.2 Korelasi Silang Klorofil-a dengan CPUE

90 diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan r=0.56, peningkatan yang diperoleh akan mengikuti persamaan matematik CPUE = 457.17+21.99 Chl . Korelasi antara suhu permukaan laut dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 1185.0 - 26.09 SST Correlation: r = -.2123 24 25 26 27 28 29 30 SST 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 cp ue 95 confidence Korelasi antara klorofil-a dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 457.17 + 21.999 chlo Correlation: r = .05536 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 chlo 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 cp ue 95 confidence Gambar 21 Hubungan antara suhu permukaan laut dengan CPUE Madidihang a dan klorofil-a dengan CPUE b di selatan Jawa periode 2005-2010. Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana dan korelasi silang antara kedua parameter tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan hasil tangkapan CPUE Madidihang di fishing ground akan meningkat 21 hari kemudian, setelah terjadinya puncak kelimpahan klorofil-a, sedangkan koherensi CPUE dengan suhu permukaan laut, adalah hasil tangkapan akan meningkat setelah 69 hari berakhirnya puncak fluktuasi suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa, khususnya di wilayah Jawa Timur dengan titik koordinat 110-114° BT dan 9-11° LS. Meningkatnya klorofil-a merupakan indikator melimpahnya fitoplankton di perairan yang menjadi makanan zooplankton yang merupakan makanan ikan kecil lainnya, seperti udang, teri, lemuru dan ikan lainnya. Ikan teri dan udang tersebut merupakan makanan yang paling disukai oleh Madidihang, terutama pada fase juvenil. Fase juvenil menghabiskan sebagian besar hidupnya di lapisan campuran dengan kisaran suhu 24º-30ºC Conand dan Richards 1982. 4.2 Aspek Produksi, Biologi Madidihang dan Kaitannya dengan Kondisi Hidro-oseanografi di Rumpon 4.2.1 Status, Jenis dan Jumlah Tangkapan Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang distribusinya berada di perairan tropis dan subtropis Collette and Nauen 1983. Di Samudera Hindia Madidihang merupakan species utama yang menjadi tangkapan Somvanshi 91 2002. Ada dua alasan utama Madidihang menjadi target tangkapan utama, pertama, permintaan tinggi dan ke dua, adalah mudah ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap. Sehingga kegiatan penangkapan tidak hanya bisa dilakukan oleh kapal besar dan modern yang menggunakan purse seine dan long line , akan tetapi juga bisa dilakukan oleh nelayan artisanal yang menggunakan alat sederhana seperti pole and line, driftnet dan hand line Zudaire et al. 2010. Produksi Madidihang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan rata-rata 345 000 ton pada tahun 1993 hingga 2002, dan naik menjadi 466 000 ton pada tahun 2003 hingga tahu 2006. Namun demikian, pada tahun 2007 hingga 2008, rataannya turun kembali menjadi 318 000 ton dan 37 dari total tangkapan tersebut ditangkap dengan menggunakan purse seine IOTC 2009. Meskipun terjadi deplesi, namun penangkapan besar-besaran di Samudera Hindia terus dilakukan. Hal ini dilakukan, selain atas permintaan pasar, juga kurangnya pengetahuan akan reproduksi ikan yang apabila tidak hati-hati, keberlanjutannya akan terganggu Scheafer 2001; Murua Motos 2006. Sama halnya dengan kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru pada tahun 1991 hingga tahun 1994 ikan tuna yang di tangkap ada 3 jenis yaitu Cakalang, Madidihang, tuna lainya dengan rataan produksi per tahun, masing-masing 741.94 ton 50.3, 237.68 ton 16.1 dan 495.7 ton 33.6 yang di tangkap dengan menggunakan gill net dengan jumlah kapal 66 berukuran 3-6 GT Uktolseja 1987. Namun demikian, sejak datangnya kapal Sekoci dengan alat pancing ulur hand line produksi tuna terus mengalami peningkatan dengan ikan target adalah jenis tuna besar, terutama jenis Madidihang. Jenis ikan yang tertangkap dominan di daratkan di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Kabupaten Malang dari tahun 2003 sampai 2010 adalah Madidihang, Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, Tompek dan Bigeye tuna, dan dengan proporsi masing-masing adalah 36.71, 31.45, 19.57, 9.66 dan 2.6 Gambar 22. Dari jenis ikan tuna target tersebut, jenis Madidihang merupakan ikan yang dominan tertangkap. Adapun jumlah hasil tangkapannya 92 dari tahun 2003 hingga tahun 2010 dari 2 376 trip yang diamati untuk nilai produksi dan CPUE disajikan pada Tabel 11. Gambar 22 Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis tahun 2003- 2010. Tabel 11 Jumlah Hasil Tangkapan kg, Trip dan CPUE Tahun Jumlah kapal contoh Trip Produksi kg CPUE kgtrip 2003 3 67 35.478 529.52 2004 9 139 76.247 548.54 2005 14 233 143.524 615.98 2006 23 360 162.088 450.24 2007 27 389 162.651 418.13 2008 27 414 229.178 553.57 2009 27 420 256.434 610.56 2010 27 354 150.930 426.36 Jumlah 157 2.376 216.530 4.152.90 Sumber: Hasil analisis data primer. Produksi tersebut diperoleh dari hasil catatan harian log book per trip tangkapan nelayan sekoci di rumpon sebagai fishing ground dari tahun 2003- 2010 dan secara detail catatan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada Tabel 11 dapat di lihat bahwa produksi Madidihang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan hasil tangkapan ini disebabkan terjadinya upaya tangkapan trip, yaitu dari 67 pada tahun 2003 menjadi 354 trip pada tahun 2010 dengan produksi 35 478 kg pada tahun 2003 menjadi 150 930 kg pada tahun 2010. Sedangkan untuk nilai CPUE hasil perhitungan dari hasil tangkapan per trip pada masing-masing tahun menunjukan nilai yang berfluktuasi. Namun demikian untuk nilai CPUE dari setiap peningkatan upaya dari tahun 2003 hingga tahun 2010 masih mengalami peningkatan Gambar 23. Peningkatan upaya tersebut masih diikuti dengan peningkatan produksi yang mengikuti persamaan garis Y= 4 714.3+496.13X dengan nilai 93 koefisien diterminasi R 2 sebesar 0.8536. Hal ini berarti bahwa dengan adanya peningkatan upaya penangkapan sumberdaya Madidihang di fishing ground, akan diikuti dengan meningkatnya produksi Madidihang. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa kondisi stok ikan Madidihang yang ada di fishing ground kelimpahannya masih tinggi. Gambar 23 Hubungan antara produksi kg Madidihang dan trip dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Menurut Hoggarth 2006 total hasil tangkapan ini penting untuk diketahui, karena dapat digunakan sebagai tanda dalam pengelolaan perikanan. Penurunan hasil hasil tangkapan biasanya dapat digunakan sebagai sebuah trigger dalam pengelolaan perikanan. Apabila upaya tangkap tersedia, maka indeks CPUE dapat diketahui, sehingga bisa dijadikan indikator untuk menduga status dari stok ikan. Selanjutnya menurut Grainger dan Garcia 1996 in Hoggarth 2006 dengan indikator tersebut, maka status stok dapat diklasifikasikan menjadi undeveloped, developing, mature or senescent. Apabila nilai indeks CPUE terus mengalami peningkatan berarti status stok dari ikan tersebut berada dalam kategori undeveloped, sebaliknya apabila nilai indeks CPUE menurun berada dalam kondisi mature. Berdasarkan indikator tersebut, maka kondisi status stok Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, tepatnya di WPP 573 berada dalam status undeveloped. Hal ini berbeda dengan kondisi status yang diestimasi oleh IOTC 2011 yang menyatakan bahwa kondisi stok Madidihang secara keseluruhan dinyatakan dalam kondisi mendekati tangkap lebih close overexploited atau gejala 94 tangkap lebih overexploited. Dengan demikian, maka penambahan kapasitas tangkap masih bisa dilakukan, sehingga hasil ini dapat dijadikan acuan dalam penentuan estimasi status stok Madidihang di WPP 573 yang selama ini mengacu pada IOTC, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 yang dinyatakan sudah penuh Fully-exploited. Terjadinya fluktuasi CPUE tahunan yang terjadi pada tahun 2003 hingga 2010, berarti tidak menunjukan penurunan kelimpahan atau stok dari Madidihang di fishing ground, namun fluktuasi tersebut memberi gambaran mengenai kinerja dari kapal sekoci. Kinerja kapal sekoci tersebut sangat dipengaruhi oleh harga BBM, karena sebesar 79 dari komponen biaya melaut dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan BBM, sehingga pada saat terjadi kenaikan BBM maka kinerja akan rendah yang diikuti dengan penurunan produksi Madidihang yang dihasilkan. Rendahnya kinerja kapal sekoci akibat pengaruh dari kenaikan harga BBM dapat dilihat dari gambaran nilai CPUE yang diperoleh pada tahun tahun 2003 hingga 2005 menunjukan peningkatan dari tahun ketahun, namun dengan naiknya harga BBM pada tahun 2005, maka sejak tahun 2006 hingga 2007 terjadi penurunan CPUE tahunan. Dari Hasil wawancara dengan nelayan responden, bahwa pada tahun 2006 terjadi gejolak sebagai dampak kenaikan BBM sehingga penangkapan tidak efektif lagi. Kebanyakan penangkapan tidak di rumpon di perairan dalam, namun rumpon di geser ke perairan yang dekat. Akibatnya ikan yang tertangkap jauh menurun, karena rumpon ditempatkan pada lokasi dengan lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat dari Madidihang. Selain itu sebagai upaya menyiasati biaya BBM, nelayan mengurangi perbekalan dan es, sehingga waktu melaut menjadi lebih pendek. Setelah dampak kenaikan harga BBM pulih, maka pada tahun 2007 hingga tahun 2009 hasil tangkapan naik kembali, namun pada tahun 2010 mengalami penurunan. Penurunan ini diperkirakan karena terjadi konflik di rumpon, dimana rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru mengalami penjarahan oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke, sehingga saat nelayan sekoci sampai ke rumpon, kondisinya sudah rusak. Populasi ikan baru kembali pulih 2-3 95 bulan kemudian, sehingga pada saat kondisi tersebut jumlah tangkapan menjadi berkurang. Sehingga selain harga BBM, faktor penentu lainnya yang menunjang keberhasilan kegiatan perikanan tangkap tersebut adalah rumpon. Tingginya hasil tangkapan ikan Madidihang di rumpon, selanjutnya mendorong peningkatan jumlah armada kapal sekoci yang berlabuh dan bongkar muat di PPP Pondokdadap, akibatnya kapasitas tangkap dari nelayan terus bertambah. Perubahan kapasitas tersebut dapat dilihat dari peningkatan trip. Rataan perubahan trip dari tahun 2003 hingga tahun 2010 mencapai 33 Tabel 12. Besarnya produksi Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci tersebut, selanjutnya oleh pemerintah Kabupaten Malang dijadikan komoditas unggulan Kabupaten Malang Nurani 2010. Tabel 12 Perubahan upaya tangkap perikanan Madidihang tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Upaya Trip 67 139 233 360 389 414 420 354 297 Perubahan 107 68 55 8 6 1 -16 33 Sumber: Hasil analisis data primer.

4.2.2 Ukuran Ikan dan Ikan Matang Gonad yang Tertangkap

Hasil tangkapan Madidihang yang ditangkap oleh nelayan sekoci selama periode 2003-2010 terbagi atas 4 kategori kelompok ukuran, yaitu ukuran 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan di atas 20 kg. Berdasarkan ukuran kelompok tersebut yang paling dominan adalah dengan ukuran berat 2-9 kg 52, di atas 20 kg 27, 10-20 kg 17 dan 1-2 kg 4. Adapun yang menjadi dasar penentuan kelompok berat tersebut adalah harga pasar. Ukuran Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Ukuran Madidihang yang tertangkap nelayan sekoci 2003-2010 Tahun Trip Ukuran kg Total 1-2 2-10 10-20 20 2003 67 4 080.00 26 777.00 1 392.00 3 229.00 35 478.00 2004 139 4 665.00 57 335.00 9 159.00 5 088.00 76 247.00 2005 233 5 945.00 100 878.00 10 234.00 26 467.00 143 524.00 2006 360 20 428.00 76 415.00 22 658.00 42 587.00 162 088.00 2007 389 3 223.00 69 421.00 23 486.00 66 521.00 162 651.00 2008 414 3 000.00 152 088.00 17 371.00 56 719.00 229 178.00 2009 420 3 518.00 88 670.00 97 873.00 66 373.00 256 434.00 2010 354 2 365.00 59 535.00 23 677.00 65 353.00 150 930.00 Total 2 376 47 224.00 631 119.00 205 850.00 332 337.00 1 216 530.00 Sumber: Hasil analisis dari data primer. 96 Ukuran Madidihang pada Tabel 13, selanjutnya diukur panjang tubuhnya Fork length. Dari 136 ekor yang dijadikan contoh Lampiran 3 diperoleh panjang antara 35-45 cm untuk yang berukuran 1-2 kg, 46-82 cm berukuran 2- 9 kg, 86-115 cm, 10-20 kg, dan 115-172 untuk berukuran 20-70.4 kg. Hubungan antara panjang beratnya di sajikan pada Gambar 24, yaitu mengikuti persamaan garis linier Y= 32.94+0.53X dengan nilai R 2 =0.87. Gambar 24 Hubungan panjang-berat Madidihang di Sendang Biru. Madidihang di daerah tropis pertama kali bertelur atau matang gonad untuk yang betina, berlangsung pada ikan yang berumur 2.8 tahun dengan panjang FL 105 cm dan berat sekitar 25 kg. Durasi bertelur dari ikan tersebut selama 6 bulantahunnya pada suhu 18°C. Siklus hidupnya selama 7.5 tahun dengan panjang tubuh 170 cm dan berat 176 kg Fromentin dan Fonteneau 2001. Apabila berpatokan kepada pendapat tersebut, maka nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru hampir 57 berukuran 1-20 kg menangkap ikan yang belum matang gonad. Namun demikian, ukuran Madidihang yang tertangkap oleh nelayan sekoci dari tahun ke tahun mengalami perubahan, yaitu seiring dengan naiknya biaya operasional, nelayan cenderung menangkap ikan target yang berukuran besar. Hasil perubahan pola tangkap ukuran Madidihang tersebut disajikan pada Gambar 25. Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 ikan yang dominan ditangkap adalah yang berukuran kecil, yaitu 87 berukuran 1-9 kg, sedangkan yang berukuran besar 10 kg hanya 13, sebaliknya pada tahun 2010 ikan yang berukuran kecil 1-9 kg hanya 41 dan berukuran besar di