Daerah Sebaran dan Produksi dan Status Stok Madidihang di
25 tahun 2009, sebanyak 80 negara di dunia melakukan kegiatan penangkapan ikan
tuna sehingga penangkapan ikan tuna telah menjadi industri perikanan yang prospektif dan berperan sebagai sumber devisa negara dan sekaligus penyedia
lapangan kerja ISSF 2009. Penyebaran ikan tuna tersebut pada umumnya mengikuti penyebaran atau
sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah yang kaya akan organisme sebagai daerah fishing ground yang
sangat baik untuk perikanan tuna. Sehingga dalam perikanan tuna pengetahuan tentang sirkulasi arus dan suhu sangat diperlukan, karena kepadatan populasi pada
suatu perairan sangat berhubungan dengan arus dan suhu tersebut Nakamura 1965.
Penyebaran tuna di perairan Samudra Hindia meliputi daerah tropis dan sub tropis, penyebaran tuna ini terus berlangsung secara teratur di Samudra Hindia
di mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah Barat Sumatera, Laut Andaman, di luar pantai
Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah Barat Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Somalia, Pantai Timur dan selatan Afrika
Jones dan Silas 1963. Sebaran tuna di Samudera Hindia menurut Lee et al. 1983 berdasarkan distribusi spatialnya yang dianalisis dari hasil tangkapan
bulanan nelayan Taiwan yang menggunakan alat tangkap long line dari tahun 1967 hingga tahun 1996 diperoleh tiga spesies tuna yang dominan, yaitu tuna
Mata Besar Thunnus obesus, Madidihang Thunnus albacores dan tuna Albacore Thunnus alalunga. Menurut Uktolseja et al. 1987, penyebaran tuna
di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Perairan Indonesia bagian Timur Laut Sulawesi,
Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar dan Samudra Pasifik perairan Utara Irian Jaya.
Madidihang merupakan spesies yang paling dominan ditangkap dari total produksi ikan tuna yang dihasilkan dari Samudera Hindia, Pada tahun 2009
produksi Madidihang yang dihasilkan adalah 281 000 ton, sementara Mata Besar dan Albacore, masing-masing 102 000 ton dan 40 500 ton. Produksi Madidihang
26 tersebut lebih rendah 11 dari hasil tangkapan pada tahun 2008 yaitu 311 910
ton. Apabila dibandingkan dengan produksi pada tahun 2004 517 000 ton, produksi pada tahun 2009 tersebut mengalami penurunan sebesar 45. Terjadinya
penurunan tersebut diduga sebagai akibat meningkatnya permasalahan keamanan di perairan Somalia yaitu aktifitas bajak laut, yang berpengaruh terhadap kegiatan
penangkapan ikan tuna. Hal ini ditunjukan dengan menurunnya kapasitas tangkap kapal-kapal tuna dari Eropa sebesar 25 dari tahun 2005-2008 dan mengalihkan
area tangkapnya dari Samudera Hindia ke tempat lain. Dugaan ini diperkuat oleh perilaku yang sama dari kapal-kapal long line dari Jepang, Taiwan dan Korea
secara bergantian kadang-kadang berpindah ke Samudera lain ISSF, 2011. Adanya indikasi penurunan produksi Madidihang di perairan Samudera
Hindia tersebut, selanjutnya pada pertemuan ke 15 Indian Organization Tuna Commission
IOTC di Colombo, Sri Langka yang dilaksanakan pada tanggal 18- 22 Maret 2011 diantaranya menetapkan bahwa status stok Madidihang telah
mengalami tangkap lebih overexploited atau mendekati tangkap lebih close overexploited
. Artinya hasil tangkapan mendekati atau melebihi dari tingkat MSY, yaitu 300 000 ton. Dengan demikian, maka untuk kepentingan pengelolaan
maka direkomendasikan untuk pengendalian tekanan dari jumlah kapal yang beroperasi terutama kapal IUU fishing Illegal Unreported and Un regulated,
transhipment oleh kapal besar, pengendalian kapal purse seine dan dirumuskan
kembali mengenai implementasi relosusi 1001 yang direkomendasikan di Busan Korea pada bulan Maret 2010 tentang sistem kriteria pembagian alokasi quota
Madidihang dan Mata Besar yang akan diimplentasikan pada tahun 2012 IOTC, 2011.
Berdasarkan pengkajian stok pada tahun 2010 revisiupdate 2009 diperoleh gambaran bahwa rasio hasil tangkapan terhadap MSY The ratio of
F
current
F
MSY
Madidihang di Samudera Hindia adalah 0.99 berarti masih mendekati masa tangkap lebih close overexploited karena berada dalam kisaran
0.85-139. Dengan demikian, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa overexploited
akan terjadi baru pada beberapa tahun yang akan datang. Pada revisi tersebut diperoleh gambaran bahwa MSY Madidihang adalah 320 000 ton,
27 produksi tahun 2009 adalah 288 000 ton, rataan produksi dari tahun 2005-2009
adalah 371 000 ton, BB
MSY
adalah 1.1 rentang 0.93-1.25. Namun demikian, informasi tentang jumlah tangkapan pada MSY dan Total Allowable Catch TAC
belum ada. Produksi tesebut diperoleh dari hasil tangkapan dengan gillnet sebesar 30, purse seine pada rumpon 18 by-cath: penyu dan hiu, long line 15 by-
catch: penyu, hiu dan burung, 12 dengan purse seine pada gerombolan ikan, dan 6 dengan menggunakan pole and line dengan by-cath yang belum diketahui
ISSF, 2011. Kondisi status stok Madidihang yang terjadi di Samudera Hindia tersebut nampaknya diacu oleh pemerintah Indonesia untuk menetapkan kondisi
stok dan estimasi kelimpahan Madidihang yang ada di wilayah pengelolaan perikanan WPP Republik Indonesia yang dituangkan dalam surat Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011. Hal ini terjadi mengingat Indonesia memiliki perairan ZEEI Samudera Hindia dengan
WPP 572 Samudera Hindia Barat Sumatera dan 573 Samudera Hindia Selatan Jawa. Kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah pengelolaan perikanan tuna
dunia dengan kode 71 FA 2007 yang tentunya tunduk pada peraturan yang dikeluarkan lembaga yang mengatur dalam pengelolaan tuna di Samudera Hindia,
yaitu IOTC, karena Indonesia merupakan anggota dari organisasi tersebut. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 454 tahun 2011 yang tertuang dalam lampiran II Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.45MEN2011 dinyatakan bahwa status
atau tingkat eksploitasi dari Madidihang tersebut telah mengalami tangkap penuh Fully-exploited. Namun yang disayangkan bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan
tidak mengacu pada produksi Madidihang yang jelas. Estimasi Madidihang hanya diperoleh dari gambaran potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP tersebut,
seperti untuk WPP 572 adalah 164 800 ton dan 201 400 ton untuk WPP 573. Padahal menurut Nikijuluw 1986, musim penangkapan tuna di suatu perairan
tidak sama dengan perairan yang lain. Hal ini ditunjukkan musim tangkap tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun, walaupun hasil yang
diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasma
28 et al
. 2008 yang melaporkan bahwa
di Samudera Hindia tertangkap empat jenis ikan tuna yaitu MadidihangYellowfin tuna Thunnus albacares, Mata BesarBigeye tuna
Thunnus obesus, Southtern Bluefin tuna Thunnus macoyii, dan Albacore Thunnus alalunga
, dimana sekitar 73 total hasil tangkapan adalah jenis tuna mata besar. Tuna mata besar, albacore, dan yellowfin tertangkap hampir sepanjang tahun, sedangkan
Southern Bluefin tuna tidak tertangkap pada saat musim timur northwest monsoon. Hal ini menunjukan bahwa kondisi status Madidihang yang ada di WPP Indonesia akan
berbeda dengan Samudera Hindia yang berada di negara lain, terutama di Samudera Hindia bagian Barat Western Indian Ocean yang telah mengalami penangkapan jenuh.
2.3. Kondisi Hydro-ocenografi Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa 2.3.1 Produktivitas Primer
Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas
primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik
dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum
dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari g Cm
2
hari atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari g Cm
3
hari Levinton 1982. Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui
dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan
Valiela 1984. Produktivitas primer perairan sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi produktivitas primer di laut
adalah cahaya, nutrien, dan suhu Valiela 1984; Parsons et al. 1984; Cloern et al.1995; Tomascik et al. 1997. Selain ketiga faktor tersebut, tingginya laju
grazing dan sinking Lehman, 1991 serta jenis fitoplankton Heyman and
Lundgren 1988 juga berperan dalam mendukung produktivitas primer perairan. Menurut Tubalawony 2007 di perairan selatan Jawa, konsentrasi klorofil-a
bulanan rata- rata sekitar 0.2 mg m
-3
sedangkan di selatan Bali-Sumbawa terjadi
29 peningkatan 75 konsentrasi 0.2
–1.5 mg m
-3
dengan daerah sebaran yang semakin meluas ke selatan. Pusat sebaran konsentrasi klorofil-a tertinggi berada di
perairan selatan Bali. Selama musim timur, sebaran klorofil-a memperlihatkan peningkatan konsentrasi di sepanjang selatan Jawa
– Sumbawa. Pada bulan Juni, di selatan Jawa. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Kasma et al. 2008 yang
melaporkan bahwa ni
lai klorofil pada daerah dengan titik koordinat 07
- 21 LS dan
107 - 121
BT adalah 0,06 mgm
3
- 0,38 mgm
3
. Koefisien relasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil r = 0.008, hal ini
berarti bahwa jumlah ikan hasil tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan. Daerah penangkapan yang potensial untuk ikan tuna mata besar,
Albakora, Madidihang, dan Southern Bluefin tuna di Samudera Hindia pada sekitar koordinat 11
– 16 LS dan 106
– 121 BT dengan rentang nilai produktivitas primer yang
sama yaitu 73 mgCm
2
day sampai 732 mgCm
2
day.