bagi  kegiatan  pertanian  yang  dilakukan.  Pada  saat  pengolahan  tanah  dan penanaman  benih,  maka  permukaan  air  dalam  saluran  diatur  dengan  membuat
penahan air tanggul. Dengan demikian kondisi permukaan air dapat diatur sesuai dengan kebutuhan yang baik bagi pertumbuhan tanaman.
Kondisi  saat  ini  saluran  masih  tersedia  tetapi  tidak  berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari produktivitas perkebunan karet rakyat
sangat  rendah  dan  tidak  mempunyai  nilai  ekonomi.  Kondisi  ini  disebabkan  oleh masuknya air  laut air asin  yang menggenangi areal perkebunan. Pada akhirnya
masyarakat  tidak  melakukan  pengelolaan  terhadap  lahan  dan  tanaman  karet menunjukkan gejala kematian. Akibatnya masyarakat membuka lahan perkebunan
mengarah pada areal daratan yang lebih jauh ke dalam hutan 5 km dari laut. Nilai-nilai  kearifan  lokal  dalam  pemanfaatan  lahan  gambut  mengalami
pergeseran  dan  cenderung  mulai  diabaikan  oleh  masyarakat.  Perubahan  faktor hidrologis aktivitas sektor kehutanan logging dan hutan tanaman industri HTI
merubah  keseimbangan  hidrologi  kawasan  tersebut.  Kondisi  ini  merubah  pola musim atau tata air pada lahan rawa  gambut  yang menyebabkan perubahan pola
tanam.  Bercocok  tanam  padi  yang  sebelumnya  dapat  dilakukan  2  kali  dalam setahun, saat ini hanya dapat dilakukan 1 kali setahun.
5.6.2 Teknologi Pertanian Masyarakat Lokal
Teknologi  budidaya  pertanian  pada  lahan  gambut  yang  dilakukan  oleh masyarakat  lokal  dapat  menjadi  masukan  bagi  aspek  perencanaan.  Pengetahuan
dan  keterampilan  tradisional  masyarakat  mengandung  sejumlah  besar  data empirik  potensial  yang  berhubungan  dengan  fakta,  proses  dan  fenomena
perubahan  lingkungan  pada  lahan  gambut.  Hal  ini  membawa  implikasi  bahwa pengetahuan  tradisional  dapat  memberikan  gambaran  informasi  yang  berguna
bagi perencanaan dan proses pembangunan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti
dimulai  pada  1980-1990.  Proses  akulturasi,  asimilasi  dan  toleransi  antar  etnis yang beragam Melayu, Jawa, Batak, Banjar dan Bugis berlangsung dengan baik.
Teknologi  kearifan  lokal  yang  dikembangkan  oleh  suatu  komunitas  pada umumnya  akan  berkembang  secara  luas  dalam  komunitas  tersebut.  Apabila
komunitas  tersebut  cukup  terbuka  dengan  komunitas  lainnya  maka  teknologi
kearifan  lokal  itu juga  dapat berkembang  dengan  cepat pada  komunitas  lainnya. Kearifan lokal yang mudah berkembang biasanya berupa teknologi yang dianggap
berdaya guna dan berhasil guna tinggi Noorginayuwati et al. 2008
. Pengembangan perkebunan oleh Pemerintah melalui pola PIR Trans atau
lokal  menjadi  pemicu  terjadinya  proses  transfer  teknologi budidaya  sawit  antara pendatang  dengan  penduduk  setempat.  Penguasaan  teknologi  perkebunan  kelapa
sawit  yang  dimiliki  oleh  pendatang  menjadi  sarana  interaksi  antar  kultur  dalam masyarakat.  Keberhasilan  pendatang  khususnya  etnis  Jawa  dari  Sumatera  Utara
dalam  pengembangan  perkebunan  kelapa  sawit  menjadi  pemicu  bagi  penduduk lokal  Melayu untuk  mengembangan tanaman  sawit.  Nilai  ekonomi  yang  tinggi
dari  perkebunan,  menjadi  daya  tarik  bagi  penduduk  lokal  untuk  beralih  dari perkebunan karet ke perkebunan sawit.
Masyarakat  pendatang  umumnya  menguasai  teknologi  budidaya  kelapa sawit  secara  baik,  mulai  dari  proses  pembibitan,  penanaman,  pemeliharaan  dan
pemanenan. Sedangkan masyarakat tempatan lokal menguasai aspek pengolahan lahan  gambut,  terutama  dalam  pembukaan  lahan  rawa  gambut.  Hal  ini  menjadi
proses belajar bersama antara masyarakat  lokal dan pendatang dalam melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Selama ini kelembagaan perekonomian pedesaan dinilai oleh banyak ahli sangat  rapuh  dan  dipandang  sebagai  penyebab  kegagalan  pengembangan
perekonomian di pedesaan. Kerapuhan tersebut ditunjukkan oleh tidak efektifnya pemberdayaan  faktor  kepemimpinan  sebagai  penggerak  kemajuan  di  pedesaan,
tidak terbangunnya tata nilai yang menggerakkan kemajuan ekonomi di pedesaan, struktur  dan  keorganisasian  ekonomi  pedesaan  yang  dibiarkan  rapuh,  otonomi
yang tidak mengangkat kedaulatan politik masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi  serta  dibiarkannya  faktor  kompetensi  sumberdaya  manusia  pedesaan
terbengkalai Pranadji, 2003 diacu dalam Hermanto, 2007. Kelembagaan  pekebun  pada  perkebunan  kelapa  sawit  rakyat
menunjukkan  kondisi  yang  belum  mampu  mendukung  kegiatan  perkebunan tersebut.  Umumnya  tidak  tersedia  kelembagaan  yang  mampu  menunjang
pengelolaan kebun kelapa sawit. Kelembagan  yang ada hanya untuk kepentingan sosial  keagaman  seperti  gotong  royong  dan  pengajian  terutama  untuk  ibu-ibu
pekebun.  Pekebun  hanya  mengandalkan  kemampuan  berkomunikasi  secara individual  dengan  pihak-pihak  lainnya.  Pengelolaan  perkebunan  kelapa  sawit
dilakukan secara “apa adanya” tergantung kemampuan  yang dimiliki pekebun. Persepsi  masyarakat  di  daerah  Bukit  Batu  dan  Siak  Kecil  relatif  baik
terhadap  prospek  lahan  gambut  sebagai  lahan  pengembangan  pertanian  dan perkebunan.  Persepsi  dipengaruhi  oleh  faktor  personal  dan  situasional,  dimana
suatu inovasi akan diadopsi bila pekebun mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi  tersebut.  Menurut  Littlejohn  1987  diacu  dalam  Rina  et  al.  2008
menyebutkan  bahwa  persepsi  yang  keliru  dapat  terjadi  karena  kurang  tepatnya pengetahuan  atau  pengertian  terhadap  objek  persepsi.  Secara  teoritis  persepsi
pekebun  tentang  lahan  dan  degradasi  yang  mungkin  terjadi  mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan.
Pemanfaatan  lahan  gambut  telah  dilakukan  sejak  lama  oleh  masyarakat terutama  untuk  tanaman  pangan  dan  perkebunan.  Teknologi  pengelolaan  lahan
secara  tradisional  dengan  menggunakan  peralatan  sederhana  telah    dikuasai dengan  baik.  Pengetahuan  kondisi  lahan  terutama  tingkat  kematangan  gambut
menjadi  pertimbangan  utama  dalam  pembukaan  lahan.  Masyarakat  dapat mengatahui  keadaan  lahan  dengan  pengamatan  sederhana  yakni  dengan  cara
memperhatikan warna dan meremas tanah gambut. Bila dirasakan mudah hancur dan  warna  coklat  tua  kemerahan  berarti  tanah  gambut  telah  matang.  Istilah
masyarakat  untuk  kondisi  tanah  gambut  disebut    dengan  “kilang  manis”  atau secara  ilmiah  gambut pada  tingkat  kematangan  saprik.  Pada  tingkat  kematangan
saprik paling baik untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Kepemilikan  lahan  menjadi  faktor  penting  dalam  pengelolaan
perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Proses jual beli lahan perkebunan antara pendatang dan masyarakat lokal dapat menjadi isu yang
sensitif  di  tengah  masyarakat.  Terjadi  perbedaan  persepsi  antar  anggota masyarakat  tentang  jual  beli  lahan  yang  dilakukan  oleh  sebahagian  masyarakat.
Umumnya  pendatang  menggunakan  penduduk  setempat  lokal  menjadi  pembeli lahan.  Hal  ini  memberi  kesan  persepsi  yang  membeli  masih  dalam  kelompok
masyarakat  itu  sendiri.  Pada  kenyataannya  pemilik  sesungguhnya  adalah pendatang,  kondisi  ini  yang  dikuatirkan  oleh  sebagian  tokoh  masyarakat  dapat
menimbulkan  konflik  sosial.  Ketiadaan  aturan  setempat  dan  kondisi  ekonomi masyarakat  yang  rendah  menyebabkan  sebagian  masyarakat  menjual  lahan  yang
dimilikinya. Sebaliknya sebahagian masyarakat juga tidak mempersoalkan karena pendatang  akan  membawa  perubahan  pada  pengetahuan  masyarakat  setempat.
Hasil  wawancara  dengan  tokoh  masyarakat  key  informan  setempat  yang mengatakan sebagai berikut :
Jual  beli  lahan  yang  dilakukan  masyarakat  lokal  dan  pendatang    pada dasarnya  tidak  menjadi  persoalan  bagi  masyarakat,  sejauh  mengikuti
aturan yang berlaku dan dilakukan secara suka sama suka .
Penduduk  lokal  melayu  relatif  tertinggal  dalam  pengusaan  teknologi perkebunan  kelapa  sawit.  Hal  ini  disebabkan oleh  keterbatasan  pengetahuan  dan
diperlukan  modal  awal  yang  besar  serta  waktu  produksi  yang  cukup  lama 4-5  tahun  baru  mulai  menghasilkan.  Sehingga  pada  beberapa  daerah  banyak
pendatang  yang  menguasai  lahan,  sedangkan  penduduk  lokal  menjadi terpinggirkan karena banyak yang menjual lahan kebun yang dimilikinya. Hal ini
yang  semakin  disadari  oleh  penduduk  lokal  untuk  mengolah  lahan  kebun  yang dimilikinya.
Keberhasilan  pendatang  menjadi  pemicu  bagi  penduduk  lokal  untuk mencontoh  sistem  perkebunan  yang  dikembangkan  oleh  pendatang.  Kondisi  ini
memunculkan  proses  akulturasi  dan  asimilasi  serta  toleransi  antar  etnis.  Mereka sangat  menyadari  tentang  keterbatasan  yang  dimiliki  oleh  masing-masing  etnis
dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
5.6. Status Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut