Suriadikarta. 2003. Kandungan hara pada masing-masing tingkat kesuburan lahan gambut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut Tingkat
kesuburan Kandungan
P
2
O
5
CaO K
2
O Abu
………….. bobot kering gambut ………………….. Eutrofik
0,25 4
0,1 10
Mesotrofik 0,20-0,25
1-4 0,1
5-10 Oligotrofik
0,05-0,20 0,25-1
0,03-0,1 2-5
Sumber : Polak, 1949 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003
Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang
telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil –COOH dan fenol C
6
H
4
OH yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H
dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 sampai 95 muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut Andriesse,
1974; Miller dan Donahue, 1990 diacu dalam Rina et al. 1996. Tingkat dekomposisi gambut dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme
heterotrofik, dimana pada gambut oligotrofik banyak menghasilkan asam karboksilat. Tingkat kematangan gambut sangat mempengaruhi sensitivitas
mikroorganisme heterotrofik terutama pada tingkat kematangan gambut eutrofik Wright et al. 2009.
2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal
Pengembangan pertanian di lahan gambut trofik dihadapkan pada beberapa masalah biofisik antara lain : 1 lahan gambut sebagian besar terhampar
di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Al, Fe dan asam organik lainnya; 2 lahan gambut
cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tidak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi subsidence
penurunan muka tanah; 3 lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan karena kehilangan unsur hara malalui pencucian oleh aliran
permukaan; 4 kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit virulensi tinggi. Perkembangan organisme pengganggu
tanaman gulma, hama dan penyakit tanaman dan gangguan kesehatan manusia malaria, cacing cukup tinggi Noor, 2001.
Dalam kurun waktu sejak dibukanya atau dimanfaatkannya lahan oleh petani menunjukkan terjadinya perubahan agrofisik lahan, terutama ketebalan
gambut dari lahan yang diusahakan Rina et al. 1996. Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan perubahan agrofisik lahan usaha tani pada rawa gambut di
beberapa daerah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik dan perubahan kondisi agrofisik pada lahan gambut.
Kondisi Agrofisik Lokasi
Pinang Habang
Surya Kanta
Gandaria Kantan
Atas
Tahun Bukaditempati 1976
1981 1927
1982 Tebal Lapisan Gambut Awal cm 50 -100
100 - 150 50 - 100
100 - 150 Tebal Lapisan Gambut 1996 cm
5 - 20 25 - 50
5 - 20 25 - 50
Kedalaman Lapisan Pirit cm -
50 - 60 -
80 - 110 pH Tanah
4,4 4,4
3,5 3,8
Kadar Fe ppm -
10 -25 3 - 5
5 - 10
Sumber : Rina et al. 1996
Permasalahan sosial ekonomi juga banyak terjadi disekitar lingkungan perkebunan, terutama perkebunan negara dan swasta nasional. Konflik sosial yang
muncul umumnya berkaitan dengan kepemilikan lahan karena adanya perubahan luasan dan status kepemilikan lahan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
perubahan penguasaan lahan, hilangnya kearifan lokal dan budaya setempat Setyarso dan Wulandari, 2002.
Pengelolaan yang bersifat integratif diperlukan untuk menghindari munculnya permasalahan konflik sosial, sehingga diperlukan model pengelolaan
yang memperhatikan berbagai aspek pada karakteristik sumberdaya lokal yang berpengaruh terhadap lahan gambut tersebut. Berbagai karakteristik sumberdaya
lokal yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut meliputi antara lain :
1.
Karakteristik biofisik lahan gambut Aspek biofisik lahan gambut yang harus dipertimbangkan untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit meliputi kondisi fisiografi lahan tipe luapan, kedalaman, tingkat kematangan, lapisan sub stratum gambut.
Aspek biologi meliputi biomassa, biodiversitas dan habitat flora dan fauna dengan nilai konservasi tinggi. Perbedaan tipe luapan di atas memberikan
konsekuensi diperlukannya sistem penataan air dan penggunaan lahan atau pola tanam yang spesifik sesuai dengan kondisi biofisik lingkungan,
termasuk kemampuan masyarakatnya.
2.
Karakteristik sosial ekonomi Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat menjadi pertimbangan dalam
pembukaan lahan gambut. Aspek kelembagaan petani merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pengembangan usaha pertanian di wilayah
pedesaan. Penguatan kelembagaan petani melalui kelompok tani atau gapoktan membentuk kerjasama yang kuat sesama petani seperti dalam
pengelolaan air, pengendalian hama tanaman, pengendalian kebakaran dan pemasaran. Kelembagaan eksternal usaha tani seperti pelayanan
penyuluhan, koperasi, pengadaan sarana dan prasarana produksi pupuk, pestisida, alsintan, dsb, pelayanan peminjaman modal, pelayanan
pemasaran merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha pertanian lahan gambut Noor, 2011.
3.
Pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan tradisional masyarakat mengandung
sejumlah besar data empirik potensial yang berhubungan dengan fakta, proses dan fenomena perubahan lingkungan pada lahan gambut. Hal ini
membawa implikasi bahwa pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Keyakinan tradisional dipandang sebagai sumber informasi empirik dan pengetahuan penting yang dapat
ditingkatkan dan saling melengkapi dalam memperkaya keseluruhan pemahaman ilmiah Rambo,1984; Lovelace, 1984 diacu dalam
Noorginayuwati et al. 2008 .
Pembangunan perkebunan hendaknya dapat menjaga nilai-nilai sosial yang terdapat di masyarakat seperti kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-
nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari UU No.32 Tahun
2009. Aspek kelembagaan merupakan faktor penting dalam pembangunan
pertanian termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Salah satu model kelembagaan adalah induced innovation model yang menjelaskan adanya
keterkaitan beberapa faktor antara lain : 1 resource endowment; 2 cultural endowment
; 3 technology; 4 institution. Dari model ini dapat dikembangkan bahwa proses produksi dapat dirubah untuk memungkinkan anggota masyarakat
dapat memanfaatkan peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian seperti perubahan
penguasaan lahan komunal menjadi lahan individual serta modernisasi hubungan- hubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan Taryoto, 1995.
Konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka logik sebagai berikut bahwa : 1 proses pemusatan kekuasaan yang berawal dari pemusatan kekuasaan
faktor produksi; 2 pemusatan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat pemilik faktor produksi yang kuat; 3
kekuasaan akan menata sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Kondisi ini menciptakan adanya dikotomi yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai.
Untuk membebaskan situasi tersebut, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai Wiranto, 2001.
Menurut Haeruman 2000 diacu dalam Wiranto 2001 strategi utama dalam pemberdayaan masyarakat adalah : 1 memperkuat lembaga dan organisasi
masyarakat dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi inisiatif masyarakat; 2 mengurangi berbagai aturan yang menghambat; 3 mengembangkan budaya
kemandirian, keswadayaan dan kesetiakawanan; 4 mengembangkan jaringan kerja sumberdaya, lingkungan alam dan sosial budaya setempat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat.
Keterlibatan dunia usaha untuk mengatasi permasalahan menjadi awal yang baik untuk memelihara hubungan sosial dengan lingkungannya. Untuk itu
diperlukan suatu kelembagaan agar kemitraan antara dunia usaha, pemerintah dan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Program pengembangan masyarakat
comunity development dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bentuk kemitraan yang harus ditingkatkan keberadaannya. Tanggung jawab sosial
perusahaan corporate social responsibility adalah keinginan, kemampuan dan komitmen dunia usaha untuk membantu pemerintah menyelenggarakan usaha
kesejahteraan sosial dan atau memecahkan masalah sosial atas dasar inisiatif sendiri Dirjen Pemberdayaan Sosial, 2007.
Penerapan pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal sangat penting. Hal ini disebabkan lahan gambut merupakan salah satu lahan yang
potensial dikembangkan dimasa yang akan datang. Menurut Sabiham 2007 menyatakan beberapa kunci pokok penggunaan lahan gambut berkelanjutan : 1
legal aspek yang mendukung pengelolaan lahan gambut; 2 penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi; 3 pengelolaan air yang memadai sesuai tipe
luapan dan hidrotopografi; 4 pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik tanah mineral di bawah lapisan gambut; 5 peningkatan stabilitas
dan penurunan sifat toksik bahan gambut. Selain itu, dalam pengelolaan lahan gambut harus didukung dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan
ketersediaan lembaga pendukung. Sistem usaha tani lahan rawa menurut Suprihatno et al. 1999 hendaknya
didasarkan kepada sistem usaha tani terpadu yang bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergis antar subsistem agar pengembangannya tetap
menjamin kelestarian sumberdaya alam. Secara garis besar ada dua sistem usaha tani terpadu yang cocok dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usaha tani
berbasis tanaman pangan dan sistem usaha tani berbasis komoditas andalan. Sistem usaha tani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan
pangan petani. Sedangkan sistem usaha-tani berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha
agribisnis.
Konservasi lahan dalam sistem usaha tani berhubungan dengan persepsi petani dan kondisi serta situasi usaha tani Subagyo et al. 1996. Menurut Fisher
1986 prilaku petani ditentukan oleh hasil dari permasalahan yang dihadapi dalam melakukan usaha pertanian di lahan gambut. Kendala usaha pertanian di
lahan gambut meliputi aspek agrofisik lahan dengan daya dukung yang rendah, aspek lingkungan dengan tingkat pencemaran dan pemasaman dari kemungkinan
teroksidasinya pirit cukup tinggi, termasuk teknologi budidaya yang diterapkan, aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung Susanto, 2008;
Sumawijaya et al. 2006. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yang
bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk
mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang
kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama dan mendefinisikan tujuan
yang ingin dicapai Gao et al. 2003 Bosch et al. 2003 diacu dalam Marimin 2004 menyatakan bahwa
sistem sumberdaya alam bersifat kompleks dan dinamis. Berbagai perubahan berlangsung secara terus-menerus dan sulit untuk di prediksi. Pendekatan yang
kolaboratif lintas disiplin merupakan kekuatan untuk menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan, sumberdaya alam, manajemen dan kebijakan.
Gips 1986 diacu dalam Reijntjes et al. 1992 menyebutkan bahwa
pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain : 1.
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat
dipertahankan melalui proses biologi regulasi sendiri. Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan
energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui.
2. Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan
biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan
sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. 3.
Adil, yang berarti sumberdaya alam dan kekuasaan di distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan
hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan
untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan tanaman, hewan
dan manusia dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar,
seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain.
Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.
Untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus memperhatikan komunitas yang terdapat pada lokasi tersebut. Pendekatan
komunitas berkelanjutan sustainable community merupakan alternatif dalam menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan dan kerusakan
tata sosial lokal yang muncul dari pembaungunan yang dilaksanakan Susan, 2009. Komunitas berkelanjutan dapat dikatakan sebagai kemandirian dan prestasi
ekonomi dengan menciptakan mekanisme sosial mengenai pencapaian kesejahteraan secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme
dimana pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan struktur kondusif berkaitan dengan praktek ekonomi komunitas berkelanjutan. Sedangkan swasta
dan masyarakat sipil bertanggung jawab dalam dimensi peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas.
2.3. Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut