133
yang masuk. Rataan persentase pertambahan jumlah perahu sekoci PPP Pondokdadap tahun 2001-2010 adalah 19.2, menunjukkan bahwa dalam
setiap tahun terdapat penambahan pelaku usaha baru sebesar 19.2 seperti tersaji pada Tabel 25.
Tabel 25 Dinamika jumlah upaya penangkapan trip Madidihang dengan kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010
Tahun 01
02 03
04 05
06 07
08 09
10 Rataan
Jumlah sekoci unit
77 128
154 145
211 301
273 342
323 303
225.7 Perubahan
- 66.2
20.3 -5.8 45.5 42.7
-9.3 25.3 -5.6 -6.2
19.2
Sumber: Hasil analisis dari data primer. Nilai persentase tersebut juga menggambarkan adanya peningkatan rataan
kapasitas tangkap nelayan sekoci PPP Pondokdadap sebesar 19.2 per tahun.
4.5.3.5 Konflik Pengelolaan
Nelayan sekoci PPP Pondokdadap selama ini telah menghadapi berbagai konflik dalam melaksanakan kegiatannya yakni konflik cara produksi atau alat
tangkap, konflik kelas, dan konflik usaha. Konflik cara produksi atau alat tangkap terjadi sejak awal interaksi nelayan andon dengan nelayan lokal
dimana sekoci memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangkap ikan dibandingkan dengan sampan pakisan dan payangan. Kapal sekoci mampu
menangkap sampai ke perairan ZEEI pada rumpon yang mereka miliki. Sementara pakisan dan payangan tidak mampu sampai ke ZEEI dan
menangkap ikan pun dengan cara mencari ikanmemburu ikan karena tidak memiliki rumpon. Konflik terjadi disebabkan nelayan lokal menangkap ikan
pada rumpon nelayan andon tanpa izin. Namun akhirnya konflik tidak berkembang karena nelayan sekoci memilih memindahkan rumpon ke wilayah
yang sulit dijangkau oleh perahu payangan dan pakisan Konflik kelas terjadi antara nelayan sekoci dengan armada purse seine
yang berasal dari Pekalongan, Benoa, dan Muara Angke Jakarta dengan teknologi tangkap yang berbeda. Daya tangkap purse seine yang lebih tinggi
menyebabkan armada tersebut dengan mudah melakukan penjarahan ikan yang menyebabkan kerusakan rumpon sehingga menimbulkan kerugian besar bagi
nelayan sekoci. Upaya mediasi dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa
134
Tengah belum berhasil menghentikan praktek pencurian dan pengrusakan tersebut. Selain itu terdapat pula konflik antara pemilik perahu dan nelayan
sekoci dengan pengambek yang menyediakan modal bagi operasi penangkapan ikan. Konflik biasanya dipicu oleh praktek kecurangan dalam penimbangan
dan penghitungan saat pelelangan ikan. Konflik seperti ini dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan menghadirkan pihak yang berkonflik dipimpin
oleh tokoh masyarakat Sendang Biru dan kelompok nelayan.
4.5.3.6 Kesadaran Lingkungan
Nelayan sekoci memiliki kesadaran yang rendah tentang perlunya menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan bagi keberlanjutan
usaha penangkapan yang mereka lakukan. Dari 65 responden hanya 27 menjawab tidak setuju apabila penangkapan Madidihang dilakukan dengan
menggunakan trawl atau purse seine yang dapat merusak rumpon dan menyebabkan populasi ikan menghilang 2 hingga 3 bulan sesudah
pengoperasiannya. Selanjutnya
65 responden
menyatakan akan
menggunakan alat tangkap lain yang kapasitasnya lebih besar seperti trawl walaupun tidak menjamin kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang lebih
baik sepanjang tahun. Nelayan sekoci mengusulkan bahwa ke depan harus ada perubahan teknologi penangkapan yang menggunakan purse seine sebagai
pengganti hand line. Belum beralihnya penggunaan alat tangkap hand line ke purse seine
dikarenakan keterbatasan modal, karena apabila beralih maka armadanya pun harus berganti pula.
4.6 Aspek Kelembagaan Perikanan Madidihang 4.6.1 Ketersediaan Aturan
Food and Agriculture Organization FAO memasukkan wilayah
perairan Samudera Hindia selatan Jawa ke dalam wilayah pengelolaan perikanan sub-area 57 northern. Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar
di wilayah ini dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya
United Nation Conventions on the Law of the Sea UNCLOS yang diratifikasi
dengan Undang-undang No 17 tahun 1985. Selanjutnya FAO menetapkan