Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

161 perhatian. Kondisi kondisi hidro-oseanografi yang tidak menentu, menjadi pembatas dan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh para ABK yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia. Selain harus menghadapi tantangan faktor alam, keberhasilan penangkapan ikan tuna sangat ditentukan oleh ketangguhan, keterampilan dan pengetahuan yang memadai diberbagai bidang yang berkaitan dengan faktor alam dan biologis serta perilaku ikan tuna yang ada di perairan samudera. Dengan demikian, selain pengetahuan mengenai karakteristik alam perairan, diperlukan pengetahuan mengenai perilaku ikan tuna sebagai ikan target. Untuk mengatasi berbagai faktor penghambat atau rintangan tersebut, maka dalam industri penangkapan tuna berskala besar pendidikan formal dari ABK menjadi faktor penentu dalam keberhasilan usaha penangkapan. Pada kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci, semestinya memiliki persyaratan yang sama dengan armada penangkapan besar, karena melakukan penangkapan ikan tuna di wilayah atau fishing ground yang berada di perairan ZEEI Samudera Hindia. Selain faktor alam, kompetisi dengan kapal lain sering terjadi, terutama dengan kapal-kapal purse seine , baik kapal asal daerah atau provinsi di Indonesia, bahkan dengan kapal-kapal penangkapan yang berbendera asing selalu berkompetisi dengan nelayan Sendang Biru. Guna mengetahui status keberlanjutan dari demensi sosial, maka dalam penelitian ini dipilih enam atribut yang berkaitan dengan kondisi sebagaimana diuraikan di atas. Atribut dimensi sosial tersebut disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi sosial No Jenis Dimensi Penilaian Skor 1 Keterlibatan nelayan dalam pembuatan kebijakan rendah 1 2 Tipologi nelayan Small-scale 2 3 Pendidikan formal 53 lulusan SD, 46 SLTP, dan 1 SLTA 4 Pengalaman nelayan Nahkoda 4-5 tahun, awak perahu 2-5 tahun 1 5 Pertumbuhan nelayan sekoci Rataan kenaikan pelaku usaha baru 19.2 per tahun 1 6 Status konflik Ada 3 jenis konflik: alat tangkap, kelas, usaha; intensitas tinggi 162 Dari hasil analisis Rapfish, untuk atribut-atribut pada Tabel 30, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 39.44, nilai tersebut berada dalam kategori kurang berkelanjutan seperti tersaji pada Gambar 44. Gambar 44 Indeks keberlanjutan dimensi sosial kegiatan perikanan tuna di wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI, apabila di lihat dari dimensi sosial menunjukkan terjadinya tingkat kerentanan yang tinggi terhadap keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang yang ada di perairan ZEEI Selatan Jawa Timur. Agar diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang lebih baik, maka segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang memberikan pengaruh negatif terhadap nilai indeks. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dari dimensi sosial tersebut, yakni: 1 tingkat pendidikan, 2 keterlibatan nelayan dalam membuat kebijakan, 3 tingkat konflik, dan 4 pengalaman, seperti tersaji pada Gambar 45. Rataan pendidikan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagian besar adalah tamatan Sekolah Dasar 53, SLTP 46, dan SLTA 1. Sehingga dalam penentuan tingkat keberlanjutan pendidikan merupakan faktor yang paling sensitif terhadap penilaian tingkat status dalam keberlanjutan pemanfaatan ikan tuna di rumpon. Pada umumnya responden 163 tersebut menjadi nelayan dikarenakan tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian besar ABK dari sekoci berasal dari suku Bugis yakni Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan. Pengetahuan tentang penangkapan ikan diperoleh dari tranformasi pengetahuan dari pengalaman ABK seniornya, terutama dari nahkoda kapal. Dengan demikian, pengalaman melaut pada umumnya lebih rendah dari nahkoda kapal, yaitu antara 2-5 tahun. Sama halnya dengan ABK, nahkoda kapal pada umumnya berpendidikan formal rendah, yaitu tamatan dari SD dan SLTP. Gambar 45 Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square RMS. Dalam pemanfaatan ikan tuna oleh nelayan sekoci, diawaki oleh seorang nahkoda dan tiga orang anak buak kapal. Nahkoda berperan dalam penentuan rumpon dan keselamatan melaut dari kapal yang dikemudikan, sedangkan ABK bertugas dalam kegiatan pemancingan. Pengetahuan dalam pemancingan diperoleh secara turun temurun dari pendahulunya. Untuk menjadi nahkoda pada umumnya adalah orang yang telah memiliki pengalaman melaut sekurang-kurangnya 4-5 tahun. Dengan demikian, nahkoda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang lebih tinggi dari ABKnya. Dalam sistem perikanan tangkap tuna dengan menggunakan kapal sekoci keberhasilan dari kru dalam hal menangkap ikan, sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman dari nahkoda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erfani 2010 melaporkan bahwa pengalaman nahkoda sekoci Sendang 164 Biru berkontribusi sekitar 70.4 terhadap peningkatan efisiensi teknis dalam penangkapan ikan tuna di rumpon. Besarnya peranan nahkoda dalam sistem perikanan tangkap tuna di Sendang Biru menyebabkan tingkat pengetahuan dan pengalaman nahkoda dihargai lebih tinggi dibandingkan nelayan ABK lainnya. Untuk nahkoda yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih tinggi dikontrak sebesar Rp 10 000 000 hingga Rp 15 000 000. Sedangkan yang berpengalaman sedang memiliki nilai harga kontrak sekitar Rp 5 000 000. Pada kegiatan perikanan tangkap dengan kapal sekoci memiliki sistem yang unik dalam hal pengadaan ABK. Keterbatasan ketersediaan ABK di Sendang Biru, pada saat ini menjadi permasalahan dalam pengembangan perikanan tangkap tuna. Perjanjian kontrak dilakukan antara pemilik kapal dan nahkoda, namun masih dalam bentuk kesepakatan bersama, belum dibuat atas dasar bentuk perjanjian formal. Seringkali kesepakatan yang dibuat gugur karena dilanggar oleh nahkoda. Nahkoda yang berpengalaman seringkali diminati oleh pengusaha lainnya dengan nilai kontrak yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan konflik antara pemilik kapal di Sendang Biru. Konflik yang terjadi di Sendang Biru pada masa yang akan datang akan menjadi faktor yang sangat mempengaruhi nilai indeks dari keberlanjutan usaha penangkapan ikan tuna di rumpon. Dari hasil penelitian diperoleh tiga jenis konflik, yaitu: konflik kelas, cara produksi atau alat tangkap dan usaha. Kondisi ini sesungguhnya merupakan fenomena klasik dan ditemui hampir disemua wilayah pesisir di Indonesia Satria 2006. Konflik kelas terjadi antara kapal kecil, seperti kapal Jukung dan Kunting, dengan kapal sekoci. Nelayan perahu Jukung dan Kunting, yang beroperasi di perairan pantai 4 mil berpikiran bahwa rendahnya hasil tangkapan disebabkan oleh keberadaan rumpon yang dimiliki oleh nelayan sekoci, sehingga ikan tidak mau kepinggir. Selain itu terjadi konflik antara nelayan sekoci dengan nelayan purse seine yang terjadi di rumpon, nelayan sekoci beranggapan bahwa rendahnya hasil tangkapan di rumpon sebagai akibat penjarahan yang dilakukan oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke. Sedangkan konflik usaha terjadi antara pengambek dengan ABK, serta antara pemilik kapal. Pada konflik usaha, ABK sering kali merasa 165 hasil tangkapan pada saat penimbangan tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Sedangkan antara pemilik kapal terjadi karena ada persaingan usaha dan sistem perekrutan nahkoda dan ABK. Keterlibatan nelayan sebagai pelaku utama dalam hal pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI dalam penentuan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat rendah sekali. Keterlibatan nelayan tersebut menjadi penting karena keberhasilan untuk memperoleh tingkat keberlanjutan ditentukan oleh nelayan sebagai pelaku utama. Dalam penentuan kebijakan pemerintah masih menerapkan pola lama, yaitu top-down. Pada saat ada sosialisi kebijakan biasanya yang hadir adalah pemilik kapal dan pengurus kelompok nelayan. Hasil dari pertemuan tidak sampai kepada nelayan. Namun hal ini dijadikan sebagai justifikasi bahwa kebijakan tersebut telah dilakukan sosialisasi dan hearing dengan nelayan. Hal ini terbukti dari responden yang di wawancarai, sekitar 95 merasa tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh pemerintah. Selain adanya konflik dan rendahnya keterlibatan nelayan, selanjutnya faktor pertumbuhan nelayan sekoci menjadi faktor yang memberikan sensitifitas yang tinggi dalam mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan. Pada saat ini pertumbuhan nelayan sekoci sebesar 19.2 per tahun. Hal ini berarti telah terjadi peningkatan ekstraksi sumberdaya perikanan yang tinggi. Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan tingkat keberlanjutan dari pemanfaatan ikan tuna, khususnya Madidihang akan semakin menurun. Berdasarkan fenomena tersebut, agar pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di rumpon dapat berkelanjutan, maka harus segera ada perbaikan dan solusi dari permasalahan tersebut. Peningkatan terhadap pengetahuan nelayan perlu dilakukan, terutama pengetahuan tentang keselamatan melaut, pengetahuan tentang pengelolaan ikan pasca tangkap dan keterampilan dalam hal penangkapan. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan konflik, perlu segera dilakukan resolusi dari penyelesaian konflik tersebut. Pemerintah harus berperan aktif untuk melindungi keberadaan rumpon yang dimiliki oleh nelayan sekoci yang merupakan nelayan tradisional. 166 Pengalaman pemerintah Comoros Cayré 1991 yang melakukan perrlindungan terhadap rumpon yang dimiliki oleh nelayan kecil perlu dicontoh. Pada masa yang akan datang keterlibatan nelayan dalam membuat kebijakan perlu ditingkatkan dengan stakeholders lainnya. Peraturan mengenai penggunaan rumpon laut dalam oleh nelayan tradisional dan perlindungannya belum dilakukan sampai saat ini. Pengaturan kapasitas tangkap yang dilakukan oleh nelayan andon di Sendang Biru, harus segera dibuat dan diberlakukan, sehingga peningkatan kapasitas tangkapan bisa terkontrol. Apabila atribut-atribut yang memberikan sensitif besar yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial tersebut dapat ditekan, maka pada masa yang akan datang keberlanjutan pemanfaatan Madidihang akan semakin meningkat. Sebaliknya apabila dibiarkan, maka keberlanjutan dari pemanfaatan tersebut, akan terancam dengan serius. Sehingga keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI selatan Jawa Timur, pada masa yang akan datang akan semakin menurun.

4.7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Penentuan atribut-atibut pada dimensi kelembagaan didasarkan kepada lembaga yang memiliki pengaruh dan keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan kegiatan pemanfaatan Madidihang di Sendang Biru. Lembaga yang dipilih sebagai atribut terdiri dari lembaga formal dan non-formal. Lembaga formal yang dipilih dan diduga memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dari dimensi kelembagaan adalah: 1 Pemerintah: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemvrop Jatim dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2 PolairudTNI AL, 3 PPP Pondokdadap, 4 KUD Mina Jaya dan LEPPM3. Sedangkan yang berasal dari lembaga non-formal adalah: 1 Pengambek dan 2 Perusahaan inti. Sedangkan atribut illegal fishing adalah atribut yang berkaitan dengan etika dalam sistem patrun-clien, yaitu terjadinya transshipment. Pemerintah dalam hal ini, adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Peranan 167 dari pemerintah, berkaitan langsung terhadap pembuatan aturan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tuna sebagai ikan pelagis yang berada dalam yuridiksi perairan ZEEI, dimana pengelolaannya berkaitan dengan lembaga internasional yaitu IOTC. Peranan lain dari pemerintah ini adalah penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan sebagai pusat pendaratan ikan, infrastruktur jalan, listrik dan air. Selain itu pemerintah memiliki peranan penting dalam melakukan resolusi konflik yang terjadi, penyediaan modal dan bantuan seperti subsidi. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI terutama dalam pengaturan alat tangkap dan area penangkapan, serta melakukan pengendalian dan monitoring terhadap aktivitas yang di lakukan oleh nelayan. Berdasarkan peranan yang penting tersebut, maka dalam penentuan atribut diberi skala 2. Namun dari penilaian terhadap peranan pemerintah tersebut masih belum optimal, terutama dalam penyediaan infrastruktur yang yang menunjang kegiatan perikanan tuna, seperti fasilitas dan kapasitas pelabuhan, air dan listrik, dan bantuan modal masih rendah. Pelabuhan perikanan dalam upaya pembangunan tidak dirancang untuk pendaratan ikan tuna, yang membutuhkan penanganan khusus dan cepat. Air yang dibutuhkan untuk mencuci ikan, perbekalan dan pembuatan es pabrik es masih kurang, es masih didatangkan dari Kota Malang, Blitar dan Tulungagung, padahal es merupakan bahan baku yang vital dalam perikanan tuna. Akibatnya harga es menjadi tinggi, dan menambah beban biaya operasional. Permodalan yang disediakan oleh pemerintah yang disalurkan melalui Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina LEPM3 tidak mencukupi kebutuhan permodalan nelayan Sendang Biru. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam penentuan skor memperoleh angka 1 satu. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah belum peduli terhadap nelayan kecil yang mengekstrasi sumberdaya perikanan Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia. PPP Pondokdadap merupakan pusat pendaratan utama dari nelayan sekoci. PPP Pondokdadap dikelola oleh Badan Pengelola PPP Pondokdadap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Badan ini memiliki tugas