Strategi Pengelolaan Lahan Gambut

5.11. Strategi Pengelolaan Lahan Gambut

Penyusunan model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan melihat interaksi antara komponen-komponen biofisik ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Untuk menciptakan keberlanjutan pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut harus bersifat komprehensif. Sabiham dan Untung 2010 menyebutkan bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi tetapi juga lingkungan dan sosial. Permasalahan pengelolaan lahan gambut bersifat komplek dengan banyak atribut variabel yang mempengaruhi pada kondisi lapangan. Model dibangun berdasarkan pendekatan integratif terhadap seluruh atribut kunci yang berpengaruh terhadap pengelolaan lahan gambut. Upaya pengelolaan dengan menggunakan strategi pada skenario II optimal merupakan kondisi yang dapat dicapai pada saat ini. Dengan menggunakan hubungan fungsi G 2 = f a, p, s, t, i, m indeks keberlanjutan gabungan meningkat dari eksisting 55,92 menjadi 66,04 pada gambut pantai dan 58,57 menjadi 66,70 pada gambut transisi. Ketersediaan sumberdaya manusia, biaya, waktu dan kebijakan yang mampu mendukung pencapaian strategi optimum, menjadi pertimbangan bagi keberhasilan pengelolaan yang dilakukan. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik ekosistem setempat. Penggabungan dan penerapan teknologi modern dan kearifan lokal local wisdom dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan lahan gambut. Teknologi lokal yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan perkebunan diharapkan mampu mempertahankan keberlanjutan lahan gambut. Strategi yang ditempuh dalam kegiatan alih fungsi konversi rawa gambut menjadi agroekologi perkebunan kelapa sawit harus memperhatikan pengaturan tata air dan lahan. Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan kedalaman gambut, tingkat dekomposisi, kematangan, bahan induk dan sub stratum. Pembuatan saluran drainase mempertimbangkan kondisi fisiografi dan topografi lahan gambut. Sehingga tinggi permukaan air water level dapat diatur dan dikendalikan. Keadaan ini akan menghindari terjadinya subsidensi, kering tidak balik irreversible drying dan mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Pengetahuan lokal masyarakat terhadap teknologi pengolahan lahan gambut menjadi pertimbangan dalam pengelolaan pembukaan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Sumberdaya lokal yang dilakukan masyarakat dalam memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian dengan memperhatikan tata air dengan cara pembuatan parit saluran dengan mempertimbangkan aliran sungai dan pasang surut air laut. Pembukaan lahan gambut dilakukan masyarakat pada tingkat kematangan mencapai “kilang manis” atau saprik. Hal ini terbukti mampu mempertahankan produktivitas lahan gambut dan menghindari terjadinya degradasi lahan. Potensi atau tingkat kesesuaian lahan gambut untuk pertanian, laju dan tingkat kerusakan serta dampak lingkungan dari pembukaan atau pemanfaatannya ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1 kedalaman gambut; 2 tingkat kematangan gambut, bahan induk pembentuk dan kandungan substratum tanah; 3 tingkat asosiasi gambut dan mineral; 4 cara strategi pemanfaatan lahan gambut pembukaan lahan, sistem pengelolaan air dan drainase; 5 penerapan teknologi budi daya varietas, pemupukan dan pengelolaan lahan. Peningkatan produktivitas tanaman dipengaruhi langsung oleh produktivitas tingkat kesuburan lahan gambut. pH tanah gambut yang sangat rendah 3,5 – 4,5 merupakan faktor pembatas utama pengembangan lahan gambut. Penambahan bahan amelioran menjadi faktor penting dalam memperbaiki kondisi fisikokimia tanah gambut, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit. Pemberian ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat Salampak, 1999; Mario, 2002 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003. Pengakuan hak kepemilikan lahan masyarakat lokal menjadi faktor utama untuk menghindari konflik sosial dan menentukan pendapatan pekebun. Kondisi ini memperlancar aliran produksi dan meningkatkan harga TBS pada tingkat pekebun. Pemberian kredit usaha tani KUT bila efektif dapat meningkatkan input produksi, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut juga dipengaruhi oleh sarana dan prasaran produksi, harga TBS dan luas kepemilikan lahan. Pemasaran TBS merupakan aspek penting dalam menentukan pendapatan pekebun. Sistem pemasaran pertanian merupakan satu kesatuan urutan lembaga pemasaran yang berfungsi untuk memperlancar aliran produksi. Kondisi ini akan menciptakan aliran dana dan nilai produk yang lebih baik bagi kegiatan produktif yang dilakukan Gumbira dan Intan, 2001 diacu dalam Syahza, 2010. Lancarnya pemasaran akan meningkatkan harga TBS pada tingkat pekebun dan mempengaruhi secara langsung pada tingkat pendapatan. Untuk mencapai tingkat pendapatan sesuai KHL, maka luas perkebunan kelapa sawit rakyat minimal 2 ha. Dengan demikian status kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk mempertahankan pendapatan pekebun. Program kemitraan antar stakeholders pemerintah, dunia usaha, bank dan pekebun pada perkebunan kelapa sawit berpengaruh penting dalam peningkatan pendapatan dan kemampuan pekebun. Kondisi ini menciptakan harmonisasi antar stakeholders , sehingga konflik sosial yang muncul dapat dicegah. Kemitraan yang kuat dapat di dukung melalui program pemberdayaan pekebun. Hasbi 2001 dan Sunarko 2009 menyatakan bahwa kemitraan adalah solusi terbaik untuk membangun harmonisasi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat disekitarnya. Pemberdayaan merupakan faktor penting bagi peningkatan produktivitas lahan gambut pada perkebunan sawit rakyat. Program kemitraan antar pemerintah, dunia usaha perusahaan perkebunan, perbankan dan kelompok tani pekebun merupakan upaya dalam mempercepat pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat. Interaksi antar lembaga yang terkait stakeholders akan sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Jatmika 2007 menyatakan bahwa lembaga pemerintah menjadi faktor penggerak utama dan berpengaruh dalam program pengembangan perkebunan kelapa sawit seperti dinas perkebunan, dinas koperasi dan UKM serta dinas perindustrian dan perdagangan. Kemudian secara simultan lembaga pemerintah ini akan mendorong berperan aktifnya kelompok pekebun dan gabungan kelompok pekebun. Kelembagaan yang kuat pada tingkat pekebun menciptakan kemandirian masyarakat.

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II dan III. Pendekatan integratif faktor ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan menjadi pertimbangan dalam penentuan pengelolaan lahan gambut. Model pengelolaan lahan gambut dirancang dengan mempertimbangkan semua komponen sumberdaya lokal yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sehingga program pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan secara berkelanjutan. Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem pertanian merupakan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Rekomendasi kebijakan di dasarkan atas pendekatan integraif terhadap seluruh faktor dominan yang berpengaruh terhadap pengelolaan lahan gambut. Model pengelolaan lahan gambut G pada perkebunan kelapa sawit dengan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan a, pemberdayaan masyarakat p, kerjasama antar stakeholders s, manajemen produksi tanaman sawit t, industri pengolahan i, struktur dan akses permodalan m, dengan hubungan fungsi G = f a, p, s, t, i, m. Langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan untuk memperoleh hasil pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit secara optimum antara lain sebagai berikut : b Pengaturan tata air dan lahan Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis belum sepenuhnya menerapkan pengaturan tata lahan dan air. Hal ini terindikasi dari banyaknya areal perkebunan pada lahan gambut mengalami kebakaran pada saat musim kemarau. Pengendalian air dengan membangun saluran kanal drainase belum mampu mempertahankan muka air