4. Musik dan Sosialisasi Generasi Muda

Oleh karena itu, Lull 1989 mengemukakan bahwa musik, sebagai agen sosialisasi dan komunikasi, mempengaruhi sosialisasi dalam dua sisi, yang pertama berkaitan dengan peran musik terhadap munculnya konsep diri atau identitas diri para audiens serta dampak isi pesan yang ditunjukkan generasi muda melalui musik populer. Dengan demikian, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa musik subkultur, sebagai kekuatan sosial, memiliki kemampuan mempengaruhi proses sosialisasi seorang individu yang menjadi audiensnya dengan membentuk konsep diri atau identitas serta melestarikan budaya subkultur itu sendiri melalui simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya. Sehingga, keterlibatan individu secara aktif dengan suatu musik, memberikan makna khusus dan meningkatkan potensinya sebagai agen sosialisasi. 2. 4. 2. Musik dan Sosialisasi Generasi Muda Individu oleh Berger dan Luckman 1990 dikatakan mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer dialami individu pada masa anak-anak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru di dalam dunia obyektif masyarakat. Oleh karena itu, dalam setiap kehidupan individu memang terdapat suatu urutan waktu, dan selama itu pula ia diimbaskan sebagai partisipan ke dalam dialektika masyarakat, eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Individu terlahir ke dunia sebagai anak-anak sudah dipenuhi oleh media, termasuk musik serta berbagai sistem yang mereproduksinya seperti radio, televisi, kaset, dan cd compact disc. Pada usia ini, tanpa disadari telah memiliki hubungan khusus dengan musik. Terbukti ketika anak-anak, di rumah maupun di tempat umum, mereka sering bernyanyi atau menari mengikuti irama musik dan terjatuh tanpa merasa sakit. Sebagian besar tidak menyadari atau kurang peduli terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang ekspresi fisik mereka yang bersifat spontan dan kreatif Lull, 1989. Meski demikian, di dalam sosialisasi primer, yang pertama kali diinternalisasi oleh individu pada masa anak-anak bukanlah musik, tetapi bahasa Berger dan Luckmann, 1990. Karena, bahasa merupakan isi dan alat yang paling penting dalam sosialisasi. Melalui bahasa seluruh dunia bisa diaktualisasikan setiap saat serta berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasikan yang pada akhirnya ada penginternalisasian perangkat legitimasi. Anak mengidentifikasi dirinya dengan anggota keluarga yang mempengaruhinya dengan berbagai cara yang emosional. Anak-anak mengalihkan peran dan sikap orang tua atau orang-orang berpengaruh significant others yang mempengaruhi mereka. Artinya, anak menginternalisasi dan menjadikan peran serta sikap orang tua sebagai sikapnya sendiri. Melalui internalisasi seperti ini, anak mampu melakukan identifikasi terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dalam sosialisasi primer inilah dunia pertama individu terbentuk. Sampai di sini, tidak ada masalah identifikasi. Dalam sosialisasi primer, orang-orang berpengaruh tidak dapat dipilih, si anak tidak memahami orang lain yang berpengaruh sebagai-fungsionaris-fungsionaris kelembagaan, tetapi semata-mata hanya sebagai perantara bagi kenyataan. Anak menginternalisasi dunia orang tua sebagai dunia satu-satunya dan tidak sebagai dunia yang termasuk dalam suatu konteks kelembagaan yang spesifik. Pada masa ini, dunia terbentuk begitu rupa sehingga menanamkan dalam diri individu suatu struktur kesadaran di mana ia dapat menaruh kepercayaan bahwa ’everythings is all right’ tidak apa-apa. Penemuan individu di belakang hari bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak ”all right” mungkin akan sangat atau tidak begitu mengejutkan, tergantung kepada kondisi biografisnya Berger dan Luckman, 1990. Pascasosialisasi primer, berarti berlalunya masa anak-anak. Chinoy 1961 dan Johnson 1961 melihat bahwa sosialisasi tidak berhenti hanya sampai ketika masa anak-anak tersebut berakhir. Sosialisasi tidak pernah total dan tidak pernah selesai. Dengan kata lain, internalisasi masyarakat, identitas, dan kenyataan ini tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas Berger dan Luckman, 1990. Sehingga, dalam hal ini individu-individu dihadapkan pada dua pilihan antara mempertahankan kenyataan yang sudah diinternalisasikan dalam sosialisasi primer atau akan terjadi lagi internalisasi-internalisasi berikutnya - atau sosialisasi sekunder - dalam biografi selanjutnya Berger dan Luckman, 1990. Pada masa transisi ini, menurut Berger dan Luckman 1990, berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabkan oleh timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada. Di sini, perkembangan usia individu menjadi seorang pemuda, menandakan suatu masa dalam kehidupan generasi muda dimana banyak perubahan terjadi. Tidak hanya fisik, namun orientasi mental dan aktivitas lifestyle juga mengalami perubahan. Pada masa ini pula, bagi sebagian besar anak muda, merupakan suatu masa yang penuh gejolak serta resistensi. Mereka mencari kesenangan serta berusaha menemukan jalan untuk menyalurkan ekspresi kreatif yang tidak mereka dapatkan baik di rumah atau pun sekolah. Keluarga dan televisi, dua entitas yang tidak terpisahkan dalam dunia barat, tidak lagi menyediakan hal-hal yang mereka cari. Kontak dengan keluarga semakin berkurang, sebaliknya terjadi peningkatan interaksi dengan peer group dan juga mobilitas dalam rutinitas sehari-hari. Selain itu, kebiasaan bermedia mereka juga berubah. Waktu menonton televisi semakin sedikit, sementara eksposur media audio meningkat drastis. Musik populer mulai masuk secara perlahan dalam kehidupan rutin kaum muda sehari-hari ketika isi lirik dan atmosfir yang dihasilkan melalui suaranya merefleksikan sebagian besar hal- hal yang menjadi perhatian mereka. Sehingga, peran orang tua dalam sosialisasi pada masa ini mulai berkurang. Terdapat suatu reorientasi umum dari kaum muda dengan menaruh hormat pada sumber-sumber informasi alternatif yang mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan. Aktivitas hubungan interpersonal baru dan media saling berinteraksi. Keluarga, sekolah, dan media massa termasuk musik, berinteraksi di dalam sosialisasi generasi muda. Adalah televisi yang menjadi bagian dalam kehidupan keluarga, sementara itu film, radio, dan terutama musik populer menjadi bagian dari kehidupan peer group. Anak muda, pada masa ini, lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, institusi yang memperkenalkan kepada mereka cara berpikir yang secara umum mendukung budaya mainstream dan sikap konvensional. Akan tetapi, pada sisi lain, sekolah juga menjadi tempat di mana terjalinnya pertemanan serta terbentuknya peer group, yang bagi sebagian anak muda perkembangan diri jauh lebih penting daripada pembelajaran formal di dalam kelas. Oleh karena itu, Roe dalam Lull 1989, berpendapat bahwa setelah keluarga, dua agen utama sosialisasi di dalam masyarakat modern adalah sekolah dan media massa. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa seluruh lingkungan pergaulan generasi muda, pada beberapa level, dipenetrasi oleh rasa ketertarikan yang tinggi terhadap musik, dimana banyak anak muda menggunakannya sebagai suatu ”pelumas sosial” dan menjadi satu hal penting yang menjadi ”wacana utama” mereka seputar bahasa serta terminologi musik rock. Selain itu, musik juga memberikan nilai-nilai inti dari beberapa subkultur kaum muda Hebdige, 1979; Roe, 1989; Lull, 1989. Generasi muda terekspose nilai-nilai yang ada dalam musik tersebut dan mengintegrasikannya ke dalam substansi kehidupan mereka sehari-hari Lull, 1989. Dengan demikian, hal tersebut menegaskan bahwa semakin sulit untuk menghindar dari suatu kesimpulan, yang hanya tinggal menunggu waktu dan menyatakan, adalah musik, bukan televisi, yang menjadi media paling penting bagi generasi muda Roe dan Lull, 1989. Terlihat jelas indikasi-indikasi bahwa anak-anak dan generasi muda tidak berhubungan dengan media atau sekolah dalam kevakuman sosial dan budaya. Pada masa ini kecenderungan menjadi anggota peer group sangat kuat. Kaum muda menginginkan teman dan menjadi bagian dari ikatan di antara sesama mereka, sehingga membatasi pengaruh orang dewasa seperti orang tua dan guru. Interaksi yang intensif ini disertai dengan fenomena yang disebut peer pressure atau tekanan teman sebaya. Peer pressure ini biasanya meliputi cara berbicara, berpakaian sampai dengan tingkah laku Hendratno, 2005. Dengan demikian, dalam hal ini menunjukkan bahwa peer group memegang peranan penting sebagai faktor mediasi antara individu-individu, kehidupan mereka di sekolah, dan media yang diidentifikasi. Sehingga, pada sosialisasi sekunder, dapat dikatakan bahwa secara umum peer group, dan khususnya subkultur anak muda, dalam hal ini berperan menjadi fungsionaris kelembagaan atau agen sosialisasi yang berpengaruh significant others terhadap kemungkinan terjadinya internalisasi kembali subdunia berlandaskan kelembagaan dan pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial yang berbeda dengan ”dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Berdasarkan fakta tersebut, Roe dalam Lull 1989 kemudian melakukan spesifikasi ulang atas perspektif teoritis ortodoks school-media relationship dengan menggabungkan peer group secara umum dan khususnya subkultur-subkultur generasi muda seperti terlihat pada gambar berikut: Spesifikasi ulang Roe tersebut, dengan menekankan peran penting peer group sebagai fungsionaris kelembagaan atau agen sosialisasi dalam sosialisasi generasi muda, berarti sejalan dengan asumsi teori hubungan sosial Suprapto, 2006. Teori tersebut menyatakan bahwa dalam menerima pesan-pesan komunikasi melalui media, orang lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa. Dengan demikian, hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media, termasuk musik, dalam proses sosialisasi generasi muda. ASPECTS OF SCHOOL EXPERIENCE INVOLVEMENT IN CERTAIN PEER GROUPS AND SUBCULTURES RATHER THAN OTHERS THE USES OF AND GRATIFICATIONS OBTAINED FROM DIFFERENT MEDIA Gambar 7. Fully Respecified Perspective on School-Media relationship Roe, 1989 which has effect upon lead to

2. 5. Kerangka Pemikiran