Perkembangan tema musik rock era permulaan sampai tema terakhir, dapat dilihat pada matriks 6 berikut ini:
Matriks 6. Perkembangan Musik Rock Era
Tema
1950-1965 Protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika
1965-1975 Anti perang Vietnam dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan
1975-1986 Kebebasan berekspresi katarsis dan hiburan
1986-2011 Resistensi terhadap intervensi pemerintah Amerika Serikat
Dari matriks di atas terlihat bahwa musik rock dari tahun ke tahun mengalami perubahan tema. Meski tidak selalu terjadi dalam kurun waktu tertentu, perubahan
tema yang disuarakan secara tidak langsung merefleksikan situasi sosial pada masa tersebut serta perasaan masyarakat dimana musik rock tersebut disuarakan. Dengan
demikian, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mayoritas terlihat resistensi masyarakat dunia mengarah kepada satu kekuatan negara adidaya yaitu Amerika
Serikat. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa musik memiliki peranan
penting dalam komunikasi antarmanusia. Sebagai manifestasi pergerakan sosial musik rock underground merupakan bentuk ekspresi manusia yang potensial dalam
memobilisasi hati dan pikiran. Musik rock underground merupakan komunikasi simbolik yang dapat menjadi tema sebuah protes tentang kondisi sosial seperti yang
terlihat pada era 1950-1965, era 1965-1975, dan era 1986-2011. Musik rock underground merupakan sebuah refleksi dan respons terhadap situasi kehidupan yang
mengkonfirmasi identitas budaya penciptanya.
4. 2. Perkembangan Musik Rock di Indonesia
Genre musik Indonesia selalu sinkretis dan menyerap pengaruh dari luar. Usaha mempribumikan musik asing dimulai jauh sebelum derasnya pembicaraan
tentang ”musik dunia” atau ”globalisasi” saat ini, dan jauh sebelum munculnya minat dalam pemasaran musik rekaman secara internasional.
Pada abad 20, perubahan dalam teknologi rekaman dan praktik pemasaran barat juga mempengaruhi pola produksi dan konsumsi musik di Indonesia. Alat
musik gramofon Columbia buatan AS diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Pada awal tahun-tahun sebelum perang, ada tiga perusahaan rekaman milik Cina di
wilayah jajahan ini, dua di Batavia dan satu di Surabaya dengan pasar kecil di kalangan elit perkotaan.
Musik populer di Indonesia mulai berkembang sejak 1950-an. Saat itu festival musik, pergelaran musik, dan misi kesenian yang mencakup musik mulai banyak
diadakan. Di tahun 1951, untuk pertama kali Radio Republik Indonesia RRI mengadakan pemilihan ”bintang radio”. Di tahun 1959 berdiri Persatuan Warga
Musik Indonesia PWMI, suatu organisasi yang bertujuan menyatukan semua tenaga musik yang masih berpencaran.
Pada 1951, sebuah perusahaan pribumi, Irama, mulai memproduksi rekaman- rekaman piringan hitam, diikuti pada oleh Remaco dan Dimita. Lokananta,
perusahaan rekaman milik negara yang didirikan di Solo tahun 1955, segera mendominasi industri rekaman dalam negeri, berkonsentrasi hampir secara eksklusif
pada musik-musik Jawa Philip Yampolsky. Lokananta: A Discography of the National Recording Company of Indonesia 1957-1985, Center for South-East Asian
Studies, University of Wiscounsin, Madison, 1987. Dominasinya berlangsung singkat, karena perubahan teknologi di tahun 1960-an mengakibatkan masuknya
perusahaan serta teknik produksi yang baru ke dalam industri ini. Pada pertengahan dasawarsa 1950-an itu berkembang jenis musik rock’n’roll
yang diperkenalkan Bill Halley and The Comets dan kemudian dipopulerkan oleh Elvis Presley. Bahkan, di Amerika Serikat, musik ini mendapatkan sorotan keras dari
para “pengawal budaya” karena dianggap mengancam nilai-nilai budaya dominan. Lewat medium piringan hitam, rock’n’roll masuk Indonesia dan menjadi populer di
kalangan anak-anak muda golongan menengah kota besar yang jumlahnya sangat terbatas. Pada 1960-an, pengaruh musik rock’n’roll diperkuat dengan masuknya
jaringan hitam kelompok-kelompok musik Inggris seperti The Shadows dan The Beatles.
Dalam perkembangan sejarah musik Indonesia belum pernah terjadi bahwa kaum muda total gandrung kepada musik asing seperti terjadi pada tahun-tahun itu.
Suatu situasi yang secara kultural-politis sangat memprihatinkan penguasa pada satu pihak, akan tetapi juga sekaligus merisaukan para orang tua dan para pejuang
kebangsaan yang sedang mencari bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah bangsa. Di satu sisi ada upaya memberi bentuk, watak, dan cara-cara baru pengucapan musik
yang dapat mencitrakan cita rasa ke-Indonesiaan. Namun, pada sisi lain, kuatnya pengaruh budaya musik bebas nilai yang datang dari luar melanda begitu kuat kaum
mudanya seperti tidak pernah dapat dibendung. Presiden Sukarno, dalam pidatonya 17 Agustus 1959 ketika memaparkan
suatu ‘manifesto politik’ atau ‘manipol’ mendesak anak-anak muda untuk melawan kebudayaan dari yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim neo-kolonialis dan
imperialisme barat: “dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang
tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di
kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih
rock’n’roll-rock’n’roll-an, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik- musikan ala ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?”.
Kritik tersebut menjadi dorongan bagi tumbuhnya musik pop Indonesia yang lebih nasionalistis. Band-band menghidupkan kembali lagu-lagu lama dengan gaya
baru. Lagu standar keroncong yan terkenal, ”Bengawan Solo”, dibawakan dalam gaya musik rock dan cara menyanyi gaya Elvis. Setelah keputusan September 1959 oleh
DPA untuk mengadopsi prinsip-prinsip manipol presiden sebagai GBHN, terjadi pelarangan atas lagu-lagu barat yang dianggap ngak-ngik-ngok. Musik rock barat
populer oleh artis-artis seperti Elvis Presley dan The Beatles dikeluarkan dari radio Pemerintah. Rekaman-rekaman musik rock dikumpulkan dan dibakar di depan
umum. Namun, kecaman resmi dari pemerintah malah mengubah rock menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas negara: album-album asing diselundupkan dan
anak-anak muda Jakarta menyetel siaran gelombang pendek dari luar negeri.
Periode tahun 1960-an banyak dianggap memunculkan musik-musik murahan yang bersifat kedaerahan atau berbau agitasi politik, serta kurang memenuhi selera
baik musik. Banyak orang tak profesional yang hanya berbekal berani tampil muncul sebagai idola-idola baru musik yang semata-mata telah menjadi pentas dunia hiburan.
Musik modern Indonesia yang sedang tumbuh semakin kehilangan basis orientasi keseniannya lalu berbalik menjadi semata-mata komoditi kesenangan yang tak jelas
arah perkembangannya dan tak jarang menjadi alat pencari kuasa politik. Di awal dasawarsa 1960-an tersebut, anak-anak dari golongan kaya, yang
mampu membeli peralatan musik seperti gitar, mulai membentuk kelompok band. Mereka ini memainkan lagu-lagu barat populer dari kelompok yang baru mereka
dengar seperti Everly Brothers atau pun irama jenis baru rock’n’roll, The Beatles dari piringan hitam yang mereka dengar. Los Suitama, Eka Djaja Combo, The
Shadow, Koes Bersaudara adalah beberapa dari yang melakukan hal ini. Menjelang pertengahan dasawarsa 1960-an, kelompok-kelompok seperti ini mulai menyanyikan
lagu sendiri yang jelas terpengaruh lagu-lagu asing yang sering mereka bawakan. Pada masa ini di berbagai kota mulai dikenal festival band.
Perubahan politik pada 1965-1966 membuka kembali pasar Indonesia bagi produk musik barat serta mendorong tumbuhnya kelompok band pop baru. Mereka
menggabungkan yang sebelumnya dilarang sebagai rock barat ke dalam lagu- lagunya. Lagu-lagu dari kelompok-kelompok rock barat seperti The Rolling Stones,
Deep Purple, maupun lagu-lagu dari kelompok Indonesia seperti Rollies serta Godbless, terus menerus diputar di stasiun-stasiun radio amatir, begitu pula d
lam pertunjukkan konser-konser rock yang digelar di kota-kota besar di Indonesia.
Penyanyi utama Rolling Stones, Mick Jagger, memiliki pengaruh yang luar biasa terutama pada band-band di Bandung. Nama, kebiasaan maupun judul lagu Rolling
Stones, telah menjadi semacam standar ”kebudayaan” kaum muda Indonesia. Politik ”pintu terbuka” membawa konsekuensi terjadinya arus penyatuan
dengan budaya populer dunia. Berbagai macam produk budaya yang berasal dari negeri-negeri kapitalis maju memasuki Indonesia. Gaya hidup kaum muda barat
masuk ke Indonesia melalui media massa, di masa itu kebanyakan majalah hiburan
menyadur tulisan dari majalah luar negeri. Majalah-majalah hiburan Indonesia mayoritas menyajikan tulisan-tulisan mengenai gaya hidup pemuda negara-negara
EropaAmerika, salah satunya adalah kaum hippies. Mereka bagian dari youth counter-culture yang menggugat kemapanan masyarakat kapitalisme industri maju
yang tidak memberikan kebahagiaan kepada mereka, sebaliknya justru bersifat menindas. Rock juga merupakan bagian dari counter-culture ini. Akan tetapi di tahun
1970-an rock mengalami masalah. Musik yang oleh para pendukungnya pada 1960- an dianggap bisa mengubah dunia menjadi lebih baik itu, di awal 1970-an mulai
terserap dalam dunia bisnis dan berubah menjadi industri hiburan. Saat rock mengalami kondisi seperti inilah, musik ini dengan segala perniknya membanjiri
Indonesia. Kaum muda perkotaan Indonesia mulai meniru gaya hidup kaum muda barat,
meski untuk alasan yang tidak sama. Anak-anak muda perkotaan mulai muncul dengan rambut panjang dengan celana jeans yang lebar di bagian bawahnya. Laki-
laki dan perempuan pun menghisap ganja dan tak jarang mempraktekkan seks bebas. Guruh Soekarnoputra misalnya, mengikuti flower generation hippies di barat, tahun
1970-an membentuk band yang dinamakan Flower Poetman yang anggotanya berambut gondrong, menyanyi dengan pakaian bunga-bunga, dan menyelipkan bunga
di telinga. Mereka kemudian juga ikut yoga dan menghisap ganja. Di tahun 1970-an, konser musik rock sangat sering diadakan di kota-kota
besar seperti Bandung, Jakarta, Medan, Malang, dan Surabaya. Menurut Sawung Jabo dan Suzan Piper, musik ini ”menggusur musik populer yang lembut dan
menggantikannya dengan lagu-lagu dari band Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple.” Keributan berupa perkelahian atau pelemparan ke atas panggung oleh
penonton yang tidak puas, banyak mewarnai pertunjukkan musik rock. Begitu pun halnya dengan minuman keras.
Musik rock dalam dasawarsa 1970-an adalah musik panggung. Frekuensi panggung musik rock pada tahun 70-an ini cukup tinggi. Pada masa ini mulai banyak
pihak yang melihat pertunjukkan musik sebagai usaha yang bisa menarik untung. Di bidang rekaman, pada awal sampai dengan medio 1970-an, para produser rekaman
tak berani menjual musik rock Indonesia. Album God Bless, Huma di Atas Bukit 1976 merupakan album rock pertama di Indonesia. Satu tahun kemudian, rock
”berhasil” masuk TVRI lewat iklan ”Mana Suka Siaran Niaga”. Sejak 1978 banyak musisi rock yang terlibat dalam musik pop yang menandai
kemunduran dalam dunia rock. Sampai mendekati pertengahan 1980-an, musik rock suasananya masih lesu, walaupun ada banyak usaha yang dilakukan anak-anak muda
penggemar rock untuk menggairahkan kembali. Kebanyakan pentas sifatnya masih seperti mayoritas pentas di tahun 1970-an, tidak diselenggarakan secara profesional
dengan pendekatan bisnis. Grup yang tampil adalah grup dari dasawarsa 1970-an yang masih bertahan seperti God Bless, Superkidd, dan grup-grup baru yang
membawakan warna musik lama maupun baru misalnya new wave-nya The Police. Di tahun 1984, tampak semacam kegairahan baru di beberapa kota digelar
kembali festival musik rock. Dalam festival ini, tampil grup-grup baru membawa warna musik heavy metal yang jenis baru yang sedang melanda dunia rock. Festival
yang sifatnya kompetitif ini berakhir dengan babak final yang diselenggarakan di Malang kota yang pernah menjadi barometer musik rock Indonesia dan Surabaya.
Festival ini diselenggarakan tiap tahun, yang semakin lama semakin besar dengan melibatkan semakin banyak grup dan kota.
Kembali populernya jenis musik rock di akhir 1980-an berkaitan dengan perkembangan di berbagai bidang lain. Di sekitar tahun 1986, di Jakarta muncul
RCTI, televisi swasta pertama di Indonesia, setahun kemudian di Surabaya berdiri SCTV. Bersaing dengan televisi negara, TVRI, televisi swasta itu menampilkan hal-
hal yang tidak ada di TVRI. Mereka pun membuat acara musik yang diambil dari videoklip musisi dunia. Hadirnya televisi swasta, memungkinkan para perekam kaset
lagu asing, yang sekarang menggandakannya dengan ijin pemegang hak ciptanya, mempromosikan kasetnya di televisi dengan cara memutar videoklipnya. Akibatnya,
audiens dapat lebih mudah mengakses atau menyaksikan musisi heavy metal seperti Europe, Extreme, Scorpions, dan sebagainya.
Pada tahun 1990-an musik rock underground berkembang dengan pesat di Indonesia yang ditandai dengan munculnya berbagai band rock underground lokal di
berbagai daerah mulai dari Jakarta Tengkorak band, Bandung Jasad band, Yogyakarta Death Vomit band, Malang Rotten Corpse, Surabaya Slow Death
sampai dengan Bali Eternal Madness. Arus musik rock underground mengalir semakin deras ke dalam negeri setelah pemerintah Indonesia menghapus paket
deregulasi November 1988 tentang kemitraan asing-lokal. Sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 yang
memungkinkan lima perusahaan rekaman transnasional yaitu Warner Music Group Amerika, Sony Music Entertainment Jepang, EMI Inggris, Universal Music
Group Perancis, dan Bertelsmann Music Group BMG, Jerman mengoperasikan bisnisnya secara penuh di Indonesia tanpa memerlukan kemitraan dengan perusahaan
rekaman lokal. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 ini tidak lepas dari regulasi tata dunia mengenai perdagangan bebas yang direkomendasikan di
Uruguay pada tahun 1994. Industri budaya ini menjadi perdebatan beberapa negara karena terdapat ketidakseimbangan perdagangan yang sangat signifikan antara
Amerika Serikat dengan negara-negara lain dalam produk budaya populer popular culture. Fakta menunjukkan bahwa industri budaya adalah area surplus ekspor
terbesar untuk Amerika Serikat Chloridiany, 2004. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sempat melarang pertunjukan band-band rock asing setelah terjadi
peristiwa kerusuhan konser pertunjukan Metallica band pada April 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mengakibatkan kerusakan parah di sekitar wilayah
tersebut. Menurut pemerintah di Jakarta, musik ini memungkinkan ekspresi spontan dari kemerdekaan yang instan dan berbahaya bagi daerah yang berbeda iklim
budayanya dengan London atau Los Angeles Christie, 2004 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai budaya di
dunia tidaklah sempit. Adanya perkembangan berbagai teknologi komunikasi serta praktik-praktik bisnis internasional menunjukkan bahwa budaya di dunia, termasuk
Indonesia, telah terpengaruh oleh ”budaya luar”. Konsekuensi dari penetrasi ”budaya luar” ini adalah terdapatnya kekhawatiran akan dampak ”flow of information” dari
negara maju, terutama Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi produk budaya, kepada negara yang masih berkembang di dunia.
Pengaruh internasional melalui musik bukan fenomena saat ini saja, begitu pula dengan globalisasi musik rock undergound di Indonesia. Kekhawatiran
pemerintah Indonesia akan munculnya imperialisme budaya modern melalui musik tersebut pada dasarnya telah direfleksikan melalui pidato Presiden Sukarno tahun
1959 dan larangan terhadap pertunjukan musik rock underground dari pemerintah Orde Baru pada tahun 1993. Jika homogenisasi ini terjadi akibat globalisasi budaya
musik rock underground, sebuah ”identitas anak muda rock underground internasional” akan muncul. Selain itu, homogenisasi budaya ini dikhawatirkan juga
akan mengarah kepada erosi musik lokal secara gradual dan semakin melebarnya kesenjangan budaya serta sikap mereka terhadap generasi yang lebih tua.
4. 3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens 4. 3. 1. Biografi Tengkorak band