Rumpon atau Fish Aggregating Devices FADs

59 kapal tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi hasil tangkapan nelayan tradisional di kepulauan Comoros Cayre 2001. Seperti halnya nelayan lainnya di dunia, pada saat ini nelayan kapal sekoci Sendang Biru telah menggunakan rumpon sebagai fishing ground. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 pasal 19:2, yang dimaksud dengan rumpon adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikatatraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Penggunaan rumpon ini di mulai pada tahun 2000-an setelah nelayan Sendang Biru memperoleh pengetahuan tentang manfaat rumpon dari nelayan Sulawesi Selatan pada tahun 1998-an. Nelayan dari Sulawesi Selatan pada saat terhanyut, secara kebetulan menemukan keberadaan rumpon di perairan teritorial Indonesia, tidak jauh dari PPP Pondokdadap. Rumpon ini, kemudian diketahui merupakan milik nelayan besar yang berasal dari Filipina. Pada saat terhanyut nelayan Sulawesi Selatan tersebut melakukan kegiatan pemancingan di rumpon dan dalam waktu sekitar 2-4 jam memancing memperoleh hasil sekitar 2 ton ikan tuna. Keberadaan rumpon Filipina tersebut, sesungguhnya sudah diketahui lama oleh nelayan Sendang Biru, karena pada saat melaut nelayan Sendang Biru sering kali bertemu dengan nelayan kapal besar yang berbendera Filipina. Namun manfaatnya baru diketahui setelah adanya transformasi pengetahuan dari nelayan sekoci Sulawesi Selatan yang membongkar-muat ikan hasil tangkapan di PPP Pondokdadap pada saat terhanyut tersebut. Pada mulanya keberadaan rumpon Filipina tersebut sering diputus oleh nelayan lokal Sendang Biru karena dianggap mengganggu nelayan lokal Sendang Biru yang pada umumnya menggunakan alat tangkap payang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh tiga alasan terjadinya pemutusan rumpon tersebut: 1 nelayan tidak mengerti akan manfaat dari rumpon,2 hasil tangkapan berkurang setelah kedatangan kapal besar dari Filipina, dan 3 alat tangkapnya sering tersangkut pada rumpon pada saat beroperasi. Penggunaan rumpon oleh nelayan Sendang Biru, dianggap berperan penting sebagai alat bantu dalam penangkapan. Dari hasil wawancara dengan nelayan, seluruh responden mengerti manfaat dari rumpon, yaitu: 1 sebagai tempat 60 mencari makan, berteduh dan beristirahat ikan tuna sebagai ikan target utama, 2 diperoleh tingkat kepastian akan hasil tangkapan yang lebih tinggi, 3 hasil tangkapan besar 4 biaya operasioanal relatif rendah, akibat perubahan pola tangkapan dari hunting menjadi fishing harvesting, dan 5 memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8-10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan yang mencantumkan rumpon sebagai salah satu alat bantu penangkapan ikan. Atas dasar manfaat tersebut, maka keberadaan rumpon di area tangkap semakin pesat perkembangannya. Pengetahuan tentang pola migrasi ikan tuna dan fungsi rumpon sebagai shelter ikan tuna, digunakan sebagai acuan dalam penentuan penempatan lokasi rumpon. Nelayan memiliki keyakinan bahwa semakin jauh dari garis pantai, maka arusnya akan besar dan lautnya semakin dalam, sehingga karakteristik ini oleh nelayan diduga sebagai tempat migrasi ikan tuna, selain alasan lainnya. Penentuan peletakan posisi rumpon dilakukan secara intuisi dan pengalaman dari nahkoda, di samping pada mulanya menjauhkan posisi rumpon dari jangkauan kapal armada lainnya, seperti Sampan Pakisan, Jukung dan payangan yang dimiliki oleh nelayan lokal Sendang Biru yang dianggap mengganggu. Pada tahun 2010 jumlah rumpon yang dimiliki oleh Nelayan Sendang Biru sekitar 80 unit. Rumpon ini dijadikan fishing ground, khsusus untuk armada kapal jenis sekoci yang menggunakan alat tangkap pancing ulur hand line. Posisi rumpon tersebut dipasang oleh nelayan sekoci dan tersebar di antara titik koordinat 110 ° -115° BT dan 9 ° -12 ° LS, yang dipasang pada kedalaman laut antara 3 000-6 000 m Gambar 5, sehingga dikategorikan sebagai rumpon laut dalam yang permanen. Rumpon dirancang dan dibuat secara berkelompok oleh pemilik kapal. Akan tetapi bagi yang memiliki kapal sekoci lebih dari 4-5 unit per orang, maka biaya pembuatan rumpon sepenuhnya ditanggung sendiri, sedangkan untuk yang memiliki kapal sekoci 1 sampai 3 unitorang, biaya ditanggung secara bersama atas dasar kesepakatan. Adapun biaya untuk pembuatan satu unit rumpon pada tahun 2010 sekitar Rp 75 000 000. 61 Gambar 5 Sebaran rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagai fishing ground.Sumber: Base map ODV versi 3. Pada mulanya rumpon dibuat dengan mencontoh rumpon yang dimiliki oleh nelayan dari Filipina, namun seiring dengan kedatangan nelayan sekoci dari Sinjai Sulawesi Selatan, desainnya berubah berdasarkan kepada pengetahuan yang dibawa dari Sulawesi Selatan. Modifikasi utama dilakukan pada penggunaan pelampung, yang semula menggunakan bahan yang terbuat dari besibaja yang berbentuk kapsul, diganti dengan pelampung yang berbahan styrofoam. Bahan lain yang digunakan adalah rumbai daun kelapa dan tali serat, atraktor dari tali rapia, compact disk CD dan ban bekas, tali baja, dan tali serat yang berukuran besar dengan panjang 6 000 hingga 12 000 m. Sedangkan sebagai pemberat digunakan bahan dari semen Gambar 6. Modifikasi ini dilakukan dengan tujuan penghematan biaya pembuatan, karena jangka waktu pakainya tidak menentu. Pada saat ini keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru seringkali hilang, menurut hasil wawancara hal tersebut terjadi akibat: 1 hanyut atau putus karena tidak pas peletakan posisi rumpon, dimana pemberat tidak berada di dasar laut akan tetapi jatuh di atas puncak gunung laut, sehingga pada saat ada arus, angin dan gelombang besar pelampung hanyut karena pemberat menggantung, 2 diputus oleh nelayan dari luar Kabupaten Malang terutama oleh nelayan dari Benoa, yang memasang long line. Posisi rumpon dianggap mengganggu, karena berada dalam alur penangkapan nelayan Benoa, sering kali long line milik nelayan Benoa tersangkut pada baling-baling kapal sekoci, 3 terputus oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke. 62 Gambar 6 Rumpon laut dalam 3 000-6 000 m nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. Kondisi tersebut di atas menimbulkan permasalahan bagi nelayan sekoci Sendang Biru. Permasalahan ini dirasakan oleh nelayan Sendang Biru sejak tahun 2008, namun penyelesaian masalah baru dilakukan pada tanggal 24 Maret tahun 2009 yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Keputusan dari penyelesaian masalah tersebut, diantaranya: 1 pengecekan dan pembinaan kepada nelayan andon dari Jawa Tengah terhadap dokumen kapal penangkapan dan surat andon pada kapal yang melakukan andon ke Jawa Timur, dan sebaliknya, 2 melaksakan pengawasan di wilayah rawan konflik. Akan tetapi di lapangan kesepakatan ini belum dirasakan oleh nelayan Sendang Biru, penjarahan di rumpon tersebut terus berlangsung. Sedangkan dengan nelayan long line dari Benoa sampai saat ini belum dilakukan penyelesaian, karena nelayan Sendang Biru dengan kapal berbobot 10 GT, dianggap menyalahi aturan alur penangkapan, sebagaimana diatur Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun 1999, tentang alur penangkapan dimana perairan ZEEI merupakan alur penangkapan kapal besar, bukan untuk kapal 10 GT. Permasalahan gangguan rumpon nelayan Sendang Biru tersebut tidak bisa diselesaikan berdasarkan koordinasi antara pemerintah provinsi, namun harus dilakukan di tingkat nasional, karena terjadi di wilayah ZEEI yang yuridiksinya berada dalam kewenangan nasional, sebagaimana di atur dalam UU No 32 tahun 2004. Secara yuridis keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru di perairan ZEEI, masih belum jelas, izin 63 pemasangan rumpon baru diatur untuk perusahaan perikanan besar sebagaimana yang tercantum pada pasal 9 ayat 1 Keputusan Menteri Pertanian nomor 51KptsIK.25011997 pasal 12, yang diperbaharui oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Nomor 30 tahun 2004. Pengaturan tentang perlindungan dan pengelolaan untuk rumpon yang dipasang oleh nelayan kecil belum diperhatikan, baru sebatas letak posisi dan persyaratan pemasangan. Kondisi tersebut membuat lemah secara hukum, sehingga pada saat ini rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru keberadaannya terancam. Menurut Pitcher dan Preikshot 2001 penggunaan rumpon tersebut dianggap mengganggu kelestarian sumberdaya ikan tuna Madidihang dan Mata besar, karena menurut Hallier dan Gaertner 2008 pada umumnya yang tertangkap berukuran kecil 100 cm fork length atau fase juvenil, sementara kondisi stok ikan tersebut di Samudera Hindia dan Atlantik diestimasi sudah mendekati overexploited\ atau telah di atas MSY maximum sustainable yield . Besarnya tangkapan fase juvenil tersebut dianggap mengancam populasi tuna di kedua perairan tersebut, sehingga penggunaan rumpon oleh perusahaan besar dilakukan moratorium oleh badan yang mengelola sumberdaya ikan tuna tersebut, seperti IOTC di Samudera Hindia. Berdasarkan hasil moratorium tersebut, kapal- kapal dengan alat tangkap besar dengan menggunakan purse seine pada rumpon dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak selektif, karena selain hasil tangkapan utamanya ikan berukuran kecil juga banyak by-catch yang tertangkap, seperti ikan lumba-lumba, sebaliknya untuk kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap handline penggunaan rumpon sangat membantu dan baik untuk digunakan, karena selain meningkatkan efisiensi penangkapan juga sangat selektif sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelimpahan ikan tuna. Berdasarkan kenyataan tersebut, keberhasilan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dalam hal pemanfaatan ikan Madidihang yang ada di perairan ZEEI samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur, sangat ditentukan oleh keberadaan rumpon tersebut. Dengan demikian, adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap rumpon tersebut oleh kapal sekoci, pada akhirnya akan menentukan tingkat keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh masyarakat. Agar tingkat keberlanjutan perikanan tangkap 64 tuna masyarakat Sendang Biru terjaga, maka keberadaan rumpon mutlak diperlukan namun perlu pengaturan lebih lanjut, terutama jarak antara rumpon, letak posisi, sehingga tidak mengganggu alur penangkapan atau pelayaran lainnya.

4.1.2 Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Fishing Ground

4.1.2.1 Angin Muson dan Musin Penangkapan Ikan

Kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan ZEEI oleh nelayan kecil pada umumnya sangat bergantung kepada kondisi hidro-oseanografi dari perairan Selatan Jawa, terutama kecepatan angin. Kondisi angin muson diamati oleh nelayan, bukan untuk menentukan keberadaan ikan, akan tetapi untuk memperoleh keselamatan pada saat mencapai fishing ground karena kapal nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru berukuran kecil panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 m dengan bobot 10 GT. Upaya untuk menyiasati kondisi faktor angin muson tersebut, nelayan sekoci merujuk terhadap perubahan angin muson yang berlaku di Selatan Jawa. Pengetahuan tentang musim, diperoleh secara turun temurun dari pengalaman. Nelayan membagi musim dalam 4 periode, yaitu: 1 musim barat: Desember- Februari, 2 musim peralihan I: Maret-Mei, 3 musim timur: Juni-Agustus, dan 4 musim peralihan II: September-November. Pembagian musim ini sesungguhnya sudah sesuai dengan pembagian musim yang dilakukan oleh Wyrtki 1961. Produksi dan upaya nelayan sekoci di rumpon contoh, dari 27 unit kapal sekoci contoh yang diamati tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Produksi dan ukuran Madidihang berdasarkan musim 2003-2010 Musim Trip Ukuran Ikan Jumlah kg 1-2 kg 2-9 kg 10-20 kg 20 kg Barat Des-Feb 178 6 485 54 993 8 548 5 345 75 549 Peralihan I Maret-Mei 669 15 936 116 368 30 556 137 701 301 230 Timur Juni-Agustus 954 7 791 246 151 143 607 153 415 551 918 Peralihan II Sep-Nov 575 17 012 213 607 23 139 35 876 290 209 Sumber:Hasil analisis. Dari Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dari tahun 2003 sampai 2010 sepanjang bulan terus melakukan kegiatan penangkapan Madidihang di rumpon. Pada musim barat Desember- 65 Februari diperoleh produksi terendah, yaitu 75 549 kg dengan upaya tangkap 178 trip. Rendahnya produksi tersebut, karena telah berlangsung musim barat. Pada musim barat sebagian besar ABK sekoci beristirahat dan digunakan untuk pulang kampung ke Sulawesi Selatan sedangkan pemilik kapal melakukan perbaikan dan perawatan kapal. Namun, bagi yang tidak pulang kampung dan kondisi kapal dalam keadaan prima, kegiatan penangkapan tetap dilakukan, terutama di rumpon yang relatif dekat dari PPP Pondokdadap. Pada bulan April-Mei musim peralihan 1, produksinya mulai meningkat, yaitu 301 230 kg. Pada periode ini walaupun di perairan selatan Jawa masih bertiup angin kencang namun arah angin tidak menentu karena pada periode ini menurut Tchernia 1980 terjadi musim pancaroba awal tahun. Meningkatnya produksi Madidihang di PPP Pondokdadap disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap tuna di rumpon baru dimulai setelah berhentinya kegiatan penangkapan pada musim barat. Pada musim ini walaupun anginnya masih tergolong kencang akan tetapi dianggap kecepatan angin mulai mereda setelah berakhirnya musim barat. ABK yang pulang pada musim barat, pada umumnya kembali pada akhir bulan Februari, untuk melakukan persiapan penangkapan pada awal bulan Maret. Pada awal bulan Maret nelayan sekoci melaut untuk memperbaiki rumpon yang rusak selama musim barat, atau melakukan pemasangan rumpon lagi apabila hilang. Kegiatan selanjutnya efektif berlangsung sampai pertengahan bulan November menjelang masuk ke periode musim barat. Kegiatan penangkapan ikan tuna di rumpon paling besar dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober, puncaknya pada bulan Juni-Agustus dengan jumlah upaya tangkap dan produksi masing-masing adalah 954 trip dan 551 918 kg. Pada bulan tersebut, menurut Clark et al. 1999, di Samudera Hindia berlangsung musim timur, dimana angin bertiup dari belahan bumi selatan. Akibatnya terjadi akumulasi kelembaban dan presipitasi yang tinggi di daratan Asia, sehingga angin tidak besar. Selain fenomena angin, pada musim timur tersebut di selatan Jawa berlangsung fenomena upwelling, yaitu terjadinya percampuran massa air secara vertikal maupun horisontal yang merupakan proses dinamika massa air yang berlangsung di perairan timur laut Samudera Hindia. Informasi fenomena tersebut, oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru digunakan untuk