Analisis Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut

kebijakan pengembangan lahan gambut yang memberikan penekanan pada aspek sosial budaya pekebun.

5.6.1. Analisis Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian tanaman pangan khususnya padi telah lama dilakukan informasi masyarakat. Hal ini sesuai dengan keberadaan bermukim masyarakat di daerah Pantai Timur Sumatera Provinsi Riau. Selanjutnya pola pertanian masyarakat mengalami perkembangan tidak hanya tanaman pangan, tetapi juga pada komoditas perkebunan. Komoditas utama yang diusahakan adalah karet dan pinang, hal ini disebabkan oleh permintaan yang tinggi akan komoditas tersebut yang berasal dari Semenanjung Malaka Malaysia dan Singapura. Kondisi ini terjadi hingga dekade tahun 1970-1980, dimana perdagangan komoditas ini mengalami kemunduran dengan dilarangnya perdagangan lintas batas negara. Prosedur dan perizinan yang panjang dan rumit menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk melanjutkan sistem perdagangan yang diterapkan oleh pemerintah. Proses akulturasi budaya antar etnis yakni Melayu, Bugis, Jawa dan Banjar telah terjadi dalam rentang waktu yang lama. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan makam “Laksamana Raja Dilaut” di Kecamatan Bukit Batu, yang berasal dari etnis Bugis dengan nama asli “Daeng Tuagek”. Pembukaan lahan untuk pertanian banyak dilakukan oleh etnis Jawa dan sebagian kecil etnis Banjar lebih banyak bermigrasi ke Indragiri Hilir. Pemberian nama “Desa Sukajadi” disebabkan oleh banyaknya orang dari etnis Jawa yang membuka lahan pertanian di daerah tersebut Informasi Tokoh Masyarakat. Akulturasi budaya antar etnis tersebut memberi pengaruh pada teknologi pengolahan lahan gambut yang digunakan masyarakat pada saat itu. Sehingga dikenal beberapa istilah untuk saluran yang dibangun sesuai dengan fungsinya seperti tali air parit talang, tali air parit engka, tali air orang kaya dan tali alir sungai musuh. Pengembangan pertanian padi dan perkebunan karet pada lahan gambut di daerah Bukit Batu Bengkalis dilakukan masyarakat dengan cara membangun saluran yang disebut dengan “tali air”. Saluran dibangun dimulai dari sungai yang masih dipengaruhi pasang surut menuju daratan sepanjang 1-2 km. Fungsi saluran sebagai pengatur tata air dan sebagai sarana pengangkutan bagi kegiatan pertanian yang dilakukan. Pada saat pengolahan tanah dan penanaman benih, maka permukaan air dalam saluran diatur dengan membuat penahan air tanggul. Dengan demikian kondisi permukaan air dapat diatur sesuai dengan kebutuhan yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi saat ini saluran masih tersedia tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari produktivitas perkebunan karet rakyat sangat rendah dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Kondisi ini disebabkan oleh masuknya air laut air asin yang menggenangi areal perkebunan. Pada akhirnya masyarakat tidak melakukan pengelolaan terhadap lahan dan tanaman karet menunjukkan gejala kematian. Akibatnya masyarakat membuka lahan perkebunan mengarah pada areal daratan yang lebih jauh ke dalam hutan 5 km dari laut. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut mengalami pergeseran dan cenderung mulai diabaikan oleh masyarakat. Perubahan faktor hidrologis aktivitas sektor kehutanan logging dan hutan tanaman industri HTI merubah keseimbangan hidrologi kawasan tersebut. Kondisi ini merubah pola musim atau tata air pada lahan rawa gambut yang menyebabkan perubahan pola tanam. Bercocok tanam padi yang sebelumnya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, saat ini hanya dapat dilakukan 1 kali setahun.

5.6.2 Teknologi Pertanian Masyarakat Lokal