesuai harapan. Begitu selesai dengan Album kompilasi “Tribute to Rotor”, para personil Tengkorak harus menghadapi dilema dalam menentukan label untuk produksi album berikutnya. Di satu sisi, Rotorcorp Records sebagai label sebelumnya dan telah berganti nama menjadi Krossover Records, tetap ingin bekerjasama dan siap merilis album Tengkorak band selanjutnya, sedangkan pada sisi lain Ombat, sang vokalis sekaligus motor penggerak dan juga pendiri sebelas April Records, ingin melakukan produksi album di bawah label miliknya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, sempat terjadi perdebatan diantara para personil Tengkorak band dalam menyikapi hal tersebut. Akan tetapi, akhirnya kelima personil sepakat untuk kembali bekerja sama dengan pihak Krossover Records hanya sampai produksi album ini saja. Selanjutnya, mereka berencana memproduksi album di bawah label Sebelas April Records. Akhirnya, pertengahan September 2002 para personil Tengkorak kembali masuk studio Magenta yang berlokasi di wilayah Pondok Pinang, Jakarta Selatan untuk menggarap album kedua Tengkorak band yang diberi judul “Darurat Sipil”. Sebanyak empat belas lagu mereka kemas di dalam album tersebut di bawah naungan label Krossover RecordHemaswaraSebelas April Records. Dua belas lagu bertempo cepat dengan tema yang merefleksikan fenomena sosial Indonesia sampai dunia, sedangkan dua lagu sisanya bertempo cenderung lambat. Untuk lebih memperkaya warna musik, Tengkorak band juga melibatkan beberapa musisi tamu yaitu Rockmor dari band rock underground Bromo serta Iwan Hassan, gitaris band rock progresif, Discuss. Rockmor mengisi backing vocal pada lagu Pemimpin Gila sedangkat Iwan Hassan mengisi harpa pada intro lagu Diskriminasi Harta. Proses rekaman sendiri berlangsung kurang dari satu minggu atau sebanyak 7 shift jadwal studio mereka habiskan untuk menyelesaikan album “Darurat Sipil”. Pada Oktober 2002, album ini pun dirilis oleh pihak label. Selain itu, album ini juga dirilis oleh Bloodbath Records Jepang dalam format compact disc pada akhir tahun 2002. Album versi compact dics ini memuat video clip Pemimpin Gila sebagai bonus track dalam format mpeg 4 serta didistribusikan ke seluruh dunia oleh pihak label. Namun demikian, di pertengahan tahun 2003, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan. Opick, yang biasanya bertugas sebagai gitaris kedua terpaksa mengundurkan diri dari posisinya. Kedua orang tuanya meminta gitaris Tengkorak band itu kembali ke Palembang, Sumatera Selatan untuk meneruskan bisnis rempah-rempah yang telah lama mereka jalani. Hal ini sempat menimbulkan polemik di Tengkorak band, dimana Ombat menginginkan Opick untuk bertahan sementara personil lainnya dengan berat hati merelakan Opick untuk kembali ke Palembang. Situasi ini menjadi dilema bagi Opick, ia pun tidak dapat mengambil keputusan. Guna mencari solusi, Ombat dan para personil lainnya segera bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk menganjurkan Opick kembali ke Palembang untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Dengan mundurnya Opick, Tengkorak band kembali memerlukan seorang gitaris lagi untuk menggantikan posisinya sebagai gitaris kedua. Namun demikian, tidak perlu menunggu lama, posisi Opick akhirnya digantikan oleh Samir, gitaris dari band rock underground asal Surabaya, Slow Death. Dalam waktu singkat, Samir mampu beradaptasi dengan lagu-lagu Tengkorak band. Panggung perdana Tengkorak band dengan gitaris baru adalah saat mereka tampil di acara peringatan 10 tahun berdirinya Tengkorak band yang digelar oleh Lian Mipro Organizer di Nirvana Café, Jakarta Selatan. Sebanyak 21 lagu mereka bawakan pada momen tersebut. Mulai dari Oknum, Primitive Joke, Rusuh, sampai Pemimpin Gila mereka bawakan. Sekitar 500 audiens lebih memadati kafe yang berlokasi di bagian bawah Hotel Maharaja, Jakarta Selatan tersebut. Selain ber-slamdancing, ada juga audiens yang memberikan kue tart beserta lilin saat Tengkorak jeda membawakan lagu-lagu. Ritual tiup lilin bersama Tengkorak band akhirnya terlaksana di atas panggung. Dengan formasi ini, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam beberapa proyek kompilasi independen yang bertema perjuangan HAM yang bertitel “Strip Hitam”. Dalam album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagunya yang berjudul Rusuh. Selain itu, mereka juga merilis mini album Lunatic Leader yang berisi empat lagu dari cikal bakal album Darurat Sipil. Pertengahan tahun 2004, perubahan formasi kembali terjadi di tubuh Tengkorak band. Setelah tampil di satu event di Gelanggang Olah Raga Bekasi, Danang Budhiarto, bassist sekaligus salah satu pendiri Tengkorak band, mengundurkan diri. Statusnya sebagai pegawai negeri pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan menuntut perhatian yang lebih. Ia memutuskan untuk lebih konsentrasi pada pekerjaannya. Sehingga, Tengkorak band untuk sementara waktu tampil minus pemain bass. Posisinya kemudian digantikan oleh Bonny Sidharta, mantan pemain bass Thrashline band. Bersama bassist baru, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi Tribute to Death, sebuah kompilasi yang berisi lagu-lagu dari band rock underground legendaris asal Amerika, Death. Mereka merekam lagu klasik dari band tersebut yang berjudul “Back from the Dead”. Album kompilasi ini diproduseri oleh sebuah label independen lokal, yaitu Amon-Ra Records. Setahun kemudian, Donnirimata, sang drummer, mengundurkan diri dari Tengkorak band. Aktivitasnya di beberapa band lain serta kesibukan bekerja di perusahaan swasta membuatnya kesulitan untuk dapat lebih fokus di Tengkorak band. Sehingga, posisinya untuk sementara digantikan oleh Roni Yuska, drummer band rock underground Bekasi, Panic Disorder. Setelah berlatih dan tampil bersama di beberapa event, akhirnya Roni diresmikan sebagai drummer tetap. Di bulan April 2005, Tengkorak band mencatat sejarah dengan menjadi grup pembuka band pionir rock underground Inggris, Napalm Death, di Pantai Festival Ancol, Jakarta Utara. Tengkorak band membawakan 10 lagu selama satu jam, mulai dari Primitive Jokes, Konsentrasi Massa, Teroris, Buruh sampai single mereka yang berjudul Konflik. Sekitar 7000 audiens musik rock underground dengan antusias menyaksikan event tersebut. Penampilan Tengkorak band saat itu tidak saja mendapat apresiasi dari audiens, namun juga para personil Napalm Death yang menyaksikan langsung dari sisi panggung. Mereka tidak menduga, bahwa Tengkorak band mempelajari jenis musik tersebut cukup detail dan memainkan musiknya di atas panggung dengan baik. Event yang bertema Grinding Indonesia 2005 ini kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band baik di khasanah musik rock dalam dan luar negeri. Inilah event besar musik rock underground pertama sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan tampil bagi grup-grup musik rock asing setelah insiden konser Metallica tahun 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Setelah Napalm Death, pada 23 september 2005 Tengkorak band kembali mendampingi Kreator, band rock underground Jerman, yang didatangkan oleh Lian Mipro Event Organizer untuk tampil di dua kota, Surabaya dan Jakarta. Namun, Tengkorak band hanya tampil di satu event sebagai grup pembuka yaitu di Kenjeran, Surabaya. Terbatasnya waktu yang diberikan, membuat Tengkorak band hanya membawakan 5 lagu di depan 1000-an audiens yang hadir di Kenjeran, Surabaya. Secara keseluruhan, event di Surabaya ini berjalan kurang berhasil karena masalah sponsor, promosi, dan lokasi yang tidak representatif. Memasuki pertengahan tahun 2006, para personil Tengkorak band kembali merekam materi-materi baru untuk album berikutnya. Dengan dana terbatas, mereka terpaksa menyelesaikan proses rekaman album baru di tiga studio berbeda. Enam lagu pertama mereka rekam di studio milik Piyu, gitaris band Padi, yang berlokasi di wilayah Cinere, Jakarta Selatan. Sedangkan materi lainnya mereka selesaikan di Bee Sound studio Condet, Jakarta Timur dan Buana Sound studio, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan proses produksi rekaman, Tengkorak band akhirnya merilis album baru di bawah naungan label independen Sebelas April Records, pada 14 Juli 2007 dengan judul Agenda Suram. Terdiri dari 20 lagu rock underground, sebagian besar lagu di album ini merefleksikan sikap Tengkorak band yang mengkritisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan kelompok Zionist Israel. Adapun lagu-lagu tersebut antara lain berjudul Jihad, Boycott Israel, United state of Asu, Zionist Exaggeration, dan Hisbullah. Sementara itu, materi lagu lainnya, menyuarakan kondisi sosial politik dalam negeri seperti, Trias Politica, Buruh, Disgusting Agenda, Celebrity Syndrome, dan lainnya. Namun, sebelum tampil sebagai pembuka Suffocation band, satu rock underground Amerika Serikat, di Ancol, Jakarta Utara, pada 12 Agustus 2007, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan pada posisi pemain bass. Bonnie, bassist yang bergabung pada Maret 2004, terpaksa mengundurkan diri karena tidak sependapat dengan sikap bermusik Tengkorak band yang militan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Zionist Israel. Ia merasa tidak nyaman lagi untuk bertahan di Tengkorak band karena tema lagu yang disuarakan oleh Tengkorak band menurutnya sama dengan cara pandang seorang teroris. Posisi Bonnie untuk sementara diambil alih oleh Opick, mantan gitaris Tengkorak. Sikap bermusik Tengkorak band yang kritis terhadap zionisme Israel ini menarik perhatian Sam Dunn, seorang antropolog Kanada, dan Scott McFadyen, produser dari Universal Music Canada. Selain telah tertarik dengan lagu Tengkorak band di album Darurat Sipil yang berjudul Destroy Zionist, mereka melihat apa yang dilakukan Tengkorak band adalah sebuah kontradiksi sosial, berbeda dengan band- band rock underground lain di Indonesia. Oleh karena itu, kedua warga Kanada tersebut rela melakukan perjalanan jauh agar dapat mewawancarai Tengkorak band secara langsung untuk sebuah film dokumenter mengenai globalisasi musik rock underground yang berjudul Global Metal. Film dokumenter ini akhirnya dirilis pada awal tahun 2008 di bawah naungan Universal Music Canada dalam format dvd. Selain itu, Universal Music Canada juga merilis cd soundtrack film Global Metal dimana satu lagu Tengkorak band yang berjudul Jihad Soldiers ikut terpilih masuk. Hasilnya, kedua produk dari Universal Music Kanada tersebut kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band di kalangan audiens musik rock underground. Setelah dvd dan cd soundtrack Global Metal beredar secara resmi, Tengkorak band kembali mengejutkan audiens musik rock underground di Indonesia. Mereka mengubah “salam metal tiga jari” yang merupakan salah satu simbol signifikan audiens musik rock underground menjadi “salam satu jari” pada saat tampil di event Urban Garage Festival 27 Maret 2010 di Rossi Music, Fatmawati Jakarta Selatan. Tengkorak band melakukan ini setelah personilnya mendapat tambahan stock of knowledge dari berbagai media massa nonmainstream serta berdiskusi dengan sesama rekan-rekan. Napalm Death tidak lagi menjadi reference group Tengkorak band. Mereka melihat adanya kontradiksi, dimana salam metal tiga jari yang terdiri dari jempol, telunjuk dan kelingking memiliki makna yang merujuk pada simbol setan dengan dua tanduknya dan anti Tuhan. Sedangkan salam satu jari, yang hanya terdiri dari jari telunjuk memiliki makna ketauhidan Allah SWT. Mulai saat itu mereka memandang musik rock underground dengan perspektif yang berbeda. Tengkorak band melihat budaya musik rock underground yang datang dari luar nusantara mengarah pada imperialisme budaya modern dan berpotensi mengambil alih nilai-nilai budaya lokal secara gradual dari pikiran audiens musik tersebut. Tengkorak band mengkhawatirkan terjadinya homogenisasi budaya anak muda internasional yang dengan mudah akan dikendalikan pola pikirnya oleh rezim pemaknaan yang berada di balik industri musik dunia. Salam satu jari sebagai simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Mulai dari audiensnya, band- band rock underground lain sampai dengan para produser musik rock independen. Sebagian dari mereka sependapat dengan salam satu jari, namun ada juga yang tidak sependapat. Wendy Putranto, wartawan majalah Rolling Stone dan pemerhati musik rock underground, tidak sependapat dengan pemikiran Tengkorak band mengenai simbol signifikan satu jari. Menurutnya salam metal tiga jari adalah simbol produksi seorang vokalis rock senior bernama Ronie James Dio. Hal yang sama diutarakan oleh Bonny Sidarta, mantan pemain bass Tengkorak band yang kini aktif bersama band rock underground Dead Squad. Bonie mengutarakan pendapatnya,“Masak tengkorak yang udah puluhan tahun main musik metal nggak tau siapa Ronie James Dio sih. Salam tiga jari bukan simbol zionis.” Sedangkan Azis, pengelola Dapurletter webzine, sebuah majalah elektronik khusus musik independen yang sudah lama eksis di kalangan rock underground, lebih memilih netral dalam memandang simbol signifikan tersebut. Ia mengemukakan,“Sebagai pihak media, selama itu masih rock underground saya tetap akan memberikan ruang di media saya dan tidak mempermasalahkan apakah itu salam satu jari atau salam metal tiga dan dua jari.” Kondisi tersebut tidak menggoyahkan Tengkorak band untuk membawa visi dan misi mereka yaitu menjadi band rock underground tanpa melupakan aspek-aspek penting dari budaya bangsa Indonesia dan mengajak audiensnya berpikir kritis terhadap pesan-pesan media massa, khususnya simbol-simbol signifikan dalam musik rock underground. Matriks 7. Perubahan identitas Tengkorak Band Kurun waktu perubahan Perubahan yang dialami Tengkorak band 1993-1995  Memandang musik sebagai hiburan dan katarsis  Membentuk formasi band 4 orang  Memainkan lagu-lagu karya band asing spesialis ND 1993-1995  Mendapat label sebagai Napalm Death-nya Indonesia  Mulai berlomba-lomba mengumpulkan dan mengenakan artefak-artefak musik rock underground impor tanpa memahami makna dari simbol- simbol signifikan yang ada di dalamnya. 1995-1998  Menyatakan diri sebagai band rock underground namun berharap mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman mainstream lokal agar dapat memiliki album rekaman  Memandang musik sebagai kompetisi  Mulai menghasilkan lagu-lagu karya sendiri dengan tema beragam  Merilis mini album melalui jalur indie label krn ditolak oleh perusahaan rekaman mainstream lokal 1998-2006  Memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan rekaman mainstream lokal, Musica Records, dengan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1  Mendapat kritik dan boikot dari komunitas rock underground di beberapa wilayah Indonesia, karena bekerja sama merilis kompilasi tersebut dengan Musica Records  Merilis album Konsentrasi Massa dan Darurat Sipil di bawah Musica 2006-2008  Menghentikan kerja sama dengan Musica Records  Merilis Album Agenda Suram di bawah Sebelas April Records  Turning point melepaskan diri dari imitator band asing  Mulai memahami realitas subyektif dari musik rock underground sehingga lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya  Menciptakan lagu Boycott Israel yang bertema resistensi terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutunya  Mulai mengenakan artefak-artefak musik rock underground lokal 2008-2009  Mengalami vakum akibat conflict of interest dalam diri personilnya 2009-2011  Memutuskan kembali aktif di dunia musik rock underground karena rasa tanggungjawab untuk mengungkapkan introyeksi gerakan zionisme lewat simbol-simbolnya dalam musik rock underground kepada audiens  Membentuk simbol baru dalam budaya rock underground yaitu salam satu jari sebagai strategi membuka pikiran audiens dan respon terhadap simbol-simbol zionisme  Tidak lagi memandang musik sebagai sebuah kompetisi Dari matriks di atas terlihat bahwa Tengkorak band telah mengalami pergeseran pola pemikiran dari penerima pasif sebuah budaya rock underground barat menjadi sebuah kelompok musik yang lebih kritis dalam menyikapi budaya tersebut. Perubahan tidak dalam waktu singkat, namun cukup lama. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa proses sosialisasi yang membentuk kesadaran kritis personil Tengkorak band juga memerlukan waktu yang panjang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu pola dimana pada awalnya Tengkorak band sebagai sebuah band rock underground mencoba untuk melakukan imitasi dengan detail terhadap musik “rock underground asing” yang menjadi role model-nya. Kemudian, setelah melewati fase imitasi tersebut, kecenderungan yang terlihat adalah Tengkorak band menggabungkan materi budaya baru tersebut ke dalam pengalaman budaya mereka sendiri daripada mencoba untuk menciptakan suatu budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini menunjukkan tumbuhnya kembali satu rasa nasionalisme dan harga diri dalam tubuh Tengkorak band, yang juga berarti menyatakan identitas budaya mereka sendiri dalam menghadapi budaya internasional. Nasionalisme dan harga diri yang tumbuh dalam tubuh Tengkorak band tidak muncul dalam waktu singkat. Kesadaran nasionalisme dan harga diri tersebut muncul pada saat sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi sistem politik pemerintahan reformasi yang lebih demokratis.

4. 3. 2. Konstruksi Realitas Simbol-simbol Signifikan Tengkorak Band